Si Gadis Angkuh
Gadis itu merasa puas melihat penampilannya di kaca setelah menghabiskan waktu beberapa jam. Ia memang sangat betah menggonta-ganti pakaian dan aksesorisnya setiap waktu. Tepatnya bukan dia, tapi para pelayan yang telah disiapkan untuk mengurusnya oleh Papa.
Kini, ia duduk manis di hadapan cermin panjang yang memperlihatkan tubuhnya dari ujung rambut sampai kaki. Seorang pelayan di belakangnya hendak memasangkan kalung. Namun, karena terlalu ceroboh ia malah membuat kalung itu tersangkut di jepitan rambut Sheila.
Sheila meradang. Wajahnya memerah. Ia merampas kalung yang telah berhasil dilepaskan dari jepitan dan melemparkannya ke tanah.
"Sini kamu!" Bentaknya. Pelayan yang ditunjuk berjalan menunduk mendekati gadis cantik itu.
"Sudah berapa lama kamu bekerja di sini?" Ia melipat kedua tangannya di depan dada. Gadis yang dipandangnya hanya berani memandang lantai dan meremas kedua tangannya.
"Dua bulan," jawabnya.
"Kenapa kamu mau bekerja di sini?" tanyanya dengan tatapan mata sinis.
"Saya butuh uang untuk biaya skripsi," jawab gadis itu dengan suara bergetar.
"Hah, Kau mahasiswa?"
Gadis itu menunduk semakin dalam. Ia bahkan tak berani menggerakkan kaki saat Sheila mendekatkan wajahnya.
"Kau dipecat!" Mata Sheila mendelik saat mengungkapkan kalimat itu dan kedua tangan berada di pinggangnya.
Gadis itu terduduk di lantai dan memohon pada Sheila agar tak memecatnya. Namun Sheila tak mengindahkan permintaan gadis itu.
"Bagaimana kau bisa menyelesaikan skripsimu. Memasang kalung saja kau tak bisa. Dasar payah!" Ia menarik kakinya dari tangan pelayan yang kini mengiba-iba padanya.
"Usir dia dari sini!" Perintahnya pada pelayan lain.
Sheila pun pergi meninggalkan ruangan riasnya dengan mulut penuh omelan dan cacian.
"Dasar bodoh. Memasang kalung saja tak bisa. Bagaimana lagi menyelesaikan skripsi," gumamnya sambil berjalan penuh keangkuhan.
"Hah, tak berguna."
"Bu Sheila, hari ini kita mau ke mana?" tanya seorang pria muda dengan pakaian rapi.
Sheila terus melangkah tanpa memedulikan lelaki itu yang siap mencatat perkataan Sheila pada notes kecil di tangannya.
"Kemana saja, asalkan senang." Sheila berkata cepat.
"Ke mana, Bu?" Lelaki itu bertanya ulang.
Sheila berbalik menghadap pria itu.
"Kau tau apa yang tak kusukai di dunia ini?" tanya Sheila dengan wajah memerah.
"Apa saja kalau boleh saya tahu, Bu," tanya pemuda itu masih fokus dengan catatannya.
"Tikus, cacing, kecoa, kodok, cicak, becek, hujan, angin, orang bodoh dan banyak tanya," jawabnya cepat.
Pemuda itu masih terpana. Ia belum sempat menulis apa yang diucapkan Sheila.
"Dan, satu lagi. Jangan pernah memintaku mengulang perkataanku," ucapnya penuh penekanan.
Ia berlalu menuju mobil dan menyetirnya sendirian meninggalkan pemuda barusan yang memanggil-manggil namanya.
Ia terus saja menyetir, padahal tidak punya SIM karena memang ia belum lancar menyetir.
***
"Lihatlah, anak itu Limah. Mulai lagi berulah," ujar Pak Rahman orang kepercayaan Papa di rumah.
"Dia masih muda. Semangatnya masih membara," sahut Mak Cik Limah. Ia berlalu meninggalkan Pak Rahman yang terpaku menatap jalan. Ia sedang menanti keajaiban apa yang bakal terjadi setelah kepergian Sheila.
Tidak berapa lama, panggilan telepon masuk ke HP-nya. Pak Rahman menjawab panggilan itu.
