Dokter Indra, dokter yang tadi merawat Sunny, dengan gugup memimpin Aksa dan polisi tadi menuju ke ruangannya.
Di sepanjang koridor rumah sakit itu, beberapa perawat dan pasien yang lewat menatap penuh dengan kesinisan. Keributan beberapa waktu lalu membuat pasien di IGD panik dan ketakutan. Satpam saja tidak berani melerai, karena mengetahui siapa yang saat itu sedang dihadapinya.
Sesampainya di ruangan yang dituju, dokter Indra membukakkan pintu untuk Aksa dan polisi itu.
"Maaf hanya ini tempatnya Tuan," kata dokter Inda kepada Aksa.
"Tidak masalah, ini hanya sebentar," jawab Aksa, kemudian bergegas masuk dengan sangat siap atas segala opininya.
Sebelum Aksa mencapai tengah ruangan, langkah kakinya seketika terhenti. Ia disambut oleh seorang pria bersetelan jas rapi, yang sedang duduk di kursi tamu dengan menyilangkan kakinya. Pria itu menatapnya dengan senyuman angkuh dan meremehkan.
"Kemari duduklah Aksa," ujar pria itu.
Aks
"Makasih Pak untuk tumpangannya," kata Ran pada sopir yang dikirim Aksa untuknya dan Sunny."Sama - sama, mari saya bantu," balas sopir itu sembari membantu Sunny keluar dari mobil.Sunny dan sopir itu berjalan menuju rumah Sunny. Sedangkan Ran mengikuti di belakang sembari membawa helm dan tas yang Sunny bawa. Motor Sunny sedang dibawa ke kantor polisi untuk penyelidikan.Nenek Mariyati yang sudah dikabari sejak di jalan tadi tetap kaget melihat keadaan Sunny yang sedikit pincang dengan perban di kepala. Wanita paruh baya itu lantas menghampiri Sunny dan membantu pak sopir untuk membawa gadis itu ke dalam rumah.Sunny memilih menginap di rumah Ran sampai ia pulih. Jika ia pulang dalam keadaan itu, akan menambah kekhawatiran Ibunya yang sudah memiliki banyak beban. Dan beruntung Ibunya memperbolehkan untuk menginap di rumah Ran, tanpa meminta penjelasan detail, sekalipun itu kali pertama ia menginap di luar.Dengan terburu - buru Ran membukakan pin
"Ran!" Mendengar namanya dipanggil, Ran menoleh. Ternyata suara itu berasal dari Kinan yang berada di seberang jalan, sedang melambai kepadanya. Ran tersenyum kepada Kinan sembari berjalan mendekat ke pinggir. Ia menengok kearah kanan dan kini untuk memastikan jalan kosong, tidak ada kendaraan yang lewat. Kemudian ia menyeberangi jalan itu menghampiri Kinan yang begitu bahagia melihatnya. "Tumben berangkat pagi, Ran," ujar Kinan dengan nada mengejek sembari menyenggol lengan Ran. Ran mencubit lengan Kinan dengan kesal. "Ihhh ngeselin!" tukasnya. Kinan tertawa. "Aku harus ke kelas Sunny dulu untuk mengantarkan surat ijin, jadi harus berangkat pagi," jawab Ran kemudian. Kinan menghentikan langkahnya dan menatap Ran bingung. Ran yang menyadari Kinan tidak berjalan di sebelahnya, ikut menghentikan langkah dan menoleh ke belakang. Kinan mempercepat langkahnya menghampiri Ran, lalu berkata, "Apa yang terjadi?" Ran men
Ran dan Kinan turun dari bus sembari bergandengan tangan. Tidak ada obrolan dari mereka berdua sampai tiba di rumah Ran. Pukul 07.00 tadi kepala sekolah memberi pengumuman resmi, setelah rapat diselesaikan dengan mufakat. Kegiatan belajar mengajar sementara akan dihentikan karena lingkungan sekolah masih berstatus TKP dan penyelidikan polisi. Jadi untuk melindungi tempat penyelidikan, sekolah ditutup sementara agar bukti yang ada tidak rusak. Selain itu, Pak Andi selaku satpam yang tewas di lokasi kejadian, belum ditemukan. Setelah pengumuman itu, seluruh siswa kembali pulang ke rumah. Beberapa menyambutnya dengan santai, bahkan bahagia karena sekolah libur. Beberapanya lagi merasa prihatin dan cemas. Sehingga, dalam beberapa hari ke depan mungkin tragedi di sekolah itu akan selalu menjadi pembicaraan yang hangat. "Jadi sampai kapan sekolah libur?" tanya Sunny setelah mendengar penjelasan Ran barusan soal sekolahnya. "Gak tau... mungkin setelah jasad
