Keesokan harinya aku terbangun masih dengan morning sickness yang luar biasa. Bolak-balik kamar mandi. Kebetulan memang di rumah bunda yang sederhana setiap kamar tidak memiliki toilet, tak seperti di rumah mas Juan.Karena merasa lelah kuletakan bokong di kursi meja makan. Ternyata seperti ini rasanya mengidam yang sering para wanita bersuami keluhkan. Aku menelungkup kan wajah di atas meja dengan di topang kedua tangan.Tubuhku rasanya lemas sekali, ditambah kepala pusing dan mual yang tiada berkesudahan.“Minumlah, ini bisa mengurangi sedikit rasa mualmu,” kata bunda menyodorkan segelas teh lemon hangat dengan madu di hadapanku.Aku mengangkat kepala, meraihnya lantas meminumnya perlahan. Benar saja, rasa mual sedikit berkurang, bunda memang terbaik.Bunda tersenyum melihat perubahan raut wajahku yang terlihat lega. Mengelus kepala ini yang tak tertutup hijab saat di dalam rumah, karena tak ada pria yang buka mahram di sini.“Hari ini kita ke Dokter ya?” ajak Bunda. Aku menatapnya lantas mengangguk seraya menyetujui ajakannya. Sepertinya memang bunda sangat menghawatirkan keadaanku yang mulai memprihatinkan. Bagaimana tidak semenjak di rumah aku jarang makan, nafsu makan hilang begitu saja. Entah karena memang bawaan hamil atau memang karena stres memikirkan nasib pernikahanku yang entah akan seperti apa ke depannya.Mas Juan, aku benar-benar berharap ia segera menghubungiku. Entahlah, dari semalam aku sangat merindukannya, rindu dengan wangi parfumnya yang selalu menjadi canduku.Namun, dadaku kembali perih, saat kembali teringat akan ucapannya yang mengatakan jika bayi yang aku kandung bukanlah anaknya.Aku tahu mas Juan hanya terhasut oleh Mala dan temannya itu, tapi apakah semudah itu ia percaya jika ini bukan anaknya.Bahkan jika harus melakukan tes DNA pun aku siap untuk membuktikan dalam kendunganku ini anak siapa.“Jangan terlalu banyak melamun, apalagi stres. Ini makan dulu bubur ayam,” ucap bunda meletakkan semangkuk penganan terbuat dari beras itu.“Makasih, Bun?” aku tersenyum kepadanya. Untunglah aku masih memiliki kedua orang tua yang sayang terhadapku. Jika tak ada mereka entah ke mana aku pergi.***“Jaga pola makanya, dan sebisa mungkin biasakan untuk makan. Walaupun mual setidaknya ada yang masuk, kasihan bayinya butuh nutrisi, dan satu lagi jangan stres,” ucap wanita berpakaian serba putih itu dengan name tag Winda.Aku tersenyum mengiyakan apa yang ia sampaikan. Setelah selesai kami pun keluar dari ruangan serba putih itu. Kemudian menuju apotek untuk menebus vitamin yang Dokter resepkan tadi.Memang benar aku butuh banyak makan, bayi dalam kandunganku membutuhkan nutrisi agar pertumbuhannya baik.Jadi merasa bersalah pada janinku. Dua hari aku membuatnya kelaparan. Maafkan bunda sayang. Batinku, sembari mengelus perut yang masih rata.Usai menebus obat aku dan bunda menuju pintu keluar. Namun, tak sengaja aku melihat seorang perempuan yang tak asing mengenakan kaca mata dan kerudung hitam, yang menutupi kepalanya.“Bun, Laras mau makan batagor,” rengekku. Yang sebenarnya aku ingin mengikuti wanita tadi.Jika bunda tahu aku ingin mengikuti perempuan yang kurasa mirip dengan Mala itu pasti tidak boleh. Apalagi dalam keadaan hamil begini.“Ingat kata Dokter tadi, jaga pola makan, jangan sembarangan.” Bunda mengingatkan.“Sekali saja Bun, habis itu Laras janji mau makan apa saja yang Bunda kasih. Ya, please,” mohonku meyakinkan bunda sambil menelungkup kan kedua telapak tangan di hadapannya.“Dasar anak nakal.” Bunda tersenyum lalu mencubit hidungku. “Ayo kita cari di kantin sini saja!” ajak Bunda. Namun, aku menolaknya dengan alasan kaki pegal dan lelah.Setelah kepergian bunda, aku berbalik menuju apotek dan mencari wanita yang kurasa itu adalah Mala. Karena aku hafal gerak-gerik tubuhnya saat berjalan.