Kamu kenapa menangis sendirian di sini? Mama ke mana?" tanyaku seraya membungkuk dan mengusap wajah pucat Sabrina.
Gadis kecil itu hanya menggelengkan kepala lalu berdiri, menghambur memelukku sambil terisak dan terlihat sekali kalau dia begitu ketakutan."Sudah, sekarang kan ada Ayah di sini? Jadi kamu tidak usah takut!" ucapku sambil menggendong tubuhnya lalu mendudukkannya di kasur.Jika dilihat dari wajahnya, sepertinya Sabrina belum dimandikan, bisa jadi juga dia belum diberi makan karena di dapur tidak ada makanan sama sekali, pun ketika aku mengecek meja makan."Kamu sudah maem, Dek?" tanyaku kemudian, dijawab gelengan pelan oleh Sabrina.Ya Allah, benar-benar keterlaluan Elfira. Masa anak sendiri ditinggal sendirian? Tidak dikasih makan pula. Di mana pikiran dan perasaannya sebagai seorang ibu?"Yasudah, kita beli makanan dulu yuk? Adek mau makan apa?" tanyaku lagi."Sate!" jawab gadis kecil itu pelan, lebih terdAstagfirullah ... rasa sesak seketika memenuhi rongga dada karena menahan kesal luar biasa.Tidak lama kemudian gawai dalam genggamanku berdering nyaring. Ada panggilan masuk dari nomor tidak dikenal. Gegas menggeser tombol hijau, mendekatkan ponsel ke telinga lalu menyapa sang penelepon dengan salam."Waalaikumussalam, Mas. Aku Fira. Aku lagi di rumah sakit sekarang. Kamu bisa ke sini sekarang?" Terdengar suara lemah Elfira dari ujung sambungan telepon."Kamu di rumah sakit? Inalillahi. Kamu di rumah sakit mana, Fir?""Bakti Kasih, Mas. Tolong kamu ke sini ya?""Memangnya kamu kenapa bisa berada di rumah sakit, Fira?""Panjang ceritanya. Kamu sebaiknya ke sini saja sekarang!"Menekan tombol merah, segera menggendong Sabrina lalu menaikkannya ke atas motor, melajukan kendaraan roda dua tersebut menuju rumah sakit dan segera mencari ruangan Elfira.Perempuan berusia tiga puluh dua tahun itu langsung menangis keti
Suster menyambar ponselnya yang tergeletak di atas kasur, keluar dari kamarku tanpa membawa Sabrina, padahal aku menyuruh dia untuk mengasuh anakku.Awas saja, akan kulaporkan kelakuannya hari ini, supaya dia dipecat dari pekerjaannya dan menjadi pengangguran. Baru jadi perawat aja sombongnya minta ampun. Bagaimana kalau sudah jadi dokter?Mbak Hanina juga. Bukannya ke sini jagain Sabrina malah teleponku dimatiin. Padahal dari dulu juga dia mau menjaga anakku, menjadi baby sitter-nya Sabrina tapi sekarang sok-sokan menolak. Sinting semuanya.Mencoba turun dari tempat tidur, berusaha berdiri akan tetapi kaki terasa lemas, sementara bekas sayatan di perut bagian bawahku terasa begitu nyeri.Udah berjuang mati-matian, harus operasi caesar tapi bayiku tidak selamat dan sekarang malah diceraikan oleh Mas Abi. Pasti Mbak Hanin yang memanas-manasi suamiku supaya meninggalkan aku karena dia merasa iri juga dendam, malah bisa jadi mau m
"Dokter hanya bercanda kan? Rahim saya masih ada dan saya masih bisa hamil kan, Dokter?" pekikku sambil menarik lengan dokter, tidak terima dengan vonis yang baru saja dia sampaikan.Ini pasti hanya mimpi. Rahimku tidak mungkin sudah diangkat, pasti dokter sedang bercanda."Sabar, ya Bu!" ucapnya dokter lagi, sambil terus menatap dengan pindaian sedih wajahku."Bagaimana saya bisa sabar kalau sekarang ini sudah jadi wanita cacat. Saya sudah tidak bisa lagi hamil, dan pasti Mas Abi tidak akan mungkin mau diajak kembali. Semuanya gara-gara dokter. Kenapa kamu tidak meminta persetujuan saya dulu? Dasar dokter malpraktek!" teriakku histeris.Dokter hanya menggelengkan kepala, terus berusaha menenangkan aku tetapi aku tidak peduli. Masa depanku telah hancur gara-gara dokter tidak bertanggung jawab itu, dan sekarang pasti Mas Abi akan tambah sulit aku dapatkan.Berjalan gontai keluar dari rumah sakit, sementara Sabrina
