Aku terbangun saat mendengar suara mas Juan berbicara dengan seseorang di telepon.
“Iya Mas segera ke sana,” ucapnya lalu menutup gawainya dan meletakkannya di atas nakas.
“Siapa Mas?” tanyaku.
“Mala. Dia bilang katanya minta di temani sebentar. Sepertinya ia mulai ketakutan lagi,” jelas mas Juan.
“Mas tunggu!” panggilku. Mas Juan menghentikan langkahnya dan menoleh padaku heran.
“Ada apa?” tanyanya yang masih berdiri di depan pintu.
“Biar aku saja yang menemani Mala, Mas lanjut tidur lagi.” Aku menawarkan diri. Mas Juan terlihat menimbang dan akhirnya ia mengangguk.
“Baiklah.” Kembali ia merebahkan diri di kasur.
Aku tersenyum menyeringai. Lihat saja Mala, akan kubuat kau menyesal.
Aku mengetuk pintu bercat cokelat itu perlahan dan tak lama pintu terbuka. Ah, cepat sekali dia. Sepertinya memang ia sudah siap menggoda suamiku.
Matanya membelalak saat menemukanku berdiri di hadapannya. Wajah sok polosnya terlihat kecewa saat tahu bukanlah mas Juan yang datang.
“Hai adik ipar?” sapaku tersenyum.
“Mana Mas Juan?” tanyanya ketus.
Apa? Mas Juan katanya, enak saja dia menanyakan suamiku. Dasar perempuan sinting!
Aku mendorong tubuhnya masuk. Ia yang tak siap terjengkang ke belakang, dan bokongnya mendarat paksa di lantai. Ia mengasuh kesakitan.
Mala mencoba berteriak. Namun, dengan cepat aku menyumpal mulutnya dengan sandal rumahan yang kukenakan.
Kupelintir tangannya ke belakang sehingga posisi tubuhnya berubah membelakangiku. Terdengar rintihan dari mulutnya sambil meronta-ronta kesakitan.
“Jangan coba-coba kamu menggoda suamiku. Paham!” ancamku, lalu melepaskan tangannya dengan sedikit mendorong tubuhnya.
Buru-buru ia mengambil sandal dari mulutnya dan melemparkannya balik padaku. Namun, dengan sigap aku menghindar.
Aku tersenyum mengejek dan dengan langkah cepat keluar dari kamar, lalu meninggalkan Mala yang tengah marah.
Di luar aku berpapasan dengan mas Juan, sepertinya ia hendak menyusulku atau mungkin ingin melihat Mala.
Walau pun ia sudah menjelaskan jika ia hanya cinta padaku, tetap saja aku tak percaya. Mana mungkin cinta itu hilang begitu saja sementara mas Juan masih sangat perhatian pada perempuan itu.
“Eh, Mas. Kok, di sini?” tanyaku agak sedikit gugup.
“Iya, aku ingin lihat keadaan Mala,” jawabnya.
“Oh, Mas enggak usah khawatir. Mala sudah baik-baik saja, kok.” Aku berbohong. Kemudian segera mengapit lengan mas Juan dan menariknya kembali masuk ke dalam kamar.
“Laras, benarkah Mala sudah lebih baik?” tanyanya saat kami sudah bersiap untuk kembali tidur.
Aku menghela napas dan mengeluarkannya perlahan, aku harus sabar agar tidak mudah tersulut emosi.
“Mas, enggak percaya sama aku?” tanyaku sembari meletakkan kedua tanganku di pundaknya.
Ia menatapku penuh selidik. “Aku percaya.”
Syukurlah, mas Juan percaya. Entah, apalagi yang akan Mala lakukan setelah ini.
-
Selesai dengan rutinitas olah raga di pagi hari. Aku beranjak ke kamar mandi dan membersihkan diri dari bau keringat.
Lima belas menit aku membuka lemari dan mengenakan baju rumahan. Suara notifikasi pesan dari gawaiku mengalihkan perhatian. Kuraih dan membukanya. Satu kiriman sebuah foto membuat netraku terbelalak. Di mana Mala duduk di samping mas Juan. Dari keadaan yang terlihat dari foto itu sepertinya mereka sedang makan siang di sebuah restoran.
