Terlihat anak - anak berseragam sama, bernyanyi dengan kompak dalam barisannya. Dua orang wanita yang berada di depan dan belakang barisan, membimbing perjalanan mereka mengelilingi kebun binatang.
Beberapa orang yang melewati anak - anak itu tersenyum kagum. Keceriaan anak - anak itu mendatangkan kebahagiaan bagi orang lain pula.
Barisan itu pun berhenti di depan sebuah kandang harimau berwarna oranye bergaris dengan corak putih, yang begitu cantik.
"Ini adalah harimau siberia ya teman - teman. Mereka biasanya tinggal di iklim yang dingin. Bulu yang tebal itu melindungi mereka dari hawa dingin," jelas wanita yang membimbing barisan depan.
Anak - anak yang tadinya berbaris rapi, mulai berpencar meninggalkan barisan untuk melihat harimau itu lebih jelas. Namun ada salah satu anak yang menatap harimau itu dengan tidak tertarik.
"Apakah kau tidak menyukainya, Ran?" tanya seorang anak laki - laki.
"Aku ingin melihat rusa," jawabnya.
<"Permisi!!!" Ran, Kinan dan Sunny menoleh bersamaan, ketika mendengar teriakan itu. Kemudian mereka saling menatap dengan bingung. "Siapa yang bertamu selarut ini?" ucap Ran. Kinan lantas berdiri, "Bundaku," katanya kemudian berjalan keluar kamar. Ran dan Kinan pun mengikuti Kinan dari belakang. Terlihat Nenek Mariyati yang ikut terbangun karena teriakan itu, telah membukakan pintu. Nampak wajah penuh amarah dari Bunda Kinan yang memandang mereka dengan tidak suka. Setelah Kinan mencapai pintu utama rumah, lengannya langsung ditarik oleh Ibundanya dan dibawa ke mobil. Namun Kinan meronta dan berusaha melepaskan diri hingga terjadi keributan. "Jika kamu tidak patuh, jangan harap bisa temui teman - temanmu itu!" ujar Bunda Kinan. "Aku udah dewasa Bunda, toh aku selama ini tidak menolak semua kehendak Bunda tentang perjodohan dan semuanya," balas Kinan kemudian menarik napas panjang, "Aku juga tidak membuat onar, dan mereka
Ran menempelkan sebuah perangko bergambar burung bangau yang cantik di sudut amplop. Kemudian ia mengangkat surat yang akan dikirimnya itu dan memandangnya lama. Setelah semalam bingung bagaimana ia menuliskan surat kepada Venus, hingga menghabiskan banyak kertas. Akhirnya pagi ini ia akan mengirim surat itu ke kantor pos. Lima tahun adalah waktu yang begitu lama, dan membuat Ran canggung. Terlebih lagi, selama ini ia tidak pernah menuliskan surat kepada Venus. Jadi ia bingung mengungkapkap perasaannya. Dan atas masukan Sunny, ia pun bisa menulis. Ran memasukan amplop itu ke dalam totebagnya, sembari memandangi dirinya di cermin. Hari ini ia mengenakan mini dress berwarna hitam, berlengan gelembung berwarna coklat susu. Rambut ia biarkan tergerai, tanpa aksesoris apapun. Ia terkekeh. Padahal ia tidak sedang akan berkencan dengan seseorang dan hanya mengantarkan surat, namun menghabiskan satu jam untuk berdandan. "Ran, udah siap? Ojolnya udah nunggu tuh," ujar
"Sunny!! tunggu aku, please!" teriak Ran dari kejauhan sambil berlari, berusaha mengejar Sunny.Sunny masih melanjutkan langkahnya tanpa menoleh sedikitpun. Pikirannya benar - benar campur aduk. Ia sangat berharap Ben dan gengnya dihukum, agar dirinya beserta anak - anak yang dibully tidak lagi merasakan sengsara. Namun kini ia mendapatkan uang dengan jumlah cukup besar, bisa untuk biaya perawatan ayahnya yang hampir diusir dari rumah sakit.Sunny menghentikan langkahnya di bus dan berdiri di belakang orang - orang yang mengantri untuk naik bus. Sesekali ia memperhatikan Ran yang semakin dekat dengannya. Ketika mendapat gilirannya, ia tersenyum sembari melambaikan tangannya pada Ran.Ran telat mencapai Sunny, saat bus mulai bergerak pergi. Sahabatnya itu menatap dirinya dari balik kaca bus dengan mata yang berkaca - kaca. Kemudian tangan Sunny terlihat membentuk sebuah kode angka enam, yang berarti dia ingin sendiri.
