Astaghfirullahaladzim, Abimanyu. Ternyata susah sekali ya bicara sama orang yang hatinya sudah mati. Semua orang disamakan seperti kamu yang suka selingkuh. Dipukul rata. Pasti dalam hati kamu sedang berprasangka buruk terhadap saya dan Mbak Hanina? Iya kan? Sekarang terserah, ya Abi. Saya sudah tidak lagi peduli dengan apa pun yang hendak kamu katakan. Capek ternyata bicara sama orang yang hatinya sudah tertutup oleh dosa. Pasti bawaannya suuzan terus. Sekarang saya tahu alasan kenapa Mbak Hanin tidak mau diajak mediasi, karena percuma bicara sama orang seperti kamu!" pungkasnya sambil menggelengkan kepala.
Rendi yang masih terlihat lemas paska mendonorkan darah kepada anakku memilih untuk beranjak dari brankar, turun dari ranjang khas rumah sakit tersebut lalu berjalan menghampiri Hanina dan kedua anakku.Rasa sakit kiat menggerogoti jiwa ketika melihat dengan ramah putra putriku menyambut kehadiran Rendi, sementara aku yang ayah kandung mereka terus di"Kamu kenapa, Mas? Ya Allah!" pekik Elfira sambil berjalan menghampiri dan mengusap wajahku. Bisa kulihat dengan jelas mata perempuan itu sudah berembun, terlihat sekali kalau dia begitu mengkhawatirkan keadaanku saat ini.Ya Allah, Elfira. Padahal selama ini aku selalu jahat sama kamu, bahkan tidak jarang berlaku kasar, akan tetapi kamu masih begitu baik serta pengertian."Tolong ambilkan air minum hangat!" pintaku dengan terbata.Elfira mengangguk, segera beranjak dari duduknya dan lekas membawakan segelas air hangat untukku. Dia juga segera membantuku untuk meneguknya."Sebaiknya kamu istirahat dulu. Ayo aku bantu Mas ke kasur!" ajaknya sembari membantu mengangkat tubuhku lalu membaringkannya di atas kasur. Dengan telaten ia memijat tangan serta kakiku, juga keringat yang terus menyembul dari pori-pori."Terima kasih, Fira. Maaf karena tadi saya sudah berbuat kasar sama kamu!" ucapku pelan, hampir tidak terdengar."Nggak apa-apa, Mas. Aku juga salah karena sudah lancang. Harusnya
Gema suara azan mulai terdengar berkumandang di seluruh penjuru musala. Aku membuka mata perlahan, mengucap hamdalah karena ternyata Allah masih memberi kesempatan untuk menatap dunia fana ini.Segera membangunkan Elfira, mengajak dia untuk melaksanakan ibadah wajib secara berjamaah akan tetapi dia malah merapatkan selimut, menutup seluruh tubuhnya hingga ke kepala."Kapan kamu mau salat, Fir? Kamu itu tanggung jawab saya, dan saya akan ikut menanggung dosa jika kamu selalu seperti ini!" ujarku mengingatkan."Aku masih ngantuk, Mas. Lagian kalau kita rajin salat langsung dikasih kekayaan sama Allah? Enggak kan?" jawabnya benar-benar diluar dugaan. Aku hanya bisa menggelengkan kepala, sebab sedang tidak ingin marah-marah karena dada masih terasa sesak juga sedikit nyeri.Segera melaksanakan ibadah sendiri, air mata tiba-tiba lolos dari sudut netra ketika mengingat hari-hari yang kujalani bersama Hanina beserta ketiga anak kami. Setiap pag
POV Hanin.Keluar dari ruang sidang sambil menahan air mata yang sudah menggenang di pelupuk, juga menahan diri agar tidak menoleh ke arah Mas Abi.Jika boleh jujur, sebenarnya masih ada rasa cinta yang tersemat di dalam dada, akan tetapi semua kesalahan yang telah ia perbuat membuatku terpaksa harus melepasnya.Dia telah berkhianat, dan di saat sang anak sedang membutuhkan donor darah Mas Abi malah memberikan syarat baru akan membantunya. Rasanya terlalu menyakitkan, karena demi anak saja dia tidak mau berkorban.Masuk ke dalam mobil Mas Rendi, Zarina mengambil jemariku lalu menggenggamnya, memberikan kekuatan sebab pasti ia tahu seperti apa perasaan ibunya saat ini."Bunda yang sabar ya?" ucapnya kemudian."Iya, Sayang. Mungkin ini memang jalan yang terbaik untuk hubungan Bunda sama Ayah!" jawabku, tetap memaksa menerbitkan senyuman kepadanya."Ayah memang pantas mendapatkan hukuman seperti ini. Dia pantas ditinggalkan