Jujur aku takut melihat dia seperti itu, akan tetapi demi Mas Abi rela melakukan segalanya, melawan siapa pun yang akan menghalangi langkahku tanpa terkecuali."Sekarang sebaiknya Mbak Fira pergi dari rumah ini, atau saya akan memanggil keamanan kompleks untuk mengusir Mbak dengan cara tidak terhormat!" usirnya kemudian."Jangan ikut campur, Bocah kecil. Ini urusan saya dengan ibu kamu yang pelakor itu!" sebtakku.Tidak lama kemudian beberapa orang ibu-ibu masuk ke halaman rumah Mbak Hanina, dan bukannya membela mereka malah menyeret tubuhku dengan kasar keluar dari tempat tinggal wanita murahan itu."Jangan buat keributan di rumah Bunda Zarina, Mbak pelakor!" maki salah seorang ibu sambil terus menyeret tubuhku."Dasar ibu-ibu nggak ada otak. Kenapa kalian malah membela wanita murahan kaya Mbak Hanin? Awas saja nanti suami kalian direbut sama dia baru tahu rasa!" berangku kesal."Pelakor kok teriak
"Kenapa Ibu tidak membawa serta ananda ketika keluar mencari suami Ibu? Ananda itu masih balita, berbahaya sekali meninggalkan dia sendirian di rumah dan menguncinya dari luar!" tanya pria berseragam itu."Karena pikiran saya itu kasihan, toh saya cuma pergi sebentar. Apalagi saya juga baru selesai menjalankan operasi caesar jadi belum bisa gendong dia kemana-mana. Tapi ternyata saya malah pingsan di jalan dan ada yang bawa ke rumah sakit. Pas sadar saya langsung pulang karena inget Sabrina, lagipula saya pun tidak memiliki uang untuk membayar biaya rumah sakitnya!"Polisi terlihat diam sambil menyimak, sementara rekan sejawatnya terlihat merekam semua yang aku ceritakan.Hingga akhirnya mobil yang kami tumpangi menepi di depan sebuah gedung berlantai tiga, dan aku melangkah ragu mengikuti mereka berdua."Anak saya beneran dirawat di rumah sakit, Pak? Lalu bagaimana dengan biayanya? Saya tidak punya uang sama sekali untuk membayar biayanya loh?" t
Aku terus meratap, memeluk gundukkan tanah bertaburan bunga mawar berharap Sabrina bangun lalu menangis. Aku berjanji tidak akan lagi marah-marah jika dia kembali bangun, juga akan selalu memerhatikan dia, tidak akan lagi meninggalkan dia sendiri apalagi sampai mengabaikannya."Bina bangun. Maafin Mama, Sayang. Maafin Mama. Mama sayang Bina, Mama nggak mau kehilangan Bina!" teriakku histeris, sambil terus memeluk pusara Sabrina yang masih basah.Tuhan, rasanya sakit sekali dipisahkan dengan satu-satunya anak yang aku miliki, calon tumpuan di hari tua nanti.Sekarang, kepada siapa lagi nanti aku akan berbagi, apalagi rahimku telah diangkat, suami yang begitu aku cintai pun kini telah meninggalkan aku tanpa mau memberi aku waktu untuk mengubah diri mengikuti kemauannya."Mbak Fira, ayo kita pulan. Sudah sore soalnya. Cuaca juga mendung, nanti Mbak kehujanan di sini!" ucap Bu RT yang terlihat masih peduli, walaupun aku yakin sebenarnya dalam hati ten