Betul saja. Ternyata dari kantor polisi. Sheila telah menabrak seseorang di jalan. Sekarang ia sedang berada di kantor polisi. Papa menelpon Pak Rahman agar menyelesaikan urusan Sheila, karena ia sedang sibuk.
"Kenapa Rahman?" tanya Mak Cik Limah yang kini kembali lagi saat mendengar Pak Rahman menjawab telepon dengan nada khawatir.
"Biasa Limah. Tuan putri kita sedang lincah-lincahnya." Pak Rahman bergegas menuju garasi dan segera meninggalkan rumah menuju kantor polisi. Tak lupa ia menelpon pengacara Sheila agar ikut serta bersamanya.
Polisi memberikan mereka kesempatan berdamai sebelum peristiwa itu diperkarakan.
"Ini, untukmu. Kau bisa mengganti motor bututmu dengan yang baru."
Lembaran uang merah yang sungguh menggiurkan dikeluarkan Pak Rahman dari koper membuat pemuda di depannya menelan ludah.
Ia masih menatap yang merah itu. Belum pernah selama hidupnya ia melihat uang sebanyak itu. Kalau saja ia tidak punya harga diri, ingin rasanya ia mengambil uang itu dan segera pergi ke rumah sakit untuk membayar biaya pengobatan ibunya.
"Kurang? Saya tambah lagi." Pak Rahman menambah segepok lagi uang merah itu di meja.
"Kau jangan belagu. Orang sudah mau berdamai terima saja." Suara seorang polisi bertubuh gemuk yang sedari tadi mendampingi mereka memecahkan lamunan Zaid.
Mata pemuda tampan yang berwajah teduh itu kini memindai Pak polisi. Petugas itu terlihat risih ditatap demikian.
"Lihat apa kau. Betul kan, saranku. Dari pada ribut-ribut dan naik sidang, lebih baik berdamai saja," ulangnya lagi.
"Kalian pikir semudah itu?"
Dia masih teringat bagaimana Sheila mencercanya tadi di jalan.
Saat itu lampu merah. Motornya pun berhenti tepat di depan Sheila. Namun Sheila yang masih canggung mengendarai mobil lepas kendali dan menabraknya dari belakang.
Tabrakan itu membuat sepeda motor Zaid menabrak truk gandeng di hadapannya. Membuat motornya rusak parah bagian depan dan menjadikan Zaid lecet di bagian siku tangan, betis dan juga dahi. Setelah berusaha bangkit dan meminggirkan sepeda motornya, ia pun menemui Sheila di mobil.
Sheila membuka kaca jendela. Jalan menurun membuatnya kepayahan mengendalikan mobil hingga menabrak bagian belakang motor di hadapannya. Namun ia bersyukur akhirnya dapat mengendalikan mobil hingga motor itu tidak terpental dan hanya menabrak truk di depannya. Tidak parah. Namun membuat si pengemudi jatuh dan motor juga penyok di belakang dan depan. Tanpa mengucapkan sepatah kata pun ia menyerahkan beberapa lembar uang merah pada Zaid yang kini berada di sebelah jendela mobil yang terbuka.
Zaid yang masih kesal, bergeming dan menatap uang kemudian Sheila silih berganti.
"Maksud kamu apa?" tanya Zaid.
"Apa lagi, kurang? Aku tambah lagi." Sheila mencebik dan melihat Zaid dengan sinis.
"Kamu!" Zaid mengepal telapak tangannya. Ia kesal sekali dengan sikap Sheila. Belum pernah ia begitu marah pada orang lain. Apalagi ini seorang perempuan. Cantik, berkelas namun tidak mempunyai perasaan.
Zaid mengambil uang itu dan melemparkannya ke wajah Sheila.
Sheila berteriak." Dasar brengsek. Memangnya kau mau berapa? Dasar pemeras!" teriaknya pada Zaid.
"Kita bertemu di kantor polisi," ujarnya pada Sheila.
Hingga kemudian mereka berakhir di kantor polisi, Zaid masih tak terima dengan sikap Sheila yang sombong. Meski ia miskin, bukan berarti ia menginginkan uang Sheila, tapi yang diinginkannya Sheila sadar akan kesalahannya. Andaikan tadi Sheila mengucapkan kata maaf saja sudah cukup bagi Zaid. Namun perilaku Sheila yang tidak punya rasa kemanusiaan, memantik Zaid ingin melanjutkan kasus ini ke kantor polisi.
