Aksa berbelok ke koridor menuju tempat fasilitas sekolah berada. Seperti perpustakaan, lab komputer, lab sains, green house, dan UKS. Tempat populer yang selalu ramai dikunjungi kebanyakan murid disana. Selain dekat dengan kantin sekolah, area itu banyak ditumbuhi pepohonan rindang dan sebuah taman kecil yang terdapat beragam jenis bunga di wilayah tropis, hingga menghadirkan suasana sejuk.
Ran berjalan mengekor di belakang Aksa, sembari mengamati bunga-bunga itu. Meskipun bukan pertama kali ia melihatnya, pesona yang dikeluarkan oleh bunga-bunga itu tidak pernah membuat bosan. Terlebih lagi ia juga seorang penikmat bunga.
Kondisi UKS sekolah kosong, dan tidak ada guru piket yang biasanya menjaga ketika jam pelajaran berlangsung.
Ketika Ran melangkah masuk ke dalam UKS, langsung tercium bau karbol yang menyengat penciumannya. Karbol sendiri adalah pembersih non detergen yang mengandung disenfektan. Cairan ini hampir mirip dengan sabun pembersih lantai, namun karbol memiliki kegunaan lebih banyak terutama mencegah perkembangbiakan kuman.
Biasanya cairan ini digunakan untuk membersihkan dapur, kamar mandi atau kandang hewan peliharaan. Karbol sendiri juga digunakan di rumah sakit. Itu sebabnya rumah sakit memiliki bau yang khas.
Ran memperhatikan setiap sudut ruangan dan perabotan yang ada di dalam UKS dengan kagum. Ia sendiri memang jarang ke UKS. Pertama kalinya saat masa orientasi siswa pada pengenalan lingkungan sekolah. Setelahnya ia hanya lewat di depan UKS ketika akan menuju kantin sekolah, bersama teman-temannya.
Sekalipun sekolah Ran bukan termasuk sekolah bergengsi, fasilitas yang tersedia cukup lengkap. Penataan ruangannya juga rapi dan indah karena terdapat kerjinan tangan murid yang dipajang di sana, sebagai bentuk penghargaan.
Tiga ranjang UKS diletakkan di sebelah kanan ruangan yang dibatasi oleh gorden penutup pada setiap bed. Meja periksa diletakkan tak jauh dari bed UKS. Di sebelah meja periksa ada timbangan dan stature meter atau pengukur tinggi badan. Di depan bed UKS terdapat lemari tempat menyimpan obat - obatan.
Obat – obatan itu sendiri dibagi menjadi dua jenis, yaitu obat luka luar dan untuk diminum. Tiga tandu ditumpuk rapi, di sebelah lemari tak jauh dari pintu untuk memudahkan saat keadaan darurat terjadi. Dari semua fasilitas itu, fasilitas yang paling disukai oleh para anggota PMR adalah adanya AC di sudut ruangan. Mengingat Indonesia negara beriklim tropis dengan suhu panas, AC sangat membantu untuk menciptakan suasana nyaman dalam ruangan karena udaranya yang sejuk.
Aksa meletakkan buku dan tumpukan soal yang ia bawa di meja UKS. “Cari tempat duduk yang nyaman,” ujarnya pada Ran.
Ran berjalan menghampiri bed yang paling dekat dengan meja UKS. Ia duduk dengan hati – hati, karena lututnya akan sakit jika ditekuk. Kedua matanya mengikuti tubuh Aksa yang sedang memilih obat. Dalam hati ia merasa bersyukur karena tidak diberi hukuman oleh guru itu, melainkan mendapat pertolongan untuk lukanya.
Dengan gugup, Ran membuang pandangan ke segala arah seolah tidak terjadi apa – apa, ketika Aksa berjalan kearahnya.
Aksa meletakan nampan di sebelah Ran, sembari menarik kursi ke dekat bed yang muridnya itu duduki.
Ran hampir berteriak ketika merasakan cairan alkohol yang guru itu tuangkan pada lukanya.