“Ok, fix, itu Mala,” gumamku.Perempuan itu terlihat tengah berbincang serius dengan apoteker di sana. Tak lama perempuan yang bertugas menjaga apotek itu menyodorkan sebuah bungkusan plastik yang kuyakini bahwa itu adalah obat. Tapi obat apa?Tak lama Mala berbalik hendak meninggalkan tempat obat itu. Cepat aku berbalik, dan tak sengaja menabrak seorang pegawai rumah sakit tengah membawa troli yang berisi peralatan bedah.Aku yakin semua mata tertuju padaku tak terkecuali Mala. Segera berjongkok pura-pura memungut peralatan di lantai seraya menyembunyikan wajah.“Laras?” panggil seseorang dari belakang. Seketika tubuhku membeku sembari memejamkan mata. "Kamu Laras, kan?" tanya seseorang. Dari suaranya sepertinya pria. Aku berdiri, lantas menoleh menatapnya bingung, apa aku mengenalnya? "Iya, kamu Laras, kan?" sekali lagi pria itu bertanya untuk memastikan. "Iya, saya Laras. Maaf Anda siapa?" Aku masih belum bisa mengingat siapa pria di depanku ini. "Ini aku David si kutu buku,” jawabnya, sembari melepas kaca mata hitamnya. Aku terperangah, tak percaya melihat penampilan pria yang dulu pernah mengatakan suka padaku di depan ayah yang saat itu menjemput putrinya ini di sekolah, kini penampilannya berubah drastis. Pantas saja aku tak mengenalinya, sekarang penampilannya berbeda sekali dengan David si cupu beberapa tahun lalu, yang suka memakai kemeja dan celana rompi serta kaca mata tebal. "Kau sudah ingat?" tanyanya, membuyarkan lamunan dari masa lalu mengenainya dulu. Aku mengangguk lantas tersenyum. “Apa kabar?” “Aku baik, dan kau, bagaimana kabarmu juga?” David balik bertanya, kali ini tak ada wajah malu-malu seperti dulu. Pria itu benar-benar sudah banyak berubah. "By The Way, kau sedang apa di sini? Apa ada yang sakit?" tanyanya kembali. Aku menggeleng cepat. "Tidak, aku di sini la_" belum selesai aku menjawab suara bunda lebih dulu memanggil. Wanita paru baya itu berjalan cepat menghampiriku sembari menenteng bungkusan plastik warna hitam yang sudah bisa kutebak isinya sudah pasti batagor yang kuminta tadi. "Kamu ini ke mana saja, bunda cari-cari ternyata di sini!” omelnya. "Iya, Laras minta maaf, Bun. Tadi enggak sengaja lihat Mala di apotek." Aku memasang wajah menyesal di hadapkannya, agar wanita yang melahirkanku itu tak lagi kesal. Untuk saat ini aku belum sanggup mendengarkan pidatonya yang panjang kali lebar kali lebar dan kali panjang lagi, yang bisa membuat kepalaku kembali sakit. "Mala?" timpal David. Aku lupa jika pria itu masih berada di sini. Aku dan bunda menoleh padanya. "Kau siapa?" tanya bunda, mengerutkan kening. "Saya David teman SMA-nya Laras.” Pria yang mengenakan kemeja putih itu menelungkupkan kedua tangannya di depan dada. "Saya Amira, ibunya Laras.” Bunda juga memperkenalkan diri. "Baiklah, Laras ayo kita pulang!" Lanjutnya kemudian. "Biar saya antar!" sahut David cepat. Pria itu tersenyum ramah pada bunda. Bunda menatapku. Wanita itu memberikan kode dengan sedikit menggelengkan kepalanya, kalau ia tak setuju diantar oleh orang asing. "Terima kasih Vid, tapi kami sudah memesa taksi Online." Aku menolak secara halus, agar ia tak tersinggung. "Oh, ya sudah, lain kali jika kita bertemu lagi, aku akan mengajakmu minum kopi, dan tak ada penolakan,” katanya. Untuk menghormatinya aku mengangguk tersenyum ramah. “Laras, tunggu!” panggil David, saat aku dan bunda hendak beranjak. Aku dan bunda berbalik kembali. “Iya?” “Boleh minta nomormu?” pintanya terlihat sungkan. Lantas ia merogoh kantung celana bahannya. Mengeluarkan Handphone dan menyodorkan benda pipih itu ke hadapanku. Bunda menyikut lenganku. Seraya memberi kode agar aku tak memberikan nomor teleponku pada David. Namun, aku tak menggubrisnya—tetap meraih benda pintar itu dari tangan David. Sebenarnya aku tak ingin memberikan nomorku, tapi mengingat tadi pria yang terkenal cupu di kelasku itu dulu sempat kaget mendengar kami menyebut nama Mala. Aku jadi penasaran, apa David mengenal perempuan licik itu? Setahuku angkatan sekolah kami dulu tidak ada wanita bernama Mala. “Ini.” Aku mengembalikan Handphone miliknya usai mengetikkan dua belas digit nomorku di sana. Ia tersenyum. “Thanks, Ya?” “Sama-sa_” belum selesai aku membalas ucapan hi David, bunda lebih dulu menarik lenganku, untuk segera pulang.