Zaid bangkit. " Kalian orang kaya selalu meremehkan orang lain. Tidak selamanya semuanya bisa diselesaikan dengan uang!"
Ia pun meninggalkan mereka yang memandang Zaid dengan gemas.
"Dasar gembel. Tidak tahu diuntung kau," teriak petugas yang mengawal pembicaraan mereka.
Zaid pun melanjutkan tuntutannya pada Sheila. Ia tak ingin melepaskan gadis itu begitu saja. Baginya, Sheila harus diberi pelajaran agar bisa menghargai orang lain. Jangan selalu berpikiran kalau dengan memiliki uang mereka bisa segalanya.
Sidang pun berlanjut. Papa meminta Pak Rahman agar tidak ikut campur. Biar saja Sheila disidang akibat perbuatannya. Mungkin ia memang harus merasakan bagaimana sisi lain kehidupan yang tak pernah dirasakannya.
Biasanya, ia tak perlu turun tangan membereskan apapun. Asalkan ada uang segalanya selesai. Ia tak pernah memandang orang lain penting. Baginya uang lebih penting dari manusia.
Bersambung...
Sore hari Zaid mengajar di masjid dekat rumah. Luka memar masih menghiasi pelipis dan tungkai lengannya."Assalamualaikum," ucap Zaid saat bertemu anak-anak yang sudah berkumpul di dalam masjid."Waalaikumsalam," sahut mereka bersamaan."Maafkan Ustad telat hari ini," pintanya."Iya Ustadz," sahut seorang santri."Ustadz kenapa itu," seorang dari mereka menunjuk pelipis Zaid yang memar." Oh, ini, ini Ustadz jatuh." Tangannya menunjuk pelipis. Namun Ia tak ingin membahas mengenai peristiwa itu dengan anak-anak karena akan memperpanjang cerita dan mengurangi waktu mengaji mereka yang juga sudah telat."Ternyata Ustadz kayak anak kecil. Bisa jatuh juga." Celetukan itu membuat tawa menggema sementara waktu hingga Zaid menegur mereka untuk berhenti.Saat pengajian selesai. Ustadz Hafiz teman Zaid menemuinya.
"Dasar lelaki bodoh. Payah. Begitu banyak duit di depan mata malah memilih jalur hukum. Dia pikir dapat mengalahkan orang kaya," jerit Sheila dalam perjalanan pulang dari kantor polisi."Lihat saja nanti, dia harus mendapatkan pelajaran dari perbuatannya!" Sheila berkata dengan lantang. Kini mobilnya dikemudikan oleh Pak Rahman. Pria paruh baya itu melihat Sheila sekilas dari kaca depan mobil."Pak, Sheila ingin pemuda tak tahu diri itu mendapatkan pelajaran seberat-beratnya. Biar dia tahu rasa." Gadis itu memajukan tubuhnya dan mengajak Pak Rahman berbicara.Namun Pak Rahman bergeming. Dalam hatinya ia tidak bisa membenarkan keinginan Sheila. Baru saja Pak Banta mengirimkan pesan agar tak mencampuri kasus Sheila. Biarlah Sheila menyelesaikan kasusnya ini dengan keadilan semestinya jika pemuda itu tak mau berdamai. Kali ini, ia mesti bersabar melihat Sheila merasakan hukuman akibat kelalaiannya. Walau, kadang hatin
Sheila menerima panggilan sidang. Ia amat murka karenanya. Entah berapa gelas dan piring yang pecah setelah surat itu dibaca."Pak Rahman. Mana Pak Rahman?" cecarnya pada Mak Cik Limah di dapur."Tenanglah Sheila. Ada apa sebenarnya?" Limah tidak paham mengapa tiba-tiba Sheila mengamuk hari ini. Padahal ia belum melakukan kegiatan apapun dan belum pergi ke mana-mana."Sheila bilang, mana Pak Rahman!" teriaknya membuat Limah terperanjat."Sheila! Berhenti bersikap kekanak-kanakan!" Perintah Papa yang baru tiba dari ruang tengah.Sheila kaget mendengar suara Banta."Papa!""Lihat ni, Pa. Pak Rahman. Sheila jadi dipanggil ke persidangan gara-gara dia." Sheila mendekati Banta. Tangannya bergelayut di lengan Banta sembari memperlihatkan sebuah surat panggilan.Banta membenarkan letak kaca matanya.Kemudi