"Bina? Sabrina?" Terus memanggil namanya, mencari dia di setiap penjuru ruangan juga kamar mandi, akan tetapi gadis kecil itu tidak kunjung aku temukan.Aku pun segera menyingkirkan tubuh Mas Abi yang tengah berdiri di ambang pintu, mencari Sabrina di kamarnya, di dapur juga halaman rumah, akan tetapi tetap jua tidak menemukan di mana anak itu berada.Kini tangisku pecah, air mata memburai dengan deras ketika menyadari bahwa bidadari kecilku telah pergi ke haribaan Illahi. Sakit, sungguh nyeri rasanya sanubari mengingat apa yang telah terjadi."Aku ibu yang lalai. Aku yang sudah menjadi penyebab kematian anakku. Aku pembunuh!" racauku sambil menangis, dan menit berikutnya tawaku pecah, menertawakan kebodohan juga kecerobohanku sendiri.Bagaimana bisa aku disebut sebagai seorang ibu, sementara menjaga anak saja aku tidak bisa. Bayi di dalam kandunganku meninggal karena kelalaian juga kecerobohanku, pun dengan Sabrina yang seharusnya bisa menja
"Selamat pagi, Bu Fira? Saya dari kepolisian, membawa surat penangkapan atas nama Ibu Elfira karena kasus kelalaian hingga menyebabkan hilangnya nyawa ananda Sabrina!" ucap polisi sambil menyodorkan sebuah amplop kepadaku.Aku menoleh menatap Mas Abi. Tadi dia bilang polisi datang hanya ingin meminta keterangan terkait kronologi meninggalnya Sabrina, tetapi kenapa sekarang malah membawa surat penangkapan?"Saya tidak bersalah, Pak. Tolong jangan bawa saya!" pekikku sambil menggelengkan kepala, beringsut mundur, namun Mas Abi malah menahan tubuh ini seolah ingin sekali mereka membawaku."Kami hanya menjalankan tugas. Untuk masalah pembelaan, silakan nanti Ibu bicarakan di kantor!" Lugas dua orang berseragam itu."Enggak. Aku enggak mau ikut kalian. Aku enggak bersalah loh?" tolakku."Ikut saja tidak apa-apa, Fira? Kalau kamu memang merasa tidak bersalah ya enggak usah takut, karena Mas yakin pasti kamu tidak akan dihukum," sambung Mas Abi.
Esok harinya, aku kembali datang ke rumah sakit menyusul Zafran yang sejak kemarin masih setia menunggui Mas Abi, ditemani oleh Safania, karena aku berniat mengenalkan dia dengan calon ayah mertuanya sebagai bentuk ikhtiar, siapa tahu setelah melihat calon menantunya Mas Abi bisa memiliki semangat hidup kembali.“Tadi dokter baru saja memeriksa, dan kata dokter keadaan Ayah semakin bertambah parah, Bun. Dokter juga sudah angkat tangan,” ujar Zafran ketika aku baru saja sampai.“Innalillahi, ya Allah. Terus, apa kata dokter lagi?” tanyaku.“Tidak ada. Dokter hanya menyuruh kita untuk terus berdoa supaya ada keajaiban dari Allah,” jawab anakku, membuat dada ini terasa semakin sesak karenanya.Kupandangi wajah pucat Mas Abi, ekspresinya terlihat begitu sedih juga kelelahan.“Mas, saya minta maaf karena belum berhasil membuat anak-anak datang ke sini menjenguk Mas Abi. Tetapi lihat, saya bawa calon menantu kita. Namanya Safania. Dia adalah ca
Aku menatap lekat wajah Zafran yang tengah berdiri di sebelahku.“Maaf, Dokter. Saya tidak mau menandatangani surat pernyataan ini, karena saya yakin kalau ayah saya masih bisa sembuh,” tolak anakku kemudian.“Untuk masalah itu terserah Mas dan Ibu, karena keputusan mutlak ada di tangan kalian,” kata dokter lagi. “Tapi sebagai sesama muslim, saya hanya ingin mengingatkan supaya Bapak ditunggui, minimal oleh putra-putrinya jika memang beliau sudah bercerai dengan Ibu, karena di saat seperti ini Bapak juga butuh dukungan dari orang-orang terdekat. Dan jika pun beliau tidak panjang umur, beliau akan merasa bahagia karena ketika sedang sakaratul maut semua anaknya mendampingi dan mendoakan beliau,” imbuhnya, benar-benar mengena di hati.Sepertinya aku harus terus berusaha membujuk Zarina dan Zafir untuk menjenguk ayahnya, sebab takut kalau Mas Abi memang sudah hendak pergi, hanya saja merasa berat karena sedang menunggu mereka berdua.“Ya sudah, kalau