Tak lama muncul kembali sebuah pesan yang membuatku geram.
Ratu Drama
“Mungkin di rumah aku tak bisa bersama mas Juan, tapi di luar aku bisa bebas bersamanya.”
Pesannya di sertai dengan gambar emoticon tertawa.
Keterlaluan perempuan itu, tak terpikir olehku Mala akan memanfaatkan kebersamaannya di luar bersama Mas Juan. Kenapa aku bisa lupa, jika jarak kampus Mala dan kantor suamiku tidak terlalu jauh.
Kutekan tombol panggil pada nomor mas Juan. Tersambung dan tak lama diangkat.
“Assalamualaikum, ada apa Ras?” tanyanya di seberang sana. Baru hendak berbicara aku sudah mendengar suara perempuan sinting itu.
“Mas, mau udang atau cumi?” ucapnya sok perhatian. Benar-benar membuatku muak. Malas untuk melanjutkan obrolan dengan mas Juan, kutekan tombol merah dilayar dengan kasar.
Perempuan itu rupanya mengajak perang denganku lihat saja siapa yang akan tertawa belakangan.
“Bu, Ibu!” suara bik Imah di luar menyadarkanku.
Aku buka pintu dan menemukan wanita paruh baya itu menggenggam sebuah amplop warna cokelat ditangannya.
“Apa itu Bik?” tanyaku heran.
“Ini Bu, tadi ada orang suruh saya kasih ini ke non Mala,” jelasnya sambil menyodorkan amplop cokelat di hadapanku.
Aku meraihnya dan mengucapkan terima kasih pada asisten rumah tanggaku itu.
Tadinya aku tak berani membuka, karena menurutku itu tak sopan. Namun, rasa penasaran dan kecurigaanku memaksa untuk melihat isinya.
Kubuka benda berukuran persegi panjang itu, dan isinya seketika membuat mulut ini menganga, sebuah foto Mala sedang menganiayai seseorang yang sangat kukenal.
Aku tak percaya dengan apa yang kulihat dalam foto ini. Di sana Mala tengah menarik lengan Mama dengan mimik garang. Seolah perempuan itu marah dan kesal terhadap mertuaku.
Apa yang sebenarnya terjadi? Apakah selama ini kasih sayang Mala yang selalu ia tunjukkan di depanku dan mas Juan itu semua palsu? apa jangan-jangan meninggalnya mamah juga ada sangkut pautnya dengan dia?
Ah, tidak. Aku tidak boleh berspekulasi seperti itu dulu, khawatir fitnah, tapi foto ini apa harus aku simpan dan berikan pada mas Juan agar ia juga melihatnya.
Aku memasukkan kembali foto itu ke dalam amplop, karena terburu-buru aku menjatuhkan selembar kertas kecil di dekat kaki.
“Transfer sekarang uangnya, atau foto-foto ini akan langsung aku berikan pada kakak tercintamu itu.”
Sepertinya si pengirim ini mencoba memeras Mala menggunakan foto-foto ini. Segera kusimpan dalam laci kamar. Lalu beranjak ke dapur menemui bik Imah, untuk tidak menceritakan pada adik iparku itu, mengenai kiriman foto ini.
“Baik, Bu.” Ucapnya patuh.
“Bagus, dan jika nanti ada kiriman lagi untuk Mala, berikan pada saya, dan juga Bibi awasi gerak-gerik Mala di rumah ini. Laporkan apa saja yang ia lakukan.”
“Baik, Bu. Saya mengerti.” Bik Imah kembali mengangguk patuh. Lantas wanita beranak empat itu undur diri untuk melanjutkan pekerjaannya yang sempat tertunda.
Mulai hari ini aku harus benar-benar waspada. Jika analisisku benar mengenai apa yang terlihat pada foto itu, bisa saja Mala juga berniat melukaiku, karena obsesinya ingin memiliki mas Juan.
