Bau obat menyergap di penciumanku, saat aku tersadar dengan kepala yang masih terasa berdenyut nyeri.
“Sudah sadar.” Aku menoleh pada sumber suara. Wanita berhijab dengan jas putih itu tersenyum ramah padaku.Melirik sebelah kiri mas Juan diam tanpa kata. Terlihat wajahnya seperti menahan amarah. Entahlah apa lagi yang terjadi, setelah aku pingsan tadi. Aku benar-benar sudah pasrah.“Selamat ya Bu. Sebentar lagi Anda akan menjadi seorang ibu,” ucap dokter tersenyum ramah.Sungguh aku bahagia mendengar berita yang selama ini sangat dinantikan. Setahun lebih kami menunggu kehadiran sang buah hati, dan akhirnya Allah mengabulkannya.Tak terasa aku menitikkan air mata haru. Mengelus perut yang masih rata, sembari mengucapkan kalimat hamdalah.“Ayo kita pulang!” ucap mas Juan tiba-tiba dengan wajah datar. Apa dia tidak bahagia? Bukankah ia juga begitu mengharapkan anak selama ini.Aku mengangguk mengiyakan, lalu ia membantuku turun dari brankar dengan lembut dan hati-hati, tapi berbeda dengan wajahnya yang sedari tadi terlihat masam.Ada apalagi ini? Batinku.“Jangan lupa makan, istirahat dan jangan stres. Biar ibu dan janinnya sehat terus,” pesan wanita berprofesi dokter itu.“Baik, terima kasih Dok,” ucapku dengan senyum ramah padanya. Berbeda dengan mas Juan yang masih diam seribu bahasa. Entahlah apa yang ada dalam pikirannya sekarang. Semoga semua baik-baik saja.Sepanjang perjalanan dari rumah sakit ekspresinya masih tetap sama. Tak ada senyum yang terukir dari wajahnya.“Mas kenapa?” tanyaku mengelus lengannya yang memegangi setir. Ia menoleh sekilas lalu kembali fokus ke depan.Aku menghela napas pasrah. mungkin mas Juan belum siap untuk bicara, bisa jadi ia memang sedang ada masalah di kantor. Aku terus berusaha berpikir positif agar tak stres. Apalagi sekarang ada nyawa dalam perutku yang harus kujaga dengan baik.Aku berharap dengan adanya kehadiran buah cinta kami, mas Juan jadi lebih care terhadapku dan menjauhi adiknya itu.Sampai di rumah, mas Juan turun begitu saja tanpa membukakan pintu untukku. Dengan gerakan kasar ia menutup pintu, membuatku cukup kaget, karena perbuatannya.“Mas!” panggilku. Membuat mas Juan menghentikan langkahnya tanpa menoleh padaku.“Tolong, katakan sesuatu, setidaknya kau tersenyum bahagia untukku.” Aku berucap di belakangnya.Ia menoleh masih dengan wajah datarnya.“Tidak ada suami yang bahagia, ketika tahu istrinya mengandung anak dari pria lain,” ungkapnya menohok, tanpa peduli perasaanku.“Apa? Maksudmu apa, Mas?” tanyaku mulai kesal. “Mas aku berani sumpah ini anak kamu Mas!” tegasku.“Sudahlah, kamu mau mengelak apa lagi. Sudah jelas kamu berselingkuh dengan pria itu. Bahkan dia pun mengakui bahwa janin yang ada dalam perutmu itu, adalah hasil dari hubungan kalian!” teriaknya.Aku tersentak kaget dengan apa yang ia ucapkan. Tak menyangka mas Juan ragu pada buah cintanya. Rasanya aku ingin menjerit dan menangis sejadi-jadinya. Aku benar-benar sudah tak tahan lagi.