Ran turun dari bus disambut dengan Kinan yang membawakan payung padanya. Mereka bergandengan tangan menuju hotel bintang lima yang berada di seberang halte. "Dimana Sunny? Aku kira bersamamu," ujar Kinan. Ran menceritakan semua yang terjadi secara rinci pada Kinan, hingga mereka mencapai hotel. "Jadi kasusnya selesai begitu saja? Sunny menyerah?" "Sepertinya Sunny butuh uangnya," jawab Ran menduga - duga. Sunny melipat payung yang tadi ia kenakan, lalu ia berikan pada satpam hotel. "Aku merasa gak guna karena biarin dia sendiri," tukas Kinan. Ran menghembuskan napasnya. Kemudian merangkul Kinan dan berkata,"Kita hibur Sunny nanti setelah dia selesai sama dirinya sendiri. Dia perlu waktu." "Kalo gitu, nanti kita beli gaun yang indah untukmu dan Sunny. Kalian pakai waktu ulang tahunku, oke?" balas Kinan bersemangat. "Harusnya kami yang m
BUG! PRANG!!! Gelas berisi kopi terjatuh di lantai, hingga mengotori pakaian yang Ran kenakan. "Maaf," ujar seorang wanita yang menabrak Ran barusan. Ran memungut totebag-nya yang jatuh di lantai, sembari menyapu noda kopi di pakaiannya. "Aduh, aku mengotori pakaianmu, bagaimana ini?" "Tidak masalah, ini bukan pakaian mahal kok," balas Ran sembari menegakkan tubuhnya. Ketika menatap wanita itu, Ran terpukau melihat wajah cantiknya. Begitu elegan dan anggun. Kulitnya seputih porselen, dan memiliki mata yang begitu jernih. Belum pernah ia melihat seseorang yang sangat cantik di dunia nyata. Selama ini hanya melihat dari layar televisi atau ponsel. "Jangan gitu, ikutlah denganku, mari berganti pakaian," ujar wanita itu, menyadarkan lamunan Ran. Ran menggeleng, menolak ajakan wanita itu, merasa tidak masalah dengan noda di bajunya. Namun, wanita itu tidak mendengar penolakan Ran, dan menarik lengan Ran untuk berjalan
Mulut Kinan ternganga ketika mendapati Ran yang sudah berganti pakaian, muncul dari balik lift. Mini dress di atas lutut dengan motif bunga, yang menampilkan bahu cantik Ran, membuat gadis itu tampak mempesona. "Darimana saja kamu? Apa yang terjadi?" ujar Kinan. "Kinan, apa kabar?" sapa Elina. Kinan lantas menoleh menatap Elina. "Eh Kak Elina?" balasnya kemudian menghambur ke pelukan wanita itu. Ran menatap Kinan dan Elina bergantian, penuh dengan pertanyaan. "Kak Elina tambah cantik, astaga... ada acara juga disini?" seru Kinan dengan bahagia. Elina tersenyum. "Aku menginap disini, Kinan. Kamu sendiri?" Kinan menautkan tangannya, di lengan Ran. "Aku dan sahabatku sedang survei untuk acara ulang tahunku. Kak Elina datang ya, bawa suami yang katanya ganteng itu. Sayang sekali aku tidak bisa hadir di pernikahan Kak Elina," cerocos Kinan. Ran terkejut mengetahui fakta, bidadari cantik yang ia temui ternyata sudah menikah. Melihat postur tubu
