POV Hanin.
Keluar dari ruang sidang sambil menahan air mata yang sudah menggenang di pelupuk, juga menahan diri agar tidak menoleh ke arah Mas Abi.Jika boleh jujur, sebenarnya masih ada rasa cinta yang tersemat di dalam dada, akan tetapi semua kesalahan yang telah ia perbuat membuatku terpaksa harus melepasnya.Dia telah berkhianat, dan di saat sang anak sedang membutuhkan donor darah Mas Abi malah memberikan syarat baru akan membantunya. Rasanya terlalu menyakitkan, karena demi anak saja dia tidak mau berkorban.Masuk ke dalam mobil Mas Rendi, Zarina mengambil jemariku lalu menggenggamnya, memberikan kekuatan sebab pasti ia tahu seperti apa perasaan ibunya saat ini."Bunda yang sabar ya?" ucapnya kemudian."Iya, Sayang. Mungkin ini memang jalan yang terbaik untuk hubungan Bunda sama Ayah!" jawabku, tetap memaksa menerbitkan senyuman kepadanya."Ayah memang pantas mendapatkan hukuman seperti ini. Dia pantas ditinggalkan"Jangan bersedih, Bunda. Saya berjanji akan selalu menjaga Bunda!" katanya sambil menggerakkan tangan, dan aku segera meraihnya, lalu menautkannya di pipi."Terima kasih, Sayang!" Memejamkan mata, menghalau air mata yang sudah hampir lolos dari kedua sudut netra."Bun, saya pamit pulang dulu ya? Soalnya Reza nangis kata abinya!" pamit Zarina seraya menyalami tanganku."Hati-hati, Sayang. Salam buat Revan!" ucapku, seraya mengusap kepala Zarina yang terbungkus hijab merah muda."Iya, Bun. Kamu cepet sehat, ya Dek!" Dia juga mencium kening sang adik lalu segera keluar dari kamar inap Zafir.Ponsel milik anak keduaku terdengar berdering nyaring. Ada panggilan masuk dari Ustaz Habsyi, guru spiritualnya, dan karena kebetulan sedang ada perawat memeriksa aku menitipkan Zafir beberapa saat karena berniat mencari kakaknya.Hatiku mencelos hingga ke dasar saat melihat putra keduaku sedang duduk sendiri di taman dengan punggung berger
"Ini ponselnya, Nak!" Menyodorkan benda mati tersebut ke Zafran, dan dia terlihat ragu menjawab panggilan dari ustaz Habsy.Zafran kemudian meminta izin untuk berbicara dengannya, berjalan sedikit menjauh dan terlihat tengah berbicara serius kepadanya.Mengambil napas dalam-dalam, melonggarkan dada yang terasa seperti sedang diimpit batu besar lalu membuangnya secara perlahan. Aku harus ikhlas melepas Zafran, jika memang sudah waktunya dia untuk melabuhkan cintanya kepada orang perempuan lain.Tidak lama kemudian ia kembali dan merangkul pundakku, mengajakku masuk karena mengkhawatirkan sang adik yang aku titipkan kepada perawat."Ustaz Habsy bilang apa sama kamu, Kak? Kapan kamu akan melamar putri beliau?" tanyaku sambil mempererat gamitan."Beliau meminta saya segera melamar anaknya, tetapi saya tidak bisa meninggalkan Bunda, jadi saya bilang belum siap jika harus meminang Adinda sekarang.""Tapi kalau dia dilamar sama orang la
Pukul sembilan pagi, setelah selesai mengolah masakan untuk Zafran aku bersiap pergi ke rumah sakit, sengaja membawa lebih banyak makanan supaya bisa untuk dikonsumsi selama seharian penuh.Lagipula ada Mas Rendi juga di sana, menemani Zafran karena katanya tidak tega melihat kami harus mengurus Zafir tanpa Mas Abi.Ting!Sebuah notifikasi pesan masuk ke aplikasi berwarna hijau milikku, dari Amira sahabatku. Dia mengirimkan sebuah gambar tangkap layar kepadaku, dimana terlihat Elfira membuat status di sosial media berwarna biru berlogo huruf F, dan terlihat juga si pelakor mengunggah beberapa foto kebersamaannya dengan Mas Abi. Tidak tanggung-tanggung, di dalam status tersebut dia menuliskan kata, 'Di mana-mana yang muda dan yang masih sehat menjadi pemenangnya. Karena laki-laki sekarang itu bisa menilai seseorang bukan hanya dari hatinya, tetapi dari kecantikannya pula. Ya jelaslah dia lebih memilih aku yang masih kencang dan bisa memuaskan
Sudah tiga hari Zafir berada di rumah sakit, akan tetapi Mas Abi tidak juga datang menjenguk anaknya. Padahal kemarin ketika di persidangan kami tetap berkomitmen untuk menjaga anak-anak bersama, tidak akan putus silaturahmi sebab ada mantan istri tetapi tidak ada mantan anak.Tetapi sepertinya dia tengah terlena dengan kehidupan barunya, karena dia yang katanya tidak bisa hidup tanpa kami perlahan mulai lupa bahwa di sini masih ada keluarga yang juga membutuhkan perhatian darinya.Di sela lamunan tiba-tiba pintu kamar inap Zafir terbuka, dan terlihat seorang dokter diterima perawat masuk untuk memeriksa keadaan anak ketigaku.“Alhamdulillah keadaan ananda semakin membaik, mungkin besok dia sudah bisa pulang dan menjalani rawat jalan, karena ananda juga sudah bisa menggerakkan kakinya!” ucap dokter setelah selesai memeriksa keadaan si bungsu.“Alhamdulillah kalau begitu, Dok. Bagaimana dengan luka di kepalanya? Apa tidak apa-apa?” tanyaku kemudian