“Apa kamu bilang Mas? semudah itu kamu percaya pada orang lain? semudah itu kamu ragu pada buah cinta kita? kamu jahat Mas. Kamu jahat!” suaraku bergetar menahan Isak. Lalu bergegas masuk ke dalam rumah. Meninggalkannya yang masih mematung di luar.Mataku tak henti mengeluarkan cairan bening yang lolos di pipi, sambil tangan ini mengemasi pakaian ke dalam koper besar. Ucapan mas Juan sungguh menyayat hati, seenaknya saja ia beranggapan bahwa darah dagingnya sendiri adalah anak pria lain. Aku tak habis pikir bisa-bisanya ia percaya dengan apa yang dikatakan Mala dan teman prianya itu. Cukup sudah aku sudah tak tahan dengan semua ini.Usai berkemas, aku bercermin merapikan penampilan yang sudah berantakan, mata sebab dan rambut acak-acakan. Kuraih hijab instanku dan mengenakannya, lalu keluar sambil menggeret koper.Sakit rasanya mengetahui kenyataan di mana suamiku tak mempercayai istrinya sendiri. Baiklah, mungkin nasib rumah tanggaku tak bisa di pertahankan lagi tanpa adanya kepercayaan di antara kami berdua.Sampai di ruang tamu, langkahku terhenti melihat mas Juan duduk di sofa dengan di temani Mala. Kulihat Mala menyodorkan secangkir kopi yang baunya tercium hingga Indera penciumanku. Mas Juan meraihnya dan menyeruput minuman berwarna hitam itu.Kuhela napas, mencoba menguatkan hati dan tak boleh mengeluarkan air mata. Aku tak ingin terlihat lemah di depan perempuan tukang drama itu.Aku berjalan menuju di mana mas Juan berada. Wajahnya datar saja saat melihatku membawa koper besar bersamaku.“Maaf Mas, aku izin pergi ke rumah Bunda,” ucapku. Walau bagaimana pun ia masih suamiku yang tetap harus dihormati.Hening, tak ada jawaban keluar dari mulutnya. Sungguh aku sangat berharap ia mencegah diriku agar tidak pergi Namun, semua harus Mas Juan berdiri dan pergi meninggalkanku tanpa menoleh. “Waw, aku suka ini. Akhirnya kau kalah, Mbak.” Mala berucap sambil tergelak, membuat darah kumendidih seketika. Kalau aku tak ingat dengan janin dalam perut, sudah habis ratu drama itu. “Ada yang perlu di sampaikan lagi? Kalau tidak ada, silakan pintu keluar di sebelah sana,” ucapnya kembali dan melenggang pergi.~Dua hari sudah aku di rumah bunda, tapi tak ada tanda-tanda mas Juan akan menjemputku, bahkan sampai saat ini pun ia tak ada menghubungi untuk sekedar menanyakan kabar.Apa jangan-jangan, mas Juan ingin menceraikanku, Bagaimana ini? Jujur aku masih sangat mencintainya. Ya Allah apa yang harus hamba lakukan agar semua itu tidak terjadi.Suara ketukan pintu menyadarkanku dari lamunan. Menampilkan sosok wanita yang masih terlihat cantik di usia setengah abad. Ia berjalan ke arahku dengan membawa nampan berisi makanan dan segelas air, lalu meletakannya di atas nakas.“Makan dulu!” Titahnya. “Laras belum lapar.” Aku menjawab tanpa menoleh. Terdengar helaan napas dari bunda, lalu ia duduk di sampingku. Tangannya mengusap lembut puncak kepalaku. “Bunda tahu kamu sedang ada masalah dengan suamimu, tapi tolong pikirkan juga tentang bayimu. Aku menoleh padanya, bagaimana ia tahu jika aku sedang hamil. Padahal dari kemarin aku belum menceritakan tentang kehamilan ini. Bunda tersenyum melihat ekspresi kagetku. “Bunda juga wanita yang pernah merasakan hamil, mengalami morning sicknees tiap pagi, tak suka dengan aroma-aroma yang menyengat,” tuturnya menjawab kebingunganku. “Jadi, apakah kamu tidak ingin berbagi masalahmu dengan Bunda?” ucapnya. Lalu terdiam menatapku dengan tatapan menuntut sebuah jawaban. Kupalingkan wajah darinya, menatap bayangan diri sendiri di cermin almari yang berada di depanku. Begitu menyedihkan keadaanku saat ini. Mungkin bunda benar, dengan berbagi sedikit akan meringankan beban masalahku.Kemudian aku menceritakan semua masalah yang tengah aku hadapi. Namun, beliau tak berani untuk ikut campur, ia hanya memberikan nasihat-nasihat yang baik padaku agar aku tak salah memutuskan sesuatu.