Aku menghela napas kasar, sungguh tak bisa dipercaya. Gadis yang pertama kali kukenal itu terlihat sopan dan manis. Ternyata, memiliki sisi lain yang tak dapat dipercaya.
Mas Juan harus tahu siapa sebenarnya Mala, tapi bagaimana cara aku memberitahunya, sementara suamiku itu tak pernah percaya.
Kepalaku mendadak pening memikirkan hal ini. Sebaiknya aku beristirahat. Mengenai masalah memberitahu mas Juan biar kupikirkan nanti.
-
Keesokan harinya sepulang dari Supermarket aku menemukan sebuah mobil terparkir sembarang di halaman rumah. Kuperhatikan dengan saksama bukan mobil mas Juan.
Dari luar aku mendengar teriakkan Mala. Perempuan itu sepertinya tengah bertengkar dengan seseorang.
Gegas aku mendekat pada pintu depan yang tidak tertutup rapat. Ada sedikit celah di sana.
Mala terlihat tengah memarahi seorang pria yang berdiri di hadapannya dengan posisi membelakangi pintu keluar, sehingga aku tak dapat mengenali wajah pria itu.
Kuletakan plastik belanjaan di bawah dekat kaki. Mengeluarkan Handphone dalam tas. Aku berniat merekam keduanya, siapa tahu ini bisa jadi bukti untuk aku berikan pada mas Juan. Ia harus tahu siapa Mala sebenarnya.
“Mana uang yang kau janjikan padaku, jika aku berhasil membantumu menghabisi nenek tua itu!” teriak pria yang tak kukenal itu.
Nenek tua, dihabisi, apa itu mama?
Aku menutup mulutku, karena kaget dengan apa yang kudengar barusan.
“Sabar sedikit, aku pasti transfer. Hanya saja saat ini aku tidak bisa merayu mas Juan. Selalu ada mbak Laras yang menghalangi!” bentak Mala kasar. Sepertinya perempuan itu begitu frustrasi.
“Pokoknya besok kamu harus sudah transfer. Kalau belum? Bukti foto-fotomu saat menganiaya orang tua angkatmu itu, akan kuberikan langsung pada kakakmu!” ancamnya. Membuat Mala ketakutan. Lantas perempuan itu memohon dan meminta waktu untuk mendapatkan uang dari mas Juan.
“B_baiklah, akan aku usahakan besok. Tapi aku mohon jangan coba-coba kamu berikan foto-foto itu pada mas Juan.”
“Aku tunggu sampai besok siang, jika rekeningku masih kosong, maka siang itu juga, kakakmu itu akan mendapat kiriman foto perbuatan jahatmu sendiri.” Suara pria itu terdengar mengerikan.
Sepuluh menit aku rasa cukup untuk merekam percakapan keduanya sebagai bukti kuat nanti yang akan kuberikan pada mas Juan. Sebentar lagi belangmu akan ketahuan Mala. Aku tersenyum menyeringai.
Aku segera menjauh dari pintu, sebelum ketahuan oleh keduanya. Baru hendak melangkah, tiba-tiba kakiku tersandung bungkusan belanjaan yang tadi kuletakkan di bawah.
Kemudian gawaiku terjatuh menimbulkan bunyi yang cukup keras.
“Siapa itu!” teriak Mala, dan terdengar suara langkah kaki berjalan cepat. Aku bergegas mengambil Handphone yang terjatuh tadi, beruntung tidak hancur, jadi masih bisa kugunakan untuk menghubungi mas Juan meminta pertolongan.
Aku berlari menuju gerbang. Namun, belum sampai aku meraihnya, tanganku sudah di tarik seseorang dari belakang lalu mulutku di bekap menggunakan sapu tangan. Bau minyak yang sangat menyengat membuat kepalaku pusing dan gelap.