“Jangan sembarangan menerima ajakan pria yang bukan mahram, apalagi memberikan nomor, ingat! kamu itu wanita bersuami.” Peringat bunda, wanita itu terus mengoceh saat kami sudah berada di dalam jok penumpang. Untunglah taksi yang kami pesan tadi cepat datang sehingga kami tidak harus menunggu sambil kepanasan di depan rumah sakit. “Iya, Bun. Tadi Laras hanya menghormatinya saja. Lagi pula belum tentu kan kita bertemu lagi dengan David,” sambungku sembari memijat kening yang mulai terasa pusing kembali. “Dia pria yang dulu ayahmu ceritakan itu, bukan?” tanya bunda memastikan. “Iya.” Aku tak percaya bunda masih ingat dengan David. Pria dulu pernah mengutarakan cinta di depan ayah yang pada saat itu menjemputku di sekolah. “Hati-hati, jangan di respons kalau pria itu kembali menghubungi kamu. Ingat kamu sudah bersuami, dan Juan masih jadi menantu kesayangan Bunda!” putusnya sewot, jika
Berkali-kali aku menguap, rasanya sangat mengantuk. Padahal, masih pukul sembilan pagi. Hamil membuatku ingin rebahan terus.“Mau ngapain?” tegur bunda cepat, usai melayani pelanggan.“Rebahan, Laras ngantuk.” Aku langsung menempelkan kepala di atas sofa panjang yang di sediakan bunda untuk pelanggan yang biasa menunggu pesanan.“Masih pagi, jangan di biasakan, enggak baik buat janin.” Bunda menarik lenganku supaya bangun.“Bunda ....” rengekku, karena sudah sangat mengantuk.“Ayo, bangun, bergerak bantu Lela sama Darmi di belakang sana!” Beliau menggiringku ke dapur tempat membuat aneka kue tradisional.Bunda memiliki usaha toko kue tradisional sejak aku masih SMP. Kue- kue buatannya sudah terkenal enak dan terjangkau. Dan para pelanggannya pun sudah banyak bahkan sudah mencapai luar kota. Sesampainya di tempat khusus memproduksi kue-kue, bunda menyuruh kedua bawahannya memberiku pekerjaan.“Darmi, Lela, kasih Laras kerjaan!” titahnya pada kedua wanita yang tengah membungkus lemper.