“Pikirkan baik-baik dengan kepala dingin dan sertakan Allah dalam setiap urusanmu.” Itulah pesan dari bunda, yang membuatku merasa lebih tenang saat ini.Keesokan harinya aku terbangun masih dengan morning sickness yang luar biasa. Bolak-balik kamar mandi. Kebetulan memang di rumah bunda yang sederhana setiap kamar tidak memiliki toilet, tak seperti di rumah mas Juan. Karena merasa lelah kuletakan bokong di kursi meja makan. Ternyata seperti ini rasanya mengidam yang sering para wanita bersuami keluhkan. Aku menelungkup kan wajah di atas meja dengan di topang kedua tangan.Tubuhku rasanya lemas sekali, ditambah kepala pusing dan mual yang tiada berkesudahan.“Minumlah, ini bisa mengurangi sedikit rasa mualmu,” kata bunda menyodorkan segelas teh lemon hangat dengan madu di hadapanku.Aku mengangkat kepala, meraihnya lantas meminumnya perlahan. Benar saja, rasa mual sedikit berkurang, bunda memang terbaik.Bunda tersenyum melihat perubahan raut wajahku yang terlihat lega. Mengelus kepala ini yang tak tertutup hijab saat di dalam rumah, karena tak ada pria yang buka mahram di sini
“Jangan sembarangan menerima ajakan pria yang bukan mahram, apalagi memberikan nomor, ingat! kamu itu wanita bersuami.” Peringat bunda, wanita itu terus mengoceh saat kami sudah berada di dalam jok penumpang. Untunglah taksi yang kami pesan tadi cepat datang sehingga kami tidak harus menunggu sambil kepanasan di depan rumah sakit. “Iya, Bun. Tadi Laras hanya menghormatinya saja. Lagi pula belum tentu kan kita bertemu lagi dengan David,” sambungku sembari memijat kening yang mulai terasa pusing kembali. “Dia pria yang dulu ayahmu ceritakan itu, bukan?” tanya bunda memastikan. “Iya.” Aku tak percaya bunda masih ingat dengan David. Pria dulu pernah mengutarakan cinta di depan ayah yang pada saat itu menjemputku di sekolah. “Hati-hati, jangan di respons kalau pria itu kembali menghubungi kamu. Ingat kamu sudah bersuami, dan Juan masih jadi menantu kesayangan Bunda!” putusnya sewot, jika
Berkali-kali aku menguap, rasanya sangat mengantuk. Padahal, masih pukul sembilan pagi. Hamil membuatku ingin rebahan terus.“Mau ngapain?” tegur bunda cepat, usai melayani pelanggan.“Rebahan, Laras ngantuk.” Aku langsung menempelkan kepala di atas sofa panjang yang di sediakan bunda untuk pelanggan yang biasa menunggu pesanan.“Masih pagi, jangan di biasakan, enggak baik buat janin.” Bunda menarik lenganku supaya bangun.“Bunda ....” rengekku, karena sudah sangat mengantuk.“Ayo, bangun, bergerak bantu Lela sama Darmi di belakang sana!” Beliau menggiringku ke dapur tempat membuat aneka kue tradisional.Bunda memiliki usaha toko kue tradisional sejak aku masih SMP. Kue- kue buatannya sudah terkenal enak dan terjangkau. Dan para pelanggannya pun sudah banyak bahkan sudah mencapai luar kota. Sesampainya di tempat khusus memproduksi kue-kue, bunda menyuruh kedua bawahannya memberiku pekerjaan.“Darmi, Lela, kasih Laras kerjaan!” titahnya pada kedua wanita yang tengah membungkus lemper.
