Aku mengambil oksigen secara rakus, segera keluar dari rumah Elfira, diantar oleh ibu-ibu yang terlihat prihatin dengan kejadian ini."Sabar, ya Bu!" ucap Bu RT sambil mengusap bahuku.Senyuman, hanya itu respons yang aku berikan, sebab ketika ingin berbicara, tenggorokan terasa kering dan lidah mendadak menjadi kaku, sulit sekali untuk digerakkan."Apa saya boleh minta nomor Bu Hanin?" tanya wanita berhijab panjang menjuntai itu terlihat ragu. "Bukan maksud apa-apa, hanya ingin bersilaturahmi, supaya kalau ada apa-apa di sini saya bisa memberitahu Ibu. Tapi itu kalau Ibu berkenan, kalau tidak nggak apa-apa!""Boleh kok, Bu!" jawabku, lalu menyebutkan dua belas digit angka nomor teleponku, bahkan terlihat ibu-ibu lainnya ikut mencatat."Terima kasih, Bu. Saya turut prihatin atas apa yang menimpa Ibu!"Lagi, aku hanya merespons dengan ukiran bibir, kemudian masuk ke dalam mobil milik Mas Abi tanpa peduli lagi dengan jerit tangis E
"Apa ini yang sudah membuat Bunda sering menangis? Soalnya akhir-akhir ini saya sering melihat Bunda menangis sendiri," ucapnya sambil membalas tatapanku."Sudah tidak usah dipikirin, ya Sayang." Membelai rambutnya."Saya tidak mau kalau Ayah sampai pergi, Bun.""Masih ada Bunda di sini. Ada Kak Fran, Kak Zarina, juga Bang Revan yang bakal selalu sayang sama Adek.""Kenapa Ayah tega menyakiti Bunda? Kenapa Ayah lebih memilih Mbak Fira daripada kita, Bun.""Kita lihat dedek bayi aja yuk? Tidak usah dibahas lagi, sebab kalau dibahas terus menerus malah akan membuat Zafir merasa sakit hati.""Tapi Bunda nggak akan ninggalin saya sama Kakak kan?"Aku menggeleng sambil tersenyum. "Kalian ada nadi dan hidupnya Bunda, jadi Bunda tidak akan pernah bisa hidup tanpa kalian semua. Bunda rela kehilangan Ayah, rela kehilangan semua, akan tetapi tidak akan bisa jika harus berpisah dengan kalian!"Remaja berusia delapan belas
"Sebaiknya sekarang kamu pulang, Mas. Nanti istri kamu nyariin!" usirku, karena malam sudah kian larut, sementara Mas Abi malah masih berada di rumah ini."Ini rumah saya, dan istri saya hanya kamu!" sahutnya."Ada Elfira, Mas. Dia juga istri kamu sekarang. Kamu tahu kan, ada hadits yang menyatakan, 'Barang siapa yang memiliki dua orang istri lalu dia lebih cenderung kepada salah seorang di antara keduanya, maka dia akan datang pada hari kiamat kelak dengan tubuh miring sebelah.” "Mau kamu itu sebenarnya apa sih, Bun? Aku mendua kamu marah. Saya di sini kamu mengusir sampai mengeluarkan hadits segala.""Mau saya Mas Abi pergi menjauh dari kehidupan saya.""Ayah akan meninggalkan Fira karena Ayah mencintai kamu. Ayah memilih Bunda dan anak-anak, karena kalian adalah prioritas Ayah!""Tapi saya tidak mau dipilih, Mas!""Karena kamu sudah memiliki tambatan hati lain?""Jangan ukur sepatu orang lain dengan kaki kam
