“Ran ayo turun bentar, aku mau cari sesuatu,” katanya sembari keluar dari mobil.
Ran keluar dari mobil itu sembari menggendong biola dan tas ranselnya. Kemudian, ia berjalan mengikuti Raka memasuki swalayan. Ia ingat tempat itu. Dulu ibunya pernah mengajaknya mengunjungi tempat itu, untuk membeli bahan – bahan makanan. Kala itu, ibunya mendapat banyak bonus dari pelanggan karena idul fitri. Lebaran yang dirayakan oleh umat islam setahun sekali, tiap usai puasa ramadhan. Ini kedua kalinya ia mengunjungi tempat itu.
Ran menyaksikan keramaian swalayan dengan kagum. Rata – rata pengunjung adalah sepasang pasutri yang memiliki seorang anak. Anak – anak dari para pasutri itu pun terlihat bahagia menghampiri tempat mainan dan snack. Dan, orang tua mereka tidak keberatan ketika anaknya meminta salah satu barang dari sana. Ia berhenti melihat pantulan diri sendiri di cermin, yang berada di bagian peralatan rumah tangga. Penampilan lusuh dan kotor, terlihat menyedihkan. Ia menundukan wajah murung.
Raka yang tidak menemukan Ran di sampingnya, lantas menengok ke arah belakang. Ia mendapati gadis itu berdiri dalam diam dan menatap jauh entah kemana. Kemudian ia berjalan menghampiri gadis itu, dan berjongkok di depannya.
“Ran, ada masalah?” tanya Raka dengan lembut.
Ran menggeleng dan berkata, “Bang, sepertinya aku buru – buru, ibu sendirian di rumah aku khawatir.”
“Okee, aku akan cepat, ikutlah denganku,” jawabnya.
Raka menggandeng tangan mungil Ran dan berjalan menuju bilik sembako. Disana, Raka meraih sebuah keranjang yang kemudian diisi dengan minyak goreng, beras, satu kilo telur, mie instan dan frozen food yang disukai anak – anak.
Ran yang berjalan di samping Raka, hanya memperhatikan dalam diam. Ia berharap agar cepat tumbuh besar, dan mendapatkan pekerjaan yang lebih layak dengan umpah besar.
Mereka menuju ke tempat pakaian dan alat tulis anak – anak.
“Ran, pilihlah baju dan sepatu yang kamu suka. Ambil keperluan sekolah yang kamu mau juga,” kata Raka.
Rak terkejut mendengar pernyataan Raka barusan. Kedua bola matanya sampai membuat sempurna. “Aku tidak mengerti, Bang,” katanya.
“Tahun ini, setiap anak akan memiliki perlengkapan sekolah yang baru, kamu juga harus punya,” balas Raka.
“Aku tidak punya cukup uang untuk membelinya.”
“Abang akan memberimu. Dan yang kita belanjakan hari ini, untukmu dan ibumu,” jelas Raka.
“Maaf bang, aku tidak bisa menerimanya. Abang juga masih kuliah, lebih baik itu untuk kebutuhan abang. Aku juga tidak bisa membalasnya,” balas Ran panik saking terkejutnya.
Raka tertegun dengan kalimat gadis berusia sembilan tahun itu barusan. Bagaimana mungkin dalam kondisi seperti itu dan diumur yang masih belia bisa berpikir jauh untuk orang lain?
Raka berjongkok sembari meletakkan keranjang belanjanya di lantai. Kemudian, dia menyentuh pundak Ran dan berkata, “Ran kalo ada rezeki yang datang padamu, jangan ditolak. Karena itu adalah pemberian Tuhan, perantaranya lewat manusia. Abang lebih dari mampu untuk membiayai diri sendiri, dan masih bisa berbagi untuk orang lain. Harta yang banyak percuma Ran, jika dinikmati sendiri. Akan lebih berguna, jika orang lain bisa merasakannya juga, dan ikut bahagia karenanya. Suatu saat, jika kamu dewasa dan dilimpahkan rezeki yang banyak oleh Tuhan, jangan lupa berbagi dengan orang lain. Jika kamu menemukan anak sepertimu nanti, bantulah. Insyaallah Tuhan akan memberkati setiap jalanmu, melalui doa – doa mereka yang kamu bantu.”
