"Sebaiknya sekarang kamu pulang, Mas. Nanti istri kamu nyariin!" usirku, karena malam sudah kian larut, sementara Mas Abi malah masih berada di rumah ini.
"Ini rumah saya, dan istri saya hanya kamu!" sahutnya."Ada Elfira, Mas. Dia juga istri kamu sekarang. Kamu tahu kan, ada hadits yang menyatakan, 'Barang siapa yang memiliki dua orang istri lalu dia lebih cenderung kepada salah seorang di antara keduanya, maka dia akan datang pada hari kiamat kelak dengan tubuh miring sebelah.”"Mau kamu itu sebenarnya apa sih, Bun? Aku mendua kamu marah. Saya di sini kamu mengusir sampai mengeluarkan hadits segala.""Mau saya Mas Abi pergi menjauh dari kehidupan saya.""Ayah akan meninggalkan Fira karena Ayah mencintai kamu. Ayah memilih Bunda dan anak-anak, karena kalian adalah prioritas Ayah!""Tapi saya tidak mau dipilih, Mas!""Karena kamu sudah memiliki tambatan hati lain?""Jangan ukur sepatu orang lain dengan kaki kamPemuda berusia delapan belas tahun itu kemudian menghampiri ayah serta ibu tirinya, mengepalkan tangan dengan dada naik turun tidak teratur, kentara sekali kalau dia sedang marah besar.“Sekarang sebaiknya Ayah bawa istri baru Ayah keluar dari rumah ini. Jangan terus sakiti Bunda, dan jangan pernah kembali ke rumah ini lagi!” sengit si bungsu, sambil menunjuk ke arah pintu.“Kamu mengusir Ayah, Zafir? Apa kamu lupa kalau ayah ini orang tua kamu? Kenapa kamu hanya membela bunda dan ikut memusuhi Ayah sama seperti Zafran?!” protes Mas Abi, seperti tidak terima dengan apa yang dilakukan oleh anaknya.“Karen Ayah salah. Ayah sudah mengkhianati Bunda, dan Ayah sudah melakukan dosa besar. Ayah sudah melukai hati orang yang selalu ada di saat suka maupun duka, yang selalu mengurus ayah ketika sakit, juga tetap bertahan saat Ayah dalam keterpurukan!” jawab Zafir, masih dengan nada meninggi tanpa terkendali.“Puas kamu, Mbak? Gara-gara kamu semua anak-anak
Suasana pagi hari ini agak sedikit berbeda karena tidak ada lagi canda tawa. Zafir yang biasanya bersikap manja menjadi lebih banyak diam, bahkan makanan yang terhidang sejak tadi belum tersentuh sama sekali.“Sarapan dulu, Sayang. Nanti makanannya keburu dingin!” titahku sambil menarik kursi lalu mendaratkan bokong secara perlahan.“Saya belum lapar, Bunda!” jawabnya sambil menunduk. Aku lihat sudut mata anakku sudah mulai basah.Mengambil napas dalam-dalam, rasanya dada ini kian terasa sesak. Rasanya ingin berteriak, akan tetapi cara itu tidak akan mengubah keadaan yang telah berantakan.Kembali beranjak, mendorong kursi ke belakang berniat pergi, akan tetapi dengan sigap Zafir mencekal lenganku sambil mendongak.“Bunda mau ke mana? Kenapa Bunda tidak sarapan dulu?”“Bunda nggak akan makan kalau Zafir juga enggak makan!”“Nanti Bunda sakit.”“Zafir tahu kan, kalau kita tidak sarapan bisa sakit? Lantas kenapa Z
"Kamu benar-benar sudah keterlaluan, Bun. Bukannya saya sudah berkali-kali mengatakan kalau saya tidak ingin berpisah?" Mas Abi berkata dengan nada pelan. Aku lihat sudut mata Mas Abi sudah basah."Tidak ada yang perlu ditangisi, Mas. Bukannya sekarang kamu malah bahagia bisa hidup bebas bersama wanita pilihan kamu? Saya sudah mengabulkan mimpimu bukan?" Aku menjeda kalimat sesaat, sekedar untuk mengatur napas yang mendadak terasa sesak. "Sekarang mimpi kamu sudah terwujud. Bisa hidup dengan Elfira yang masih muda, kencang, dan masih terasa enak jika digauli di atas ranjang. Tidak seperti saya yang sudah mendekati menopause, juga sudah tidak bisa memuaskan kamu lagi!""Ayah tidak pernah berpikir seperti itu, Bun. Karena Bunda adalah wanita tercantik yang pernah Ayah temui. Ayah tidak mencintai Fira. Ayah mau kembali sama kamu!" ujarnya memohon.Entahlah, semua yang dikatakan oleh Mas Abi menurutku hanyalah sebuah bualan saja, sebab sekarang ini tidak ada satu kata pun yang bisa diperc