Suatu pagi hari yang cerah. Di halaman rumah Sheila yang tertata indah, Papa sedang sarapan pagi di meja makan mungil berwarna putih. Di atas meja itu telah tertata cangkir teh dan teko keramik berwarna putih. Di sampingnya ada roti dan selai yang tersusun rapi. Sheila sedang mengoles rotinya dengan selai kacang kesukaannya."Sheila, Papa punya sebuah keinginan. Papa harap, kamu dapat memenuhi keinginan Papa kali ini." Papa meletakkan cangkir teh itu di atas piring kecil yang terletak di meja."Kalau Sheila bisa, tentu saja Sheila akan penuhi, Pa," jawab Sheila."Papa ingin kamu menikah." Papa memandang lekat ke arah Sheila."Papa!" Sheila terkejut dengan permintaan Papa padanya."Sheila masih muda, Pa!""Kalau kamu tidak kuliah dan tidak bekerja, sebaiknya menikah saja, Sheila. Supaya hidupmu lebih berarti," ucap Papa.Sheila mengg
"Mak Cik dari mana saja?" Wajah Sheila memerah karena amarah."Mak Cik baru belanja." Mak Cik Limah meletakkan barang belanjaannya.Sheila memindai sejenak barang belanjaan Mak Cik Limah."Duduklah. Mak Cik akan buatkan teh untukmu." Mak Cik Limah mengambil 2 cangkir di lemari dapur dan menatanya di atas nampan. Kemudian menyeduh teh dan menuangkannya ke dalam cangkir.Sheila menanti Mak Cik Limah di meja makan dengan sambil sesekali mengetuk-ngetuk meja makan dengan tangannya."Sudah, marahnya?"Mak Cik Limah meletakkan nampan berisi dua cangkir teh di atas meja. Mengarahkan secangkir untuk Sheil, dan mengambil secangkir untuknya."Sheila benci Papa!"Sheila mengetuk meja dengan jari tergenggam."Minum dulu tehnya," ujar Mak Cik Limah.Sheila menghid
Sheila dan ArkanSheila mengabaikan pertanyaan Mak Cik Limah ia bergegas masuk ke dalam rumah. Saat membuka pintu, Papa Banta, Pak Rahman dan beberapa orang telah berada di ruang tamu.Apakah tamu yang diundang papa untuk acara perjodohan itu telah datang?Mata Sheila menyipit menatap ke arah penghuni ruang tamu di hadapannya.Mak Cik Limah menyampaikan kalau mereka sudah bisa menikmati makan malam.Banta mengarahkan para tamu ke ruang makan. Sheila masih mematung saat semuanya telah beranjak ke ruang makan. Papa memandang Sheila memberi kode agar ia menyusul ke ruang makan.Sheila celingukan seakan mencari seseorang."Hei, kamu! Tunggu hukuman dariku!" Telunjuknya diarahkan ke wajah pemuda bermata sendu yang sedari tadi masih berada di belakangnya. Lantas, Sheila melengos dan meninggalkan Zaid yang tak berkedip menatap punggungnya.Andaikan saja dia bukan seorang gadis, Zaid ingin sekali melabra
"Sheila, Arkan! sebaiknya duduk dulu. Nggak baik berbicara sambil berdiri di depan meja makan begin."Bu Retno hendak menyentuh tangan Sheila. Namun gadis itu mengabaikannya dan melangkah maju semakin mendekati Arkan.Seperti apa kelanjutan hubungan Sheila dan Arkan ini ya? Sepertinya mereka berdua sama-sama keras kepala.Sekarang, jarak mereka semakin dekat. Dengan cepat dia mengayunkan telapak tangannya ke arah pipi Arkan. Setelah itu ia berlalu meninggalkan ruang makan.Arkan mengelus pipinya. Bu Retno mendekati Arkan dan membimbing putranya duduk kembali. Papa Banta dan Pak Wahyu mulai menunjukkan wajah masam. Tidak suka dengan keadaan ini.Sementara Zaid yang sedari tadi berdiri di dekat Banta memperhatikan apa yang dilakukan majikannya. Ia mengikuti kepergian Sheila dan ikut meninggalkan ruang makan."Gadis yang sangat emosional," ujar Pak Wahyu."Sepertin