PLAK!!!Sebuah suara tamparan menggema, dari tangan pria berumur empat puluh tujuh tahun, dengan tongkat di tangannya. Tubuhnya bergetar akibat amarah yang bergejolak dalam dirinya. Tatapannya penuh kekecawaan, atas seorang pemuda yang ada di hadapannya itu.Pemuda itu hanya diam menatap pria yang merupakan ayahnya itu. Padahal ia mengunjungi rumah itu hanya jika mau, tetapi disambut dengan tidak baik. Sebuah rumah dengan gemerlap kemewahan yang menjadi kegelapan baginya. Sebuah rumah bak istana, seperti sekotak kardus yang menghimpit tubuhnya.Salah seorang pemuda lagi yang duduk di sofa ruang tengah hanya tersenyum tipis, sembari menyeruput kopi dengan tenang. Seolah tidak terjadi sesuatu."Kamu bertindak seenaknya pada istrimu! Meninggalkan perusahaan demi bekerja di sebuah sekolah biasa, dan memilih tinggal sendiri. Apa itu tidak cukup?" ujar Baron sembari memukulkan ujung tongkatnya tepat ke dada put
Terlihat anak - anak berseragam sama, bernyanyi dengan kompak dalam barisannya. Dua orang wanita yang berada di depan dan belakang barisan, membimbing perjalanan mereka mengelilingi kebun binatang. Beberapa orang yang melewati anak - anak itu tersenyum kagum. Keceriaan anak - anak itu mendatangkan kebahagiaan bagi orang lain pula. Barisan itu pun berhenti di depan sebuah kandang harimau berwarna oranye bergaris dengan corak putih, yang begitu cantik. "Ini adalah harimau siberia ya teman - teman. Mereka biasanya tinggal di iklim yang dingin. Bulu yang tebal itu melindungi mereka dari hawa dingin," jelas wanita yang membimbing barisan depan. Anak - anak yang tadinya berbaris rapi, mulai berpencar meninggalkan barisan untuk melihat harimau itu lebih jelas. Namun ada salah satu anak yang menatap harimau itu dengan tidak tertarik. "Apakah kau tidak menyukainya, Ran?" tanya seorang anak laki - laki. "Aku ingin melihat rusa," jawabnya.
"Permisi!!!" Ran, Kinan dan Sunny menoleh bersamaan, ketika mendengar teriakan itu. Kemudian mereka saling menatap dengan bingung. "Siapa yang bertamu selarut ini?" ucap Ran. Kinan lantas berdiri, "Bundaku," katanya kemudian berjalan keluar kamar. Ran dan Kinan pun mengikuti Kinan dari belakang. Terlihat Nenek Mariyati yang ikut terbangun karena teriakan itu, telah membukakan pintu. Nampak wajah penuh amarah dari Bunda Kinan yang memandang mereka dengan tidak suka. Setelah Kinan mencapai pintu utama rumah, lengannya langsung ditarik oleh Ibundanya dan dibawa ke mobil. Namun Kinan meronta dan berusaha melepaskan diri hingga terjadi keributan. "Jika kamu tidak patuh, jangan harap bisa temui teman - temanmu itu!" ujar Bunda Kinan. "Aku udah dewasa Bunda, toh aku selama ini tidak menolak semua kehendak Bunda tentang perjodohan dan semuanya," balas Kinan kemudian menarik napas panjang, "Aku juga tidak membuat onar, dan mereka