Pemuda berusia delapan belas tahun itu kemudian menghampiri ayah serta ibu tirinya, mengepalkan tangan dengan dada naik turun tidak teratur, kentara sekali kalau dia sedang marah besar.“Sekarang sebaiknya Ayah bawa istri baru Ayah keluar dari rumah ini. Jangan terus sakiti Bunda, dan jangan pernah kembali ke rumah ini lagi!” sengit si bungsu, sambil menunjuk ke arah pintu.“Kamu mengusir Ayah, Zafir? Apa kamu lupa kalau ayah ini orang tua kamu? Kenapa kamu hanya membela bunda dan ikut memusuhi Ayah sama seperti Zafran?!” protes Mas Abi, seperti tidak terima dengan apa yang dilakukan oleh anaknya.“Karen Ayah salah. Ayah sudah mengkhianati Bunda, dan Ayah sudah melakukan dosa besar. Ayah sudah melukai hati orang yang selalu ada di saat suka maupun duka, yang selalu mengurus ayah ketika sakit, juga tetap bertahan saat Ayah dalam keterpurukan!” jawab Zafir, masih dengan nada meninggi tanpa terkendali.“Puas kamu, Mbak? Gara-gara kamu semua anak-anak
Suasana pagi hari ini agak sedikit berbeda karena tidak ada lagi canda tawa. Zafir yang biasanya bersikap manja menjadi lebih banyak diam, bahkan makanan yang terhidang sejak tadi belum tersentuh sama sekali.“Sarapan dulu, Sayang. Nanti makanannya keburu dingin!” titahku sambil menarik kursi lalu mendaratkan bokong secara perlahan.“Saya belum lapar, Bunda!” jawabnya sambil menunduk. Aku lihat sudut mata anakku sudah mulai basah.Mengambil napas dalam-dalam, rasanya dada ini kian terasa sesak. Rasanya ingin berteriak, akan tetapi cara itu tidak akan mengubah keadaan yang telah berantakan.Kembali beranjak, mendorong kursi ke belakang berniat pergi, akan tetapi dengan sigap Zafir mencekal lenganku sambil mendongak.“Bunda mau ke mana? Kenapa Bunda tidak sarapan dulu?”“Bunda nggak akan makan kalau Zafir juga enggak makan!”“Nanti Bunda sakit.”“Zafir tahu kan, kalau kita tidak sarapan bisa sakit? Lantas kenapa Z
"Kamu benar-benar sudah keterlaluan, Bun. Bukannya saya sudah berkali-kali mengatakan kalau saya tidak ingin berpisah?" Mas Abi berkata dengan nada pelan. Aku lihat sudut mata Mas Abi sudah basah."Tidak ada yang perlu ditangisi, Mas. Bukannya sekarang kamu malah bahagia bisa hidup bebas bersama wanita pilihan kamu? Saya sudah mengabulkan mimpimu bukan?" Aku menjeda kalimat sesaat, sekedar untuk mengatur napas yang mendadak terasa sesak. "Sekarang mimpi kamu sudah terwujud. Bisa hidup dengan Elfira yang masih muda, kencang, dan masih terasa enak jika digauli di atas ranjang. Tidak seperti saya yang sudah mendekati menopause, juga sudah tidak bisa memuaskan kamu lagi!""Ayah tidak pernah berpikir seperti itu, Bun. Karena Bunda adalah wanita tercantik yang pernah Ayah temui. Ayah tidak mencintai Fira. Ayah mau kembali sama kamu!" ujarnya memohon.Entahlah, semua yang dikatakan oleh Mas Abi menurutku hanyalah sebuah bualan saja, sebab sekarang ini tidak ada satu kata pun yang bisa diperc
"Kamu serius mau cerai dengan Mas Abi, Nin? Kamu nggak lagi mabuk kecubung kan?" Amira, teman sekolahku dulu bertanya seraya menatap tidak percaya.Hari ini aku memang mengajak dia bertemu untuk membahas masalah perceraianku, karena ternyata kakaknya Amiralah yang akan membantuku mengurus masalah itu."Iya, Mir. Aku serius ingin bercerai dengan Mas Abi, tetapi kalau bisa jangan sampai ada yang tahu dulu tentang masalah ini!" jawabku yakin."Why? Kenapa? Seorang Abimanyu, laki-laki alim, sopan, romantis, agamis yang mendekati sempurna malah kamu tinggalkan, Nin? Dia itu porsi lengkap, idaman semua wanita loh? Memangnya kamu mau nyari yang kaya apa lagi?" brondongnya, memuji Mas Abi karena tidak tahu seperti apa aslinya."Ada banyak hal yang membuat aku memutuskan untuk bercerai, Mir!" Punggung ini menyandar di penopang kursi yang terbuat dari kayu jati."Contohnya?" Dua bulat beningnya terus terpantik ke wajah."Apa perlu aku baha