“Wanita tidak boleh meninggalkan bekas luka ditubuhnya. Jika ada luka, kamu harus rawat dengan baik,” ujar Aksa sembari mengobati luka Ran dengan telaten dan hati – hati.
Kalimat yang baru saja Aksa ucapan menghangatkan hati Ran. Mendengar kalimat itu, membuatnya teringat pada Venus. Seorang anak laki – laki yang pernah menjadi sahabatnya tatkala ia masih tinggal di panti asuhan.
Ran tidak punya teman selain Venus, karena dulu ketika ia pertama kali masuk panti asuhan kepribadiannya sangat buruk. Anak temperamental, penyendiri dan murung. Venus merupakan satu – satunya anak yang berani mengajaknya bicara. Venus juga telah mengembalikan senyumnya. Senyuman yang telah lama hilang akibat trauma atas tragedi yang menimpa keluarganya delapan tahun lalu. Venus juga yang mengajarinya tentang rasa syukur, hingga bias lebih
Mengingat tentang Venus, tiba – tiba rasa sesak menggerogoti hati Ran. Air mata mulai turun membasahi pipinya tanpa sempat ia kontrol. Venus menghilang tanpa kabar, semenjak diadopsi. Surat terakhir yang ia dapatkan, terjadi lima tahun lalu sebelum ia bertemu dengan Nenek Mariyati.
Aksa mendongakkan kepala menatap Ran ketika mendengar isak tangis gadis itu. “Ran ada apa? Apakah begitu sakit?” ujarnya dengan khawatir.
Ran menggelengkan kepala, lalu menutup wajahnya. Tangisnya semakin menjadi, ketika Aksa menegurnya. Antara rasa malu dan sedih, campur aduk menjadi satu.
Aksa kebingungan bagaimana harus merespon keadaan itu.
“Ran jika memang ada yang mengganggu dirimu, kamu bisa bercerita. Atau perlu saya panggilkan guru BK wanita agar kamu lebih nyaman?” kata Aksa dengan lembut.
Ran menggeleng, lalu berkata, “Ji-jika sa-saya sudah menangis, sa-saya susah berhenti. Saya mohon maaf."
Aksa bangkit dari duduknya sembari membereskan obat – obatan, dan membuang kapas bekas darah Ran ke tempat sampah. Setelah mengembalikan obat-obatan itu kembali, ia menuju ke almari penyimpanan makanan dan minuman. Lantas ia mengambil sebotol air mineral dan berjalan kembali ke tempat Ran berada.
“Kalau begitu, ini minum dulu,” ujar Aksa sembari menyodorkan botol dengan tutup yang sudah ia buka.
“Terimakasih Pak,” jawab Ran sembari menerima botol itu dan meminum airnya, berharap tangisnya berhenti.
“Kenapa kamu menangis?” tanya Aksa kemudian.
Ran terdiam sembari mengusap air matanya. Ia menyesal telah menangis barusan, karena jika ditanya alasannya ia tidak bisa menjelaskan itu. Jika bercerita, secara tidak langsung ia akan menceritakan masalah pribadinya. Ia bukan tipe orang yang dengan mudah berbagi masalah pribadi pada orang lain. Bahkan kepada sahabatnya sekalipun. Sampai detik ini hanya Nenek Mariyati dan Venus yang tahu setengah dari kisahnya.
Ran menggendong tas ranselnya kembali sembari turun dari ranjang UKS.
“Saya mohon maaf atas kejadian barusan. Namun saya tidak bisa menjelaskan apa –apa. Terimakasih sudah membantu saya hari ini. Saya mohon agar bapak tidak mengingat kejadian barusan. Sekali lagi maaf, saya sudah merepotkan bapak,” kata Ran, membuka suara setelah berdiam selama beberapa detik.
“Baiklah, jika kamu sudah merasa baikan tolong bawa soal – soal yang tadi saya bawa ke kelas kamu. Bagikanlah pada teman kelas, kumpulkanlah sore ini sepulang sekolah. Kamu bertanggung jawab atas tugas itu. Saya tunggu di ruang guru. Pagi ini saya tidak mengajar karena ada keperluan, jadi tolong kendalikan kondisi kelas.”