"Kenapa, kita ke sini?" tanyaku, saat mobil mas Juan berhenti di depan perusahaannya."Memangnya kau mau diberondong sejuta pertanyaan oleh bunda, jika aku antar ke rumah?" Jawabnya. Benar juga, tadi kan aku bilang ke bunda mau pergi ke rumah teman dan akan pulang sore. Jika, pulang sekarang bisa curiga, apalagi di antar mas Juan. Ah, tak bisa dibayangkan mulut manis bunda nyerocos sepanjang jalan kenangan nanti."Eh, Bu Laras, lama enggak ketemu. Apa kabar, Bu?” sapa pak Yanto security di perusahaan mas Juan, usai membukakan pintu mobil untukku.Aku mengangguk tersenyum ramah padanya. "Baik, Pak. Kalau Pak Yanto sendiri bagaimana kabarnya?""Alhamdulillah, saya teh selalu diberikan kesehatan sama Allah," jawabnya melempar senyum padaku."Ekhm!" Deheman mas Juan tiba-tiba membuat pria berkumis itu seketika wajahnya berubah tegang. Kemudian menunduk hormat."Parkiran mobil saya, jangan sampai lecet seperti kemarin, jika itu terjadi kembali, maka bukan hanya gaji kamu yang saya potong,
Aku terbangun dari tidur. Menatap jam dinding pukul empat pagi. Lantas kepalaku menoleh ke samping di mana Laras masih tertidur lelap. Aku tersenyum menatapnya. Lantas bergerak mengecup bibirnya yang tak pernah berhenti mengoceh. Namun, menjadi candu bagiku. Laras bergerak, karena merasa terusik dengan perbuatanku barusan.Selimut yang membalut tubuhnya sedikit terbuka karena pergerakannya. Aku menarik kembali dan membenahi. Menutup tubuh polosnya yang di penuhi tanda merah hasil karyaku.Kemarin, saat setelah perdebatan kami yang tak pernah berujung. Akhirnya aku mengalah dan membawa Laras makan malam romantis di salah satu restoran favorit kami. Lantas menginap di hotel dan menghabiskan malam indah bersama istriku. Anggap saja sebagai pengganti dinner yang gagal tempo lalu, karena ulah Mala yang waktu itu memintaku untuk menemaninya sebentar yang ternyata ia menjebakku.Mala memberiku jus yang ternyata sudah diberikan obat perangsang. Bukan hanya itu saja bahkan ia pun mencekoki ak
"Mas, kok, malah diam saja. Mas enggak sayang lagi, ya sama Mala," rajuknya, ia pikir aku akan luluh dengan aksinya. Lihat saja Mala, suatu saat jika bukti kejahatanmu sudah lengkap, maka kau akan merasakan pembalasan dari perbuatan jahatmu itu."Maaf, tadi Mas ada meeting dengan klien di restoran hingga larut, jadi tak sempat pulang ke rumah." Aku menjawab dengan suara yang dibuat-buat menyesal."Terus sekarang, Mas Juan ada di mana?""Hotel.""Oh, mau Mala temani?" tawarnya. Mencoba untuk menggodaku. Gadis itu tak berhenti untuk terus merayuku. Namun, aku masih sangat sadar dan tak sudi menyentuh perempuan berhati iblis itu."Tidak perlu, nanti juga Mas pulang sore." Aku menolak dengan tegas."Oh, ya sudah, tapi, jika Mas Juan kesepian, jangan sungkan memintaku untuk menemani, sebagai pengganti mbak Laras."Sungguh sangat menjijikkan ucapannya itu terdengar di telingaku. Apa katanya ia ingin menggantikan posisi Laras?Tidak akan pernah bisa, ia dan Laras jauh berbeda, di mana istrik