"Kenapa, kita ke sini?" tanyaku, saat mobil mas Juan berhenti di depan perusahaannya."Memangnya kau mau diberondong sejuta pertanyaan oleh bunda, jika aku antar ke rumah?" Jawabnya. Benar juga, tadi kan aku bilang ke bunda mau pergi ke rumah teman dan akan pulang sore. Jika, pulang sekarang bisa curiga, apalagi di antar mas Juan. Ah, tak bisa dibayangkan mulut manis bunda nyerocos sepanjang jalan kenangan nanti."Eh, Bu Laras, lama enggak ketemu. Apa kabar, Bu?” sapa pak Yanto security di perusahaan mas Juan, usai membukakan pintu mobil untukku.Aku mengangguk tersenyum ramah padanya. "Baik, Pak. Kalau Pak Yanto sendiri bagaimana kabarnya?""Alhamdulillah, saya teh selalu diberikan kesehatan sama Allah," jawabnya melempar senyum padaku."Ekhm!" Deheman mas Juan tiba-tiba membuat pria berkumis itu seketika wajahnya berubah tegang. Kemudian menunduk hormat."Parkiran mobil saya, jangan sampai lecet seperti kemarin, jika itu terjadi kembali, maka bukan hanya gaji kamu yang saya potong,
Aku terbangun dari tidur. Menatap jam dinding pukul empat pagi. Lantas kepalaku menoleh ke samping di mana Laras masih tertidur lelap. Aku tersenyum menatapnya. Lantas bergerak mengecup bibirnya yang tak pernah berhenti mengoceh. Namun, menjadi candu bagiku. Laras bergerak, karena merasa terusik dengan perbuatanku barusan.Selimut yang membalut tubuhnya sedikit terbuka karena pergerakannya. Aku menarik kembali dan membenahi. Menutup tubuh polosnya yang di penuhi tanda merah hasil karyaku.Kemarin, saat setelah perdebatan kami yang tak pernah berujung. Akhirnya aku mengalah dan membawa Laras makan malam romantis di salah satu restoran favorit kami. Lantas menginap di hotel dan menghabiskan malam indah bersama istriku. Anggap saja sebagai pengganti dinner yang gagal tempo lalu, karena ulah Mala yang waktu itu memintaku untuk menemaninya sebentar yang ternyata ia menjebakku.Mala memberiku jus yang ternyata sudah diberikan obat perangsang. Bukan hanya itu saja bahkan ia pun mencekoki ak
"Mas, kok, malah diam saja. Mas enggak sayang lagi, ya sama Mala," rajuknya, ia pikir aku akan luluh dengan aksinya. Lihat saja Mala, suatu saat jika bukti kejahatanmu sudah lengkap, maka kau akan merasakan pembalasan dari perbuatan jahatmu itu."Maaf, tadi Mas ada meeting dengan klien di restoran hingga larut, jadi tak sempat pulang ke rumah." Aku menjawab dengan suara yang dibuat-buat menyesal."Terus sekarang, Mas Juan ada di mana?""Hotel.""Oh, mau Mala temani?" tawarnya. Mencoba untuk menggodaku. Gadis itu tak berhenti untuk terus merayuku. Namun, aku masih sangat sadar dan tak sudi menyentuh perempuan berhati iblis itu."Tidak perlu, nanti juga Mas pulang sore." Aku menolak dengan tegas."Oh, ya sudah, tapi, jika Mas Juan kesepian, jangan sungkan memintaku untuk menemani, sebagai pengganti mbak Laras."Sungguh sangat menjijikkan ucapannya itu terdengar di telingaku. Apa katanya ia ingin menggantikan posisi Laras?Tidak akan pernah bisa, ia dan Laras jauh berbeda, di mana istrik
Setelah berhasil menenangkan Laras, aku mengajaknya kembali ke rumah bunda. Sepanjang perjalanan ia hanya diam saja. Tak ada satu patah kata pun yang terucap dari mulut cerdasnya itu yang biasa menentang ucapanku.“Beli bubur ayam dulu, yuk?” tawarku.Satu detik, dua detik. Tak ada jawaban sama sekali dari mulutnya. Laras hanya fokus menatap ke luar jendela.Akhirnya aku menepikan mobil di dekat gerobak penjual bubur ayam. Kemudian turun sendiri dan memesan dua porsi makanan bertekstur lembek itu. Wangi kaldu mengguar begitu nikmat, perutku jadi tambah keroncongan yang belum terisi sama sekali. Tadi di restoran, setelah kucium Laras menangis keras. Karena malu jadi perhatian banyak orang aku pun segera membawanya keluar dan mengajaknya pulang. Jadi tak sempat untuk sarapan. Kutinggalkan uang untuk membayar makanan yang sudah terlanjur dipesan.Lima menit selesai membeli dua bubur ayam, aku bergegas kembali ke mobil. Membuka satu sterofon yang berisi bubur dengan ayam suwir. Dan satu