Menyalakan mesin mobil, tujuanku kali ini adalah rumah sakit, sebab Revan sudah memberitahu kalau Zarina hari ini sudah diizinkan pulang ke rumah.Zafran sudah berada di depan kamar inap kakaknya saat aku sampai, membuat diri bisa bernapas lega juga tidak lagi mengkhawatirkannya."Dari mana, Kak? Kenapa nomor kamu selalu berada di luar jangkauan?" tanyaku sambil menatap paras tampannya."Menenangkan diri sebentar, biar otak dan hati saya sedikit tenang!" jawabnya."Bunda minta maaf karena sudah membuat hari-hari kamu menjadi berantakan!""Bunda tidak bersalah!""Itulah alasan mengapa Bunda lebih memilih menyembunyikan masalah Bunda sendiri, supaya tidak menjadi seperti ini. Bunda memilih menggenggam luka ini sendiri tanpa memberitahu kalian bertiga, karena takut mengganggu mental kalian semua. Tolong jangan membenci Bunda, Kak. Kalau kamu marah sama Bunda, ungkapkan saja. Biar Bunda bisa memperbaiki kesalahan Bunda!"Sud
Esok harinya, aku kembali datang ke rumah sakit menyusul Zafran yang sejak kemarin masih setia menunggui Mas Abi, ditemani oleh Safania, karena aku berniat mengenalkan dia dengan calon ayah mertuanya sebagai bentuk ikhtiar, siapa tahu setelah melihat calon menantunya Mas Abi bisa memiliki semangat hidup kembali.“Tadi dokter baru saja memeriksa, dan kata dokter keadaan Ayah semakin bertambah parah, Bun. Dokter juga sudah angkat tangan,” ujar Zafran ketika aku baru saja sampai.“Innalillahi, ya Allah. Terus, apa kata dokter lagi?” tanyaku.“Tidak ada. Dokter hanya menyuruh kita untuk terus berdoa supaya ada keajaiban dari Allah,” jawab anakku, membuat dada ini terasa semakin sesak karenanya.Kupandangi wajah pucat Mas Abi, ekspresinya terlihat begitu sedih juga kelelahan.“Mas, saya minta maaf karena belum berhasil membuat anak-anak datang ke sini menjenguk Mas Abi. Tetapi lihat, saya bawa calon menantu kita. Namanya Safania. Dia adalah ca
Aku menatap lekat wajah Zafran yang tengah berdiri di sebelahku.“Maaf, Dokter. Saya tidak mau menandatangani surat pernyataan ini, karena saya yakin kalau ayah saya masih bisa sembuh,” tolak anakku kemudian.“Untuk masalah itu terserah Mas dan Ibu, karena keputusan mutlak ada di tangan kalian,” kata dokter lagi. “Tapi sebagai sesama muslim, saya hanya ingin mengingatkan supaya Bapak ditunggui, minimal oleh putra-putrinya jika memang beliau sudah bercerai dengan Ibu, karena di saat seperti ini Bapak juga butuh dukungan dari orang-orang terdekat. Dan jika pun beliau tidak panjang umur, beliau akan merasa bahagia karena ketika sedang sakaratul maut semua anaknya mendampingi dan mendoakan beliau,” imbuhnya, benar-benar mengena di hati.Sepertinya aku harus terus berusaha membujuk Zarina dan Zafir untuk menjenguk ayahnya, sebab takut kalau Mas Abi memang sudah hendak pergi, hanya saja merasa berat karena sedang menunggu mereka berdua.“Ya sudah, kalau