Setelah berhasil menenangkan Laras, aku mengajaknya kembali ke rumah bunda. Sepanjang perjalanan ia hanya diam saja. Tak ada satu patah kata pun yang terucap dari mulut cerdasnya itu yang biasa menentang ucapanku.“Beli bubur ayam dulu, yuk?” tawarku.Satu detik, dua detik. Tak ada jawaban sama sekali dari mulutnya. Laras hanya fokus menatap ke luar jendela.Akhirnya aku menepikan mobil di dekat gerobak penjual bubur ayam. Kemudian turun sendiri dan memesan dua porsi makanan bertekstur lembek itu. Wangi kaldu mengguar begitu nikmat, perutku jadi tambah keroncongan yang belum terisi sama sekali. Tadi di restoran, setelah kucium Laras menangis keras. Karena malu jadi perhatian banyak orang aku pun segera membawanya keluar dan mengajaknya pulang. Jadi tak sempat untuk sarapan. Kutinggalkan uang untuk membayar makanan yang sudah terlanjur dipesan.Lima menit selesai membeli dua bubur ayam, aku bergegas kembali ke mobil. Membuka satu sterofon yang berisi bubur dengan ayam suwir. Dan satu
Sedari pagi mulutku tak berhenti mengomel pada mas Juan. Suamiku itu benar-benar membuatku jengah. Ia memerintahkan bawahannya Rico mengirimkan bodyguard untuk menjagaku. Seperti saat ini, mau beli roti bakar di si Abang yang biasa lewat depan rumah bunda saja harus di antar bodyguard, kan malu.Si Abang tukang roti bakar sedari tadi hanya menahan senyum melihat bodyguard berbaju hitam lengkap dengan kaca mata hitam. Keduanya berdiri di sampingku."Ini Neng sudah jadi rotinya.” Si abang menyodorkan roti bakar isi selai cokelat dan nanas. "Si Masnya berdua enggak sekalian," lanjutnya sembari menahan senyum.Aku melirik kedua pria itu bergantian. Namun, dari ekspresi mereka kulihat sepertinya tak berminat."Enggak, Bang. Mereka enggak makan roti, tapi makan orang," bisikku, sembari memicingkan mata serius. Seketika si Abang tukang roti wajahnya berubah pucat. Lantas ia segera mendorong gerobaknya menjauh dari hadapanku.Aku tertawa melihat ekspresi pria paru baya itu. Namun, tawaku te
Aku menghembuskan napas kasar. Meletakkan handphone ke atas nakas, lantas membaringkan tubuhku di atas kasur. Baru saja aku melakukan panggilan pada David. Namun, pria itu tak mengangkatnya sepertinya ia memang sedang sibuk.Sayup telingaku mendengar percakapan seseorang dari luar kamar. Dari suaranya aku bisa menebak dan yakin itu adalah suara mas Juan dan bunda yang tengah mengobrol.Aku bangun dari ranjang, lantas berjalan menuju pintu kamar. Membuka sedikit celah dan mengintip. Terlihat bunda dan mas Juan di ruang tengah. Apa yang tengah mereka bicarakan? Batinku.“Beritahu Laras dari sekarang, jelaskan apa yang sebenarnya terjadi.” Bunda menatap mas Juan serius.“Belum saatnya, Bun.” Mas Juan mengurut keningnya. Tergambar raut lelah di wajahnya. Pasti di kantor tadi ia sangat sibuk sekali.“Laras sudah mencurigai bunda, jelaskan saja padanya, kau tahu bagaimana Laras jika sudah ingin tahu, dia akan nekat mencari tahu sendiri.” Lagi bunda berkata tegas agar mas Juan menjelaskan se
“Apa kau masih ingat roti bakar mang Tono?” David membuka suara.Aku menoleh padanya. “Ah, iya aku masih ingat, dia salah satu penjual roti bakar terenak di kantin.David tersenyum menampakkan gigi-gigi rapi dan putihnya itu. Jika diperhatikan pria ini tampan dan manis. Hanya saja mungkin ia terlalu kaku, jadi tak membuatku luluh dengan perjuangannya dulu.“Cepatlah selesaikan urusanmu, ini bukan acara reunian.” Mas Juan menyela tiba-tiba.“Ah, maaf, saya hanya teringat saja, masa-masa SMA kami dulu.”“Dan itu tidak penting!” sergah mas Juan, “cepat apa yang kau ingin sampaikan pada istriku, kalau tidak aku bisa menghajar hidungmu kembali.”Raut wajah David terlihat panik dan takut saat mas Juan melontarkan ancamannya. “Mas!” aku melotot ke arah mas Juan, memperingatinya agar bisa menahan emosi.Namun, mas Juan seolah tak peduli, pelototan dariku sama sekali tak membuatnya untuk berhenti mengintimidasi David.Pria berkulit putih itu memang sukses mengubah penampilannya, akan tetapi s
