Aku terus meratap, memeluk gundukkan tanah bertaburan bunga mawar berharap Sabrina bangun lalu menangis. Aku berjanji tidak akan lagi marah-marah jika dia kembali bangun, juga akan selalu memerhatikan dia, tidak akan lagi meninggalkan dia sendiri apalagi sampai mengabaikannya.
"Bina bangun. Maafin Mama, Sayang. Maafin Mama. Mama sayang Bina, Mama nggak mau kehilangan Bina!" teriakku histeris, sambil terus memeluk pusara Sabrina yang masih basah.Tuhan, rasanya sakit sekali dipisahkan dengan satu-satunya anak yang aku miliki, calon tumpuan di hari tua nanti.Sekarang, kepada siapa lagi nanti aku akan berbagi, apalagi rahimku telah diangkat, suami yang begitu aku cintai pun kini telah meninggalkan aku tanpa mau memberi aku waktu untuk mengubah diri mengikuti kemauannya."Mbak Fira, ayo kita pulan. Sudah sore soalnya. Cuaca juga mendung, nanti Mbak kehujanan di sini!" ucap Bu RT yang terlihat masih peduli, walaupun aku yakin sebenarnya dalam hati ten"Bina? Sabrina?" Terus memanggil namanya, mencari dia di setiap penjuru ruangan juga kamar mandi, akan tetapi gadis kecil itu tidak kunjung aku temukan.Aku pun segera menyingkirkan tubuh Mas Abi yang tengah berdiri di ambang pintu, mencari Sabrina di kamarnya, di dapur juga halaman rumah, akan tetapi tetap jua tidak menemukan di mana anak itu berada.Kini tangisku pecah, air mata memburai dengan deras ketika menyadari bahwa bidadari kecilku telah pergi ke haribaan Illahi. Sakit, sungguh nyeri rasanya sanubari mengingat apa yang telah terjadi."Aku ibu yang lalai. Aku yang sudah menjadi penyebab kematian anakku. Aku pembunuh!" racauku sambil menangis, dan menit berikutnya tawaku pecah, menertawakan kebodohan juga kecerobohanku sendiri.Bagaimana bisa aku disebut sebagai seorang ibu, sementara menjaga anak saja aku tidak bisa. Bayi di dalam kandunganku meninggal karena kelalaian juga kecerobohanku, pun dengan Sabrina yang seharusnya bisa menja
"Selamat pagi, Bu Fira? Saya dari kepolisian, membawa surat penangkapan atas nama Ibu Elfira karena kasus kelalaian hingga menyebabkan hilangnya nyawa ananda Sabrina!" ucap polisi sambil menyodorkan sebuah amplop kepadaku.Aku menoleh menatap Mas Abi. Tadi dia bilang polisi datang hanya ingin meminta keterangan terkait kronologi meninggalnya Sabrina, tetapi kenapa sekarang malah membawa surat penangkapan?"Saya tidak bersalah, Pak. Tolong jangan bawa saya!" pekikku sambil menggelengkan kepala, beringsut mundur, namun Mas Abi malah menahan tubuh ini seolah ingin sekali mereka membawaku."Kami hanya menjalankan tugas. Untuk masalah pembelaan, silakan nanti Ibu bicarakan di kantor!" Lugas dua orang berseragam itu."Enggak. Aku enggak mau ikut kalian. Aku enggak bersalah loh?" tolakku."Ikut saja tidak apa-apa, Fira? Kalau kamu memang merasa tidak bersalah ya enggak usah takut, karena Mas yakin pasti kamu tidak akan dihukum," sambung Mas Abi.
Memangnya keterangan yang aku berikan tidak cukup untuk membuktikan bahwa yang salah dalam hal ini justru tetangga yang tidak peduli, juga Mbak Hanina yang sengaja menggoda Mas Abi supaya tidak kembali ke rumahku.Kalau saja kemarin Mbak Hanin langsung memberitahu persembunyian Mas Abi dan tidak meminta warga untuk mengarakku hingga pingsan, mungkin semuanya tidak akan seperti ini. Sabrina masih hidup, masih bersamaku, dan aku tidak perlu menghabiskan waktu di tempat seperti ini.Dua orang polisi wanita berjalan mendekat, lalu dia membawaku paksa ke sel tahanan, memperlakukan aku selayaknya seorang penjahat. Aku terus memberontak, akan tetapi mereka tetap memaksaku untuk masuk ke dalam ruangan tersebut, bahkan tidak segan-segan membentak dan mengatakan kalau aku mengganggu ketenangan orang lain.Tangisku pecah, kepala mendadak berdenyut nyeri menghadapi masalah ini. Mas Abi yang katanya akan mendampingi tidak juga datang, sementara polisi yang menginteroga