Dua hari sudah berlalu setelah acara pertunangan Zafran dengan Safania, dan sekarang mereka sudah mulai mencicil barang-barang yang akan dijadikan seserahan.Sebagai seorang ibu aku menyarankan supaya Zafran membawa calon istrinya saat berbelanja barang yang akan dibawanya nanti, supaya menyesuaikan selera Safania dan tidak salah beli. Takut mubazir jika hanya kami yang berbelanja.“Calon istrinya Zafran cantik banget, ya Bunda Zarina. Anak orang kaya tapi kelihatan kalem, sopan, juga kelihatan sayang banget sama Bunda Zarina,” komentar salah seorang tetangga ketika tanpa sengaja bertemu di warung sayur.“Alhamdulillah, Bu. Doain ya, semoga pernikahan mereka berdua lancar nantinya. Jangan lupa juga nanti pada ikut ngebesan,” jawabku sambil mengukir senyum.“Iya. Omong-omong tapi kok Pak Abi nggak ikut nganter ya? Padahal kemarin sebelum kita jalan beliau ada loh, malah nanya ke saya ada acara apa, saya jawab ada acara lamaran, tapi habis itu
POV Hanina.“Fran, coba kamu lihat ke depan. Ayah sudah sampai apa belum?” Aku meminta anak keduaku untuk mencari Mas Abi di antara para tamu yang datang, karena sebentar lagi rombongan akan berangkat menuju rumah Pak Sadewa untuk melamar Safania putrinya.“Iya, Bun.” Zafran yang sudah terlihat gagah dengan kemeja berwarna abu-abu segera mengayunkan kaki ke depan, akan tetapi katanya tidak melihat sang ayah dan tidak ada tanda-tanda kedatangannya.Aku pun segera menghubungi nomor Mas Abi, akan tetapi nomor mantan suami malah sedang berada di luar jangkauan.Apa dia lupa kalau hari ini aku mengundangnya datang untuk mendampingi sang anak melamar pujaan hatinya?“Abi belum datang, Mbak?” tanya Mas Rendi sambil melirik arloji yang melingkar di pergelangan tangan kirinya.“Belum, Mas. Nomornya juga enggak aktif,” jawabku.“Ke mana dia kira-kira. Tapi Mbak Hanina udah kasih tahu kalau hari ini ada acara kan?” tanyanya lagi.
Hari ini, aku datang menjenguk Elfira sekaligus membawakan makanan kesukaannya. Kupandangi dari kejauhan wajah cantiknya, karena semenjak menjadi pasien rumah sakit jiwa dia selalu berpenampilan rapi, selalu memoles wajahnya dengan make-up dan kata dokter yang menangani dia selalu mengatakan kalau saat ini sedang menunggu aku pulang dari restoran.“Kalau menurut saran dan pendapat saya, Pak. Sebaiknya Bapak merujuk Ibu, siapa tahu dengan cara kembali hidup bersama Bapak beliau memiliki semangat hidup, karena obat penyakit jiwa yang sesungguhnya adalah dukungan dari orang-orang terdekat. Soalnya kalau saya perhatikan, Ibu itu sangat mencintai Bapak, sementara Bapak setiap membesuk saja selalu bersembunyi, tidak mau menemui Ibu dengan alasan trauma dianiaya. Padahal, bisa jadi jika Bapak melakukan pendekatan, membantu kami tim medis untuk mengobatinya mungkin penyakit Bu Elfira tidak akan separah sekarang,” ujar dokter panjang lebar ketika aku hendak pamit setelah s
“Mas?” Aku yang sudah terpejam membuka mata secara perlahan karena mendengar Elfira memanggil namaku.“Apa kita sudah berada di surga? Tadi Bina ngajak aku ke surga loh?” racunnya sambil mengedarkan pandang.“Ini rumah sakit, bukan surga!” ketusku.“Kenapa aku ada di rumah sakit?” Wajah wanita itu terlihat kebingungan. Entah dia sedang bersandiwara dan berpura-pura, atau memang akibat dari halusinasi.“Kamu mencoba mengakhiri hidup dengan cara memotong nadi.”“Bunuh diri?” “Iya. Lihat tangan kamu, diperban kan? Tolong jangan bertingkah konyol, Fira. Jangan bikin Mas tambah susah. Lagian bunuh diri itu bukan jalan keluar dari semua masalah, tetapi justru malah menambah masalah baru. Memangnya dengan bunuh diri semuanya langsung selesai dan kamu bakalan masuk surga? Yang ada kamu bakalan jadi kerak di neraka untuk selamanya,” nasihatku panjang lebar, siapa tahu Elfira paham dengan apa yang tengah aku katakan.“A