“Kau sedang tidak berpikir untuk kabur dan menemui David, kan?” ujar mas Juan tiba-tiba. Sementara matanya tetap fokus menatap ke depan.Aku menoleh, mengerutkan kening pura-pura tak mengerti dengan apa yang barusan ia katakan, padahal aku mengerti arah perkataannya ke mana. “Maksudnya?”“Dengan melarang bunda untuk tidak ikut denganmu itu hanya akal-akalanmu saja, yang sebenarnya ingin menemui pria culun itu!” Sindirnya masih menatap ke depan.“Ih, suuzhon!” sambarku.“Awas saja kalau kau berani menemuinya, aku tidak pernah bercanda dengan ancamanku waktu itu, Laras.” Lagi mas Juan mengingatkanku dengan ancaman yang dulu ia pernah katakan padaku.“Enggak enak kan rasanya lihat pasangan sendiri dekat sama pria lain.” Aku menyindirnya balik. Sengaja agar mas Juan tahu bagaimana rasanya dulu aku hampir setiap hari terbakar cemburu.“Itu berbeda, Mala adikku sementara pria itu bukan saudaramu!”Aku berdecih. “Adik macam apa yang dengan sengaja ingin melakukan perbuatan tak senonoh denga
“Mas?” panggilku untuk ke sekian kalinya, tapi tak juga mas Juan menyahut. Ia masih marah padaku, setelah mendengar cerita bunda mengenai aku yang ingin menemui David tadi sore. Padahal aku sudah menjelaskan alasan ingin bertemu teman lamaku itu.Namun, Mas Juan tak menerima alasan apa pun. Ia mengomel, bahkan mengulangi ancamannya yang pernah dikatakan padaku waktu itu. Tentu saja membuatku bergidik. Kasihan David jika harus jadi pengangguran seumur hidupnya.Beruntung saat mas Juan marah, ayah juga pulang dari kantor. Dan pria tua yang sangat kusayangi itu pun memperingatinya agar tidak memarahiku berlebihan.“Kamu boleh memarahi, menegur, Laras jika memang dia salah. Tapi tolong liat kondisinya juga. Laras tengah hamil. Kondisi Sikis-nya juga perlu dijaga.” Kemudian ayah menepuk pundak mas Juan. “Lelaki sejati adalah yang bisa mengontrol emosinya!” peringat ayah, lantas berlalu pergi dengan diikuti Bunda dari belakang.Peringatan ayah benar-benar menyelamatkanku dari kemarahan mas
Sedari pagi mulutku tak berhenti mengomel pada mas Juan. Suamiku itu benar-benar membuatku jengah. Ia memerintahkan bawahannya Rico mengirimkan bodyguard untuk menjagaku. Seperti saat ini, mau beli roti bakar di si Abang yang biasa lewat depan rumah bunda saja harus di antar bodyguard, kan malu.Si Abang tukang roti bakar sedari tadi hanya menahan senyum melihat bodyguard berbaju hitam lengkap dengan kaca mata hitam. Keduanya berdiri di sampingku."Ini Neng sudah jadi rotinya.” Si abang menyodorkan roti bakar isi selai cokelat dan nanas. "Si Masnya berdua enggak sekalian," lanjutnya sembari menahan senyum.Aku melirik kedua pria itu bergantian. Namun, dari ekspresi mereka kulihat sepertinya tak berminat."Enggak, Bang. Mereka enggak makan roti, tapi makan orang," bisikku, sembari memicingkan mata serius. Seketika si Abang tukang roti wajahnya berubah pucat. Lantas ia segera mendorong gerobaknya menjauh dari hadapanku.Aku tertawa melihat ekspresi pria paru baya itu. Namun, tawaku te
