Sedari pagi mulutku tak berhenti mengomel pada mas Juan. Suamiku itu benar-benar membuatku jengah. Ia memerintahkan bawahannya Rico mengirimkan bodyguard untuk menjagaku. Seperti saat ini, mau beli roti bakar di si Abang yang biasa lewat depan rumah bunda saja harus di antar bodyguard, kan malu.Si Abang tukang roti bakar sedari tadi hanya menahan senyum melihat bodyguard berbaju hitam lengkap dengan kaca mata hitam. Keduanya berdiri di sampingku."Ini Neng sudah jadi rotinya.” Si abang menyodorkan roti bakar isi selai cokelat dan nanas. "Si Masnya berdua enggak sekalian," lanjutnya sembari menahan senyum.Aku melirik kedua pria itu bergantian. Namun, dari ekspresi mereka kulihat sepertinya tak berminat."Enggak, Bang. Mereka enggak makan roti, tapi makan orang," bisikku, sembari memicingkan mata serius. Seketika si Abang tukang roti wajahnya berubah pucat. Lantas ia segera mendorong gerobaknya menjauh dari hadapanku.Aku tertawa melihat ekspresi pria paru baya itu. Namun, tawaku te
“Mas?” panggilku untuk ke sekian kalinya, tapi tak juga mas Juan menyahut. Ia masih marah padaku, setelah mendengar cerita bunda mengenai aku yang ingin menemui David tadi sore. Padahal aku sudah menjelaskan alasan ingin bertemu teman lamaku itu.Namun, Mas Juan tak menerima alasan apa pun. Ia mengomel, bahkan mengulangi ancamannya yang pernah dikatakan padaku waktu itu. Tentu saja membuatku bergidik. Kasihan David jika harus jadi pengangguran seumur hidupnya.Beruntung saat mas Juan marah, ayah juga pulang dari kantor. Dan pria tua yang sangat kusayangi itu pun memperingatinya agar tidak memarahiku berlebihan.“Kamu boleh memarahi, menegur, Laras jika memang dia salah. Tapi tolong liat kondisinya juga. Laras tengah hamil. Kondisi Sikis-nya juga perlu dijaga.” Kemudian ayah menepuk pundak mas Juan. “Lelaki sejati adalah yang bisa mengontrol emosinya!” peringat ayah, lantas berlalu pergi dengan diikuti Bunda dari belakang.Peringatan ayah benar-benar menyelamatkanku dari kemarahan mas
“Kau sedang tidak berpikir untuk kabur dan menemui David, kan?” ujar mas Juan tiba-tiba. Sementara matanya tetap fokus menatap ke depan.Aku menoleh, mengerutkan kening pura-pura tak mengerti dengan apa yang barusan ia katakan, padahal aku mengerti arah perkataannya ke mana. “Maksudnya?”“Dengan melarang bunda untuk tidak ikut denganmu itu hanya akal-akalanmu saja, yang sebenarnya ingin menemui pria culun itu!” Sindirnya masih menatap ke depan.“Ih, suuzhon!” sambarku.“Awas saja kalau kau berani menemuinya, aku tidak pernah bercanda dengan ancamanku waktu itu, Laras.” Lagi mas Juan mengingatkanku dengan ancaman yang dulu ia pernah katakan padaku.“Enggak enak kan rasanya lihat pasangan sendiri dekat sama pria lain.” Aku menyindirnya balik. Sengaja agar mas Juan tahu bagaimana rasanya dulu aku hampir setiap hari terbakar cemburu.“Itu berbeda, Mala adikku sementara pria itu bukan saudaramu!”Aku berdecih. “Adik macam apa yang dengan sengaja ingin melakukan perbuatan tak senonoh denga