Setelah mengemudi selama satu jam, Sheila dan Zaid tiba di sebuah mall yang berada tepat di tengah kota. Sheila segera turun dari mobil diikuti oleh Zaid. Mereka masuk ke dalam mall melalui pintu kaca.Sheila menuju ke bagian pakaian wanita dan memilih beberapa pakaian yang disukainya. Saat sedang asyik memilih pakaian, seorang pria menyapanya."Ternyata kita bertemu lagi di sini." Sapanya membuat Sheila kaget.Mata pria itu menatapnya, tangannya dimasukkan ke dalam saku celana. Sheila sedikit bergidik karenanya. Namun bukan Sheila namanya kalau takut berlebihan."Kau membuntutiku?" Sheila kembali menatap pakaian yang tergantung di depannya."Huh, apa gunanya membuntuti gadis bengal sepertimu." Arkan tersinggung dengan tuduhan Sheila padanya."Lalu, kenapa kau bisa di sini?""Aku bebas pergi kemanapun kumau,""Lalu, kaupikir bisa seenaknya membuntutiku?""Hei! Aku tidak membuntutimu!""Kaup
Sheila turun dari mobil dengan penuh amarah. Ia berteriak-teriak menceracau tak jelas sepanjang perjalanannya menuju kamar dan merusak beberapa pajangan yang ada di ruang tengah. "Kenapa dia?" tanya Mak Cik Limah pada seorang pelayan di dapur. Pelayanan itu menggelengkan kepala. Jelas saja dia tak tahu apa yang terjadi, karena Sheila baru pulang setelah pergi tanpa pamit dari rumah dan menginap di rumah Aisha. Pak Banta melewati Mak Cik Limah yang memandang kepergian Sheila dari bawah tangga. "Ada apa, Pak?""Anak itu sungguh terlalu Limah." "Apa yang telah dia lakukan sebenarnya?"Pak Banta merebahkan tubuh di sofa." Buatkan aku kopi Limah." Pintanya. Makcik Limah bergegas ke dapur. Mengambil cangkir dan menuangkan kopi ke dalamnya dengan kening mengkerut. Limah membawa nampan berisi kopi dan juga sedikit camila ke meja Pak Banta."Aku kehabisan cara menasihati Sheila. Menikah dengan Damar pun kurasa belum tentu efektif menjadikannya lebih baik. Sebagai ayah aku benar-benar ta
"Assalamualaikum," terdengar suara salam di ambang pintu. Daun pintu masih terbuka lebar. Di sana ada sesosok pemuda berdiri dan menatap ke arah Aisha dan Sheila dengan raut khawatir. "Kamu kok kemari? ""Huss. kok gitu tanyanya?" Celutuk Aisha. Damar menunduk. Kemudian menatap Sheila. "Masuk Damar," ajak Aisha. Damar mengangguk dan melangkahkan kakinya masuk. Ia duduk di samping Aisha dan Sheila. Sheila segera melipat kakinya seakan tak terjadi apapun. "Aww!" jerit Sheila. "Kakimu kenapa? Sini aku lihat." Damar mengarahkan tangannya hendak meraih kaki Sheila. Namun Sheila menepis tangan Damar. "Kenapa?" tanya Damar. "Sakit tau!" bentak Sheila. "Oh, maaf." "Kita ke dokter, ya" ajak Damar. "Enggak! " Tolak Sheila. "Sheila di sini aja,""Kakimu terluka, bagaimana aku membiarkan kamu di sini?" Damar kembali membujuk. "Hanya luka kecil. Nanti juga sembuh."Aisha memberi kode dengan kedipan mata pada Sheila agar ia menurut. Aisha tahu kondisi kaki Sheila tidak baik-baik saja