Aku membuka mata perlahan, kepala masih terasa pusing, saat Mencoba mengiat-ingat kembali apa yang telah terjadi padaku.Handphone-ku? Aku panik ketika otakku mengingat kembali apa yang telah terjadi sebelum aku dibekap tadi.Aku bangun dari tempat tidur dan mencari benda pipih itu. Pintu terbuka menampilkan tubuh tegap mas Juan dengan wajah datar. Rahangnya mengeras seolah ia tengah menahan amarah.Perasaanku mulai tak enak, aku merasa akan terjadi sesuatu yang buruk.Mas Juan melangkah perlahan mendekat padaku dan seketika kedua tangan kekarnya menarik lenganku kuat. Sehingga membuat diriku meringis kesakitan.“Apa yang sudah kau lakukan dengan pria itu. Hah!” Teriaknya, tepat di depan wajahku. Tatapannya begitu tajam menusuk ke dalam mataku.“Ini, yang kamu cari. Hah!” mas Juan menunjukkan gawai milikku di tangannya.Saat hendak meraihnya, mas Juan menarik
Bau obat menyergap di penciumanku, saat aku tersadar dengan kepala yang masih terasa berdenyut nyeri.“Sudah sadar.” Aku menoleh pada sumber suara. Wanita berhijab dengan jas putih itu tersenyum ramah padaku.Melirik sebelah kiri mas Juan diam tanpa kata. Terlihat wajahnya seperti menahan amarah. Entahlah apa lagi yang terjadi, setelah aku pingsan tadi. Aku benar-benar sudah pasrah.“Selamat ya Bu. Sebentar lagi Anda akan menjadi seorang ibu,” ucap dokter tersenyum ramah.Sungguh aku bahagia mendengar berita yang selama ini sangat dinantikan. Setahun lebih kami menunggu kehadiran sang buah hati, dan akhirnya Allah mengabulkannya.Tak terasa aku menitikkan air mata haru. Mengelus perut yang masih rata, sembari mengucapkan kalimat hamdalah.“Ayo kita pulang!” ucap mas Juan tiba-tiba dengan wajah datar. Apa dia tidak bahagia? Bukankah ia juga begitu mengharapkan anak selama ini.Aku mengangguk mengiyakan, lalu ia membantuku
Keesokan harinya aku terbangun masih dengan morning sickness yang luar biasa. Bolak-balik kamar mandi. Kebetulan memang di rumah bunda yang sederhana setiap kamar tidak memiliki toilet, tak seperti di rumah mas Juan. Karena merasa lelah kuletakan bokong di kursi meja makan. Ternyata seperti ini rasanya mengidam yang sering para wanita bersuami keluhkan. Aku menelungkup kan wajah di atas meja dengan di topang kedua tangan.Tubuhku rasanya lemas sekali, ditambah kepala pusing dan mual yang tiada berkesudahan.“Minumlah, ini bisa mengurangi sedikit rasa mualmu,” kata bunda menyodorkan segelas teh lemon hangat dengan madu di hadapanku.Aku mengangkat kepala, meraihnya lantas meminumnya perlahan. Benar saja, rasa mual sedikit berkurang, bunda memang terbaik.Bunda tersenyum melihat perubahan raut wajahku yang terlihat lega. Mengelus kepala ini yang tak tertutup hijab saat di dalam rumah, karena tak ada pria yang buka mahram di sini
“Jangan sembarangan menerima ajakan pria yang bukan mahram, apalagi memberikan nomor, ingat! kamu itu wanita bersuami.” Peringat bunda, wanita itu terus mengoceh saat kami sudah berada di dalam jok penumpang. Untunglah taksi yang kami pesan tadi cepat datang sehingga kami tidak harus menunggu sambil kepanasan di depan rumah sakit. “Iya, Bun. Tadi Laras hanya menghormatinya saja. Lagi pula belum tentu kan kita bertemu lagi dengan David,” sambungku sembari memijat kening yang mulai terasa pusing kembali. “Dia pria yang dulu ayahmu ceritakan itu, bukan?” tanya bunda memastikan. “Iya.” Aku tak percaya bunda masih ingat dengan David. Pria dulu pernah mengutarakan cinta di depan ayah yang pada saat itu menjemputku di sekolah. “Hati-hati, jangan di respons kalau pria itu kembali menghubungi kamu. Ingat kamu sudah bersuami, dan Juan masih jadi menantu kesayangan Bunda!” putusnya sewot, jika