“Apa kau masih ingat roti bakar mang Tono?” David membuka suara.Aku menoleh padanya. “Ah, iya aku masih ingat, dia salah satu penjual roti bakar terenak di kantin.David tersenyum menampakkan gigi-gigi rapi dan putihnya itu. Jika diperhatikan pria ini tampan dan manis. Hanya saja mungkin ia terlalu kaku, jadi tak membuatku luluh dengan perjuangannya dulu.“Cepatlah selesaikan urusanmu, ini bukan acara reunian.” Mas Juan menyela tiba-tiba.“Ah, maaf, saya hanya teringat saja, masa-masa SMA kami dulu.”“Dan itu tidak penting!” sergah mas Juan, “cepat apa yang kau ingin sampaikan pada istriku, kalau tidak aku bisa menghajar hidungmu kembali.”Raut wajah David terlihat panik dan takut saat mas Juan melontarkan ancamannya. “Mas!” aku melotot ke arah mas Juan, memperingatinya agar bisa menahan emosi.Namun, mas Juan seolah tak peduli, pelototan dariku sama sekali tak membuatnya untuk berhenti mengintimidasi David.Pria berkulit putih itu memang sukses mengubah penampilannya, akan tetapi s
Aku menghembuskan napas kasar. Meletakkan handphone ke atas nakas, lantas membaringkan tubuhku di atas kasur. Baru saja aku melakukan panggilan pada David. Namun, pria itu tak mengangkatnya sepertinya ia memang sedang sibuk.Sayup telingaku mendengar percakapan seseorang dari luar kamar. Dari suaranya aku bisa menebak dan yakin itu adalah suara mas Juan dan bunda yang tengah mengobrol.Aku bangun dari ranjang, lantas berjalan menuju pintu kamar. Membuka sedikit celah dan mengintip. Terlihat bunda dan mas Juan di ruang tengah. Apa yang tengah mereka bicarakan? Batinku.“Beritahu Laras dari sekarang, jelaskan apa yang sebenarnya terjadi.” Bunda menatap mas Juan serius.“Belum saatnya, Bun.” Mas Juan mengurut keningnya. Tergambar raut lelah di wajahnya. Pasti di kantor tadi ia sangat sibuk sekali.“Laras sudah mencurigai bunda, jelaskan saja padanya, kau tahu bagaimana Laras jika sudah ingin tahu, dia akan nekat mencari tahu sendiri.” Lagi bunda berkata tegas agar mas Juan menjelaskan se
“Jaga ucapanmu, Mbak!” tangan perempuan berkutek itu hendak mendarat di pipiku. Namun, dengan sigap aku menghindar. Lantas tubuhnya tersungkur menabrak meja ruang tamu dan merintih kesakitan.Mala berusaha bangun dan mencoba untuk menyerangku kembali, tapi langkahnya terhenti saat terdengar suara deruman mobil di depan teras.Kulihat perempuan berkaus merah itu mengacak-acak rambut dan mencakar-cakar seluruh badannya. Tak hanya itu ia pun menampar berkali-kali pipi tirusnya hingga sudut bibir berwarnapinkitu mengeluarkan darah.Tak mengerti dengan apa yang ia lakukan, aku pun berniat untuk mencegahnya. Namun, belum sempat meraih tangannya. Tiba-tiba Mala begitu saja menjatuhkan tubuh ke lantai tepat di hadapan Mas Juan.“Mala!” seru mas Juan khawatir, lalu membantunya berdiri. “Apa yang terjadi?” tanyanya kemudian.“Mbak Laras, Mas!” Mala menjawab sembari
Setelah puas menangis karena kecewa atas sikap mas Juan tadi pagi, aku keluar menuju halaman belakang duduk bersandar di bawah gazebo. Sambil menikmati pemandangan tanaman hias yang memanjakan mata.Di sana ada beberapa jenis tanamanAlgonemapemberian mama mertuaku saat pertama kali aku dan mas Juan menempati rumah ini.Ibu dari suamiku itu sangat baik dan perhatian terhadapku. Ia sering memberi nasihat tentang karakter mas Juan yang memang sangat dingin dan pemarah.“Juan anak baik dan sayang pada kedua orang tuanya. Karakternya sangat mirip dengan mendiang papanya. Bukan hanya rupanya saja, tapi semuanya.” ungkap Mama kala itu. Tangannya bergerak kembali menyiram bibit DonaCarmendan lipstik di depannya yang baru saja berpindah pot. “Anak itu memang tidak banyak bicara, tidak suka basa-basi dan hal remeh temeh. Terkadang sikap dinginnya membuat orang di sampingnya jengah.” Mama tertawa, lalu kem