Tanpa sadar, kedua sudut bibir Ran terangkat membentuk bulan sabit. Ia sangat senang karena jam pertama ini tidak akan ada pelajaran. Setidaknya ia bisa menghabiskan waktu kosong itu untuk mengembalikan suasana hati.
***
Ran duduk di bangkunya dengan lemas, setelah membagikan soal dan mengumumkan pesan Pak Aksa.Kinan yang sejak tadi khawatir pada Ran ketika mendapati gadis itu lantas bertanya, “Pagi ini kasusnya apalagi? Sepatu hilang sebelah? Buku ketinggalan? Atau kaos kaki lupa dicuci? Itu lukamu kenapa?”Kinanthi Anggun Kertajasa. Gadis bermata sipit dan lesung pipi yang populer dikalangan anak laki – laki. Tubuhnya mungil semampai, berambut ikal sebahu. Ia memiliki kulit berwarna putih gading. Ia berdarah campuran chinese dari ibunya, dan manado dari ayahnya.Ran dan Kinan bertemu ketika masa orientasi siswa berlangsung. Mereka ada dalam satu kelompok saat tengah menyiapkan pensi. Ketika berbicang, mereka ada beberapa kesamaan yang membuat mereka nyaman satu sama lain. Hubungan mereka mangalir begitu saja, hingga akhirnya mereka berada dalam satu kelas yang membuat mereka semakin dekat.Ada satu gadis lagi yang juga berteman dengan mereka. Gadis it
BRAK!“Lemah! Bangun gak lu!” bentak Grace, setelah mendorong sesorang gadis yang kini badannya basah kuyup karena terjerembab ke dalam genangan air.Grace adalah seorang siswi kelas sebelas. Dilihat dari seragamnya, Grace satu sekolah dengan Ran. Ia memiliki rambut panjang yang digelung ke atas dengan jedai. Seragamnya terlihat acak – acakan. Ia menggunakan sepatu berwarna, khas anak pemberontak dari kalangan elit.Grace tidak sendrian karena di belakangnya ada lima orang yang merupakan anggota gengnya. Terdiri dari tiga cowok dan dua cewek.Gadis pendek sedikit gendut yang menggunakan bandana sebagai hiasan rambut, bernama Jessica. Pria dengan tinggi kira – kira 175 cm mengenakan kaos hitam dipadukan bawahan seragam sekolah, dan berambut keriting bernama Edo.Di sebelah Edo, berdiri Anton yang masih berseragam rapi. Anton memiliki tinggi yang sama dengan Edo.Terakhir adalah Ben. Pria yang mengenakan seragam dengan kancing terbuka, dipadukan kaos putih polos
Ran berdiri di depan papan tulis untuk menerima pengumpulan tugas dari teman – temannya, seperti pesan si pemberi tugas, yaitu Pak Aksa. Beruntung kelasnya bisa diajak kerjasama dan rata – rata semua sudah menyelesaikan tugas itu tepat waktu. Jadi ia tidak harus keliling kelas menagih satu persatu, seperti bendahara kelas ketika meminta pembayaran kas.Kinan yang sudah mengumpulkan lebih dulu karena duduk di sebelah Ran, langsung pulang. Biasanya ia akan pulang bersama Ran dan Sunny, namun sopirnya menjemput lebih awal dikarenakan ada acara keluarga.“Ran hari ini pulang sama siapa?” tanya Adit, petugas piket yang tengah memegang penghapus papan tulis yang tiba - tiba menghampiri Ran.Ran menegakkan badannya sembari merapikan tumpukan tugas yang ia bawa. Lalu ia menatap kearah Adit. “Seperti biasa sama Sunny, kenapa Dit?” tanyanya.“Kalo kamu mau menungguku, mau pulang bareng?”Ran menengok ke a
