"Mak Cik dari mana saja?" Wajah Sheila memerah karena amarah.
"Mak Cik baru belanja." Mak Cik Limah meletakkan barang belanjaannya.
Sheila memindai sejenak barang belanjaan Mak Cik Limah.
"Duduklah. Mak Cik akan buatkan teh untukmu." Mak Cik Limah mengambil 2 cangkir di lemari dapur dan menatanya di atas nampan. Kemudian menyeduh teh dan menuangkannya ke dalam cangkir.
Sheila menanti Mak Cik Limah di meja makan dengan sambil sesekali mengetuk-ngetuk meja makan dengan tangannya.
"Sudah, marahnya?"
Mak Cik Limah meletakkan nampan berisi dua cangkir teh di atas meja. Mengarahkan secangkir untuk Sheil, dan mengambil secangkir untuknya.
"Sheila benci Papa!"
Sheila mengetuk meja dengan jari tergenggam.
"Minum dulu tehnya," ujar Mak Cik Limah.
Sheila menghidu aroma teh sesaat setelah mengangkat cangkir.
Matanya terpejam. Seketika ia merasa lebih rileks sekarang.
"Teh apa ini Mak Cik? Aromanya menyenangkan."
Ia menghirup pelan aroma teh tersebut.
"Enak, kan?"
"Sudah mendingan sekarang?"
Sheilla mengangguk.
"Mak Cik, bilang dong sama Papa. Sheila nggak mau menikah. Kalau Sheila menikah nanti, Sheila ingin menikah dengan orang yang Sheila cintai,"
"Mak Cik paham," ucap Mak Cik Limah.
Sheila mengambil tangan Mak Cik Limah.
"Mak Cik adalah satu-satunya orang yang bisa Sheila andalkan." Kini Sheila tersenyum lega. Ia yakin Mak Cik Limah pasti akan berpihak padanya. Wanita itu akan melindunginya seperti anaknya sendiri.
Sheila pun meninggalkan dapur dengan perasaan lega setelah menyeruput teh manis hingga tandas.
Sambil berjalan dengan riang gembira, ia menuju kamarnya. Namun, seseorang memanggil namanya saat berada di anak tangga pertama.
"Sheila!"
Banta berjalan ke arah Sheila.
"Hari ini jangan ke mana-mana. Persiapkan diri kamu. Nanti malam akan ada tamu yang datang," kata Banta sambil menyentuh bahu Sheila.
"Siapa?" Kening Sheila berkerut. Dalam hati ia berharap, jangan sampai Papa menjodohkannya malam ini. Walaupun ia tak yakin betul dengan perasaan setelah apa yang diucapkan papa tadi di taman.
Banta membenarkan letak kacamatanya. Kemudian ia meninggalkan Sheila dengan seribu tanya.
"Papa!"
Banta menghentikan langkah saat mendengar suara Sheila.
Sheila kini berjalan mendekati Papa Banta.
"Acara apa, Pa?"
"Bukan acara perjodohan, kan?"
"Karena Sheila udah bilang tadi, kalau Sheila tak ingin menikah." Ia lalu membalikkan tubuh dan meninggalkan Papa Banta menuju kamarnya di lantai dua.
Papa Banta hanya bisa menatapnya dan mendesah pelan.
"Aku harus memikirkan cara agar tidak perlu menghadiri perjodohan nanti malam," gumam Sheila.
Ia berbaring di atas kasur. Matanya menatap langit-langit kamar dengan tangan sebagai bantal.
"Kak Sheila mau ke mana?" tanya seorang penjaga rumah saat Sheila tiba di pintu pagar dan menanti dibukakan oleh penjaga rumah.
"Bukan urusanmu."
"Cepat bukakan gerbangnya!" Bentak Sheila.
"Maaf Kak. Pesan dari Pak Banta, Kakak tidak diizinkan pergi,"
"Br*ngs*k."
"Kamu berani membantahku, ya!"
"Maaf Kak. Saya hanya menjalankan perintah Papa Kakak."
"Buka!"
"Buka nggak!" Shela memukul setir mobilnya.
Seorang penjaga berinisiatif menelepon Papa Banta.
Kemudian, dua orang penjaga berpakaian serba hitam datang dari dalam rumah. Mereka memegang kedua tangan Sheila dan memasukkan paksa Sheila ke dalam mobil. Mereka mengambil alih paksa mobil Sheila dan mengemudikan mobil itu kembali ke garasi rumah.
Sheila yang duduk di jok belakang hanya bisa marah-marah sambil memaki kedua penjaga. Ia pun menendang-nendang kursi supir dan melemparkan tasnya ke arah salah satu pengawal.