Setelah berhasil menenangkan Laras, aku mengajaknya kembali ke rumah bunda. Sepanjang perjalanan ia hanya diam saja. Tak ada satu patah kata pun yang terucap dari mulut cerdasnya itu yang biasa menentang ucapanku.“Beli bubur ayam dulu, yuk?” tawarku.Satu detik, dua detik. Tak ada jawaban sama sekali dari mulutnya. Laras hanya fokus menatap ke luar jendela.Akhirnya aku menepikan mobil di dekat gerobak penjual bubur ayam. Kemudian turun sendiri dan memesan dua porsi makanan bertekstur lembek itu. Wangi kaldu mengguar begitu nikmat, perutku jadi tambah keroncongan yang belum terisi sama sekali. Tadi di restoran, setelah kucium Laras menangis keras. Karena malu jadi perhatian banyak orang aku pun segera membawanya keluar dan mengajaknya pulang. Jadi tak sempat untuk sarapan. Kutinggalkan uang untuk membayar makanan yang sudah terlanjur dipesan.Lima menit selesai membeli dua bubur ayam, aku bergegas kembali ke mobil. Membuka satu sterofon yang berisi bubur dengan ayam suwir. Dan satu
"Mas, kok, malah diam saja. Mas enggak sayang lagi, ya sama Mala," rajuknya, ia pikir aku akan luluh dengan aksinya. Lihat saja Mala, suatu saat jika bukti kejahatanmu sudah lengkap, maka kau akan merasakan pembalasan dari perbuatan jahatmu itu."Maaf, tadi Mas ada meeting dengan klien di restoran hingga larut, jadi tak sempat pulang ke rumah." Aku menjawab dengan suara yang dibuat-buat menyesal."Terus sekarang, Mas Juan ada di mana?""Hotel.""Oh, mau Mala temani?" tawarnya. Mencoba untuk menggodaku. Gadis itu tak berhenti untuk terus merayuku. Namun, aku masih sangat sadar dan tak sudi menyentuh perempuan berhati iblis itu."Tidak perlu, nanti juga Mas pulang sore." Aku menolak dengan tegas."Oh, ya sudah, tapi, jika Mas Juan kesepian, jangan sungkan memintaku untuk menemani, sebagai pengganti mbak Laras."Sungguh sangat menjijikkan ucapannya itu terdengar di telingaku. Apa katanya ia ingin menggantikan posisi Laras?Tidak akan pernah bisa, ia dan Laras jauh berbeda, di mana istrik
Aku terbangun dari tidur. Menatap jam dinding pukul empat pagi. Lantas kepalaku menoleh ke samping di mana Laras masih tertidur lelap. Aku tersenyum menatapnya. Lantas bergerak mengecup bibirnya yang tak pernah berhenti mengoceh. Namun, menjadi candu bagiku. Laras bergerak, karena merasa terusik dengan perbuatanku barusan.Selimut yang membalut tubuhnya sedikit terbuka karena pergerakannya. Aku menarik kembali dan membenahi. Menutup tubuh polosnya yang di penuhi tanda merah hasil karyaku.Kemarin, saat setelah perdebatan kami yang tak pernah berujung. Akhirnya aku mengalah dan membawa Laras makan malam romantis di salah satu restoran favorit kami. Lantas menginap di hotel dan menghabiskan malam indah bersama istriku. Anggap saja sebagai pengganti dinner yang gagal tempo lalu, karena ulah Mala yang waktu itu memintaku untuk menemaninya sebentar yang ternyata ia menjebakku.Mala memberiku jus yang ternyata sudah diberikan obat perangsang. Bukan hanya itu saja bahkan ia pun mencekoki ak
"Kenapa, kita ke sini?" tanyaku, saat mobil mas Juan berhenti di depan perusahaannya."Memangnya kau mau diberondong sejuta pertanyaan oleh bunda, jika aku antar ke rumah?" Jawabnya. Benar juga, tadi kan aku bilang ke bunda mau pergi ke rumah teman dan akan pulang sore. Jika, pulang sekarang bisa curiga, apalagi di antar mas Juan. Ah, tak bisa dibayangkan mulut manis bunda nyerocos sepanjang jalan kenangan nanti."Eh, Bu Laras, lama enggak ketemu. Apa kabar, Bu?” sapa pak Yanto security di perusahaan mas Juan, usai membukakan pintu mobil untukku.Aku mengangguk tersenyum ramah padanya. "Baik, Pak. Kalau Pak Yanto sendiri bagaimana kabarnya?""Alhamdulillah, saya teh selalu diberikan kesehatan sama Allah," jawabnya melempar senyum padaku."Ekhm!" Deheman mas Juan tiba-tiba membuat pria berkumis itu seketika wajahnya berubah tegang. Kemudian menunduk hormat."Parkiran mobil saya, jangan sampai lecet seperti kemarin, jika itu terjadi kembali, maka bukan hanya gaji kamu yang saya potong,