Dua hari sudah berlalu setelah acara pertunangan Zafran dengan Safania, dan sekarang mereka sudah mulai mencicil barang-barang yang akan dijadikan seserahan.Sebagai seorang ibu aku menyarankan supaya Zafran membawa calon istrinya saat berbelanja barang yang akan dibawanya nanti, supaya menyesuaikan selera Safania dan tidak salah beli. Takut mubazir jika hanya kami yang berbelanja.“Calon istrinya Zafran cantik banget, ya Bunda Zarina. Anak orang kaya tapi kelihatan kalem, sopan, juga kelihatan sayang banget sama Bunda Zarina,” komentar salah seorang tetangga ketika tanpa sengaja bertemu di warung sayur.“Alhamdulillah, Bu. Doain ya, semoga pernikahan mereka berdua lancar nantinya. Jangan lupa juga nanti pada ikut ngebesan,” jawabku sambil mengukir senyum.“Iya. Omong-omong tapi kok Pak Abi nggak ikut nganter ya? Padahal kemarin sebelum kita jalan beliau ada loh, malah nanya ke saya ada acara apa, saya jawab ada acara lamaran, tapi habis itu
POV Hanina.“Fran, coba kamu lihat ke depan. Ayah sudah sampai apa belum?” Aku meminta anak keduaku untuk mencari Mas Abi di antara para tamu yang datang, karena sebentar lagi rombongan akan berangkat menuju rumah Pak Sadewa untuk melamar Safania putrinya.“Iya, Bun.” Zafran yang sudah terlihat gagah dengan kemeja berwarna abu-abu segera mengayunkan kaki ke depan, akan tetapi katanya tidak melihat sang ayah dan tidak ada tanda-tanda kedatangannya.Aku pun segera menghubungi nomor Mas Abi, akan tetapi nomor mantan suami malah sedang berada di luar jangkauan.Apa dia lupa kalau hari ini aku mengundangnya datang untuk mendampingi sang anak melamar pujaan hatinya?“Abi belum datang, Mbak?” tanya Mas Rendi sambil melirik arloji yang melingkar di pergelangan tangan kirinya.“Belum, Mas. Nomornya juga enggak aktif,” jawabku.“Ke mana dia kira-kira. Tapi Mbak Hanina udah kasih tahu kalau hari ini ada acara kan?” tanyanya lagi.
Hari ini, aku datang menjenguk Elfira sekaligus membawakan makanan kesukaannya. Kupandangi dari kejauhan wajah cantiknya, karena semenjak menjadi pasien rumah sakit jiwa dia selalu berpenampilan rapi, selalu memoles wajahnya dengan make-up dan kata dokter yang menangani dia selalu mengatakan kalau saat ini sedang menunggu aku pulang dari restoran.“Kalau menurut saran dan pendapat saya, Pak. Sebaiknya Bapak merujuk Ibu, siapa tahu dengan cara kembali hidup bersama Bapak beliau memiliki semangat hidup, karena obat penyakit jiwa yang sesungguhnya adalah dukungan dari orang-orang terdekat. Soalnya kalau saya perhatikan, Ibu itu sangat mencintai Bapak, sementara Bapak setiap membesuk saja selalu bersembunyi, tidak mau menemui Ibu dengan alasan trauma dianiaya. Padahal, bisa jadi jika Bapak melakukan pendekatan, membantu kami tim medis untuk mengobatinya mungkin penyakit Bu Elfira tidak akan separah sekarang,” ujar dokter panjang lebar ketika aku hendak pamit setelah s