Matahari mulai kehilangan kegagahannya dibalik mendung. Hari yang seharusnya diakhiri dengan keindahan senja, menjadi gelap gulita. Senja yang biasa menghangatkatkan hati para manusia, setelah seharian bergulat dengan kesibukannya. Para manusia yang pada pukul itu selalu memenuhi trotoar atau jalan raya menggunakan kendaraannya untuk pulang ke rumah. Seperti pelajar, buruh pabrik, pekerja kantoran, pedagang dan manusia dengan profesi lainnya.Di pertigaan jalan lampu lintas, berbaris rapi kendaraan bermesin seperti motor, mobil dan angkutan umum. Lampu – lampu kota yang berdiri dengan kokoh di pinggir jalan, mulai memancarkan sinarnya untuk menerangi kegelapan, menggantikan matahari. Seorang pengamen dengan alat musik biola terlihat menghampiri satu persatu kendaraan sembari memainkannya, berharap diberi imbalan. Beberepa orang yang berempati padanya, akan memberi sejumlah uang. Namun tidak sedikit juga orang yang acuh tak acuh padanya.Gadis bertopi merah dengan
“Ran ayo turun bentar, aku mau cari sesuatu,” katanya sembari keluar dari mobil.Ran keluar dari mobil itu sembari menggendong biola dan tas ranselnya. Kemudian, ia berjalan mengikuti Raka memasuki swalayan. Ia ingat tempat itu. Dulu ibunya pernah mengajaknya mengunjungi tempat itu, untuk membeli bahan – bahan makanan. Kala itu, ibunya mendapat banyak bonus dari pelanggan karena idul fitri. Lebaran yang dirayakan oleh umat islam setahun sekali, tiap usai puasa ramadhan. Ini kedua kalinya ia mengunjungi tempat itu.Ran menyaksikan keramaian swalayan dengan kagum. Rata – rata pengunjung adalah sepasang pasutri yang memiliki seorang anak. Anak – anak dari para pasutri itu pun terlihat bahagia menghampiri tempat mainan dan snack. Dan, orang tua mereka tidak keberatan ketika anaknya meminta salah satu barang dari sana. Ia berhenti melihat pantulan diri sendiri di cermin, yang berada di bagian peralatan rumah tangga. Penampilan lusuh da
“Ibu!!!” teriak Ran di depan pintu rumah.Seketika, pintu yang tertutup itu terbuka, memunculkan sosok seorang wanita berumur tiga puluh tahun yang wajahnya terlihat letih.“Ini semua, apa Ran?” tanya wanita itu yang terkejut melihat tas belanjaan tergeletak di tanah.“Aku akan ceritakan nanti Bu, ayo bantu aku memasukkan barang – barang ini ke dalam, segera sembunyikan sebelum Ayah datang.”Kemudian, dua perempuan itu saling bekerja sama untuk menyimpan barang di area yang sulit dijangkau. Namun ketika mereka menemukan frozen food, mereka bingung akan diletakkan dimana. Mereka tidak punya lemari pendingin, dan frozen food adalah jenis makanan yang cepat basi jika tidak diletakkan di suhu dingin.“Sepertinya kita harus menjual ini sebagian Ran, uanngnya kita tabung. Daripada basi disimpan lama – lama. Kalo dititipkan di tetangga, tidak enak,” ujar Ibunya memberi saran.Ran menganggu
Ran tertawa hingga suaranya menggema di ruangan itu. “Pria tidak becus, hanya bisa memeras dan kasar pada wanita,” balasnya. Kalimat barusan berhasil mendorong amarah Sudirman lebih jauh. Sehingga Sudirman mendorong Ran hingga terbentur dinding, dan melucuti pakaian putri semata wayangnya itu. “Kau akan tau rasanya, nikmatilah... sayang sekali jika tubuhmu tidak kunikmati lebih dulu sebelum diberikan pada para saudagar itu,” kata Sudirman. Kepercayaan diri yang tadi Ran bangun, menjadi porak – poranda atas perlakuan Sudirman barusan. Ia tahu apa yang akan dilakukan pria itu terhadapnya, karena ia pernah membaca kisah seorang anak yang dilecehkan oleh Ayah kandung sendiri. Ia bahkan tidak menyangka, dirinya akan mengalami hal serupa. Mungkin makian dan pukulan dari pria itu masih bisa ia terima. Namun, tindakan barusan telah melukai bagian terakhir dan paling berharga baginya. Tubuh Ran membeku, ketika angin yang masuk dari jendela kamar itu membelai s