Saat mobil berhenti tepat di dalam garasi, Sheila segera membuka pintu mobil dan membanting pintu dengan keras hingga kedua penjaga terperanjat karena kaget.
Sheila berjalan cepat ke arah pintu dan ternyata di depan pintu sudah ada Papa Banta dan Pak Rahman menanti kehadirannya.
Papa tersenyum pada Sheila. Namun Sheila tak menggubrisnya, ia melewati kedua lelaki yang berdiri di depan pintu dengan menerobos paksa di tengah mereka.
"Sheila!'
Suara Papa menghentikan langkah cepatnya.
"Dandan yang cantik ya," ucap Papa Banta seakan tak ada yang terjadi pada Sheila.
"Papa j*h*t. Sheila benci sama Papa!" Ia berlari menaiki anak tangga menuju kamarnya meninggalkan kedua lelaki itu yang termangu menatapnya.
Banta hanya bisa tersenyum kecut melihat tingkah putri semata wayangnya. Sementara Rahman, menatap punggung gadis itu dengan kening berkerut. Sekilas melirik tuannya semakin membuatnya cemas akan hubungan ayah dan anak ini.
"Hah! S**l*n."
Sheila merebahkan tubuh dan memukul-mukul kakinya ke kasur. Terakhir, kedua tangannya ikut memukul kasur yang amukannya kali ini.
"Aku nggak boleh gagal. Aku harus memikirkan cara lain untuk kabur," lirih Sheila.
Kemudian ia tampak mondar-mandir di kamar.
Matahari telah terbenam sejak tadi. Sheila semakin cemas. Ia benar-benar tak ingin berjumpa dengan pria yang dijodohkan Papa Banta sama sekali. Ini bukan untuk yang pertama sekali Papa Banta mencoba menjodohkannya dan untuk kesekian kalinya juga, Sheila selalu menghindari acara perjodohan yang telah siapkan Papa.
Netra Sheila memandang lama kasur. Dalam pikirannya terlintas sebuah ide. Terlihat dari mata Sheila yang nampak berbinar. Sheila memiringkan kepalanya.
Ia mengangkat tangan kanan yang semula terlipat di depan dada. Jemari lentik itu mulai menyentuh dagu. Ia berhenti sejenak di depan kasur yang berhiaskan seprai berwarna putih bersih.
Tidak lama kemudian, Sheila telah berada di tali-temali yang terbuat dari seprai yang disambung dengan satu sama lain dan dijulurkan ke luar jendela kamar. Kini, Sheila sedang berusaha turun dari kamarnya di lantai dua dengan bantuan seprai kasur.
Sheila agak kesulitan menyeimbangkan tubuhnya karena sesekali angin berembus menggoyangkan tali seprai. Hingga kemudian ia merasa tempatnya bergantung itu mulai stabil dan mudah untuk dilalui. Ia pun dapat turun dengan mudah.
Saat telah tiba di bawah, seorang pemuda bertopi terlihat menantinya sambil memegang seprai. Pemuda itu tersenyum.
"Selamat datang!" Ujarnya membuat Sheila menciut.
"Lepaskan aku!"
"Kamu mau ke mana nona manis."
"Tak baik seorang gadis kabur dari rumah di malam hari."
"Aku tidak kabur!"
"Lalu, apa itu seprei yang bergantung si jendela?"
"Aku akan memberikanmu apa yang kau mau asalkan kau tutup mulutmu," tawar Sheila pada pemuda itu.
"Hah, apa tidak ada cara lain selain mengiming-imingi dengan harta?" Zaid tersenyum sinis pada Sheila.
"Kau!"
"Sudahlah. Ayo masuk. Papamu akan kebingungan mencarimu,"ajak Zaid.
"Sebenarnya kenapa kau kemari?"
"Aku?"
"Papamu mengundangku,"
"Apa?"
"Ayo masuk!" Ajak Zaid.
"Hei, tunggu dulu. Untuk apa Papa mengundangmu?"
"Bukan urusanmu nona," jawab Zaid dengan sinis.
"Ayo kita masuk sekarang," perintah Zaid lagi.
"Nggak!" Sheila tetap membantah.
"Tidak baik seorang gadis sendirian di luar ," nasihat Zaid.
"Nggak usah sok ceramah, deh!" Bentak Sheila.
"Hei, lepaskan aku!" Bentak Sheila lebih keras.
"Maafkan aku. Ini demi kebaikanmu sendiri."
Zaid menarik lengan Sheila. Ia memaksa Sheila mengikuti langkahnya masuk ke rumah.
Di tengah perjalanan menuju ruang tamu, mereka berpapasan dengan Mak Cik Limah. Ternyata Mak Cik Limah mendengar keributan antara mereka dari jendela kamar Sheila.