Sedari pagi mulutku tak berhenti mengomel pada mas Juan. Suamiku itu benar-benar membuatku jengah. Ia memerintahkan bawahannya Rico mengirimkan bodyguard untuk menjagaku. Seperti saat ini, mau beli roti bakar di si Abang yang biasa lewat depan rumah bunda saja harus di antar bodyguard, kan malu.Si Abang tukang roti bakar sedari tadi hanya menahan senyum melihat bodyguard berbaju hitam lengkap dengan kaca mata hitam. Keduanya berdiri di sampingku."Ini Neng sudah jadi rotinya.” Si abang menyodorkan roti bakar isi selai cokelat dan nanas. "Si Masnya berdua enggak sekalian," lanjutnya sembari menahan senyum.Aku melirik kedua pria itu bergantian. Namun, dari ekspresi mereka kulihat sepertinya tak berminat."Enggak, Bang. Mereka enggak makan roti, tapi makan orang," bisikku, sembari memicingkan mata serius. Seketika si Abang tukang roti wajahnya berubah pucat. Lantas ia segera mendorong gerobaknya menjauh dari hadapanku.Aku tertawa melihat ekspresi pria paru baya itu. Namun, tawaku te
“Mas?” panggilku untuk ke sekian kalinya, tapi tak juga mas Juan menyahut. Ia masih marah padaku, setelah mendengar cerita bunda mengenai aku yang ingin menemui David tadi sore. Padahal aku sudah menjelaskan alasan ingin bertemu teman lamaku itu.Namun, Mas Juan tak menerima alasan apa pun. Ia mengomel, bahkan mengulangi ancamannya yang pernah dikatakan padaku waktu itu. Tentu saja membuatku bergidik. Kasihan David jika harus jadi pengangguran seumur hidupnya.Beruntung saat mas Juan marah, ayah juga pulang dari kantor. Dan pria tua yang sangat kusayangi itu pun memperingatinya agar tidak memarahiku berlebihan.“Kamu boleh memarahi, menegur, Laras jika memang dia salah. Tapi tolong liat kondisinya juga. Laras tengah hamil. Kondisi Sikis-nya juga perlu dijaga.” Kemudian ayah menepuk pundak mas Juan. “Lelaki sejati adalah yang bisa mengontrol emosinya!” peringat ayah, lantas berlalu pergi dengan diikuti Bunda dari belakang.Peringatan ayah benar-benar menyelamatkanku dari kemarahan mas
Aku menghembuskan napas kasar. Meletakkan handphone ke atas nakas, lantas membaringkan tubuhku di atas kasur. Baru saja aku melakukan panggilan pada David. Namun, pria itu tak mengangkatnya sepertinya ia memang sedang sibuk.Sayup telingaku mendengar percakapan seseorang dari luar kamar. Dari suaranya aku bisa menebak dan yakin itu adalah suara mas Juan dan bunda yang tengah mengobrol.Aku bangun dari ranjang, lantas berjalan menuju pintu kamar. Membuka sedikit celah dan mengintip. Terlihat bunda dan mas Juan di ruang tengah. Apa yang tengah mereka bicarakan? Batinku.“Beritahu Laras dari sekarang, jelaskan apa yang sebenarnya terjadi.” Bunda menatap mas Juan serius.“Belum saatnya, Bun.” Mas Juan mengurut keningnya. Tergambar raut lelah di wajahnya. Pasti di kantor tadi ia sangat sibuk sekali.“Laras sudah mencurigai bunda, jelaskan saja padanya, kau tahu bagaimana Laras jika sudah ingin tahu, dia akan nekat mencari tahu sendiri.” Lagi bunda berkata tegas agar mas Juan menjelaskan se