"Jangan bersedih, Bunda. Saya berjanji akan selalu menjaga Bunda!" katanya sambil menggerakkan tangan, dan aku segera meraihnya, lalu menautkannya di pipi."Terima kasih, Sayang!" Memejamkan mata, menghalau air mata yang sudah hampir lolos dari kedua sudut netra."Bun, saya pamit pulang dulu ya? Soalnya Reza nangis kata abinya!" pamit Zarina seraya menyalami tanganku."Hati-hati, Sayang. Salam buat Revan!" ucapku, seraya mengusap kepala Zarina yang terbungkus hijab merah muda."Iya, Bun. Kamu cepet sehat, ya Dek!" Dia juga mencium kening sang adik lalu segera keluar dari kamar inap Zafir.Ponsel milik anak keduaku terdengar berdering nyaring. Ada panggilan masuk dari Ustaz Habsyi, guru spiritualnya, dan karena kebetulan sedang ada perawat memeriksa aku menitipkan Zafir beberapa saat karena berniat mencari kakaknya.Hatiku mencelos hingga ke dasar saat melihat putra keduaku sedang duduk sendiri di taman dengan punggung berger
"Ini ponselnya, Nak!" Menyodorkan benda mati tersebut ke Zafran, dan dia terlihat ragu menjawab panggilan dari ustaz Habsy.Zafran kemudian meminta izin untuk berbicara dengannya, berjalan sedikit menjauh dan terlihat tengah berbicara serius kepadanya.Mengambil napas dalam-dalam, melonggarkan dada yang terasa seperti sedang diimpit batu besar lalu membuangnya secara perlahan. Aku harus ikhlas melepas Zafran, jika memang sudah waktunya dia untuk melabuhkan cintanya kepada orang perempuan lain.Tidak lama kemudian ia kembali dan merangkul pundakku, mengajakku masuk karena mengkhawatirkan sang adik yang aku titipkan kepada perawat."Ustaz Habsy bilang apa sama kamu, Kak? Kapan kamu akan melamar putri beliau?" tanyaku sambil mempererat gamitan."Beliau meminta saya segera melamar anaknya, tetapi saya tidak bisa meninggalkan Bunda, jadi saya bilang belum siap jika harus meminang Adinda sekarang.""Tapi kalau dia dilamar sama orang la
Pukul sembilan pagi, setelah selesai mengolah masakan untuk Zafran aku bersiap pergi ke rumah sakit, sengaja membawa lebih banyak makanan supaya bisa untuk dikonsumsi selama seharian penuh.Lagipula ada Mas Rendi juga di sana, menemani Zafran karena katanya tidak tega melihat kami harus mengurus Zafir tanpa Mas Abi.Ting!Sebuah notifikasi pesan masuk ke aplikasi berwarna hijau milikku, dari Amira sahabatku. Dia mengirimkan sebuah gambar tangkap layar kepadaku, dimana terlihat Elfira membuat status di sosial media berwarna biru berlogo huruf F, dan terlihat juga si pelakor mengunggah beberapa foto kebersamaannya dengan Mas Abi. Tidak tanggung-tanggung, di dalam status tersebut dia menuliskan kata, 'Di mana-mana yang muda dan yang masih sehat menjadi pemenangnya. Karena laki-laki sekarang itu bisa menilai seseorang bukan hanya dari hatinya, tetapi dari kecantikannya pula. Ya jelaslah dia lebih memilih aku yang masih kencang dan bisa memuaskan