Ran menempelkan sebuah perangko bergambar burung bangau yang cantik di sudut amplop. Kemudian ia mengangkat surat yang akan dikirimnya itu dan memandangnya lama. Setelah semalam bingung bagaimana ia menuliskan surat kepada Venus, hingga menghabiskan banyak kertas. Akhirnya pagi ini ia akan mengirim surat itu ke kantor pos. Lima tahun adalah waktu yang begitu lama, dan membuat Ran canggung. Terlebih lagi, selama ini ia tidak pernah menuliskan surat kepada Venus. Jadi ia bingung mengungkapkap perasaannya. Dan atas masukan Sunny, ia pun bisa menulis. Ran memasukan amplop itu ke dalam totebagnya, sembari memandangi dirinya di cermin. Hari ini ia mengenakan mini dress berwarna hitam, berlengan gelembung berwarna coklat susu. Rambut ia biarkan tergerai, tanpa aksesoris apapun. Ia terkekeh. Padahal ia tidak sedang akan berkencan dengan seseorang dan hanya mengantarkan surat, namun menghabiskan satu jam untuk berdandan. "Ran, udah siap? Ojolnya udah nunggu tuh," ujar
"Sunny!! tunggu aku, please!" teriak Ran dari kejauhan sambil berlari, berusaha mengejar Sunny.Sunny masih melanjutkan langkahnya tanpa menoleh sedikitpun. Pikirannya benar - benar campur aduk. Ia sangat berharap Ben dan gengnya dihukum, agar dirinya beserta anak - anak yang dibully tidak lagi merasakan sengsara. Namun kini ia mendapatkan uang dengan jumlah cukup besar, bisa untuk biaya perawatan ayahnya yang hampir diusir dari rumah sakit.Sunny menghentikan langkahnya di bus dan berdiri di belakang orang - orang yang mengantri untuk naik bus. Sesekali ia memperhatikan Ran yang semakin dekat dengannya. Ketika mendapat gilirannya, ia tersenyum sembari melambaikan tangannya pada Ran.Ran telat mencapai Sunny, saat bus mulai bergerak pergi. Sahabatnya itu menatap dirinya dari balik kaca bus dengan mata yang berkaca - kaca. Kemudian tangan Sunny terlihat membentuk sebuah kode angka enam, yang berarti dia ingin sendiri.
Terdengar ledakan dahsyat dari dalam hutan, membuat langkah Ran, Sunny dan Grace terhenti. "Ben meledakan gubuk agar tidak meninggalkan bukti," gumam Grace. Ran menatap tajam Grace, lalu berkata penuh dengan penekanan, "Kejam sekali kalian." Grace tidak berani mengangkat pandangannya pada Ran, karena merasa bersalah. Ia juga merasa malu setelah menjadi bagian dari kejahatan itu, yang akhirnya menjadikannya korban. Dari balik semak Adit dan Angga berlari kearah mereka dengan tergesa-gesa. "Guys kenapa kalian berhenti! Ayo lari!" teriak Adit dari kejauhan. Lalu, Ran, Sunny dan Grace melanjutkan langkahnya. Terdengar suara tembakan beberapa kali dari arah kejauhan, membuat mereka panik, sampai berlari tak tahu arah. Hanya mengandalkan insting untuk memilih jalan mana yang mudah dilewati, karena mereka terjebak dengan ilalang yang membutakan arah. "Tinggalkan saja aku disini! Kalian kabur saja," ujar Grace semakin merasa bersalah, karena menjadi beban. "Tutup mulutmu brengsek!" Be
"Sialan!!! Ulah siapa ini?" Gerutu Ben sembari membanting pecut yang ia pegang, penuh emosi karena lampu seketika padam di tengah kegiatan yang ia lakukan. Kemudian terdengar sirine alarm kebakaran yang membuat panik orang-orang dalam ruangan itu. Ben lantas bangkit dari tempat tidur dan meraih jubah mandi yang tergantung di dekat pintu dan memakainya. Ia keluar dari ruangan dengan langkah penuh amarah sembari meneriakkan nama anak buahnya. Empat orang pria yang merupakan teman-teman Ben, menyusul pria itu keluar ruangan. Meninggalkan Sunny dan Grace. Sunny memanfaatkan keadaan itu dengan bergegas melepas ikatan tangan dan kakinya. Dengan tubuh telanjang di tengah kegelapan, ia memungut pakaiannya yang berceran di lantai. Sedangkan Grace yang masih terkuai lemas di tempat tidur, hanya bisa menangis menahan perih di kulitnya, akibat pecut yang diayunkan oleh Ben sejak tadi. "Grace ayo kabur dari sini," tukas Sunny. "Aku tidak bisa menggerakkan kaki," ujar Grace. Sunny mengeluarka
