Yasudah kalau begitu Mas manut saja sama kamu, Fir. Yang penting uangnya itu bisa diputar lagi, jangan sampai habis!" ucapku kemudian, menyetujui gagasan ElFira.Bukannya mau membohongi Hanina, akan tetapi apa yang dikatakan oleh istriku benar adanya. Semua sudah aku berikan kepada dia, jadi untuk kali ini lebih baik mementingkan keinginan Elfira, agar bisa adil pada kedua belah pihak.***Esok harinya, Elfira mengajakku ke showroom, melihat-lihat mobil dan berjanji akan membeli mobil bekas dengan harga murah asalkan tidak kepanasan saat pergi kemana-mana."Tapi Mas mohon banget, ya Fir. Tolong jangan beli yang terlalu mahal karena takut uangnya nggak cukup. Lebih baik uangnya dipakai buat modal dulu biar nggak habis!" ucapku mengingatkan."Iya, Mas nggak usah bawel. Aku juga tahu kok!" jawabnya sambil masuk ke dalam ruko dan dengan semangat empat lima dia melihat-lihat koleksi yang ada.Seorang lelaki berkemeja biru menghampiri,
Pintu garasi rumah Hanina terbuka. Zafran keluar lalu menyalami tangan Rendi, terlihat sekali kalau hubungan mereka semakin dekat, bahkan putraku terlihat tertawa lepas di hadapan Rendi.Ya Allah, perlahan-lahan semau yang aku cintai mulai melupakan aku dan lebih memilih menghormati Rendi yang notabene hanya orang lain dalam kehidupan mereka. Tolong jangan biarkan anak-anak melupakan aku ayah kandungnya, ya Rabb.Karena sudah tidak tahan melihat kemesraan mereka berdua, aku pun memutuskan untuk meninggalkan rumah itu.Sekarang entah harus ke mana lagi aku pergi, sedang semua orang yang dicintai sudah tidak ada lagi yang peduli.Dalam bayangku dulu akan hidup bahagia di hari tua, selalu dikelilingi anak-anak yang menghormati juga mencintai, namun nyatanya realita 'tak seindah ekspektasi. Kini aku harus hidup dalam kebimbangan, kesendirian juga penuh dengan hinaan di hari tua yang seharusnya tinggal menikmati kesuksesan anak-anak yang sudah aku jaga
Kamu kenapa menangis sendirian di sini? Mama ke mana?" tanyaku seraya membungkuk dan mengusap wajah pucat Sabrina.Gadis kecil itu hanya menggelengkan kepala lalu berdiri, menghambur memelukku sambil terisak dan terlihat sekali kalau dia begitu ketakutan."Sudah, sekarang kan ada Ayah di sini? Jadi kamu tidak usah takut!" ucapku sambil menggendong tubuhnya lalu mendudukkannya di kasur.Jika dilihat dari wajahnya, sepertinya Sabrina belum dimandikan, bisa jadi juga dia belum diberi makan karena di dapur tidak ada makanan sama sekali, pun ketika aku mengecek meja makan."Kamu sudah maem, Dek?" tanyaku kemudian, dijawab gelengan pelan oleh Sabrina.Ya Allah, benar-benar keterlaluan Elfira. Masa anak sendiri ditinggal sendirian? Tidak dikasih makan pula. Di mana pikiran dan perasaannya sebagai seorang ibu?"Yasudah, kita beli makanan dulu yuk? Adek mau makan apa?" tanyaku lagi."Sate!" jawab gadis kecil itu pelan, lebih terd
Astagfirullah ... rasa sesak seketika memenuhi rongga dada karena menahan kesal luar biasa.Tidak lama kemudian gawai dalam genggamanku berdering nyaring. Ada panggilan masuk dari nomor tidak dikenal. Gegas menggeser tombol hijau, mendekatkan ponsel ke telinga lalu menyapa sang penelepon dengan salam."Waalaikumussalam, Mas. Aku Fira. Aku lagi di rumah sakit sekarang. Kamu bisa ke sini sekarang?" Terdengar suara lemah Elfira dari ujung sambungan telepon."Kamu di rumah sakit? Inalillahi. Kamu di rumah sakit mana, Fir?""Bakti Kasih, Mas. Tolong kamu ke sini ya?""Memangnya kamu kenapa bisa berada di rumah sakit, Fira?""Panjang ceritanya. Kamu sebaiknya ke sini saja sekarang!"Menekan tombol merah, segera menggendong Sabrina lalu menaikkannya ke atas motor, melajukan kendaraan roda dua tersebut menuju rumah sakit dan segera mencari ruangan Elfira.Perempuan berusia tiga puluh dua tahun itu langsung menangis keti