Berkali-kali aku menguap, rasanya sangat mengantuk. Padahal, masih pukul sembilan pagi. Hamil membuatku ingin rebahan terus.“Mau ngapain?” tegur bunda cepat, usai melayani pelanggan.“Rebahan, Laras ngantuk.” Aku langsung menempelkan kepala di atas sofa panjang yang di sediakan bunda untuk pelanggan yang biasa menunggu pesanan.“Masih pagi, jangan di biasakan, enggak baik buat janin.” Bunda menarik lenganku supaya bangun.“Bunda ....” rengekku, karena sudah sangat mengantuk.“Ayo, bangun, bergerak bantu Lela sama Darmi di belakang sana!” Beliau menggiringku ke dapur tempat membuat aneka kue tradisional.Bunda memiliki usaha toko kue tradisional sejak aku masih SMP. Kue- kue buatannya sudah terkenal enak dan terjangkau. Dan para pelanggannya pun sudah banyak bahkan sudah mencapai luar kota. Sesampainya di tempat khusus memproduksi kue-kue, bunda menyuruh kedua bawahannya memberiku pekerjaan.“Darmi, Lela, kasih Laras kerjaan!” titahnya pada kedua wanita yang tengah membungkus lemper.
"Kenapa, kita ke sini?" tanyaku, saat mobil mas Juan berhenti di depan perusahaannya."Memangnya kau mau diberondong sejuta pertanyaan oleh bunda, jika aku antar ke rumah?" Jawabnya. Benar juga, tadi kan aku bilang ke bunda mau pergi ke rumah teman dan akan pulang sore. Jika, pulang sekarang bisa curiga, apalagi di antar mas Juan. Ah, tak bisa dibayangkan mulut manis bunda nyerocos sepanjang jalan kenangan nanti."Eh, Bu Laras, lama enggak ketemu. Apa kabar, Bu?” sapa pak Yanto security di perusahaan mas Juan, usai membukakan pintu mobil untukku.Aku mengangguk tersenyum ramah padanya. "Baik, Pak. Kalau Pak Yanto sendiri bagaimana kabarnya?""Alhamdulillah, saya teh selalu diberikan kesehatan sama Allah," jawabnya melempar senyum padaku."Ekhm!" Deheman mas Juan tiba-tiba membuat pria berkumis itu seketika wajahnya berubah tegang. Kemudian menunduk hormat."Parkiran mobil saya, jangan sampai lecet seperti kemarin, jika itu terjadi kembali, maka bukan hanya gaji kamu yang saya potong,
Aku terbangun dari tidur. Menatap jam dinding pukul empat pagi. Lantas kepalaku menoleh ke samping di mana Laras masih tertidur lelap. Aku tersenyum menatapnya. Lantas bergerak mengecup bibirnya yang tak pernah berhenti mengoceh. Namun, menjadi candu bagiku. Laras bergerak, karena merasa terusik dengan perbuatanku barusan.Selimut yang membalut tubuhnya sedikit terbuka karena pergerakannya. Aku menarik kembali dan membenahi. Menutup tubuh polosnya yang di penuhi tanda merah hasil karyaku.Kemarin, saat setelah perdebatan kami yang tak pernah berujung. Akhirnya aku mengalah dan membawa Laras makan malam romantis di salah satu restoran favorit kami. Lantas menginap di hotel dan menghabiskan malam indah bersama istriku. Anggap saja sebagai pengganti dinner yang gagal tempo lalu, karena ulah Mala yang waktu itu memintaku untuk menemaninya sebentar yang ternyata ia menjebakku.Mala memberiku jus yang ternyata sudah diberikan obat perangsang. Bukan hanya itu saja bahkan ia pun mencekoki ak