“Apa kau masih ingat roti bakar mang Tono?” David membuka suara.Aku menoleh padanya. “Ah, iya aku masih ingat, dia salah satu penjual roti bakar terenak di kantin.David tersenyum menampakkan gigi-gigi rapi dan putihnya itu. Jika diperhatikan pria ini tampan dan manis. Hanya saja mungkin ia terlalu kaku, jadi tak membuatku luluh dengan perjuangannya dulu.“Cepatlah selesaikan urusanmu, ini bukan acara reunian.” Mas Juan menyela tiba-tiba.“Ah, maaf, saya hanya teringat saja, masa-masa SMA kami dulu.”“Dan itu tidak penting!” sergah mas Juan, “cepat apa yang kau ingin sampaikan pada istriku, kalau tidak aku bisa menghajar hidungmu kembali.”Raut wajah David terlihat panik dan takut saat mas Juan melontarkan ancamannya. “Mas!” aku melotot ke arah mas Juan, memperingatinya agar bisa menahan emosi.Namun, mas Juan seolah tak peduli, pelototan dariku sama sekali tak membuatnya untuk berhenti mengintimidasi David.Pria berkulit putih itu memang sukses mengubah penampilannya, akan tetapi s
“Kau sedang tidak berpikir untuk kabur dan menemui David, kan?” ujar mas Juan tiba-tiba. Sementara matanya tetap fokus menatap ke depan.Aku menoleh, mengerutkan kening pura-pura tak mengerti dengan apa yang barusan ia katakan, padahal aku mengerti arah perkataannya ke mana. “Maksudnya?”“Dengan melarang bunda untuk tidak ikut denganmu itu hanya akal-akalanmu saja, yang sebenarnya ingin menemui pria culun itu!” Sindirnya masih menatap ke depan.“Ih, suuzhon!” sambarku.“Awas saja kalau kau berani menemuinya, aku tidak pernah bercanda dengan ancamanku waktu itu, Laras.” Lagi mas Juan mengingatkanku dengan ancaman yang dulu ia pernah katakan padaku.“Enggak enak kan rasanya lihat pasangan sendiri dekat sama pria lain.” Aku menyindirnya balik. Sengaja agar mas Juan tahu bagaimana rasanya dulu aku hampir setiap hari terbakar cemburu.“Itu berbeda, Mala adikku sementara pria itu bukan saudaramu!”Aku berdecih. “Adik macam apa yang dengan sengaja ingin melakukan perbuatan tak senonoh denga
“Mas?” panggilku untuk ke sekian kalinya, tapi tak juga mas Juan menyahut. Ia masih marah padaku, setelah mendengar cerita bunda mengenai aku yang ingin menemui David tadi sore. Padahal aku sudah menjelaskan alasan ingin bertemu teman lamaku itu.Namun, Mas Juan tak menerima alasan apa pun. Ia mengomel, bahkan mengulangi ancamannya yang pernah dikatakan padaku waktu itu. Tentu saja membuatku bergidik. Kasihan David jika harus jadi pengangguran seumur hidupnya.Beruntung saat mas Juan marah, ayah juga pulang dari kantor. Dan pria tua yang sangat kusayangi itu pun memperingatinya agar tidak memarahiku berlebihan.“Kamu boleh memarahi, menegur, Laras jika memang dia salah. Tapi tolong liat kondisinya juga. Laras tengah hamil. Kondisi Sikis-nya juga perlu dijaga.” Kemudian ayah menepuk pundak mas Juan. “Lelaki sejati adalah yang bisa mengontrol emosinya!” peringat ayah, lantas berlalu pergi dengan diikuti Bunda dari belakang.Peringatan ayah benar-benar menyelamatkanku dari kemarahan mas
Sedari pagi mulutku tak berhenti mengomel pada mas Juan. Suamiku itu benar-benar membuatku jengah. Ia memerintahkan bawahannya Rico mengirimkan bodyguard untuk menjagaku. Seperti saat ini, mau beli roti bakar di si Abang yang biasa lewat depan rumah bunda saja harus di antar bodyguard, kan malu.Si Abang tukang roti bakar sedari tadi hanya menahan senyum melihat bodyguard berbaju hitam lengkap dengan kaca mata hitam. Keduanya berdiri di sampingku."Ini Neng sudah jadi rotinya.” Si abang menyodorkan roti bakar isi selai cokelat dan nanas. "Si Masnya berdua enggak sekalian," lanjutnya sembari menahan senyum.Aku melirik kedua pria itu bergantian. Namun, dari ekspresi mereka kulihat sepertinya tak berminat."Enggak, Bang. Mereka enggak makan roti, tapi makan orang," bisikku, sembari memicingkan mata serius. Seketika si Abang tukang roti wajahnya berubah pucat. Lantas ia segera mendorong gerobaknya menjauh dari hadapanku.Aku tertawa melihat ekspresi pria paru baya itu. Namun, tawaku te