Sunny berjalan mondar - mandir di depan pintu ruangan oerasi, sembari mengingit jarinya. Waktu sudah menunjukan pukul 08.00 malam, namun dokter belum juga keluar untuk memberitahukan hasil operasi ayahnya. Ibu Sunny dan sang adik duduk di bangku panjang dengan lesu. Hati yang hancur, diam - diam memanjatkan doa, berharap ada keajaiban yang datang pada mereka. "Sunny, lebih baik kamu pulang dulu, besok Arini sekolah," ujar Ibunya. Sunny berjalan menghampiri Ibunya dan berjongkok di depan wanita itu. "Aku tidak akan pulang, sebelum operasi selesai, Ibu." Sang Ibu mengusap kepala Sunny penuh kasih. "Ibu tidak akan tanya lagi darimana kamu mendapatkan uang itu, asalkan kamu pulang ke rumah. Besok kamu juga sekolah kan," katanya dengan lembut. Kabar yang Sunny bawa ke rumahnya siang tadi setelah mendapatkan sejumlah uang, membuat ibunya murka. Sampai terjadi perdebatan panjang, karena ibunya menganggap Sunny melakukan pekerjaan tidak senonoh. Mengi
Dulu mereka dipisahkan karena hukum manusia, sekarang dipisahkan oleh hukum Tuhan. **flashback** “Kau akan tau rasanya, nikmatilah... sayang sekali jika tubuhmu tidak kunikmati lebih dulu sebelum diberikan pada para saudagar itu,” kata Sudirman. PYAAARR!!!! Darah muncrat dari kepala Sudirman, mengenai pakaian yang Ran pakai. Sudirman tumbang dengan darah yang mengalir deras di lantai. Tatapan Ran menjadi kosong, ketika tidak ia rasakan lagi denyut nadi di leher ayahnya. Ia lemparkan guci yang tadi ia gunakan untuk memukul ayahnya itu ke sembarang arah, dan berlari keluar kamar. Ibunya yang tadinya terduduk di lantai dengan putus asa, bangkit dengan tubuh bergetar ketakutan, melihat penampilan putrinya. Baju koyak dengan bercak darah di sekujur tubuh, dan bau amis yang menyengat. "Ran, apa yang terjadi?" t
Terdengar ledakan dahsyat dari dalam hutan, membuat langkah Ran, Sunny dan Grace terhenti. "Ben meledakan gubuk agar tidak meninggalkan bukti," gumam Grace. Ran menatap tajam Grace, lalu berkata penuh dengan penekanan, "Kejam sekali kalian." Grace tidak berani mengangkat pandangannya pada Ran, karena merasa bersalah. Ia juga merasa malu setelah menjadi bagian dari kejahatan itu, yang akhirnya menjadikannya korban. Dari balik semak Adit dan Angga berlari kearah mereka dengan tergesa-gesa. "Guys kenapa kalian berhenti! Ayo lari!" teriak Adit dari kejauhan. Lalu, Ran, Sunny dan Grace melanjutkan langkahnya. Terdengar suara tembakan beberapa kali dari arah kejauhan, membuat mereka panik, sampai berlari tak tahu arah. Hanya mengandalkan insting untuk memilih jalan mana yang mudah dilewati, karena mereka terjebak dengan ilalang yang membutakan arah. "Tinggalkan saja aku disini! Kalian kabur saja," ujar Grace semakin merasa bersalah, karena menjadi beban. "Tutup mulutmu brengsek!" Be
"Sialan!!! Ulah siapa ini?" Gerutu Ben sembari membanting pecut yang ia pegang, penuh emosi karena lampu seketika padam di tengah kegiatan yang ia lakukan. Kemudian terdengar sirine alarm kebakaran yang membuat panik orang-orang dalam ruangan itu. Ben lantas bangkit dari tempat tidur dan meraih jubah mandi yang tergantung di dekat pintu dan memakainya. Ia keluar dari ruangan dengan langkah penuh amarah sembari meneriakkan nama anak buahnya. Empat orang pria yang merupakan teman-teman Ben, menyusul pria itu keluar ruangan. Meninggalkan Sunny dan Grace. Sunny memanfaatkan keadaan itu dengan bergegas melepas ikatan tangan dan kakinya. Dengan tubuh telanjang di tengah kegelapan, ia memungut pakaiannya yang berceran di lantai. Sedangkan Grace yang masih terkuai lemas di tempat tidur, hanya bisa menangis menahan perih di kulitnya, akibat pecut yang diayunkan oleh Ben sejak tadi. "Grace ayo kabur dari sini," tukas Sunny. "Aku tidak bisa menggerakkan kaki," ujar Grace. Sunny mengeluarka