"Brengsek. Bu Yati kenapa malah mengguyur saya? Seharusnya Mbak Hanin yang Ibu guyur karena dia sudah menggoda suami saya!" protes Elfira, benar-benar membuat semua orang langsung geleng-geleng kepala melihat tingkahnya.Mungkin dia lupa kalau mendapatkan Mas Abi dari cara merebut secara paksa, menggoda dia, bahkan rela melakukan apa saja hingga akhirnya bisa dinikahi oleh mantan suamiku."Kamu itu otaknya sudah geser apa memang dasarnya nggak punya otak hah?!" Tanpa diduga Bu Yati menghampiri lalu menoyor kepala wanita itu dengan kasar. "Masih mending saya mengguyur kamu pake air bekas pelan, bukan pake air got!" sungutnya lagi.Elfira mendengkus. "Di sini itu saya korbannya loh, Bu? Suami saya digoda sama Mbak Hanin, masa Ibu malah membela pelakor? Kalau nanti suami Ibu direbut sama dia baru tahu rasa loh?!""Congormu itu ya? Siapa yang pelakor? Wong kamu yang merebut suaminya Mbak Hanina kok malah kamu yang mengatai dia pelakor. Memang kalau di
Hari ini, karena masih dalam masa idah aku meminta Zafran untuk berbelanja bahan-bahan untuk membuat ayam bakar, sebab alhamdulillah setiap hari ada saja pesanan masuk baik dari para tetangga maupun teman-teman yang hendak mengadakan syukuran, ada beberapa juga pesanan masuk dari aplikasi pesan makanan online.Untung saja Zafran sudah terbiasa mengantar ibunya ke pasar, jadi dia tahu tempat dimana biasanya aku berbelanja juga bahan-bahan apa yang biasa dibeli. Dan yang paling penting, dia tidak pernah merasa malu membantu ibunya, bahkan tindak jarang juga mempromosikan daganganku ke teman-teman kuliahnya.Sementara restoran, menurut informasi yang aku dapat dari Revi, semakin hari tempat usaha yang sudah belasan tahun Mas Abi kelola itu semakin sepi pembeli, apalagi Elfira sudah tidak mau lagi jika aku ikut andil di sana, padahal selama ini baik racikan bumbu maupun sambal selalu aku yang membuatnya, sebab bumbu-bumbu tersebut yang membuat ciri khas ayam bakar
Sambil meringis menahan sesak di dada turun dari tempat tidur, mengambil sarung untuk menutup tubuh bagian bawahku kemudian keluar dari kamar mengambil air hangat di dapur.Sudah beberapa hari ini, setelah melakukan 'ibadah malam' dada selalu terasa sesak, bahkan hanya sekedar untuk bernapas saja rasanya sakit sekali.Sebenarnya ada keinginan untuk memeriksakan diri ke rumah sakit, mendatangi spesialis jantung seperti saran dokter yang pernah memeriksaku namun terkendala oleh biaya.Kasihan Elfira jika harus mengeluarkan uang berjuta-juta hanya demi mengobatiku, sementara ketika sehat dan banyak uang Haninalah yang menikmatinya.Mengambil panci kecil yang menggantung di tembok, mengisinya dengan air lalu menjerangnya, setelah mendidih segera menuang air tersebut ke dalam gelas dan meminumnya setelah dicampur dengan air dari dispenser.Namun bukannya mereda, rasa sakit semakin terasa menyiksa, bahkan saat ini punggung pun terasa nyeri sepe
Bakda Zuhur, setelah melaksanakan ibadah wajib empat rakaat kami berdua pergi menemui teman Elfira untuk membicarakan masalah restoran. Senyum tidak henti-hentinya terkembang di bibir istriku. Rona bahagia begitu terpancar di wajahnya.Semoga saja ini awal dari kehidupan bahagia kami, dan semoga saja ini jalan terbaik untuk kemajuan hidup kami semua, apalagi ada Sabrina, seorang anak yatim yang diamanahkan kepadaku."Omong-omong mau buka harga berapa, Mas Abi? Jangan mahal-mahal ya? Soalnya restoran itu kan sudah terlihat sepi?" tanya teman Elfira yang memperkenalkan diri bernama Beniqno itu setelah kami bertemu."Rencananya mau saya jual tiga miliar, Mas. Tapi masih bisa nego tipis kok!" Memaksakan diri untuk tersenyum."Duh, kemahalan, Mas. Kalau segitu saya tidak berani. Bagaimana kalau dua koma dua saja?" tawarnya."Waduh, kalau segitu tidak bisa, Mas. Pasarannya kan memang segitu. Paling mentok dua koma tujuh lah.""Iya