"Teruslah sakiti perasaan Bunda sampai rasa benci semakin memenuhi rongga dada kami!" Aku terkesiap ketika mendengar suara Zafir, menoleh ke arahnya lalu berjalan menghampiri, hendak mengusap pipi anak yang teramat kurindukan namun dia malah menghindari sentuhanku.Remaja berusia sembilan belas tahun itu kemudian berjalan mengikuti ibunya, terlihat kepayahan saat melangkah karena dia masih harus menggunakan tongkat.Pun dengan Zarina. Anak perempuanku satu-satunya itu terus menatap penuh dengan kebencian, lalu segera bergabung bersama dengan yang lainnya.Dan herannya, mereka terlihat begitu menghormati Rendi, seolah sahabatku itu yang perlu mereka hargai, bukan aku yang notabene adalah ayah kandung mereka.Perlahan mobil yang dikemudikan oleh suaminya Zarina berjalan meninggalkan parkiran. Aku terus menatap kendaraan roda empat tersebut hingga menghilang di balik tikungan, kembali merema* dada yang terasa sesak seolah tidak ada lagi pas
“Ayah minta maaf, Fran. Ayah mengaku salah,” kataku penuh dengan penyesalan.Zafran kemudian kembali melajukan mobilnya karena di belakang banyak yang meneriaki juga menekan klakson berkali-kali, akan tetapi kali ini dia tetap fokus mengemudi, tidak lagi mau berbicara kepadaku seperti sebelumnya.Bodoh. Aku sudah merusak suasana yang sudah mulai mencair dengan pertanyaan konyol yang aku ajukan.Zafran menepikan mobilnya ketika kami sampai, akan tetapi dia menolak ketika aku ajak singgah. Pasti dia marah karena perkataanku tadi. Ya Allah ...“Saya pulang, semoga Ayah cepet sehat. Jangan lupa melakukan salat taubat, banyak-banyak beristigfar supaya hati Ayah terasa lapang!” pamit Zafran.“Kamu tidak mampir dulu, Fran?” Menatap wajah tampan anakku.“Lain kali saja. Assalamualaikum!”Tanpa menunggu aku menjawab salam, Zafran sudah terlebih dahulu menutup kaca mobil dan langsung pergi begitu saja.Bodoh. Aku memang b
Sepertinya ada yang sengaja memanfaatkan momen retaknya hubunganku dengan Hanina untuk mendekati dia, sebab jika dilihat-lihat, kayaknya ada perasaan spesial di hati Rendi, dan mungkin secepatnya dia akan menggantikan posisiku di tengah-tengah mereka.Ya Allah ... apa jadinya aku jika suatu saat nanti melihat Rendi bersanding dengan mantan istri? Pasti rasanya sakit sekali, jika melihat wanita yang masih begitu aku cintai harus melabuhkan cintanya kepada sahabatku sendiri.Kembali meletakkan ponsel, mengurungkan niat untuk meminta bantuan kepada Rendi, sebab takut dia semakin besar kepala juga semakin merasa begitu dibutuhkan. Aku tidak mau menjatuhkan harga diri di depannya.Tidak lama kemudian pintu kamar inapku terbuka, seiring munculnya dokter Umar dengan stetoskop menggantung di leher. Dokter muda dengan wajah penuh kharisma itu tersenyum sambil mengucapkan salam, lalu berjalan menghampiri dan menanyakan keadaanku saat ini.“Alhamdulillah sud