Perlahan senyum Ran menghiasi wajah manisnya. Ia merasa tenang mendengarkan kalimat Raka. Rasanya seperti mendengar khotbah saat beribadah setiap minggu. Ia sampai mengira bahwa Raka adalah seorang malaikat berwujud manusia, yang Tuhan kirim karena doa – doanya.
Setelah menyelesaikan belanjaannya, Ran dan Raka kembali ke mobil untuk melanjutkan perjalanan ke rumah Ran. Adzan maghrib sudah terdengar, tanda bahwa malam telah menggantikan sore. Suasana tak jauh beda, karena langit mendung sejak tadi. Hujan juga masih menguasai bumi dengan kelembabannya.
“Padahal kita baru bertemu, kenapa abang begitu baik padaku?” tanya Ran, ketika mobil Raka sudah berada di area rumahnya.
“Oh ya, tolong diingat! Kamu jangan sembarangan percaya sama orang, apalagi mau jika diajak pergi ke suatu tempat. Seperti sekarang, harusnya tadi kamu menolak ikut denganku, untungnya kamu tidak bertemu orang jahat Ran, sekalipun aku tidak bisa menyebut diri sendiri baik. Tapi kamu harus waspada, apalagi kamu seorang perempuan,” kata Raka.
Ran tertawa, “Ibu juga selalu berkata begitu.. aku ternyata bodoh. Tapi sepertinya Tuhan sangat melindungiku. Nyatanya aku tidak bertemu penjahat, melainkan seorang malaikat tak bersayap,” katanya.
Raka ikut tertawa mendengar pernyataan Ran barusan. Membolos kuliah tidak terlalu buruk, karena ia menemukan hal yang luar biasa sore itu.
“Bang, berhenti dekat pohon mangga itu saja, dari situ aku akan berjalan,” kata Ran.
“Kenapa tidak sampai rumah?” tanya Raka.
“Ayahku tidak suka ada tamu, jadi aku tidak ingin abang terkena semburan maut ayah yang lebih panas dari naga,” jawab Ran sembari terkekeh.
Raka tidak merespon tawa Ran barusan, karena tawa gadis itu terlihat sangat suram. Kemudian ia menghentikan mobil sedannya di dekat pohon mangga, sesuai permitaan gadis yang sekarang duduk di sampingnya.
“Ran, tunggu sebentar, jangan pergi dulu.”
Ran mengernyitkan dahi penuh tanda tanya.
Raka mengeluarkan secarik kertas dari dasbor mobilnya dan sebuah pena. Kemudian dia menuliskan sesuatu disana, dan memberikannya pada Ran.
“Jika kamu butuh bantuan, atau sedang dalam masalah hubungi nomor ini ya, carilah telepon umum terdekat.”
“Terimakasih Bang, aku akan simpan ini dengan baik.”
“Besok kamu ada waktu senggang?” tanya Raka.
“Tidak ada Bang, mungkin aku akan mengamen sepulang sekolah,” jawab Ran.
“Syukurlah, besok maukah kau ikut denganku ke toko buku? Aku ingin membeli beberapa buku, mungkin kamu juga ingin membeli sesuatu?”
Ran menggeleng dengan cepat, lalu berkata, “Tidak perlu bang, apa yang hari ini Abang berikan padaku sudah lebih dari cukup. Aku sungkan menerima sesuatu yang lebih lagi.”
Raka berdeham. “Ingat tentang yang aku sampaikan tadi? Jangan menolak rezeki,” katanya memaksa.
“Emm kalo begitu baiklah, aku akan menemani Abang.”
Raka tersenyum sembari mengusap kepala Ran dengan lembut. “Gitu baru anak pintar,” katanya.
Ran ikut tersenyum. Kemudian ia melangkahkan kakinya keluar dari mobil, sembari mmebawa tas belanjaan yang berisi pemberian Raka.
“Ran, sepertinya aku harus mengantarmu, kamu tidak bisa membawa ini semua sendirian,” katanya.
“Tidak! Aku bisa kok, aku pernah membawa karung goni yang berisi padi ketika membantu kakekku dulu di desa. Aku juga pernah mengangkat gas tabung, jadi jangan meremehkan. Kekuatanku juga setara dengan anak laki – laki,” ujar Ran dengan bangga.