"Kami dan Damar baik-baik saja, kan?" Zaid bertanya kembali."Kenapa aku harus bercerita padamu?" Kilah Sheila."Lalu kamu mau cerita sama siapa? Memangnya kamu punya teman selain aku?" "Not your business," kilah Sheila lagi."Ya sudah, kalau begitu aku pulang dulu." Zaid mohon izin."Eh, Zaid kamu mau kemana?" "Kamu nggak mau cerita ke aku. Untuk apa lagi aku berada di sini?" "Kamu mau mendengar ceritaku?" "Tentu saja, Sheila. Sampai kapanpun, walaupun aku bukan supirmu lagi aku tetap mau mendengar ceritamu." "Kamu mau kuajak ke suatu tempat?" Mereka berdua pun mampir di sebuah waduk yang indah dekat masjid. Mereka duduk di rerumputan di tepi waduk."Dulu, ibuku sering mengajakku main di tepi waduk ini." Cerita Zaid. "Ketika mulai remaja, aku sering menghabiskan waktu membaca dan menulis di tepi waduk ini. Bagiku waduk ini adalah taman bermain yang tak pernah dapat kuraih seperti anak-anak lain." Zaid mulai bercerita."Dan keindahan waduk ini masih sama seperti dulu." Zaid men
Makan Siang"Masuklah Zaid. Bang Hafiz di kamar mandi. Bentar lagi juga selesai." Aisha membujuk Zaid.Sheila beranjak ke belakang tanpa berkata apa-apa.Zaid diam sebentar."Yuk, masuk," ajak Aisha kembali.Zaid pun melangkahkan kaki ke dalam rumah petak Aisha dan Hafiz."Kamu ini. Kayak tamu aja," celutuk Aisha.Zaid terkekeh, wajahnya nampak memerah dan ia mulai menggaruk kepalanya yang tidak gatal."Duduk dulu ya, aku ke belakang." "Ada Zaid di depan. Sudah masuk?" tanya Hafiz begitu keluar dari kamar mandi."Udah. Malu, malu diatu." Aisha tertawa kecil sambil menutup mulutnya dengan tangan.Mereka berdua melirik Sheila yang sedang berada di westafel dapur. Sheila membalas lirikan mereka."Kalian berdua mencurigakan, deh," usik Sheila."Sssst. Sini, sini. Kita makan dulu, yuk." Aisha merangkul bahu Sheila dan mengajaknya pindah dari dapur."Sheila belum siap nyupir, nih." "Nggak papa. Nanti aja. Kayak kamu rajin aja nyuci piring. Padahal nggak pernah. Alesan!" goda Aisha.Wajah
"Kamu mau cerita tentang pertunanganmu?" Aisha langsung menebak. "Iih. Rupanya kamu lebih nyebelin dari Pak Rahman." Mereka berdua pun tertawa lepas. "Aku ragu dengan Damar, Aisha," sungut Sheila. "Apakah kau tidak percaya pada Damar?" "Sepertinya aku dan Damar beda tujuan sekarang." Sheila menunduk. "Apakah kalian pernah memiliki tujuan yang sama?" Sheila memandang Aisha, lama. "Aku hanya ingin berubah Aisha. Menjadi perempuan yang lebih berharga. Mencintai diriku sendiri. Apa itu salah?" Aisha hanya tersenyum. "Bagaimana mungkin aku bisa mencintai orang lain jika diriku saja tak kuhiraukan. Bukankah itu katamu?" Aisha kembali tersenyum. "Aku memang tak pernah merasakan kasih sayang seorang ibu. Namun bukan berarti aku boleh menghancurkan diriku sendiri. Aku sudah dewasa dan dapat memilah apa yang terbaik untukku." Aisha menunduk dan tersenyum. "Jalan hijrah memang tidak mudah Sheila. Kau akan menemui banyak tantangan. Jalan hijrah adalah jalan menuju Allah dan Ras
"Kamu ngapain kemari?" Sheila mempertanyakan keberadaan laki-laki yang telah menjadi tunangannya."Memang ya Aku nggak boleh ya, jenguk tunangan sendiri?" Pria itu menunduk. Mendekatkan wajahnya pada Sheila yang duduk di sofa. Ia menyentuh ujung hidung Sheila."Ih, jangan sentuh-sentuh," rutuk Sheila menghapus bekas sentuhan di hidungnya."Sedikit aja pun." "Sedikit pun nggak boleh. Lihat si Zaid itu. Kalau aku tarik lengannya saja langsung ditepisnya. Padahal nggak bersentuhan langsung," ujar Sheila." Zaid. Dia itu kampungan." Damar tidak mau kalah."Lagi pula kamu sudah jadi tunanganku," sambungnya lagi."Aku, aku nggak mau jadi gadis murahan." Damar tertawa mendengar perkataan Sheila."Siapa yang bilang kamu gadis murahan?" Damar semakin mendekatkan wajahnya ke wajah Sheila. Membuat Sheila mengkerut."Aku tidak akan melamarmu jika kamu murahan, Sheila. Aku menyentuhmu sedikit kupikir bukan masalah besar. Cepat atau lambat kita kan pasti menikah."Damar terus mencecar Sheila."S