Sudah tiga hari Zafir berada di rumah sakit, akan tetapi Mas Abi tidak juga datang menjenguk anaknya. Padahal kemarin ketika di persidangan kami tetap berkomitmen untuk menjaga anak-anak bersama, tidak akan putus silaturahmi sebab ada mantan istri tetapi tidak ada mantan anak.Tetapi sepertinya dia tengah terlena dengan kehidupan barunya, karena dia yang katanya tidak bisa hidup tanpa kami perlahan mulai lupa bahwa di sini masih ada keluarga yang juga membutuhkan perhatian darinya.Di sela lamunan tiba-tiba pintu kamar inap Zafir terbuka, dan terlihat seorang dokter diterima perawat masuk untuk memeriksa keadaan anak ketigaku.“Alhamdulillah keadaan ananda semakin membaik, mungkin besok dia sudah bisa pulang dan menjalani rawat jalan, karena ananda juga sudah bisa menggerakkan kakinya!” ucap dokter setelah selesai memeriksa keadaan si bungsu.“Alhamdulillah kalau begitu, Dok. Bagaimana dengan luka di kepalanya? Apa tidak apa-apa?” tanyaku kemudian
"Brengsek. Bu Yati kenapa malah mengguyur saya? Seharusnya Mbak Hanin yang Ibu guyur karena dia sudah menggoda suami saya!" protes Elfira, benar-benar membuat semua orang langsung geleng-geleng kepala melihat tingkahnya.Mungkin dia lupa kalau mendapatkan Mas Abi dari cara merebut secara paksa, menggoda dia, bahkan rela melakukan apa saja hingga akhirnya bisa dinikahi oleh mantan suamiku."Kamu itu otaknya sudah geser apa memang dasarnya nggak punya otak hah?!" Tanpa diduga Bu Yati menghampiri lalu menoyor kepala wanita itu dengan kasar. "Masih mending saya mengguyur kamu pake air bekas pelan, bukan pake air got!" sungutnya lagi.Elfira mendengkus. "Di sini itu saya korbannya loh, Bu? Suami saya digoda sama Mbak Hanin, masa Ibu malah membela pelakor? Kalau nanti suami Ibu direbut sama dia baru tahu rasa loh?!""Congormu itu ya? Siapa yang pelakor? Wong kamu yang merebut suaminya Mbak Hanina kok malah kamu yang mengatai dia pelakor. Memang kalau di
Esok harinya, aku kembali datang ke rumah sakit menyusul Zafran yang sejak kemarin masih setia menunggui Mas Abi, ditemani oleh Safania, karena aku berniat mengenalkan dia dengan calon ayah mertuanya sebagai bentuk ikhtiar, siapa tahu setelah melihat calon menantunya Mas Abi bisa memiliki semangat hidup kembali.“Tadi dokter baru saja memeriksa, dan kata dokter keadaan Ayah semakin bertambah parah, Bun. Dokter juga sudah angkat tangan,” ujar Zafran ketika aku baru saja sampai.“Innalillahi, ya Allah. Terus, apa kata dokter lagi?” tanyaku.“Tidak ada. Dokter hanya menyuruh kita untuk terus berdoa supaya ada keajaiban dari Allah,” jawab anakku, membuat dada ini terasa semakin sesak karenanya.Kupandangi wajah pucat Mas Abi, ekspresinya terlihat begitu sedih juga kelelahan.“Mas, saya minta maaf karena belum berhasil membuat anak-anak datang ke sini menjenguk Mas Abi. Tetapi lihat, saya bawa calon menantu kita. Namanya Safania. Dia adalah ca
Aku menatap lekat wajah Zafran yang tengah berdiri di sebelahku.“Maaf, Dokter. Saya tidak mau menandatangani surat pernyataan ini, karena saya yakin kalau ayah saya masih bisa sembuh,” tolak anakku kemudian.“Untuk masalah itu terserah Mas dan Ibu, karena keputusan mutlak ada di tangan kalian,” kata dokter lagi. “Tapi sebagai sesama muslim, saya hanya ingin mengingatkan supaya Bapak ditunggui, minimal oleh putra-putrinya jika memang beliau sudah bercerai dengan Ibu, karena di saat seperti ini Bapak juga butuh dukungan dari orang-orang terdekat. Dan jika pun beliau tidak panjang umur, beliau akan merasa bahagia karena ketika sedang sakaratul maut semua anaknya mendampingi dan mendoakan beliau,” imbuhnya, benar-benar mengena di hati.Sepertinya aku harus terus berusaha membujuk Zarina dan Zafir untuk menjenguk ayahnya, sebab takut kalau Mas Abi memang sudah hendak pergi, hanya saja merasa berat karena sedang menunggu mereka berdua.“Ya sudah, kalau