"Mas, kok, malah diam saja. Mas enggak sayang lagi, ya sama Mala," rajuknya, ia pikir aku akan luluh dengan aksinya. Lihat saja Mala, suatu saat jika bukti kejahatanmu sudah lengkap, maka kau akan merasakan pembalasan dari perbuatan jahatmu itu."Maaf, tadi Mas ada meeting dengan klien di restoran hingga larut, jadi tak sempat pulang ke rumah." Aku menjawab dengan suara yang dibuat-buat menyesal."Terus sekarang, Mas Juan ada di mana?""Hotel.""Oh, mau Mala temani?" tawarnya. Mencoba untuk menggodaku. Gadis itu tak berhenti untuk terus merayuku. Namun, aku masih sangat sadar dan tak sudi menyentuh perempuan berhati iblis itu."Tidak perlu, nanti juga Mas pulang sore." Aku menolak dengan tegas."Oh, ya sudah, tapi, jika Mas Juan kesepian, jangan sungkan memintaku untuk menemani, sebagai pengganti mbak Laras."Sungguh sangat menjijikkan ucapannya itu terdengar di telingaku. Apa katanya ia ingin menggantikan posisi Laras?Tidak akan pernah bisa, ia dan Laras jauh berbeda, di mana istrik
Aku menghembuskan napas kasar. Meletakkan handphone ke atas nakas, lantas membaringkan tubuhku di atas kasur. Baru saja aku melakukan panggilan pada David. Namun, pria itu tak mengangkatnya sepertinya ia memang sedang sibuk.Sayup telingaku mendengar percakapan seseorang dari luar kamar. Dari suaranya aku bisa menebak dan yakin itu adalah suara mas Juan dan bunda yang tengah mengobrol.Aku bangun dari ranjang, lantas berjalan menuju pintu kamar. Membuka sedikit celah dan mengintip. Terlihat bunda dan mas Juan di ruang tengah. Apa yang tengah mereka bicarakan? Batinku.“Beritahu Laras dari sekarang, jelaskan apa yang sebenarnya terjadi.” Bunda menatap mas Juan serius.“Belum saatnya, Bun.” Mas Juan mengurut keningnya. Tergambar raut lelah di wajahnya. Pasti di kantor tadi ia sangat sibuk sekali.“Laras sudah mencurigai bunda, jelaskan saja padanya, kau tahu bagaimana Laras jika sudah ingin tahu, dia akan nekat mencari tahu sendiri.” Lagi bunda berkata tegas agar mas Juan menjelaskan se
“Apa kau masih ingat roti bakar mang Tono?” David membuka suara.Aku menoleh padanya. “Ah, iya aku masih ingat, dia salah satu penjual roti bakar terenak di kantin.David tersenyum menampakkan gigi-gigi rapi dan putihnya itu. Jika diperhatikan pria ini tampan dan manis. Hanya saja mungkin ia terlalu kaku, jadi tak membuatku luluh dengan perjuangannya dulu.“Cepatlah selesaikan urusanmu, ini bukan acara reunian.” Mas Juan menyela tiba-tiba.“Ah, maaf, saya hanya teringat saja, masa-masa SMA kami dulu.”“Dan itu tidak penting!” sergah mas Juan, “cepat apa yang kau ingin sampaikan pada istriku, kalau tidak aku bisa menghajar hidungmu kembali.”Raut wajah David terlihat panik dan takut saat mas Juan melontarkan ancamannya. “Mas!” aku melotot ke arah mas Juan, memperingatinya agar bisa menahan emosi.Namun, mas Juan seolah tak peduli, pelototan dariku sama sekali tak membuatnya untuk berhenti mengintimidasi David.Pria berkulit putih itu memang sukses mengubah penampilannya, akan tetapi s