“Mas?” Aku yang sudah terpejam membuka mata secara perlahan karena mendengar Elfira memanggil namaku.“Apa kita sudah berada di surga? Tadi Bina ngajak aku ke surga loh?” racunnya sambil mengedarkan pandang.“Ini rumah sakit, bukan surga!” ketusku.“Kenapa aku ada di rumah sakit?” Wajah wanita itu terlihat kebingungan. Entah dia sedang bersandiwara dan berpura-pura, atau memang akibat dari halusinasi.“Kamu mencoba mengakhiri hidup dengan cara memotong nadi.”“Bunuh diri?” “Iya. Lihat tangan kamu, diperban kan? Tolong jangan bertingkah konyol, Fira. Jangan bikin Mas tambah susah. Lagian bunuh diri itu bukan jalan keluar dari semua masalah, tetapi justru malah menambah masalah baru. Memangnya dengan bunuh diri semuanya langsung selesai dan kamu bakalan masuk surga? Yang ada kamu bakalan jadi kerak di neraka untuk selamanya,” nasihatku panjang lebar, siapa tahu Elfira paham dengan apa yang tengah aku katakan.“A
"Teruslah sakiti perasaan Bunda sampai rasa benci semakin memenuhi rongga dada kami!" Aku terkesiap ketika mendengar suara Zafir, menoleh ke arahnya lalu berjalan menghampiri, hendak mengusap pipi anak yang teramat kurindukan namun dia malah menghindari sentuhanku.Remaja berusia sembilan belas tahun itu kemudian berjalan mengikuti ibunya, terlihat kepayahan saat melangkah karena dia masih harus menggunakan tongkat.Pun dengan Zarina. Anak perempuanku satu-satunya itu terus menatap penuh dengan kebencian, lalu segera bergabung bersama dengan yang lainnya.Dan herannya, mereka terlihat begitu menghormati Rendi, seolah sahabatku itu yang perlu mereka hargai, bukan aku yang notabene adalah ayah kandung mereka.Perlahan mobil yang dikemudikan oleh suaminya Zarina berjalan meninggalkan parkiran. Aku terus menatap kendaraan roda empat tersebut hingga menghilang di balik tikungan, kembali merema* dada yang terasa sesak seolah tidak ada lagi pas
“Ayah minta maaf, Fran. Ayah mengaku salah,” kataku penuh dengan penyesalan.Zafran kemudian kembali melajukan mobilnya karena di belakang banyak yang meneriaki juga menekan klakson berkali-kali, akan tetapi kali ini dia tetap fokus mengemudi, tidak lagi mau berbicara kepadaku seperti sebelumnya.Bodoh. Aku sudah merusak suasana yang sudah mulai mencair dengan pertanyaan konyol yang aku ajukan.Zafran menepikan mobilnya ketika kami sampai, akan tetapi dia menolak ketika aku ajak singgah. Pasti dia marah karena perkataanku tadi. Ya Allah ...“Saya pulang, semoga Ayah cepet sehat. Jangan lupa melakukan salat taubat, banyak-banyak beristigfar supaya hati Ayah terasa lapang!” pamit Zafran.“Kamu tidak mampir dulu, Fran?” Menatap wajah tampan anakku.“Lain kali saja. Assalamualaikum!”Tanpa menunggu aku menjawab salam, Zafran sudah terlebih dahulu menutup kaca mobil dan langsung pergi begitu saja.Bodoh. Aku memang b
Sepertinya ada yang sengaja memanfaatkan momen retaknya hubunganku dengan Hanina untuk mendekati dia, sebab jika dilihat-lihat, kayaknya ada perasaan spesial di hati Rendi, dan mungkin secepatnya dia akan menggantikan posisiku di tengah-tengah mereka.Ya Allah ... apa jadinya aku jika suatu saat nanti melihat Rendi bersanding dengan mantan istri? Pasti rasanya sakit sekali, jika melihat wanita yang masih begitu aku cintai harus melabuhkan cintanya kepada sahabatku sendiri.Kembali meletakkan ponsel, mengurungkan niat untuk meminta bantuan kepada Rendi, sebab takut dia semakin besar kepala juga semakin merasa begitu dibutuhkan. Aku tidak mau menjatuhkan harga diri di depannya.Tidak lama kemudian pintu kamar inapku terbuka, seiring munculnya dokter Umar dengan stetoskop menggantung di leher. Dokter muda dengan wajah penuh kharisma itu tersenyum sambil mengucapkan salam, lalu berjalan menghampiri dan menanyakan keadaanku saat ini.“Alhamdulillah sud