WARNING!!! Isi Bab ini terdapat kekerasan seksual yang tidak cocok untuk anak dibawah umur. Mohon bijak memilih bacaan yang cocok dengan umur anda. ** "Kalian mengenal orang-orang itu?" tanya Ran. Adit dan Angga menggeleng bersamaan. "Melihat dari postur tubuh dan wajah kedua orang itu, sepertinya sudah berumur," kata Angga. "TOLONG!" Teriak seseorang yang membuat dua pria bertubuh kekar tadi masuk ke dalam gubuk. Sedangkan Ran, Angga dan Adit bergetar ketakutan mendengar suara pekikan yang begitu putus asa itu. "Apa sebenarnya yang mereka lakukan dalam gubuk itu?" tanya Adit. Tidak ada jawaban dari Ran dan Angga. Angga lantas menutup laptopnya, dan berjalan mendekat ke Adit. Kemudian ia membuka tas yang digendong oleh temannya itu, dan memasukan laptopnya. "Mumpung dua orang itu tidak ada, ini kesempatan kita mencari tahu," ujar Angga seraya menutup resleting tas kembali. "Benar ayo kita masuk," balas Ran. "Tunggu... apa kalian gak takut? Melihat dua orang tadi, sepertinya
Angga telah menyelesaikan surat izin mereka bertiga dan dikirim melalui email pada Aksa yang masih menjadi wali kelas.Sebuah kertas yang terdapat coretan dibentangkan di atas kasur. Ran, Adit dan Angga menatap kertas-kertas itu dengan seksama, agar tidak ada kesalahan dalam menjalankan misi mereka nanti. Sebuah misi yang menjadi pengalaman baru dalam hidup mereka, karena berurusan dengan anak-anak petinggi sekolah."Mereka adalah geng yang bisa melakukan kekerasan, kalian harus hati-hati nanti. Terutama kamu Ran, cewek harus tetap bersama kami," ujar Adit.Ran mengangguk."Baik, mari ganti pakaian yang nyaman, setelah itu kita menuju ke lokasi," kata Angga.Adit berjalan menuju kopernya, dan meraih sebuah jaket beserta masker, lalu memberikannya pada Ran. "Pakailah..""Terimakasih, aku kembali ke kamarku dulu untuk membersihkan diri."**Ran menghentikan langkahnya sembari menatap gedung hotel yang menjulang tinggi di belakangnya. Matanya berhenti di kaca jendela lantai 3, tempat dim
"Kamu memimpikan apa, sampai berteriak begitu?" tanya Adit. "Aku bisa minta kertas dan pulpen?" Adit mengernyitkan dahinya bingung. Namun ia tidak bertanya lebih dan meraih sebuah buku catatan kecil fasilitas dari hotel beserta pulpennya. Ia berikan dua barang itu pada Ran. Ran kemudian menulis ulang hal-hal yang Sunny tidak suka, dan mengurutkannya seperti di mimpi. "Apa ini?" tanya Adit bingung. "Coba kamu baca dari huruf awalnya, urut ke bawah." "Aku minta tolong..." gumam Adit. "Mungkin kamu bakal mikir aku gila. Semalam Sunny menyebutkan hal-hal ini. Awalnya aku pun merasa aneh, karena yang dia sebutkan random. Dia memintaku membuatkan puisi dari awalan kata hal-hal yang dia sebutkan ini." "Kamu memimpikannya," ujar Adit menebak. Ran menatap Adit kagum. "Bagaimana kau tahu?" "Bukankah tadi waktu kamu bangun, yang kamu teriakan nama Sunny? Sudah tentu yang kamu impikan gadis itu," jawab Adit, "Aku tidak menganggapmu gila, karena hal-hal seperti ini pernah terjadi padaku.