Kejadian semalam membuatku benar-bebar tak bisa tinggal diam. Aku menyalakan laptop. Memeriksa CCTV dan menunjukkannya pada mas Juan. Ia terlihat menahan marah agar tidak meledak.“Kamu sadar enggak sih. Perbuatan kamu itu hampir saja membuat mas Juan melakukan zina!” bentakku.“Maaf Mbak, Mas. Aku khilaf,” ucapnya terisak.“Apa? Khilaf katamu?” ucapku semakin geram mendengar penyesalannya yang di buat-buat.Mas Juan menyentuh pundakku mencoba menenangkan. Agar tak bertindak kasar pada adik angkatnya itu.“Mas benar-benar kecewa sama kamu Mala.” Mas Juan mulai angkat suara. “Sebaiknya kamu kembali ke rumah Mama,” putusnya.“Apa? Mas aku enggak mau kembali ke rumah itu. Apa Mas lupa, Mas janji akan selalu menjagaku sampai kapan pun,” protes Mala. “Apa kamu sudah tak mencintaiku lagi?” ungkapnya, membuatku terkejut.Apa? Cinta?
Aku menghembuskan napas kasar. Meletakkan handphone ke atas nakas, lantas membaringkan tubuhku di atas kasur. Baru saja aku melakukan panggilan pada David. Namun, pria itu tak mengangkatnya sepertinya ia memang sedang sibuk.Sayup telingaku mendengar percakapan seseorang dari luar kamar. Dari suaranya aku bisa menebak dan yakin itu adalah suara mas Juan dan bunda yang tengah mengobrol.Aku bangun dari ranjang, lantas berjalan menuju pintu kamar. Membuka sedikit celah dan mengintip. Terlihat bunda dan mas Juan di ruang tengah. Apa yang tengah mereka bicarakan? Batinku.“Beritahu Laras dari sekarang, jelaskan apa yang sebenarnya terjadi.” Bunda menatap mas Juan serius.“Belum saatnya, Bun.” Mas Juan mengurut keningnya. Tergambar raut lelah di wajahnya. Pasti di kantor tadi ia sangat sibuk sekali.“Laras sudah mencurigai bunda, jelaskan saja padanya, kau tahu bagaimana Laras jika sudah ingin tahu, dia akan nekat mencari tahu sendiri.” Lagi bunda berkata tegas agar mas Juan menjelaskan se
“Apa kau masih ingat roti bakar mang Tono?” David membuka suara.Aku menoleh padanya. “Ah, iya aku masih ingat, dia salah satu penjual roti bakar terenak di kantin.David tersenyum menampakkan gigi-gigi rapi dan putihnya itu. Jika diperhatikan pria ini tampan dan manis. Hanya saja mungkin ia terlalu kaku, jadi tak membuatku luluh dengan perjuangannya dulu.“Cepatlah selesaikan urusanmu, ini bukan acara reunian.” Mas Juan menyela tiba-tiba.“Ah, maaf, saya hanya teringat saja, masa-masa SMA kami dulu.”“Dan itu tidak penting!” sergah mas Juan, “cepat apa yang kau ingin sampaikan pada istriku, kalau tidak aku bisa menghajar hidungmu kembali.”Raut wajah David terlihat panik dan takut saat mas Juan melontarkan ancamannya. “Mas!” aku melotot ke arah mas Juan, memperingatinya agar bisa menahan emosi.Namun, mas Juan seolah tak peduli, pelototan dariku sama sekali tak membuatnya untuk berhenti mengintimidasi David.Pria berkulit putih itu memang sukses mengubah penampilannya, akan tetapi s