Dua hari sudah berlalu setelah acara pertunangan Zafran dengan Safania, dan sekarang mereka sudah mulai mencicil barang-barang yang akan dijadikan seserahan.Sebagai seorang ibu aku menyarankan supaya Zafran membawa calon istrinya saat berbelanja barang yang akan dibawanya nanti, supaya menyesuaikan selera Safania dan tidak salah beli. Takut mubazir jika hanya kami yang berbelanja.“Calon istrinya Zafran cantik banget, ya Bunda Zarina. Anak orang kaya tapi kelihatan kalem, sopan, juga kelihatan sayang banget sama Bunda Zarina,” komentar salah seorang tetangga ketika tanpa sengaja bertemu di warung sayur.“Alhamdulillah, Bu. Doain ya, semoga pernikahan mereka berdua lancar nantinya. Jangan lupa juga nanti pada ikut ngebesan,” jawabku sambil mengukir senyum.“Iya. Omong-omong tapi kok Pak Abi nggak ikut nganter ya? Padahal kemarin sebelum kita jalan beliau ada loh, malah nanya ke saya ada acara apa, saya jawab ada acara lamaran, tapi habis itu
POV Hanina.“Fran, coba kamu lihat ke depan. Ayah sudah sampai apa belum?” Aku meminta anak keduaku untuk mencari Mas Abi di antara para tamu yang datang, karena sebentar lagi rombongan akan berangkat menuju rumah Pak Sadewa untuk melamar Safania putrinya.“Iya, Bun.” Zafran yang sudah terlihat gagah dengan kemeja berwarna abu-abu segera mengayunkan kaki ke depan, akan tetapi katanya tidak melihat sang ayah dan tidak ada tanda-tanda kedatangannya.Aku pun segera menghubungi nomor Mas Abi, akan tetapi nomor mantan suami malah sedang berada di luar jangkauan.Apa dia lupa kalau hari ini aku mengundangnya datang untuk mendampingi sang anak melamar pujaan hatinya?“Abi belum datang, Mbak?” tanya Mas Rendi sambil melirik arloji yang melingkar di pergelangan tangan kirinya.“Belum, Mas. Nomornya juga enggak aktif,” jawabku.“Ke mana dia kira-kira. Tapi Mbak Hanina udah kasih tahu kalau hari ini ada acara kan?” tanyanya lagi.
Hari ini, aku datang menjenguk Elfira sekaligus membawakan makanan kesukaannya. Kupandangi dari kejauhan wajah cantiknya, karena semenjak menjadi pasien rumah sakit jiwa dia selalu berpenampilan rapi, selalu memoles wajahnya dengan make-up dan kata dokter yang menangani dia selalu mengatakan kalau saat ini sedang menunggu aku pulang dari restoran.“Kalau menurut saran dan pendapat saya, Pak. Sebaiknya Bapak merujuk Ibu, siapa tahu dengan cara kembali hidup bersama Bapak beliau memiliki semangat hidup, karena obat penyakit jiwa yang sesungguhnya adalah dukungan dari orang-orang terdekat. Soalnya kalau saya perhatikan, Ibu itu sangat mencintai Bapak, sementara Bapak setiap membesuk saja selalu bersembunyi, tidak mau menemui Ibu dengan alasan trauma dianiaya. Padahal, bisa jadi jika Bapak melakukan pendekatan, membantu kami tim medis untuk mengobatinya mungkin penyakit Bu Elfira tidak akan separah sekarang,” ujar dokter panjang lebar ketika aku hendak pamit setelah s