WARNING!!! Isi Bab ini terdapat kekerasan seksual yang tidak cocok untuk anak dibawah umur. Mohon bijak memilih bacaan yang cocok dengan umur anda. ** "Kalian mengenal orang-orang itu?" tanya Ran. Adit dan Angga menggeleng bersamaan. "Melihat dari postur tubuh dan wajah kedua orang itu, sepertinya sudah berumur," kata Angga. "TOLONG!" Teriak seseorang yang membuat dua pria bertubuh kekar tadi masuk ke dalam gubuk. Sedangkan Ran, Angga dan Adit bergetar ketakutan mendengar suara pekikan yang begitu putus asa itu. "Apa sebenarnya yang mereka lakukan dalam gubuk itu?" tanya Adit. Tidak ada jawaban dari Ran dan Angga. Angga lantas menutup laptopnya, dan berjalan mendekat ke Adit. Kemudian ia membuka tas yang digendong oleh temannya itu, dan memasukan laptopnya. "Mumpung dua orang itu tidak ada, ini kesempatan kita mencari tahu," ujar Angga seraya menutup resleting tas kembali. "Benar ayo kita masuk," balas Ran. "Tunggu... apa kalian gak takut? Melihat dua orang tadi, sepertinya
Angga telah menyelesaikan surat izin mereka bertiga dan dikirim melalui email pada Aksa yang masih menjadi wali kelas.Sebuah kertas yang terdapat coretan dibentangkan di atas kasur. Ran, Adit dan Angga menatap kertas-kertas itu dengan seksama, agar tidak ada kesalahan dalam menjalankan misi mereka nanti. Sebuah misi yang menjadi pengalaman baru dalam hidup mereka, karena berurusan dengan anak-anak petinggi sekolah."Mereka adalah geng yang bisa melakukan kekerasan, kalian harus hati-hati nanti. Terutama kamu Ran, cewek harus tetap bersama kami," ujar Adit.Ran mengangguk."Baik, mari ganti pakaian yang nyaman, setelah itu kita menuju ke lokasi," kata Angga.Adit berjalan menuju kopernya, dan meraih sebuah jaket beserta masker, lalu memberikannya pada Ran. "Pakailah..""Terimakasih, aku kembali ke kamarku dulu untuk membersihkan diri."**Ran menghentikan langkahnya sembari menatap gedung hotel yang menjulang tinggi di belakangnya. Matanya berhenti di kaca jendela lantai 3, tempat dim
"Kamu memimpikan apa, sampai berteriak begitu?" tanya Adit. "Aku bisa minta kertas dan pulpen?" Adit mengernyitkan dahinya bingung. Namun ia tidak bertanya lebih dan meraih sebuah buku catatan kecil fasilitas dari hotel beserta pulpennya. Ia berikan dua barang itu pada Ran. Ran kemudian menulis ulang hal-hal yang Sunny tidak suka, dan mengurutkannya seperti di mimpi. "Apa ini?" tanya Adit bingung. "Coba kamu baca dari huruf awalnya, urut ke bawah." "Aku minta tolong..." gumam Adit. "Mungkin kamu bakal mikir aku gila. Semalam Sunny menyebutkan hal-hal ini. Awalnya aku pun merasa aneh, karena yang dia sebutkan random. Dia memintaku membuatkan puisi dari awalan kata hal-hal yang dia sebutkan ini." "Kamu memimpikannya," ujar Adit menebak. Ran menatap Adit kagum. "Bagaimana kau tahu?" "Bukankah tadi waktu kamu bangun, yang kamu teriakan nama Sunny? Sudah tentu yang kamu impikan gadis itu," jawab Adit, "Aku tidak menganggapmu gila, karena hal-hal seperti ini pernah terjadi padaku.