POV Hanina.Aku keluar dari ruang interogasi setelah memberikan kesaksian atas apa yang menimpa Sabrina, duduk di kursi yang ada di depan ruangan sambil mengusap wajah juga mengucap istigfar. Hati ini merasa begitu sedih juga bersalah karena ketika Elfira meminta untuk menjaga Sabrina malah menolaknya. Aku memang sangat membenci wanita itu, akan tetapi rasa sayangku terhadap anaknya benar-benar tulus. Andai aku tahu akhirnya akan menjadi seperti ini lebih baik kuambil Sabrina, bila perlu mengadopsi dia supaya mendapatkan kasih sayang yang utuh karena selama ini yang aku tahu kalau Elfira tidak pernah benar-benar menyayangi dia.“Ya Allah, Bina. Maafin Tante Hanin. Tante yakin sekarang ini kamu sudah bahagia di surga bersama para bidadari, tidak lagi merasa kesepian karena selalu ditinggal oleh Mama kamu. Sekali lagi Tante minta maaf, Bina!” ucapku dalam hati, sambil mengusap air mata yang menggenang di pelupuk.Tidak lama kemudian dua orang polisi wanita membawa Elfira keluar, dan pe
Mas Abi ... Mas Abi. Entah ke mana sikap penuh cinta yang selama ini melekat di hatinya. Apa mungkin dosa yang telah dia lakukan menghapus perlahan perasaan di dalam sanubarinya, sehingga dia menjadi manusia tidak bernurani seperti ini?Masuk ke dalam mobil, aku memutuskan untuk segera meninggalkan parkiran kantor polisi juga Mas Abi yang masih berdiri mematung sambil menatap ke arah mobilku yang perlahan mulai bergerak menjauh darinya.Di saat bersamaan ponsel milikku terdengar berdering nyaring. Ada panggilan masuk dari Zafran, dan aku segera menjawab panggilan dari anak keduaku, menyapanya dengan salam juga dengan kata-kata selembut mungkin.“Waalaikumussalam, Bunda ada di mana?” tanya anak lelakiku terdengar cemas.“Lagi di jalan, Sayang. Mau pulang,” jawabku.“Alhamdulillah kalau begitu, soalnya tadi Zafir bilang katanya Bunda dipanggil polisi, jadi saya khawatir sama Bunda.”“Bunda hanya dimintai keterangan terkait kejadian
Melihat aku sedang berbicara serius dengan ayahnya Zarina segera menghampiri, mengambil putranya dari gendongan Mas Abi lalu kembali pergi meninggalkan kami.“Serius Cuma laku dua M doang, Mas?” Aku kembali bertanya, hanya untuk sekedar memastikan.“Iya, Dek. Nanti Mas transfer ke kamu dua ratus juta dulu, karena limit transfernya Mas cuma segitu per hari, nanti Mas kirim selama lima hari berturut-turut. Nggak apa-apa kan?” Mas Abi menatap wajahku.“Mas jual restoran sudah berapa lama?” Membalas tatapan Mas Abi sekilas, lalu kembali membuang pandang ke arah lain sebab lelaki di hadapanku ini sudah bukan lagi mahramku.“Sudah sekitar lima harian, Dek,” jawabnya.“Lima hari?” Dahiku mengernyit mendengar pengakuannya. Bukannya kemarin kata pelayanan bosnya sudah membeli restoran itu sekitar dua pekan yang lalu? Kenapa Mas Abi malah berbohong?“Iya, kurang lebih sekitar lima hari.”“Bukannya sudah sekitar dua mingguan?”
“Ayah bicara apa? Kok wajah Bunda tiba-tiba berubah sendu seperti ini?” tanyanya sambil menyapu lembut air mata yang ternyata sudah memburai di pipi.“Enggak apa-apa, Sayang. Ayah kamu Cuma membicarakan tentang restoran doang kok?” Menatap mata teduh anakku, rasanya seperti menatap pantulan wajah Mas Abi, sebab baik dari segi wajah maupun perawakannya Zafranlah yang paling mirip dengan sang ayah.Maka dari itu aku selalu berdoa kepada Allah, meminta kepada Sang Maha Rahim agar anak lelaki selalu dalam perlindungannya, dijaga hati serta perbuatannya agar tidak meniru apa yang telah dilakukan oleh ayahnya. Aku tidak mau kalau sampai anak menantuku merasakan apa yang aku rasa saat ini, sebab ini terlalu menyakitkan. Cukup aku saja yang merasakan pahitnya dikhianati oleh suami.“Tapi kenapa Bunda bersedih? Apa Ayah menyakiti perasaan Bunda?” “Enggak, Sayang. Sudah, ayo kita ke Kakak.” Menggamit lengan kekarnya, dan pria remajaku segera merangkul pund
Aku menatap wajah teduh anakku, merasa bersyukur karena ternyata dia lebih memilih aku daripada wanita yang ia cintai, walaupun dalam hati ada dilema, khawatir nanti dia patah hati saat melihat pujaan hatinya dipinang laki-laki lain, sebab pasti ustaz Habsy akan mengundang kami jika mengadakan acara walimatul arsy."Yasudah kalau begitu, Nak Fran. Berarti kamu ikhlas ya kalau Adinda saya nikahkan dengan anak sahabat saya," ucap Ustaz Habsyi sambil menerbitkan senyuman."Insya Allah saya ikhlas, Ustaz. Mungkin Dinda bukan jodoh saya," Zafran membalas senyuman guru spiritualnya, walaupun samar di matanya memancarkan luka yang berusaha ia sembunyikan.Sebenarnya aku ingin menyela pembicaraan mereka, akan tetapi tidak berani karena takut malah membuat kesalahan. Biarlah anakku menyelesaikan semua sendiri, sebab yakin apa pun yang ia putuskan pasti sudah dipertimbangkan dengan matang."Baik, saya permisi dulu, Fran, Bu Hanin. Assalamualaikum!" Ustaz Ha