Raka tersenyum, lalu melipatkan kedua tangan di depan dada seolah menantang Ran. “Mari Abang lihat, kamu bohong atau tidak.”
“Siapa takut.”
Ran menggantungkan biola di tas ranselnya. Kemudian ia menyatukan tas belanja sembako, lalu ia gendong di bahu kanannya. Kemudian, ia membawa tas yang berisi sepatu, ransel baru, alat tulis di bahu kirinya dekat dengan biola. Di kedua tangannya ia bawa plastik yang berisi pakaian barunya. Ia menopang semua barang itu di tubuh kurusnya. Sekalipun merasa tidak kuat, ia bukan tipe orang yang menyerah begitu saja.
“Li-lihat bang, a-aku bisa kan,” kata Ran sembari menahan berat.
“Tidak, aku akan membantumu,” ujar Raka khawatir.
“Aku pamit dulu bang, sampai bertemu besok ya, aku tunggu di pertigaan lampu lalu lintas,” balas Ran sembari berjalan dengan tergopoh – gopoh meninggalkan Raka.
Raka tersenyum menyaksikan kegigihan gadis kecil yang baru ditemuinya itu. Anak itu memang masih kecil, tapi rasanya aku seperti mengobrol dengan wanita dewasa.
***
“Ibu!!!” teriak Ran di depan pintu rumah.Seketika, pintu yang tertutup itu terbuka, memunculkan sosok seorang wanita berumur tiga puluh tahun yang wajahnya terlihat letih.“Ini semua, apa Ran?” tanya wanita itu yang terkejut melihat tas belanjaan tergeletak di tanah.“Aku akan ceritakan nanti Bu, ayo bantu aku memasukkan barang – barang ini ke dalam, segera sembunyikan sebelum Ayah datang.”Kemudian, dua perempuan itu saling bekerja sama untuk menyimpan barang di area yang sulit dijangkau. Namun ketika mereka menemukan frozen food, mereka bingung akan diletakkan dimana. Mereka tidak punya lemari pendingin, dan frozen food adalah jenis makanan yang cepat basi jika tidak diletakkan di suhu dingin.“Sepertinya kita harus menjual ini sebagian Ran, uanngnya kita tabung. Daripada basi disimpan lama – lama. Kalo dititipkan di tetangga, tidak enak,” ujar Ibunya memberi saran.Ran menganggu
Ran tertawa hingga suaranya menggema di ruangan itu. “Pria tidak becus, hanya bisa memeras dan kasar pada wanita,” balasnya. Kalimat barusan berhasil mendorong amarah Sudirman lebih jauh. Sehingga Sudirman mendorong Ran hingga terbentur dinding, dan melucuti pakaian putri semata wayangnya itu. “Kau akan tau rasanya, nikmatilah... sayang sekali jika tubuhmu tidak kunikmati lebih dulu sebelum diberikan pada para saudagar itu,” kata Sudirman. Kepercayaan diri yang tadi Ran bangun, menjadi porak – poranda atas perlakuan Sudirman barusan. Ia tahu apa yang akan dilakukan pria itu terhadapnya, karena ia pernah membaca kisah seorang anak yang dilecehkan oleh Ayah kandung sendiri. Ia bahkan tidak menyangka, dirinya akan mengalami hal serupa. Mungkin makian dan pukulan dari pria itu masih bisa ia terima. Namun, tindakan barusan telah melukai bagian terakhir dan paling berharga baginya. Tubuh Ran membeku, ketika angin yang masuk dari jendela kamar itu membelai s
Setelah membuat dirinya sendiri dan Pak Aksa jatuh dari tangga, Ran menatap guru itu dengan penuh sesal. "Maafkan saya," ujarnya. "Tidak masalah Ran, ayo berdiri," balas Pak Aksa sembari membantu Ran untuk bangkit. Kalimat barusan tidak membuatnya lega, dan semakin merasa bersalah. Perasaan itu disusul kembali dengan tangisannya yang semakin menjadi - jadi. "Aku ingin mati saja, aku gak berguna, kenapa aku harus lahir? Kenapa aku harus hidup? Aku selalu menyusahkan orang lain," teriak Ran seketika dengan meledak - ledak. Tanpa banyak kata, Aksa lantas menarik Ran dalam pelukannya. Namun Ran langsung mendorong Aksa, menolak pelukan itu. Ran berlari di ujung ruangan dan berjongkok sembari memukul - mukul kepalanya sendiri dengan keras. Ia meneriakan bahwa dirinya ingin mati secara berulang - ulang. Aksa menyusul Ran dan berjongkok tepat di depan gadis itu. Dengan lembut ia meraih dua tangan Ran yang menyakiti kepalanya send