"Lepaskan!" Shelai menghentakkan lengannya saat mereka berhentidi depan Mak Cik Limah.
"Ada apa ini?
Sheila mengabaikan pertanyaan Mak Cik Limah ia bergegas masuk ke dalam rumah. Saat membuka pintu, Papa Banta, Pak Rahman dan beberapa orang telah berada di ruang tamu.
Apakah tamu yang diundang Papa untuk acara perjodohan itu telah datang?
Mata Sheila menyipit menatap ke arah penghuni ruang tamu di hadapannya.
Sheila dan ArkanSheila mengabaikan pertanyaan Mak Cik Limah ia bergegas masuk ke dalam rumah. Saat membuka pintu, Papa Banta, Pak Rahman dan beberapa orang telah berada di ruang tamu.Apakah tamu yang diundang papa untuk acara perjodohan itu telah datang?Mata Sheila menyipit menatap ke arah penghuni ruang tamu di hadapannya.Mak Cik Limah menyampaikan kalau mereka sudah bisa menikmati makan malam.Banta mengarahkan para tamu ke ruang makan. Sheila masih mematung saat semuanya telah beranjak ke ruang makan. Papa memandang Sheila memberi kode agar ia menyusul ke ruang makan.Sheila celingukan seakan mencari seseorang."Hei, kamu! Tunggu hukuman dariku!" Telunjuknya diarahkan ke wajah pemuda bermata sendu yang sedari tadi masih berada di belakangnya. Lantas, Sheila melengos dan meninggalkan Zaid yang tak berkedip menatap punggungnya.Andaikan saja dia bukan seorang gadis, Zaid ingin sekali melabra
"Sheila, Arkan! sebaiknya duduk dulu. Nggak baik berbicara sambil berdiri di depan meja makan begin."Bu Retno hendak menyentuh tangan Sheila. Namun gadis itu mengabaikannya dan melangkah maju semakin mendekati Arkan.Seperti apa kelanjutan hubungan Sheila dan Arkan ini ya? Sepertinya mereka berdua sama-sama keras kepala.Sekarang, jarak mereka semakin dekat. Dengan cepat dia mengayunkan telapak tangannya ke arah pipi Arkan. Setelah itu ia berlalu meninggalkan ruang makan.Arkan mengelus pipinya. Bu Retno mendekati Arkan dan membimbing putranya duduk kembali. Papa Banta dan Pak Wahyu mulai menunjukkan wajah masam. Tidak suka dengan keadaan ini.Sementara Zaid yang sedari tadi berdiri di dekat Banta memperhatikan apa yang dilakukan majikannya. Ia mengikuti kepergian Sheila dan ikut meninggalkan ruang makan."Gadis yang sangat emosional," ujar Pak Wahyu."Sepertin
Setelah mengemudi selama satu jam, Sheila dan Zaid tiba di sebuah mall yang berada tepat di tengah kota. Sheila segera turun dari mobil diikuti oleh Zaid. Mereka masuk ke dalam mall melalui pintu kaca.Sheila menuju ke bagian pakaian wanita dan memilih beberapa pakaian yang disukainya. Saat sedang asyik memilih pakaian, seorang pria menyapanya."Ternyata kita bertemu lagi di sini." Sapanya membuat Sheila kaget.Mata pria itu menatapnya, tangannya dimasukkan ke dalam saku celana. Sheila sedikit bergidik karenanya. Namun bukan Sheila namanya kalau takut berlebihan."Kau membuntutiku?" Sheila kembali menatap pakaian yang tergantung di depannya."Huh, apa gunanya membuntuti gadis bengal sepertimu." Arkan tersinggung dengan tuduhan Sheila padanya."Lalu, kenapa kau bisa di sini?""Aku bebas pergi kemanapun kumau,""Lalu, kaupikir bisa seenaknya membuntutiku?""Hei! Aku tidak membuntutimu!""Kaup
Zaid menarik paksa lengan Sheila. Mudah saja baginya menyeret wanita mungil itu ke luar dari situ, karena tubuhnya yang tinggi dengan dada yang lumayan bidang dan lengan berotot, tentu itu adalah hal kecil.Ia menyeret Sheila hingga memaksanya masuk ke dalam mobil. Kemudian dengan cepat Zaid masuk ke bagian kemudi. Ia tak mengindahkan Sheila yang masih mengomelinya."Kau gila!""Minta dipecat, hah?""Aku akan bilang sama Papa!"Sheila terus mengomel sepanjang jalan. Sesekali ia memukul Zaid dari belakang hingga mobil kadang oleng karena Zaid tidak bisa fokus akibat pukulan Sheila."Berhentilah memukuliku! Atau kita akan mati bersama!" Teriak Zaid setelah menghentikan mobil secara mendadak.Sheila memegang dadanya dan tubuhnya oleng tiba-tiba akibat kaget dengan tindakan Zaid yang menghentikan mobil mendadak."Ish, aku tak sudi mari bersama kacung sepertimu,"Zaid tersenyum sinis mendengar ce