Setelah berhasil menenangkan Laras, aku mengajaknya kembali ke rumah bunda. Sepanjang perjalanan ia hanya diam saja. Tak ada satu patah kata pun yang terucap dari mulut cerdasnya itu yang biasa menentang ucapanku.“Beli bubur ayam dulu, yuk?” tawarku.Satu detik, dua detik. Tak ada jawaban sama sekali dari mulutnya. Laras hanya fokus menatap ke luar jendela.Akhirnya aku menepikan mobil di dekat gerobak penjual bubur ayam. Kemudian turun sendiri dan memesan dua porsi makanan bertekstur lembek itu. Wangi kaldu mengguar begitu nikmat, perutku jadi tambah keroncongan yang belum terisi sama sekali. Tadi di restoran, setelah kucium Laras menangis keras. Karena malu jadi perhatian banyak orang aku pun segera membawanya keluar dan mengajaknya pulang. Jadi tak sempat untuk sarapan. Kutinggalkan uang untuk membayar makanan yang sudah terlanjur dipesan.Lima menit selesai membeli dua bubur ayam, aku bergegas kembali ke mobil. Membuka satu sterofon yang berisi bubur dengan ayam suwir. Dan satu
"Mas, kok, malah diam saja. Mas enggak sayang lagi, ya sama Mala," rajuknya, ia pikir aku akan luluh dengan aksinya. Lihat saja Mala, suatu saat jika bukti kejahatanmu sudah lengkap, maka kau akan merasakan pembalasan dari perbuatan jahatmu itu."Maaf, tadi Mas ada meeting dengan klien di restoran hingga larut, jadi tak sempat pulang ke rumah." Aku menjawab dengan suara yang dibuat-buat menyesal."Terus sekarang, Mas Juan ada di mana?""Hotel.""Oh, mau Mala temani?" tawarnya. Mencoba untuk menggodaku. Gadis itu tak berhenti untuk terus merayuku. Namun, aku masih sangat sadar dan tak sudi menyentuh perempuan berhati iblis itu."Tidak perlu, nanti juga Mas pulang sore." Aku menolak dengan tegas."Oh, ya sudah, tapi, jika Mas Juan kesepian, jangan sungkan memintaku untuk menemani, sebagai pengganti mbak Laras."Sungguh sangat menjijikkan ucapannya itu terdengar di telingaku. Apa katanya ia ingin menggantikan posisi Laras?Tidak akan pernah bisa, ia dan Laras jauh berbeda, di mana istrik
Aku terbangun dari tidur. Menatap jam dinding pukul empat pagi. Lantas kepalaku menoleh ke samping di mana Laras masih tertidur lelap. Aku tersenyum menatapnya. Lantas bergerak mengecup bibirnya yang tak pernah berhenti mengoceh. Namun, menjadi candu bagiku. Laras bergerak, karena merasa terusik dengan perbuatanku barusan.Selimut yang membalut tubuhnya sedikit terbuka karena pergerakannya. Aku menarik kembali dan membenahi. Menutup tubuh polosnya yang di penuhi tanda merah hasil karyaku.Kemarin, saat setelah perdebatan kami yang tak pernah berujung. Akhirnya aku mengalah dan membawa Laras makan malam romantis di salah satu restoran favorit kami. Lantas menginap di hotel dan menghabiskan malam indah bersama istriku. Anggap saja sebagai pengganti dinner yang gagal tempo lalu, karena ulah Mala yang waktu itu memintaku untuk menemaninya sebentar yang ternyata ia menjebakku.Mala memberiku jus yang ternyata sudah diberikan obat perangsang. Bukan hanya itu saja bahkan ia pun mencekoki ak
"Kenapa, kita ke sini?" tanyaku, saat mobil mas Juan berhenti di depan perusahaannya."Memangnya kau mau diberondong sejuta pertanyaan oleh bunda, jika aku antar ke rumah?" Jawabnya. Benar juga, tadi kan aku bilang ke bunda mau pergi ke rumah teman dan akan pulang sore. Jika, pulang sekarang bisa curiga, apalagi di antar mas Juan. Ah, tak bisa dibayangkan mulut manis bunda nyerocos sepanjang jalan kenangan nanti."Eh, Bu Laras, lama enggak ketemu. Apa kabar, Bu?” sapa pak Yanto security di perusahaan mas Juan, usai membukakan pintu mobil untukku.Aku mengangguk tersenyum ramah padanya. "Baik, Pak. Kalau Pak Yanto sendiri bagaimana kabarnya?""Alhamdulillah, saya teh selalu diberikan kesehatan sama Allah," jawabnya melempar senyum padaku."Ekhm!" Deheman mas Juan tiba-tiba membuat pria berkumis itu seketika wajahnya berubah tegang. Kemudian menunduk hormat."Parkiran mobil saya, jangan sampai lecet seperti kemarin, jika itu terjadi kembali, maka bukan hanya gaji kamu yang saya potong,