Kinan berjalan ke depan cermin sebelah lemari pakaiannya. Ia diam menatap pantulan wajahnya, dengan tatapan kosong. Wajah cantiknya telah dipoles oleh sentuhan make up dari tangan profesional. Rambut sebahunya disulap menjadi sanggulan modern, berhiaskan sirkam rambut dengan permata yang menyilaukan. Ia mengenakan knee length a line dress berwarna biru donker, dengan renda di sekitar dada. Sepatu hak setinggi 5 cm berwarna silver kecoklatan terpasang manis di kakinya. "Apakah ada yang kurang Nona?" ujar penata rias Kinan yang kini berdiri di sebelahnya. Kinan tersenyum tipis sembari menggeleng. Terdengar suara decitan pintu terbuka, diiringi langkah kaki seseorang yang hentakan haknya menggema di kamar Kinan. “Kamu cantik sekali Kinan, Ben akan menyukaimu,” kata wanita itu. Seorang pria yang berjalan di sebelah wanita itu mendekati Kinan, dan berkata, "Putri Ayah sudah besar, kamu cantik sekali." "Terimakasih, Ayah juga sangat menawan
Sunny turun dari motornya dengan terburu - buru tanpa melepaskan helm yang ia kenakan. Kemudian ia melangkahkan kakinya masuk ke sebuah restoran ayam goreng yang cukup terkenal di kalangan anak muda. Selain harganya yang worth it bagi kantong pelajar dan mahasiswa, cita rasa ayamnya beraneka ragam. Terbukti seluruh tempat duduk penuh dengan pembeli. Bahkan di depan kasir ada deretan panjang pengunjung yang mengantri untuk memesan. Restoran itu buka dari pukul sepuluh pagi hingga sembilan malam. Seorang pria, menyambut Sunny dengan senyuman ramah. Pria itu mengenakan seragam dan sebuah topi berlogo restoran tersebut. Tak lupa, sebuah tag nama menempel manis di dada sebelah kanan pria itu, yang bertuliskan Rendi. "Mbak ojol kita udah sampai nih? Mau ambil orderan?" tanya Rendi "Iya, seperti biasa." Kemudian Rendi meraih dua paperbag yang berisi pesanan dari customer Sunny, dan memberikannya pada gadis itu. "Pembayaran lewat e-wallet ya
Aksa membulatkan matanya, ketika mendapati Ran yang muncul di balik pintu rumahnya. Pakaian yang ia berikan pada gadis itu, wujud aslinya telah berubah. Kaos hitam berlengan panjang, menjadi lengan pendek dengan model crop top. Celana training panjang menutup mata kaki, menjadi di atas mata kaki.Ran menutup pintu rumah gurunya itu sesuai intruksi. Kemudian ia berjalan dengan langkah panjang, menghampiri gurunya.“Emm bajunya tadi sangat besar di badan saya Pak, jadi saya ubah sesuai style saya, karena saya merasa tidak pede mengenakannya. Saya akan ganti harga bajunya, apakah tidak masalah?”“Cantik,” balas Aksa singkat, lalu masuk ke dalam mobil.Ran bengong di tempatnya, dan menatap ke satu arah yang sama.Kemudian Aksa menurunkan kaca mobilnya dan berkata, “Ayo masuk.”Dengan gugup Ran berlari menuju pintu mobil yang berada di seberang, lalu masuk ke dalam. Ketika ia memposisikan diri duduk di kursi mo