"Sikapmu tidak perlu terlalu jelas begitu, kalo orang lain sadar, akan timbul skandal. Menarik juga kisah cinta masa kecil yang bodoh masih kau pertahankan. Dia gadis itu bukan?" gumam Elina. Aksa tersenyum kecut. Kemudian ia mengeluarkan sebuah amplop berukuran kecil berwarna cokelat dari saku jas nya. "Kau juga, jangan terlalu jelas," balas Aksa sembari melemparkan amplop itu di meja. Elina menatap amplop itu cukup lama, kemudian menoleh pada suaminya. "Apa ini?" "Padahal setelah proyek berhasil, kita bisa bercerai seperti perjanjian. Kalo proyek rusak, itu akan jadi salahmu." Elina bergegas meraih amplop itu dan melihat isinya. Betapa terkejutnya ia melihat foto-foto yang ada di dalam amplop itu. Foto dirinya yang tertangkap basah sedang berkencan dengan seorang pria. Bahkan, fotonya yang sedang berciuman dan telanjang ada disana. Bibir Elina bergetar ketakutan. Ia langsung mengembalikan foto-foto itu ke dalam amplop, dan menatap Aksa tajam. "Tujuanku mendekati Raka hanya un
Ran menghentikan langkahnya sembari mendongakkan kepala ke lantai dua. Ia tidak bisa mengabaikan sesuatu yang masih terasa ganjil dalam benaknya. Dadanya terasa sesak, dengan alasan yang dia tidak ketahui. Adit ikut menghentikan langkah dan menatap gadis itu. "Apa kamu merasa ada sesuatu yang mengganjal juga?" Ran mengangguk, dengan pandangan yang masih menuju lantai dua. "Kamu juga Dit?" "Yah apapun itu, biarlah jadi urusan mereka." "Kamu benar." "Yaudah ayo makan di pestanya Sunny, sebelum acara itu berakhir," kata Adit. Ran menatap pria itu. "Dit, makan di resto hotel aja ya, aku gak terlalu nyaman sama keramaian." Adit tersenyum sembari menganggukkan kepalanya. Kemudian mereka berjalan menuju restoran yang berada di sebelah lobi hotel. Pemandangan restoran itu langsung mengarah ke view kota Jogja, yang akan indah bila disaksikan malam hari. Jalanan yang begitu ramai dengan gemerlap lampu kota dan lampu kendaraan. Mereka mem
"Sialan lu, kita hampir ketahuan!" ujar Ben kesal. PLAK!!! Sebuah tamparan mendarat di pipi Sunny. Sunny yang lemas, tak bisa melakukan apa-apa. "Udah ngechat Ran belum?" tanya Ben. "Barusan gua chat," jawab Grace sembari menunjukan ponsel Sunny yang berada dalam genggamannya. Ben menghembuskan napas kasar, sembari melonggarkan dasi yang terasa mencekik lehernya. Kemudian ia berkacak pinggang menatap ke arah luar jendela. Seketika terdengar suara langkah kaki seseorang dari jauh, yang membuat mereka bersiaga. Sunny yang sudah dimasukkan ke dalam tempat sampah besar, diletakkan di pojok ruangan. Kemudian Ben menarik Grace dalam pelukannya, dan mendorong gadis itu ke dinding. "Kalian kalo mau bermesuman jangan disini," ujar Adit. Jantung Ben dan Grace seolah disambar petir, mendapati kehadiran pria itu bersama Ran. "Kalian juga kenapa berduaan?" ujar Ben. Ran mendengus kesal. "Sialan kau Ben, menakutiku hanya untuk melindungi hubungan rahasi
Ran mendorong Aksa dengan sekuat tenaga, hingga pria itu terjatuh di lantai. Kemudian ia keluar dari kamar itu, tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Hatinya bingung dengan kenyataan yang tadi ia lihat, bahwa pria itu telah menikah dengan seorang wanita. Pernyataan cinta tadi, membuat hatinya kian kesal karena merasa dipermainkan. Terjawab sudah semua teka-teki yang selama ini ia simpan sendiri di hati, kenapa pria itu menghilang tak berkabar. Ran tidak memilih lift untuk turun ke lantai utama. Ia menggunakan tangga darurat, menghindari Aksa yang mengejarnya. Napas Ran mulai tersenggal-senggal, ketiika ia sampai di lantai tiga. Kakinya pun terasa ngilu, akibat menuruni tangga menggunakan heels. Ia cukup menyesali keputusannya yang menggunakan tangga darurat. Menyiksa diri sendiri, hanya untuk seorang pria yang sama sekali tidak menghargainya. Ran melepas heelsnya, dan menuruni tangga tanpa alas kaki. Seketika saat ia mencapai lantai dua, terlihat sekelebatan se