"Kamu serius mau cerai dengan Mas Abi, Nin? Kamu nggak lagi mabuk kecubung kan?" Amira, teman sekolahku dulu bertanya seraya menatap tidak percaya.Hari ini aku memang mengajak dia bertemu untuk membahas masalah perceraianku, karena ternyata kakaknya Amiralah yang akan membantuku mengurus masalah itu."Iya, Mir. Aku serius ingin bercerai dengan Mas Abi, tetapi kalau bisa jangan sampai ada yang tahu dulu tentang masalah ini!" jawabku yakin."Why? Kenapa? Seorang Abimanyu, laki-laki alim, sopan, romantis, agamis yang mendekati sempurna malah kamu tinggalkan, Nin? Dia itu porsi lengkap, idaman semua wanita loh? Memangnya kamu mau nyari yang kaya apa lagi?" brondongnya, memuji Mas Abi karena tidak tahu seperti apa aslinya."Ada banyak hal yang membuat aku memutuskan untuk bercerai, Mir!" Punggung ini menyandar di penopang kursi yang terbuat dari kayu jati."Contohnya?" Dua bulat beningnya terus terpantik ke wajah."Apa perlu aku baha
Menyalakan mesin mobil, tujuanku kali ini adalah rumah sakit, sebab Revan sudah memberitahu kalau Zarina hari ini sudah diizinkan pulang ke rumah.Zafran sudah berada di depan kamar inap kakaknya saat aku sampai, membuat diri bisa bernapas lega juga tidak lagi mengkhawatirkannya."Dari mana, Kak? Kenapa nomor kamu selalu berada di luar jangkauan?" tanyaku sambil menatap paras tampannya."Menenangkan diri sebentar, biar otak dan hati saya sedikit tenang!" jawabnya."Bunda minta maaf karena sudah membuat hari-hari kamu menjadi berantakan!""Bunda tidak bersalah!""Itulah alasan mengapa Bunda lebih memilih menyembunyikan masalah Bunda sendiri, supaya tidak menjadi seperti ini. Bunda memilih menggenggam luka ini sendiri tanpa memberitahu kalian bertiga, karena takut mengganggu mental kalian semua. Tolong jangan membenci Bunda, Kak. Kalau kamu marah sama Bunda, ungkapkan saja. Biar Bunda bisa memperbaiki kesalahan Bunda!"Sud
"saya bisa menjadi saksi perselingkuhan Ayah karena saya melihat dengan mata kepala saya sendiri!" ucap Zafran sambil menatapku."Saya juga, Bu Hanin. Karena saya juga mempunyai video pas suaminya Bu Hanin lagi digerebek, dan kayaknya itu bisa dijadikan bukti juga!" sambung Bu RT.Alhamdulillah, semua urusanku sepertinya akan dipermudah. Semoga saja ke depannya tidak akan ada masalah yang lebih besar dari sekarang, sebab rasanya sudah begitu ingin lepas dari belenggu rumah tangga ini.Pendaftaran gugatan cerai sudah selesai, kini tinggal menunggu sidang pertama yang akan diagendakan tidak lama setelah gugatan disetujui oleh majelis hakim.Kini tinggal aku mencari cara agar tetap bisa menghasilkan uang, karena takut Mas Abi tidak lagi menafkahi anak-anak, terutama Zafir karena dia masih butuh biaya untuk melanjutkan sekolah ke jenjang perguruan tinggi, seperti apa yang dia ucapkan tempo hari.Sepertinya aku akan membuka bisnis jual makanan
[Mas, besok Zafir wisuda. Kalau bisa Mas datang, karena biar bagaimanapun dia anak kamu. Jangan patahkan hatinya lagi, sebab Zafir mau kamu mendampingi.]Mengirimkan pesan kepada Mas Abi, memberitahu kalau besok acara wisuda di Sekolah Menengah Atas tempat si bungsu menimba ilmu.Centang dua biru, akan tetapi Mas Abi tidak membalasnya. Tidak masalah, yang penting sudah memberitahu dia.Aku pun segera menyiapkan pakaian yang akan dikenakan besok, juga berkas-berkas yang dibutuhkan untuk mendaftar kuliah di universitas impian anak terakhirku. Semoga Allah mengabulkan doa anakku, bisa mendapatkan universitas favorit seperti yang selama ini diinginkan, supaya lukanya karena ditinggal sang ayah menikah lagi bisa sedikit terobati.Setelah semuanya siap aku segera mengecek keadaan Zafir, sebab setelah tahu Mas Abi telah membagi hati dia lebih sering terlihat menyendiri. Aku harus terus mendampingi dia, menguatkan juga menghibur hatinya supaya tidak terus
Acara wisuda pun telah selesai, kini tiba waktunya sesi foto bersama keluarga.Aku lihat Zafir terus menoleh ke kanan serta kiri, seperti sedang mencari-cari seseorang, dan aku tahu kalau saat ini ia sedang mencari keberadaan sang ayah yang begitu ia tunggu kedatangannya.Sebagai kakak lelakinya Zafran menghampiri, merangkul pundak sang adik lalu membawa dia menghampiri aku dan menyuruhnya untuk sungkeman, sambil mengingatkan kalau dia bisa masuk sepuluh besar karena doaku yang selalu menyertai dirinya.“Jangan terus mengingat orang yang tidak pernah peduli dengan kamu, Dek. Lupakan dia yang telah melupakan kita, anggap saja kalau dia tidak pernah ada di dunia ini!” ucap Zafran sambil menepuk pundak adiknya.Zafir mengangguk patuh, duduk bersimpuh di hadapanku sambil meminta maaf, menangis tersedu meluapkan rasa bahagia sebab bisa lulus dengan nilai yang sempurna, juga mencurahkan rasa sedihnya karena sang ayah terkesan telah melupakan dirinya.