“Syukurlah tidak ada luka serius pada tubuh Sunny. Hasil rontgen pada bagian tulang rusuk Sunny juga bagus, tidak ada yang patah. Rasa nyeri di perutnya terjadi akibat dinding perut yang tadi terbentur, dan luka pada kaki juga tangan bisa diobati dengan obat luar secara rutin setiap dua kali sehari,” jelas dokter pada Ran dan Aksa. Ran hanya diam menatap Sunny sembari menggenggam tangan mungil gadis itu dengan air mata yang masih mengalir. Sambungan telepon yang Ran terima tadi adalah kabar dari saksi tempat Sunny mengalami kecelakaan. Ia dan Pak Aksa langsung bergegas menuju TKP setelah mendapatkan kabar itu. Mereka sampai tepat waktu ketika ambulance dan polisi datang untuk menyelidiki. Ternyata dari cctv salah satu toko yang ada di jalan itu menunjukkan Sunny dikejar oleh dua orang bermotor, kemudian terjadi keributan antara mereka. Salah satu motor terlihat menyenggol motor yang Sunny kendarai, hingga Sunny terjatuh dan tidak sadarkan diri. "Baik, terimak
Dokter Indra, dokter yang tadi merawat Sunny, dengan gugup memimpin Aksa dan polisi tadi menuju ke ruangannya.Di sepanjang koridor rumah sakit itu, beberapa perawat dan pasien yang lewat menatap penuh dengan kesinisan. Keributan beberapa waktu lalu membuat pasien di IGD panik dan ketakutan. Satpam saja tidak berani melerai, karena mengetahui siapa yang saat itu sedang dihadapinya.Sesampainya di ruangan yang dituju, dokter Indra membukakkan pintu untuk Aksa dan polisi itu."Maaf hanya ini tempatnya Tuan," kata dokter Inda kepada Aksa."Tidak masalah, ini hanya sebentar," jawab Aksa, kemudian bergegas masuk dengan sangat siap atas segala opininya.Sebelum Aksa mencapai tengah ruangan, langkah kakinya seketika terhenti. Ia disambut oleh seorang pria bersetelan jas rapi, yang sedang duduk di kursi tamu dengan menyilangkan kakinya. Pria itu menatapnya dengan senyuman angkuh dan meremehkan."Kemari duduklah Aksa," ujar pria itu.Aks
Terdengar ledakan dahsyat dari dalam hutan, membuat langkah Ran, Sunny dan Grace terhenti. "Ben meledakan gubuk agar tidak meninggalkan bukti," gumam Grace. Ran menatap tajam Grace, lalu berkata penuh dengan penekanan, "Kejam sekali kalian." Grace tidak berani mengangkat pandangannya pada Ran, karena merasa bersalah. Ia juga merasa malu setelah menjadi bagian dari kejahatan itu, yang akhirnya menjadikannya korban. Dari balik semak Adit dan Angga berlari kearah mereka dengan tergesa-gesa. "Guys kenapa kalian berhenti! Ayo lari!" teriak Adit dari kejauhan. Lalu, Ran, Sunny dan Grace melanjutkan langkahnya. Terdengar suara tembakan beberapa kali dari arah kejauhan, membuat mereka panik, sampai berlari tak tahu arah. Hanya mengandalkan insting untuk memilih jalan mana yang mudah dilewati, karena mereka terjebak dengan ilalang yang membutakan arah. "Tinggalkan saja aku disini! Kalian kabur saja," ujar Grace semakin merasa bersalah, karena menjadi beban. "Tutup mulutmu brengsek!" Be
"Sialan!!! Ulah siapa ini?" Gerutu Ben sembari membanting pecut yang ia pegang, penuh emosi karena lampu seketika padam di tengah kegiatan yang ia lakukan. Kemudian terdengar sirine alarm kebakaran yang membuat panik orang-orang dalam ruangan itu. Ben lantas bangkit dari tempat tidur dan meraih jubah mandi yang tergantung di dekat pintu dan memakainya. Ia keluar dari ruangan dengan langkah penuh amarah sembari meneriakkan nama anak buahnya. Empat orang pria yang merupakan teman-teman Ben, menyusul pria itu keluar ruangan. Meninggalkan Sunny dan Grace. Sunny memanfaatkan keadaan itu dengan bergegas melepas ikatan tangan dan kakinya. Dengan tubuh telanjang di tengah kegelapan, ia memungut pakaiannya yang berceran di lantai. Sedangkan Grace yang masih terkuai lemas di tempat tidur, hanya bisa menangis menahan perih di kulitnya, akibat pecut yang diayunkan oleh Ben sejak tadi. "Grace ayo kabur dari sini," tukas Sunny. "Aku tidak bisa menggerakkan kaki," ujar Grace. Sunny mengeluarka