“Kau sedang tidak berpikir untuk kabur dan menemui David, kan?” ujar mas Juan tiba-tiba. Sementara matanya tetap fokus menatap ke depan.Aku menoleh, mengerutkan kening pura-pura tak mengerti dengan apa yang barusan ia katakan, padahal aku mengerti arah perkataannya ke mana. “Maksudnya?”“Dengan melarang bunda untuk tidak ikut denganmu itu hanya akal-akalanmu saja, yang sebenarnya ingin menemui pria culun itu!” Sindirnya masih menatap ke depan.“Ih, suuzhon!” sambarku.“Awas saja kalau kau berani menemuinya, aku tidak pernah bercanda dengan ancamanku waktu itu, Laras.” Lagi mas Juan mengingatkanku dengan ancaman yang dulu ia pernah katakan padaku.“Enggak enak kan rasanya lihat pasangan sendiri dekat sama pria lain.” Aku menyindirnya balik. Sengaja agar mas Juan tahu bagaimana rasanya dulu aku hampir setiap hari terbakar cemburu.“Itu berbeda, Mala adikku sementara pria itu bukan saudaramu!”Aku berdecih. “Adik macam apa yang dengan sengaja ingin melakukan perbuatan tak senonoh denga
“Mas?” panggilku untuk ke sekian kalinya, tapi tak juga mas Juan menyahut. Ia masih marah padaku, setelah mendengar cerita bunda mengenai aku yang ingin menemui David tadi sore. Padahal aku sudah menjelaskan alasan ingin bertemu teman lamaku itu.Namun, Mas Juan tak menerima alasan apa pun. Ia mengomel, bahkan mengulangi ancamannya yang pernah dikatakan padaku waktu itu. Tentu saja membuatku bergidik. Kasihan David jika harus jadi pengangguran seumur hidupnya.Beruntung saat mas Juan marah, ayah juga pulang dari kantor. Dan pria tua yang sangat kusayangi itu pun memperingatinya agar tidak memarahiku berlebihan.“Kamu boleh memarahi, menegur, Laras jika memang dia salah. Tapi tolong liat kondisinya juga. Laras tengah hamil. Kondisi Sikis-nya juga perlu dijaga.” Kemudian ayah menepuk pundak mas Juan. “Lelaki sejati adalah yang bisa mengontrol emosinya!” peringat ayah, lantas berlalu pergi dengan diikuti Bunda dari belakang.Peringatan ayah benar-benar menyelamatkanku dari kemarahan mas
Sedari pagi mulutku tak berhenti mengomel pada mas Juan. Suamiku itu benar-benar membuatku jengah. Ia memerintahkan bawahannya Rico mengirimkan bodyguard untuk menjagaku. Seperti saat ini, mau beli roti bakar di si Abang yang biasa lewat depan rumah bunda saja harus di antar bodyguard, kan malu.Si Abang tukang roti bakar sedari tadi hanya menahan senyum melihat bodyguard berbaju hitam lengkap dengan kaca mata hitam. Keduanya berdiri di sampingku."Ini Neng sudah jadi rotinya.” Si abang menyodorkan roti bakar isi selai cokelat dan nanas. "Si Masnya berdua enggak sekalian," lanjutnya sembari menahan senyum.Aku melirik kedua pria itu bergantian. Namun, dari ekspresi mereka kulihat sepertinya tak berminat."Enggak, Bang. Mereka enggak makan roti, tapi makan orang," bisikku, sembari memicingkan mata serius. Seketika si Abang tukang roti wajahnya berubah pucat. Lantas ia segera mendorong gerobaknya menjauh dari hadapanku.Aku tertawa melihat ekspresi pria paru baya itu. Namun, tawaku te
Setelah berhasil menenangkan Laras, aku mengajaknya kembali ke rumah bunda. Sepanjang perjalanan ia hanya diam saja. Tak ada satu patah kata pun yang terucap dari mulut cerdasnya itu yang biasa menentang ucapanku.“Beli bubur ayam dulu, yuk?” tawarku.Satu detik, dua detik. Tak ada jawaban sama sekali dari mulutnya. Laras hanya fokus menatap ke luar jendela.Akhirnya aku menepikan mobil di dekat gerobak penjual bubur ayam. Kemudian turun sendiri dan memesan dua porsi makanan bertekstur lembek itu. Wangi kaldu mengguar begitu nikmat, perutku jadi tambah keroncongan yang belum terisi sama sekali. Tadi di restoran, setelah kucium Laras menangis keras. Karena malu jadi perhatian banyak orang aku pun segera membawanya keluar dan mengajaknya pulang. Jadi tak sempat untuk sarapan. Kutinggalkan uang untuk membayar makanan yang sudah terlanjur dipesan.Lima menit selesai membeli dua bubur ayam, aku bergegas kembali ke mobil. Membuka satu sterofon yang berisi bubur dengan ayam suwir. Dan satu