"kau tampak lesu belakangan. Apa pekerjaan barumu begitu melelahkan?" Tanya Hafiz usai anak-anak bubar mengaji.Zaid mendesah berat. Sejak bekerja dengan Sheila, yang paling lelah itu batinnya. Pertentangan batin yang acapkali terjadi saat berdekatan dengan Sheila dan naluri lelakinya yang yang bergejolak saat bersentuhan, sungguh amat mengganggu. Tidak mesti harus menyukai Sheila untuk merasakan gejolak. Sebagai seorang lelaki normal, tentu saja ia akan merasakan perasaan tertarik berada di dekat gadis cantik."Apa gadis itu menyiksamu?"Zaid bergeming."Apa kau sakit?"Zaid tetap diam."Kau telah mengenalku cukup baik bukan?" Akhirnya sebuah pertanyaan terlontar dari mulut Zaid. Ia menelisik wajah wajah sahabatnya sejak kecil yang duduk di depannya."Hehehe, " Hafiz menggaruk tengkuknya dan mengangkat peci hitam yang bertengger di kepalanya."Anggap saja kau sedang latihan berhadapan dengan per
"Dari mana saja kau. Gara-gara kau aku harus pergi ke kantor besok. Kau harus bertanggung jawab untuk kekacauan ini!" Tuding Sheila begitu Zaid berdiri di ambang pintu sambil membuka koran yang direma oleh Sheila.Ia mengangkat bahu. "Bukankah itu lebih baik dari pada keluyuran tak jelas?"Sheila membalikkan tubuh menghadap Zaid dan matanya menatap tajam pria di depannya."Heh, jangan mencampuri urusan orang!""Baik, kalau begitu aku tak perlu menemanimu di kantor besok,""Enak saja katamu. Kau harus bertanggung jawab!" Bentak Sheila dengan jari menunjuk wajah Zaid. Jarak mereka amat dekat membuat Zaid menjengit ke belakang.Sheila berjalan tertatih meninggalkan Zaid. Ia terbiasa berjalan cepat saat marah Hingga lupa dengan kondisi kakinya yang sedang sakit."Auw!" Jeritnya saat tersadar ia telah menyakiti kakinya yang belum pulih sempurna.Zaid tergopoh mendekat
"kau tiba pagi sekali Zaid," sapa Mak Cik Limah saat melihat keponakannya memasuki dapur.Sudah jadi kebiasaan Zaid, jika tiba di rumah Sheila, ia menyapa Mak Cik Limah dulu di dapur. Melihat Mak Cik Limah, dapat mengobati sedikit kerinduannya pada ibu yang telah tiada. Mak Cik Limah adalah adik semata wayang ibunya yang memiliki wajah amat mirip dengan almarhumah ibu Zaid. Mak Cik Limah adalah satu-satunya kerabat yang dimiliki Zaid di kota besar ini. Mereka datang dari kampung dulu. Ibu Zaid menikah dengan bapak Zaid yang bekerja sebagai supir truk. Kemudian Mak Cik Limah ikut ibu ke mari dan bekerja sebagai pembantu rumah tangga.Mulanya Makcik Limah bekerja sebagai pengasuh Sheila. Setelah Sheila beranjak dewasa, ia tak perlu pengasuh, Mak Cik Limah pun mengurus dapur karena Sheila amat pemilih soal makanan. Banyak hal yang ia tidak suka bahkan penataan makanan di piring pun menjadi masalah baginya."Zaid mau mengantar Sheila
Meja persegi panjang di ruang rapat telah penuh dikelilingi oleh para direktur PT. Banta Group. Papa Banta duduk di bagian ujung meja. Sheila melangkah masuk menuju arah kursi yang berada di sisi Banta. Ia menghenyakan punggungnya di sana. Beberapa pasang mata memerhatikan tidak suka dengan kehadiran Sheila dan berbisik-bisik. Sheila merasakan aura ketidaksenangan akan kehadirannya di situ, ia melirik tajam sekilas ke arah ujung berlawanan dengan papanya. "Sepertinya saya tidak perlu memperkenalkan siapa yang baru saja hadir, bukan?" "Mulai sekarang, Sheila akan bekerja di sini," ujar Banta pada para hadirin yang menatap dengan wajah kaku. Sheila tersenyum tipis ke arah mereka.