“Mas?” Aku yang sudah terpejam membuka mata secara perlahan karena mendengar Elfira memanggil namaku.“Apa kita sudah berada di surga? Tadi Bina ngajak aku ke surga loh?” racunnya sambil mengedarkan pandang.“Ini rumah sakit, bukan surga!” ketusku.“Kenapa aku ada di rumah sakit?” Wajah wanita itu terlihat kebingungan. Entah dia sedang bersandiwara dan berpura-pura, atau memang akibat dari halusinasi.“Kamu mencoba mengakhiri hidup dengan cara memotong nadi.”“Bunuh diri?” “Iya. Lihat tangan kamu, diperban kan? Tolong jangan bertingkah konyol, Fira. Jangan bikin Mas tambah susah. Lagian bunuh diri itu bukan jalan keluar dari semua masalah, tetapi justru malah menambah masalah baru. Memangnya dengan bunuh diri semuanya langsung selesai dan kamu bakalan masuk surga? Yang ada kamu bakalan jadi kerak di neraka untuk selamanya,” nasihatku panjang lebar, siapa tahu Elfira paham dengan apa yang tengah aku katakan.“A
"Teruslah sakiti perasaan Bunda sampai rasa benci semakin memenuhi rongga dada kami!" Aku terkesiap ketika mendengar suara Zafir, menoleh ke arahnya lalu berjalan menghampiri, hendak mengusap pipi anak yang teramat kurindukan namun dia malah menghindari sentuhanku.Remaja berusia sembilan belas tahun itu kemudian berjalan mengikuti ibunya, terlihat kepayahan saat melangkah karena dia masih harus menggunakan tongkat.Pun dengan Zarina. Anak perempuanku satu-satunya itu terus menatap penuh dengan kebencian, lalu segera bergabung bersama dengan yang lainnya.Dan herannya, mereka terlihat begitu menghormati Rendi, seolah sahabatku itu yang perlu mereka hargai, bukan aku yang notabene adalah ayah kandung mereka.Perlahan mobil yang dikemudikan oleh suaminya Zarina berjalan meninggalkan parkiran. Aku terus menatap kendaraan roda empat tersebut hingga menghilang di balik tikungan, kembali merema* dada yang terasa sesak seolah tidak ada lagi pas
“Ayah minta maaf, Fran. Ayah mengaku salah,” kataku penuh dengan penyesalan.Zafran kemudian kembali melajukan mobilnya karena di belakang banyak yang meneriaki juga menekan klakson berkali-kali, akan tetapi kali ini dia tetap fokus mengemudi, tidak lagi mau berbicara kepadaku seperti sebelumnya.Bodoh. Aku sudah merusak suasana yang sudah mulai mencair dengan pertanyaan konyol yang aku ajukan.Zafran menepikan mobilnya ketika kami sampai, akan tetapi dia menolak ketika aku ajak singgah. Pasti dia marah karena perkataanku tadi. Ya Allah ...“Saya pulang, semoga Ayah cepet sehat. Jangan lupa melakukan salat taubat, banyak-banyak beristigfar supaya hati Ayah terasa lapang!” pamit Zafran.“Kamu tidak mampir dulu, Fran?” Menatap wajah tampan anakku.“Lain kali saja. Assalamualaikum!”Tanpa menunggu aku menjawab salam, Zafran sudah terlebih dahulu menutup kaca mobil dan langsung pergi begitu saja.Bodoh. Aku memang b
Sepertinya ada yang sengaja memanfaatkan momen retaknya hubunganku dengan Hanina untuk mendekati dia, sebab jika dilihat-lihat, kayaknya ada perasaan spesial di hati Rendi, dan mungkin secepatnya dia akan menggantikan posisiku di tengah-tengah mereka.Ya Allah ... apa jadinya aku jika suatu saat nanti melihat Rendi bersanding dengan mantan istri? Pasti rasanya sakit sekali, jika melihat wanita yang masih begitu aku cintai harus melabuhkan cintanya kepada sahabatku sendiri.Kembali meletakkan ponsel, mengurungkan niat untuk meminta bantuan kepada Rendi, sebab takut dia semakin besar kepala juga semakin merasa begitu dibutuhkan. Aku tidak mau menjatuhkan harga diri di depannya.Tidak lama kemudian pintu kamar inapku terbuka, seiring munculnya dokter Umar dengan stetoskop menggantung di leher. Dokter muda dengan wajah penuh kharisma itu tersenyum sambil mengucapkan salam, lalu berjalan menghampiri dan menanyakan keadaanku saat ini.“Alhamdulillah sud