"Mas, kok, malah diam saja. Mas enggak sayang lagi, ya sama Mala," rajuknya, ia pikir aku akan luluh dengan aksinya. Lihat saja Mala, suatu saat jika bukti kejahatanmu sudah lengkap, maka kau akan merasakan pembalasan dari perbuatan jahatmu itu."Maaf, tadi Mas ada meeting dengan klien di restoran hingga larut, jadi tak sempat pulang ke rumah." Aku menjawab dengan suara yang dibuat-buat menyesal."Terus sekarang, Mas Juan ada di mana?""Hotel.""Oh, mau Mala temani?" tawarnya. Mencoba untuk menggodaku. Gadis itu tak berhenti untuk terus merayuku. Namun, aku masih sangat sadar dan tak sudi menyentuh perempuan berhati iblis itu."Tidak perlu, nanti juga Mas pulang sore." Aku menolak dengan tegas."Oh, ya sudah, tapi, jika Mas Juan kesepian, jangan sungkan memintaku untuk menemani, sebagai pengganti mbak Laras."Sungguh sangat menjijikkan ucapannya itu terdengar di telingaku. Apa katanya ia ingin menggantikan posisi Laras?Tidak akan pernah bisa, ia dan Laras jauh berbeda, di mana istrik
Aku terbangun dari tidur. Menatap jam dinding pukul empat pagi. Lantas kepalaku menoleh ke samping di mana Laras masih tertidur lelap. Aku tersenyum menatapnya. Lantas bergerak mengecup bibirnya yang tak pernah berhenti mengoceh. Namun, menjadi candu bagiku. Laras bergerak, karena merasa terusik dengan perbuatanku barusan.Selimut yang membalut tubuhnya sedikit terbuka karena pergerakannya. Aku menarik kembali dan membenahi. Menutup tubuh polosnya yang di penuhi tanda merah hasil karyaku.Kemarin, saat setelah perdebatan kami yang tak pernah berujung. Akhirnya aku mengalah dan membawa Laras makan malam romantis di salah satu restoran favorit kami. Lantas menginap di hotel dan menghabiskan malam indah bersama istriku. Anggap saja sebagai pengganti dinner yang gagal tempo lalu, karena ulah Mala yang waktu itu memintaku untuk menemaninya sebentar yang ternyata ia menjebakku.Mala memberiku jus yang ternyata sudah diberikan obat perangsang. Bukan hanya itu saja bahkan ia pun mencekoki ak
"Kenapa, kita ke sini?" tanyaku, saat mobil mas Juan berhenti di depan perusahaannya."Memangnya kau mau diberondong sejuta pertanyaan oleh bunda, jika aku antar ke rumah?" Jawabnya. Benar juga, tadi kan aku bilang ke bunda mau pergi ke rumah teman dan akan pulang sore. Jika, pulang sekarang bisa curiga, apalagi di antar mas Juan. Ah, tak bisa dibayangkan mulut manis bunda nyerocos sepanjang jalan kenangan nanti."Eh, Bu Laras, lama enggak ketemu. Apa kabar, Bu?” sapa pak Yanto security di perusahaan mas Juan, usai membukakan pintu mobil untukku.Aku mengangguk tersenyum ramah padanya. "Baik, Pak. Kalau Pak Yanto sendiri bagaimana kabarnya?""Alhamdulillah, saya teh selalu diberikan kesehatan sama Allah," jawabnya melempar senyum padaku."Ekhm!" Deheman mas Juan tiba-tiba membuat pria berkumis itu seketika wajahnya berubah tegang. Kemudian menunduk hormat."Parkiran mobil saya, jangan sampai lecet seperti kemarin, jika itu terjadi kembali, maka bukan hanya gaji kamu yang saya potong,