Suster menyambar ponselnya yang tergeletak di atas kasur, keluar dari kamarku tanpa membawa Sabrina, padahal aku menyuruh dia untuk mengasuh anakku.Awas saja, akan kulaporkan kelakuannya hari ini, supaya dia dipecat dari pekerjaannya dan menjadi pengangguran. Baru jadi perawat aja sombongnya minta ampun. Bagaimana kalau sudah jadi dokter?Mbak Hanina juga. Bukannya ke sini jagain Sabrina malah teleponku dimatiin. Padahal dari dulu juga dia mau menjaga anakku, menjadi baby sitter-nya Sabrina tapi sekarang sok-sokan menolak. Sinting semuanya.Mencoba turun dari tempat tidur, berusaha berdiri akan tetapi kaki terasa lemas, sementara bekas sayatan di perut bagian bawahku terasa begitu nyeri.Udah berjuang mati-matian, harus operasi caesar tapi bayiku tidak selamat dan sekarang malah diceraikan oleh Mas Abi. Pasti Mbak Hanin yang memanas-manasi suamiku supaya meninggalkan aku karena dia merasa iri juga dendam, malah bisa jadi mau m
"Dokter hanya bercanda kan? Rahim saya masih ada dan saya masih bisa hamil kan, Dokter?" pekikku sambil menarik lengan dokter, tidak terima dengan vonis yang baru saja dia sampaikan.Ini pasti hanya mimpi. Rahimku tidak mungkin sudah diangkat, pasti dokter sedang bercanda."Sabar, ya Bu!" ucapnya dokter lagi, sambil terus menatap dengan pindaian sedih wajahku."Bagaimana saya bisa sabar kalau sekarang ini sudah jadi wanita cacat. Saya sudah tidak bisa lagi hamil, dan pasti Mas Abi tidak akan mungkin mau diajak kembali. Semuanya gara-gara dokter. Kenapa kamu tidak meminta persetujuan saya dulu? Dasar dokter malpraktek!" teriakku histeris.Dokter hanya menggelengkan kepala, terus berusaha menenangkan aku tetapi aku tidak peduli. Masa depanku telah hancur gara-gara dokter tidak bertanggung jawab itu, dan sekarang pasti Mas Abi akan tambah sulit aku dapatkan.Berjalan gontai keluar dari rumah sakit, sementara Sabrina
Jujur aku takut melihat dia seperti itu, akan tetapi demi Mas Abi rela melakukan segalanya, melawan siapa pun yang akan menghalangi langkahku tanpa terkecuali."Sekarang sebaiknya Mbak Fira pergi dari rumah ini, atau saya akan memanggil keamanan kompleks untuk mengusir Mbak dengan cara tidak terhormat!" usirnya kemudian."Jangan ikut campur, Bocah kecil. Ini urusan saya dengan ibu kamu yang pelakor itu!" sebtakku.Tidak lama kemudian beberapa orang ibu-ibu masuk ke halaman rumah Mbak Hanina, dan bukannya membela mereka malah menyeret tubuhku dengan kasar keluar dari tempat tinggal wanita murahan itu."Jangan buat keributan di rumah Bunda Zarina, Mbak pelakor!" maki salah seorang ibu sambil terus menyeret tubuhku."Dasar ibu-ibu nggak ada otak. Kenapa kalian malah membela wanita murahan kaya Mbak Hanin? Awas saja nanti suami kalian direbut sama dia baru tahu rasa!" berangku kesal."Pelakor kok teriak
"Kenapa Ibu tidak membawa serta ananda ketika keluar mencari suami Ibu? Ananda itu masih balita, berbahaya sekali meninggalkan dia sendirian di rumah dan menguncinya dari luar!" tanya pria berseragam itu."Karena pikiran saya itu kasihan, toh saya cuma pergi sebentar. Apalagi saya juga baru selesai menjalankan operasi caesar jadi belum bisa gendong dia kemana-mana. Tapi ternyata saya malah pingsan di jalan dan ada yang bawa ke rumah sakit. Pas sadar saya langsung pulang karena inget Sabrina, lagipula saya pun tidak memiliki uang untuk membayar biaya rumah sakitnya!"Polisi terlihat diam sambil menyimak, sementara rekan sejawatnya terlihat merekam semua yang aku ceritakan.Hingga akhirnya mobil yang kami tumpangi menepi di depan sebuah gedung berlantai tiga, dan aku melangkah ragu mengikuti mereka berdua."Anak saya beneran dirawat di rumah sakit, Pak? Lalu bagaimana dengan biayanya? Saya tidak punya uang sama sekali untuk membayar biayanya loh?" t