"Sikapmu tidak perlu terlalu jelas begitu, kalo orang lain sadar, akan timbul skandal. Menarik juga kisah cinta masa kecil yang bodoh masih kau pertahankan. Dia gadis itu bukan?" gumam Elina. Aksa tersenyum kecut. Kemudian ia mengeluarkan sebuah amplop berukuran kecil berwarna cokelat dari saku jas nya. "Kau juga, jangan terlalu jelas," balas Aksa sembari melemparkan amplop itu di meja. Elina menatap amplop itu cukup lama, kemudian menoleh pada suaminya. "Apa ini?" "Padahal setelah proyek berhasil, kita bisa bercerai seperti perjanjian. Kalo proyek rusak, itu akan jadi salahmu." Elina bergegas meraih amplop itu dan melihat isinya. Betapa terkejutnya ia melihat foto-foto yang ada di dalam amplop itu. Foto dirinya yang tertangkap basah sedang berkencan dengan seorang pria. Bahkan, fotonya yang sedang berciuman dan telanjang ada disana. Bibir Elina bergetar ketakutan. Ia langsung mengembalikan foto-foto itu ke dalam amplop, dan menatap Aksa tajam. "Tujuanku mendekati Raka hanya un
Ran menghentikan langkahnya sembari mendongakkan kepala ke lantai dua. Ia tidak bisa mengabaikan sesuatu yang masih terasa ganjil dalam benaknya. Dadanya terasa sesak, dengan alasan yang dia tidak ketahui. Adit ikut menghentikan langkah dan menatap gadis itu. "Apa kamu merasa ada sesuatu yang mengganjal juga?" Ran mengangguk, dengan pandangan yang masih menuju lantai dua. "Kamu juga Dit?" "Yah apapun itu, biarlah jadi urusan mereka." "Kamu benar." "Yaudah ayo makan di pestanya Sunny, sebelum acara itu berakhir," kata Adit. Ran menatap pria itu. "Dit, makan di resto hotel aja ya, aku gak terlalu nyaman sama keramaian." Adit tersenyum sembari menganggukkan kepalanya. Kemudian mereka berjalan menuju restoran yang berada di sebelah lobi hotel. Pemandangan restoran itu langsung mengarah ke view kota Jogja, yang akan indah bila disaksikan malam hari. Jalanan yang begitu ramai dengan gemerlap lampu kota dan lampu kendaraan. Mereka mem
"Sialan lu, kita hampir ketahuan!" ujar Ben kesal. PLAK!!! Sebuah tamparan mendarat di pipi Sunny. Sunny yang lemas, tak bisa melakukan apa-apa. "Udah ngechat Ran belum?" tanya Ben. "Barusan gua chat," jawab Grace sembari menunjukan ponsel Sunny yang berada dalam genggamannya. Ben menghembuskan napas kasar, sembari melonggarkan dasi yang terasa mencekik lehernya. Kemudian ia berkacak pinggang menatap ke arah luar jendela. Seketika terdengar suara langkah kaki seseorang dari jauh, yang membuat mereka bersiaga. Sunny yang sudah dimasukkan ke dalam tempat sampah besar, diletakkan di pojok ruangan. Kemudian Ben menarik Grace dalam pelukannya, dan mendorong gadis itu ke dinding. "Kalian kalo mau bermesuman jangan disini," ujar Adit. Jantung Ben dan Grace seolah disambar petir, mendapati kehadiran pria itu bersama Ran. "Kalian juga kenapa berduaan?" ujar Ben. Ran mendengus kesal. "Sialan kau Ben, menakutiku hanya untuk melindungi hubungan rahasi
Ran mendorong Aksa dengan sekuat tenaga, hingga pria itu terjatuh di lantai. Kemudian ia keluar dari kamar itu, tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Hatinya bingung dengan kenyataan yang tadi ia lihat, bahwa pria itu telah menikah dengan seorang wanita. Pernyataan cinta tadi, membuat hatinya kian kesal karena merasa dipermainkan. Terjawab sudah semua teka-teki yang selama ini ia simpan sendiri di hati, kenapa pria itu menghilang tak berkabar. Ran tidak memilih lift untuk turun ke lantai utama. Ia menggunakan tangga darurat, menghindari Aksa yang mengejarnya. Napas Ran mulai tersenggal-senggal, ketiika ia sampai di lantai tiga. Kakinya pun terasa ngilu, akibat menuruni tangga menggunakan heels. Ia cukup menyesali keputusannya yang menggunakan tangga darurat. Menyiksa diri sendiri, hanya untuk seorang pria yang sama sekali tidak menghargainya. Ran melepas heelsnya, dan menuruni tangga tanpa alas kaki. Seketika saat ia mencapai lantai dua, terlihat sekelebatan se