Setelah membuat dirinya sendiri dan Pak Aksa jatuh dari tangga, Ran menatap guru itu dengan penuh sesal. "Maafkan saya," ujarnya. "Tidak masalah Ran, ayo berdiri," balas Pak Aksa sembari membantu Ran untuk bangkit. Kalimat barusan tidak membuatnya lega, dan semakin merasa bersalah. Perasaan itu disusul kembali dengan tangisannya yang semakin menjadi - jadi. "Aku ingin mati saja, aku gak berguna, kenapa aku harus lahir? Kenapa aku harus hidup? Aku selalu menyusahkan orang lain," teriak Ran seketika dengan meledak - ledak. Tanpa banyak kata, Aksa lantas menarik Ran dalam pelukannya. Namun Ran langsung mendorong Aksa, menolak pelukan itu. Ran berlari di ujung ruangan dan berjongkok sembari memukul - mukul kepalanya sendiri dengan keras. Ia meneriakan bahwa dirinya ingin mati secara berulang - ulang. Aksa menyusul Ran dan berjongkok tepat di depan gadis itu. Dengan lembut ia meraih dua tangan Ran yang menyakiti kepalanya send
Terdengar ledakan dahsyat dari dalam hutan, membuat langkah Ran, Sunny dan Grace terhenti. "Ben meledakan gubuk agar tidak meninggalkan bukti," gumam Grace. Ran menatap tajam Grace, lalu berkata penuh dengan penekanan, "Kejam sekali kalian." Grace tidak berani mengangkat pandangannya pada Ran, karena merasa bersalah. Ia juga merasa malu setelah menjadi bagian dari kejahatan itu, yang akhirnya menjadikannya korban. Dari balik semak Adit dan Angga berlari kearah mereka dengan tergesa-gesa. "Guys kenapa kalian berhenti! Ayo lari!" teriak Adit dari kejauhan. Lalu, Ran, Sunny dan Grace melanjutkan langkahnya. Terdengar suara tembakan beberapa kali dari arah kejauhan, membuat mereka panik, sampai berlari tak tahu arah. Hanya mengandalkan insting untuk memilih jalan mana yang mudah dilewati, karena mereka terjebak dengan ilalang yang membutakan arah. "Tinggalkan saja aku disini! Kalian kabur saja," ujar Grace semakin merasa bersalah, karena menjadi beban. "Tutup mulutmu brengsek!" Be
"Sialan!!! Ulah siapa ini?" Gerutu Ben sembari membanting pecut yang ia pegang, penuh emosi karena lampu seketika padam di tengah kegiatan yang ia lakukan. Kemudian terdengar sirine alarm kebakaran yang membuat panik orang-orang dalam ruangan itu. Ben lantas bangkit dari tempat tidur dan meraih jubah mandi yang tergantung di dekat pintu dan memakainya. Ia keluar dari ruangan dengan langkah penuh amarah sembari meneriakkan nama anak buahnya. Empat orang pria yang merupakan teman-teman Ben, menyusul pria itu keluar ruangan. Meninggalkan Sunny dan Grace. Sunny memanfaatkan keadaan itu dengan bergegas melepas ikatan tangan dan kakinya. Dengan tubuh telanjang di tengah kegelapan, ia memungut pakaiannya yang berceran di lantai. Sedangkan Grace yang masih terkuai lemas di tempat tidur, hanya bisa menangis menahan perih di kulitnya, akibat pecut yang diayunkan oleh Ben sejak tadi. "Grace ayo kabur dari sini," tukas Sunny. "Aku tidak bisa menggerakkan kaki," ujar Grace. Sunny mengeluarka