“Kau sedang tidak berpikir untuk kabur dan menemui David, kan?” ujar mas Juan tiba-tiba. Sementara matanya tetap fokus menatap ke depan.Aku menoleh, mengerutkan kening pura-pura tak mengerti dengan apa yang barusan ia katakan, padahal aku mengerti arah perkataannya ke mana. “Maksudnya?”“Dengan melarang bunda untuk tidak ikut denganmu itu hanya akal-akalanmu saja, yang sebenarnya ingin menemui pria culun itu!” Sindirnya masih menatap ke depan.“Ih, suuzhon!” sambarku.“Awas saja kalau kau berani menemuinya, aku tidak pernah bercanda dengan ancamanku waktu itu, Laras.” Lagi mas Juan mengingatkanku dengan ancaman yang dulu ia pernah katakan padaku.“Enggak enak kan rasanya lihat pasangan sendiri dekat sama pria lain.” Aku menyindirnya balik. Sengaja agar mas Juan tahu bagaimana rasanya dulu aku hampir setiap hari terbakar cemburu.“Itu berbeda, Mala adikku sementara pria itu bukan saudaramu!”Aku berdecih. “Adik macam apa yang dengan sengaja ingin melakukan perbuatan tak senonoh denga
“Mas?” panggilku untuk ke sekian kalinya, tapi tak juga mas Juan menyahut. Ia masih marah padaku, setelah mendengar cerita bunda mengenai aku yang ingin menemui David tadi sore. Padahal aku sudah menjelaskan alasan ingin bertemu teman lamaku itu.Namun, Mas Juan tak menerima alasan apa pun. Ia mengomel, bahkan mengulangi ancamannya yang pernah dikatakan padaku waktu itu. Tentu saja membuatku bergidik. Kasihan David jika harus jadi pengangguran seumur hidupnya.Beruntung saat mas Juan marah, ayah juga pulang dari kantor. Dan pria tua yang sangat kusayangi itu pun memperingatinya agar tidak memarahiku berlebihan.“Kamu boleh memarahi, menegur, Laras jika memang dia salah. Tapi tolong liat kondisinya juga. Laras tengah hamil. Kondisi Sikis-nya juga perlu dijaga.” Kemudian ayah menepuk pundak mas Juan. “Lelaki sejati adalah yang bisa mengontrol emosinya!” peringat ayah, lantas berlalu pergi dengan diikuti Bunda dari belakang.Peringatan ayah benar-benar menyelamatkanku dari kemarahan mas
Sedari pagi mulutku tak berhenti mengomel pada mas Juan. Suamiku itu benar-benar membuatku jengah. Ia memerintahkan bawahannya Rico mengirimkan bodyguard untuk menjagaku. Seperti saat ini, mau beli roti bakar di si Abang yang biasa lewat depan rumah bunda saja harus di antar bodyguard, kan malu.Si Abang tukang roti bakar sedari tadi hanya menahan senyum melihat bodyguard berbaju hitam lengkap dengan kaca mata hitam. Keduanya berdiri di sampingku."Ini Neng sudah jadi rotinya.” Si abang menyodorkan roti bakar isi selai cokelat dan nanas. "Si Masnya berdua enggak sekalian," lanjutnya sembari menahan senyum.Aku melirik kedua pria itu bergantian. Namun, dari ekspresi mereka kulihat sepertinya tak berminat."Enggak, Bang. Mereka enggak makan roti, tapi makan orang," bisikku, sembari memicingkan mata serius. Seketika si Abang tukang roti wajahnya berubah pucat. Lantas ia segera mendorong gerobaknya menjauh dari hadapanku.Aku tertawa melihat ekspresi pria paru baya itu. Namun, tawaku te
Setelah berhasil menenangkan Laras, aku mengajaknya kembali ke rumah bunda. Sepanjang perjalanan ia hanya diam saja. Tak ada satu patah kata pun yang terucap dari mulut cerdasnya itu yang biasa menentang ucapanku.“Beli bubur ayam dulu, yuk?” tawarku.Satu detik, dua detik. Tak ada jawaban sama sekali dari mulutnya. Laras hanya fokus menatap ke luar jendela.Akhirnya aku menepikan mobil di dekat gerobak penjual bubur ayam. Kemudian turun sendiri dan memesan dua porsi makanan bertekstur lembek itu. Wangi kaldu mengguar begitu nikmat, perutku jadi tambah keroncongan yang belum terisi sama sekali. Tadi di restoran, setelah kucium Laras menangis keras. Karena malu jadi perhatian banyak orang aku pun segera membawanya keluar dan mengajaknya pulang. Jadi tak sempat untuk sarapan. Kutinggalkan uang untuk membayar makanan yang sudah terlanjur dipesan.Lima menit selesai membeli dua bubur ayam, aku bergegas kembali ke mobil. Membuka satu sterofon yang berisi bubur dengan ayam suwir. Dan satu