Mentari mengintip dari jendela kamar Sheila yang lebar dengan gorden putih.Gadis mungil itu masih meringkuk dalam selimut tebal. Ia meninggalkan kewajiban sebagai muslim yang mulai rutin ia lakoni. Semua sejak bertemu Aisha. Gadis itu telah menginspirasi banyak perubahan pada diri Sheila dalam semalam. Pak Rahman dan Makcik Ramlah sudah berada di sisi pembaringan Sheila. Mereka telah berulang kali membangunkannya. "Apa sih," gerutu Sheila masih dengan netra terpejam."Sheila. Kenapa belum bangun? Sheila udah ketinggalan waktu subuh kalau begini. Katanya mau rajin salat. Gimana sih, Sheila!" cecar Mak Cik Limah. "Sheila juga harus ke kantor," tambah Pak Rahman yang sedang menyingkap gorden kamar Sheila."Ahhh, Sheila nggak mau," rajuknya."Eh kenapa sih ini." Mak Cik Limah mengerutkan dahi."Tadi malam senang. Sekarang berubah. Sheila kenapa, sih?" cecar Makcik Limah."Sheila capek." Sheila memeluk selimut tebalnya."Kamu harus ke kantor. Nggak ada libur." Pak Rahman bersitegas."E
Terdengar suara tawa gembira dari ruang makan rumah Sheila. Di sana ada Pak Banta, Sheila, Damar dan orang tuanya sedang makan siang sembari berbincang ringan."Saya berharap kalau Sheila kelak akan bahagia bersama Damar."Sheila tampak tersenyum simpul mendengar uraian papanya."Saya akan membahagiakan Sheila, Om. Jangan khawatir. Meski banyak gadis yang mengejarku, hanya Sheila di hatiku." Mereka pun kembali larut dalam gelak tawa.Di tempat lain, Zaid terlihat gelisah sendiri. Ia berdiri di tepi pantai dan menatap jauh ombak yang begantian hadir ke permukaan seakan menyapa dirinya dalam kesendirian.Ia berdiri di sisi motor dan memasukkan tangan ke saku celana. Matanya menatap lurus dan hanya membayangkan seseorang yang belakangan ini mengisi harinya. Bukan hanya hari, tapi ia merasa gadis itu pun telah mengisi hatinya. Namun Zaid tak kuasa mengakui dan berusaha sekuat tenaga meredam perasaan yang terlarang itu. Bukankah sangat tak pantas memiliki rasa aneh terhadap majikan sendiri
"Wah, Sheila cantik sekali!" Seru Makcik Limah begitu Sheila tiba di ambang pintu."Zaid yang pilihkan," kata Sheila malu-malu. Makcik Limah sibuk menelisik pakaian Sheila dari ujung kaki sampai kepala.Senyum menghiasi wajah Zaid. Lelaki bermata sipit itu memasukkan tangannya ke saku celana dan menunduk sembari mengulum senyum."Oh, ya!""Selera Zaid memang tinggi.""Tapi. Kenapa Sheila ingin berpakaian begini?" Makcik Limah menelisik wajah Sheila.Sheila menyenggol siku Zaid. Pria itu malah menggaruk belakang kepalanya yang tidak gatal."Enak aja kayaknya," sahut Sheila sebelum berlalu meninggalkan Makcik Limah yang terheran-heran."Heh. Zaid! Kamu apakah Sheila?" Makcik Limah melirik sinis sambil menyenggol siku Zaid."Tidak. Zaid nggak apa-apakan. Sheila tadi minta sendiri. Katanya dia ingin seperti Aisha." Zaid menjelaskan."Aisha?""Istri Hafiz. Teman Zaid." jawab Zaid."Ah. Semoga itu yang terbaik buat Sheila. Makcik senang aja jika itu memang keinginannya sendiri." Makcik Lim