WARNING!!! Isi Bab ini terdapat kekerasan seksual yang tidak cocok untuk anak dibawah umur. Mohon bijak memilih bacaan yang cocok dengan umur anda. ** "Kalian mengenal orang-orang itu?" tanya Ran. Adit dan Angga menggeleng bersamaan. "Melihat dari postur tubuh dan wajah kedua orang itu, sepertinya sudah berumur," kata Angga. "TOLONG!" Teriak seseorang yang membuat dua pria bertubuh kekar tadi masuk ke dalam gubuk. Sedangkan Ran, Angga dan Adit bergetar ketakutan mendengar suara pekikan yang begitu putus asa itu. "Apa sebenarnya yang mereka lakukan dalam gubuk itu?" tanya Adit. Tidak ada jawaban dari Ran dan Angga. Angga lantas menutup laptopnya, dan berjalan mendekat ke Adit. Kemudian ia membuka tas yang digendong oleh temannya itu, dan memasukan laptopnya. "Mumpung dua orang itu tidak ada, ini kesempatan kita mencari tahu," ujar Angga seraya menutup resleting tas kembali. "Benar ayo kita masuk," balas Ran. "Tunggu... apa kalian gak takut? Melihat dua orang tadi, sepertinya
Angga telah menyelesaikan surat izin mereka bertiga dan dikirim melalui email pada Aksa yang masih menjadi wali kelas.Sebuah kertas yang terdapat coretan dibentangkan di atas kasur. Ran, Adit dan Angga menatap kertas-kertas itu dengan seksama, agar tidak ada kesalahan dalam menjalankan misi mereka nanti. Sebuah misi yang menjadi pengalaman baru dalam hidup mereka, karena berurusan dengan anak-anak petinggi sekolah."Mereka adalah geng yang bisa melakukan kekerasan, kalian harus hati-hati nanti. Terutama kamu Ran, cewek harus tetap bersama kami," ujar Adit.Ran mengangguk."Baik, mari ganti pakaian yang nyaman, setelah itu kita menuju ke lokasi," kata Angga.Adit berjalan menuju kopernya, dan meraih sebuah jaket beserta masker, lalu memberikannya pada Ran. "Pakailah..""Terimakasih, aku kembali ke kamarku dulu untuk membersihkan diri."**Ran menghentikan langkahnya sembari menatap gedung hotel yang menjulang tinggi di belakangnya. Matanya berhenti di kaca jendela lantai 3, tempat dim
"Kamu memimpikan apa, sampai berteriak begitu?" tanya Adit. "Aku bisa minta kertas dan pulpen?" Adit mengernyitkan dahinya bingung. Namun ia tidak bertanya lebih dan meraih sebuah buku catatan kecil fasilitas dari hotel beserta pulpennya. Ia berikan dua barang itu pada Ran. Ran kemudian menulis ulang hal-hal yang Sunny tidak suka, dan mengurutkannya seperti di mimpi. "Apa ini?" tanya Adit bingung. "Coba kamu baca dari huruf awalnya, urut ke bawah." "Aku minta tolong..." gumam Adit. "Mungkin kamu bakal mikir aku gila. Semalam Sunny menyebutkan hal-hal ini. Awalnya aku pun merasa aneh, karena yang dia sebutkan random. Dia memintaku membuatkan puisi dari awalan kata hal-hal yang dia sebutkan ini." "Kamu memimpikannya," ujar Adit menebak. Ran menatap Adit kagum. "Bagaimana kau tahu?" "Bukankah tadi waktu kamu bangun, yang kamu teriakan nama Sunny? Sudah tentu yang kamu impikan gadis itu," jawab Adit, "Aku tidak menganggapmu gila, karena hal-hal seperti ini pernah terjadi padaku.