"Mas, kok, malah diam saja. Mas enggak sayang lagi, ya sama Mala," rajuknya, ia pikir aku akan luluh dengan aksinya. Lihat saja Mala, suatu saat jika bukti kejahatanmu sudah lengkap, maka kau akan merasakan pembalasan dari perbuatan jahatmu itu."Maaf, tadi Mas ada meeting dengan klien di restoran hingga larut, jadi tak sempat pulang ke rumah." Aku menjawab dengan suara yang dibuat-buat menyesal."Terus sekarang, Mas Juan ada di mana?""Hotel.""Oh, mau Mala temani?" tawarnya. Mencoba untuk menggodaku. Gadis itu tak berhenti untuk terus merayuku. Namun, aku masih sangat sadar dan tak sudi menyentuh perempuan berhati iblis itu."Tidak perlu, nanti juga Mas pulang sore." Aku menolak dengan tegas."Oh, ya sudah, tapi, jika Mas Juan kesepian, jangan sungkan memintaku untuk menemani, sebagai pengganti mbak Laras."Sungguh sangat menjijikkan ucapannya itu terdengar di telingaku. Apa katanya ia ingin menggantikan posisi Laras?Tidak akan pernah bisa, ia dan Laras jauh berbeda, di mana istrik
Aku terbangun dari tidur. Menatap jam dinding pukul empat pagi. Lantas kepalaku menoleh ke samping di mana Laras masih tertidur lelap. Aku tersenyum menatapnya. Lantas bergerak mengecup bibirnya yang tak pernah berhenti mengoceh. Namun, menjadi candu bagiku. Laras bergerak, karena merasa terusik dengan perbuatanku barusan.Selimut yang membalut tubuhnya sedikit terbuka karena pergerakannya. Aku menarik kembali dan membenahi. Menutup tubuh polosnya yang di penuhi tanda merah hasil karyaku.Kemarin, saat setelah perdebatan kami yang tak pernah berujung. Akhirnya aku mengalah dan membawa Laras makan malam romantis di salah satu restoran favorit kami. Lantas menginap di hotel dan menghabiskan malam indah bersama istriku. Anggap saja sebagai pengganti dinner yang gagal tempo lalu, karena ulah Mala yang waktu itu memintaku untuk menemaninya sebentar yang ternyata ia menjebakku.Mala memberiku jus yang ternyata sudah diberikan obat perangsang. Bukan hanya itu saja bahkan ia pun mencekoki ak
"Kenapa, kita ke sini?" tanyaku, saat mobil mas Juan berhenti di depan perusahaannya."Memangnya kau mau diberondong sejuta pertanyaan oleh bunda, jika aku antar ke rumah?" Jawabnya. Benar juga, tadi kan aku bilang ke bunda mau pergi ke rumah teman dan akan pulang sore. Jika, pulang sekarang bisa curiga, apalagi di antar mas Juan. Ah, tak bisa dibayangkan mulut manis bunda nyerocos sepanjang jalan kenangan nanti."Eh, Bu Laras, lama enggak ketemu. Apa kabar, Bu?” sapa pak Yanto security di perusahaan mas Juan, usai membukakan pintu mobil untukku.Aku mengangguk tersenyum ramah padanya. "Baik, Pak. Kalau Pak Yanto sendiri bagaimana kabarnya?""Alhamdulillah, saya teh selalu diberikan kesehatan sama Allah," jawabnya melempar senyum padaku."Ekhm!" Deheman mas Juan tiba-tiba membuat pria berkumis itu seketika wajahnya berubah tegang. Kemudian menunduk hormat."Parkiran mobil saya, jangan sampai lecet seperti kemarin, jika itu terjadi kembali, maka bukan hanya gaji kamu yang saya potong,