WARNING!!! Isi Bab ini terdapat kekerasan seksual yang tidak cocok untuk anak dibawah umur. Mohon bijak memilih bacaan yang cocok dengan umur anda. ** "Kalian mengenal orang-orang itu?" tanya Ran. Adit dan Angga menggeleng bersamaan. "Melihat dari postur tubuh dan wajah kedua orang itu, sepertinya sudah berumur," kata Angga. "TOLONG!" Teriak seseorang yang membuat dua pria bertubuh kekar tadi masuk ke dalam gubuk. Sedangkan Ran, Angga dan Adit bergetar ketakutan mendengar suara pekikan yang begitu putus asa itu. "Apa sebenarnya yang mereka lakukan dalam gubuk itu?" tanya Adit. Tidak ada jawaban dari Ran dan Angga. Angga lantas menutup laptopnya, dan berjalan mendekat ke Adit. Kemudian ia membuka tas yang digendong oleh temannya itu, dan memasukan laptopnya. "Mumpung dua orang itu tidak ada, ini kesempatan kita mencari tahu," ujar Angga seraya menutup resleting tas kembali. "Benar ayo kita masuk," balas Ran. "Tunggu... apa kalian gak takut? Melihat dua orang tadi, sepertinya
Angga telah menyelesaikan surat izin mereka bertiga dan dikirim melalui email pada Aksa yang masih menjadi wali kelas.Sebuah kertas yang terdapat coretan dibentangkan di atas kasur. Ran, Adit dan Angga menatap kertas-kertas itu dengan seksama, agar tidak ada kesalahan dalam menjalankan misi mereka nanti. Sebuah misi yang menjadi pengalaman baru dalam hidup mereka, karena berurusan dengan anak-anak petinggi sekolah."Mereka adalah geng yang bisa melakukan kekerasan, kalian harus hati-hati nanti. Terutama kamu Ran, cewek harus tetap bersama kami," ujar Adit.Ran mengangguk."Baik, mari ganti pakaian yang nyaman, setelah itu kita menuju ke lokasi," kata Angga.Adit berjalan menuju kopernya, dan meraih sebuah jaket beserta masker, lalu memberikannya pada Ran. "Pakailah..""Terimakasih, aku kembali ke kamarku dulu untuk membersihkan diri."**Ran menghentikan langkahnya sembari menatap gedung hotel yang menjulang tinggi di belakangnya. Matanya berhenti di kaca jendela lantai 3, tempat dim
"Kamu memimpikan apa, sampai berteriak begitu?" tanya Adit. "Aku bisa minta kertas dan pulpen?" Adit mengernyitkan dahinya bingung. Namun ia tidak bertanya lebih dan meraih sebuah buku catatan kecil fasilitas dari hotel beserta pulpennya. Ia berikan dua barang itu pada Ran. Ran kemudian menulis ulang hal-hal yang Sunny tidak suka, dan mengurutkannya seperti di mimpi. "Apa ini?" tanya Adit bingung. "Coba kamu baca dari huruf awalnya, urut ke bawah." "Aku minta tolong..." gumam Adit. "Mungkin kamu bakal mikir aku gila. Semalam Sunny menyebutkan hal-hal ini. Awalnya aku pun merasa aneh, karena yang dia sebutkan random. Dia memintaku membuatkan puisi dari awalan kata hal-hal yang dia sebutkan ini." "Kamu memimpikannya," ujar Adit menebak. Ran menatap Adit kagum. "Bagaimana kau tahu?" "Bukankah tadi waktu kamu bangun, yang kamu teriakan nama Sunny? Sudah tentu yang kamu impikan gadis itu," jawab Adit, "Aku tidak menganggapmu gila, karena hal-hal seperti ini pernah terjadi padaku.