"Sikapmu tidak perlu terlalu jelas begitu, kalo orang lain sadar, akan timbul skandal. Menarik juga kisah cinta masa kecil yang bodoh masih kau pertahankan. Dia gadis itu bukan?" gumam Elina. Aksa tersenyum kecut. Kemudian ia mengeluarkan sebuah amplop berukuran kecil berwarna cokelat dari saku jas nya. "Kau juga, jangan terlalu jelas," balas Aksa sembari melemparkan amplop itu di meja. Elina menatap amplop itu cukup lama, kemudian menoleh pada suaminya. "Apa ini?" "Padahal setelah proyek berhasil, kita bisa bercerai seperti perjanjian. Kalo proyek rusak, itu akan jadi salahmu." Elina bergegas meraih amplop itu dan melihat isinya. Betapa terkejutnya ia melihat foto-foto yang ada di dalam amplop itu. Foto dirinya yang tertangkap basah sedang berkencan dengan seorang pria. Bahkan, fotonya yang sedang berciuman dan telanjang ada disana. Bibir Elina bergetar ketakutan. Ia langsung mengembalikan foto-foto itu ke dalam amplop, dan menatap Aksa tajam. "Tujuanku mendekati Raka hanya un
Ran menghentikan langkahnya sembari mendongakkan kepala ke lantai dua. Ia tidak bisa mengabaikan sesuatu yang masih terasa ganjil dalam benaknya. Dadanya terasa sesak, dengan alasan yang dia tidak ketahui. Adit ikut menghentikan langkah dan menatap gadis itu. "Apa kamu merasa ada sesuatu yang mengganjal juga?" Ran mengangguk, dengan pandangan yang masih menuju lantai dua. "Kamu juga Dit?" "Yah apapun itu, biarlah jadi urusan mereka." "Kamu benar." "Yaudah ayo makan di pestanya Sunny, sebelum acara itu berakhir," kata Adit. Ran menatap pria itu. "Dit, makan di resto hotel aja ya, aku gak terlalu nyaman sama keramaian." Adit tersenyum sembari menganggukkan kepalanya. Kemudian mereka berjalan menuju restoran yang berada di sebelah lobi hotel. Pemandangan restoran itu langsung mengarah ke view kota Jogja, yang akan indah bila disaksikan malam hari. Jalanan yang begitu ramai dengan gemerlap lampu kota dan lampu kendaraan. Mereka mem
"Sialan lu, kita hampir ketahuan!" ujar Ben kesal. PLAK!!! Sebuah tamparan mendarat di pipi Sunny. Sunny yang lemas, tak bisa melakukan apa-apa. "Udah ngechat Ran belum?" tanya Ben. "Barusan gua chat," jawab Grace sembari menunjukan ponsel Sunny yang berada dalam genggamannya. Ben menghembuskan napas kasar, sembari melonggarkan dasi yang terasa mencekik lehernya. Kemudian ia berkacak pinggang menatap ke arah luar jendela. Seketika terdengar suara langkah kaki seseorang dari jauh, yang membuat mereka bersiaga. Sunny yang sudah dimasukkan ke dalam tempat sampah besar, diletakkan di pojok ruangan. Kemudian Ben menarik Grace dalam pelukannya, dan mendorong gadis itu ke dinding. "Kalian kalo mau bermesuman jangan disini," ujar Adit. Jantung Ben dan Grace seolah disambar petir, mendapati kehadiran pria itu bersama Ran. "Kalian juga kenapa berduaan?" ujar Ben. Ran mendengus kesal. "Sialan kau Ben, menakutiku hanya untuk melindungi hubungan rahasi
Ran mendorong Aksa dengan sekuat tenaga, hingga pria itu terjatuh di lantai. Kemudian ia keluar dari kamar itu, tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Hatinya bingung dengan kenyataan yang tadi ia lihat, bahwa pria itu telah menikah dengan seorang wanita. Pernyataan cinta tadi, membuat hatinya kian kesal karena merasa dipermainkan. Terjawab sudah semua teka-teki yang selama ini ia simpan sendiri di hati, kenapa pria itu menghilang tak berkabar. Ran tidak memilih lift untuk turun ke lantai utama. Ia menggunakan tangga darurat, menghindari Aksa yang mengejarnya. Napas Ran mulai tersenggal-senggal, ketiika ia sampai di lantai tiga. Kakinya pun terasa ngilu, akibat menuruni tangga menggunakan heels. Ia cukup menyesali keputusannya yang menggunakan tangga darurat. Menyiksa diri sendiri, hanya untuk seorang pria yang sama sekali tidak menghargainya. Ran melepas heelsnya, dan menuruni tangga tanpa alas kaki. Seketika saat ia mencapai lantai dua, terlihat sekelebatan se