"Sikapmu tidak perlu terlalu jelas begitu, kalo orang lain sadar, akan timbul skandal. Menarik juga kisah cinta masa kecil yang bodoh masih kau pertahankan. Dia gadis itu bukan?" gumam Elina. Aksa tersenyum kecut. Kemudian ia mengeluarkan sebuah amplop berukuran kecil berwarna cokelat dari saku jas nya. "Kau juga, jangan terlalu jelas," balas Aksa sembari melemparkan amplop itu di meja. Elina menatap amplop itu cukup lama, kemudian menoleh pada suaminya. "Apa ini?" "Padahal setelah proyek berhasil, kita bisa bercerai seperti perjanjian. Kalo proyek rusak, itu akan jadi salahmu." Elina bergegas meraih amplop itu dan melihat isinya. Betapa terkejutnya ia melihat foto-foto yang ada di dalam amplop itu. Foto dirinya yang tertangkap basah sedang berkencan dengan seorang pria. Bahkan, fotonya yang sedang berciuman dan telanjang ada disana. Bibir Elina bergetar ketakutan. Ia langsung mengembalikan foto-foto itu ke dalam amplop, dan menatap Aksa tajam. "Tujuanku mendekati Raka hanya un
Ran menghentikan langkahnya sembari mendongakkan kepala ke lantai dua. Ia tidak bisa mengabaikan sesuatu yang masih terasa ganjil dalam benaknya. Dadanya terasa sesak, dengan alasan yang dia tidak ketahui. Adit ikut menghentikan langkah dan menatap gadis itu. "Apa kamu merasa ada sesuatu yang mengganjal juga?" Ran mengangguk, dengan pandangan yang masih menuju lantai dua. "Kamu juga Dit?" "Yah apapun itu, biarlah jadi urusan mereka." "Kamu benar." "Yaudah ayo makan di pestanya Sunny, sebelum acara itu berakhir," kata Adit. Ran menatap pria itu. "Dit, makan di resto hotel aja ya, aku gak terlalu nyaman sama keramaian." Adit tersenyum sembari menganggukkan kepalanya. Kemudian mereka berjalan menuju restoran yang berada di sebelah lobi hotel. Pemandangan restoran itu langsung mengarah ke view kota Jogja, yang akan indah bila disaksikan malam hari. Jalanan yang begitu ramai dengan gemerlap lampu kota dan lampu kendaraan. Mereka mem
"Sialan lu, kita hampir ketahuan!" ujar Ben kesal. PLAK!!! Sebuah tamparan mendarat di pipi Sunny. Sunny yang lemas, tak bisa melakukan apa-apa. "Udah ngechat Ran belum?" tanya Ben. "Barusan gua chat," jawab Grace sembari menunjukan ponsel Sunny yang berada dalam genggamannya. Ben menghembuskan napas kasar, sembari melonggarkan dasi yang terasa mencekik lehernya. Kemudian ia berkacak pinggang menatap ke arah luar jendela. Seketika terdengar suara langkah kaki seseorang dari jauh, yang membuat mereka bersiaga. Sunny yang sudah dimasukkan ke dalam tempat sampah besar, diletakkan di pojok ruangan. Kemudian Ben menarik Grace dalam pelukannya, dan mendorong gadis itu ke dinding. "Kalian kalo mau bermesuman jangan disini," ujar Adit. Jantung Ben dan Grace seolah disambar petir, mendapati kehadiran pria itu bersama Ran. "Kalian juga kenapa berduaan?" ujar Ben. Ran mendengus kesal. "Sialan kau Ben, menakutiku hanya untuk melindungi hubungan rahasi
Ran mendorong Aksa dengan sekuat tenaga, hingga pria itu terjatuh di lantai. Kemudian ia keluar dari kamar itu, tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Hatinya bingung dengan kenyataan yang tadi ia lihat, bahwa pria itu telah menikah dengan seorang wanita. Pernyataan cinta tadi, membuat hatinya kian kesal karena merasa dipermainkan. Terjawab sudah semua teka-teki yang selama ini ia simpan sendiri di hati, kenapa pria itu menghilang tak berkabar. Ran tidak memilih lift untuk turun ke lantai utama. Ia menggunakan tangga darurat, menghindari Aksa yang mengejarnya. Napas Ran mulai tersenggal-senggal, ketiika ia sampai di lantai tiga. Kakinya pun terasa ngilu, akibat menuruni tangga menggunakan heels. Ia cukup menyesali keputusannya yang menggunakan tangga darurat. Menyiksa diri sendiri, hanya untuk seorang pria yang sama sekali tidak menghargainya. Ran melepas heelsnya, dan menuruni tangga tanpa alas kaki. Seketika saat ia mencapai lantai dua, terlihat sekelebatan se