Zaid menarik paksa lengan Sheila. Mudah saja baginya menyeret wanita mungil itu ke luar dari situ, karena tubuhnya yang tinggi dengan dada yang lumayan bidang dan lengan berotot, tentu itu adalah hal kecil.
Ia menyeret Sheila hingga memaksanya masuk ke dalam mobil. Kemudian dengan cepat Zaid masuk ke bagian kemudi. Ia tak mengindahkan Sheila yang masih mengomelinya.
"Kau gila!"
"Minta dipecat, hah?"
"Aku akan bilang sama Papa!"
Sheila terus mengomel sepanjang jalan. Sesekali ia memukul Zaid dari belakang hingga mobil kadang oleng karena Zaid tidak bisa fokus akibat pukulan Sheila.
"Berhentilah memukuliku! Atau kita akan mati bersama!" Teriak Zaid setelah menghentikan mobil secara mendadak.
Sheila memegang dadanya dan tubuhnya oleng tiba-tiba akibat kaget dengan tindakan Zaid yang menghentikan mobil mendadak.
"Ish, aku tak sudi mari bersama kacung sepertimu,"
Zaid tersenyum sinis mendengar ce
"kau tampak lesu belakangan. Apa pekerjaan barumu begitu melelahkan?" Tanya Hafiz usai anak-anak bubar mengaji.Zaid mendesah berat. Sejak bekerja dengan Sheila, yang paling lelah itu batinnya. Pertentangan batin yang acapkali terjadi saat berdekatan dengan Sheila dan naluri lelakinya yang yang bergejolak saat bersentuhan, sungguh amat mengganggu. Tidak mesti harus menyukai Sheila untuk merasakan gejolak. Sebagai seorang lelaki normal, tentu saja ia akan merasakan perasaan tertarik berada di dekat gadis cantik."Apa gadis itu menyiksamu?"Zaid bergeming."Apa kau sakit?"Zaid tetap diam."Kau telah mengenalku cukup baik bukan?" Akhirnya sebuah pertanyaan terlontar dari mulut Zaid. Ia menelisik wajah wajah sahabatnya sejak kecil yang duduk di depannya."Hehehe, " Hafiz menggaruk tengkuknya dan mengangkat peci hitam yang bertengger di kepalanya."Anggap saja kau sedang latihan berhadapan dengan per
"Dari mana saja kau. Gara-gara kau aku harus pergi ke kantor besok. Kau harus bertanggung jawab untuk kekacauan ini!" Tuding Sheila begitu Zaid berdiri di ambang pintu sambil membuka koran yang direma oleh Sheila.Ia mengangkat bahu. "Bukankah itu lebih baik dari pada keluyuran tak jelas?"Sheila membalikkan tubuh menghadap Zaid dan matanya menatap tajam pria di depannya."Heh, jangan mencampuri urusan orang!""Baik, kalau begitu aku tak perlu menemanimu di kantor besok,""Enak saja katamu. Kau harus bertanggung jawab!" Bentak Sheila dengan jari menunjuk wajah Zaid. Jarak mereka amat dekat membuat Zaid menjengit ke belakang.Sheila berjalan tertatih meninggalkan Zaid. Ia terbiasa berjalan cepat saat marah Hingga lupa dengan kondisi kakinya yang sedang sakit."Auw!" Jeritnya saat tersadar ia telah menyakiti kakinya yang belum pulih sempurna.Zaid tergopoh mendekat
"kau tiba pagi sekali Zaid," sapa Mak Cik Limah saat melihat keponakannya memasuki dapur.Sudah jadi kebiasaan Zaid, jika tiba di rumah Sheila, ia menyapa Mak Cik Limah dulu di dapur. Melihat Mak Cik Limah, dapat mengobati sedikit kerinduannya pada ibu yang telah tiada. Mak Cik Limah adalah adik semata wayang ibunya yang memiliki wajah amat mirip dengan almarhumah ibu Zaid. Mak Cik Limah adalah satu-satunya kerabat yang dimiliki Zaid di kota besar ini. Mereka datang dari kampung dulu. Ibu Zaid menikah dengan bapak Zaid yang bekerja sebagai supir truk. Kemudian Mak Cik Limah ikut ibu ke mari dan bekerja sebagai pembantu rumah tangga.Mulanya Makcik Limah bekerja sebagai pengasuh Sheila. Setelah Sheila beranjak dewasa, ia tak perlu pengasuh, Mak Cik Limah pun mengurus dapur karena Sheila amat pemilih soal makanan. Banyak hal yang ia tidak suka bahkan penataan makanan di piring pun menjadi masalah baginya."Zaid mau mengantar Sheila
Meja persegi panjang di ruang rapat telah penuh dikelilingi oleh para direktur PT. Banta Group. Papa Banta duduk di bagian ujung meja. Sheila melangkah masuk menuju arah kursi yang berada di sisi Banta. Ia menghenyakan punggungnya di sana. Beberapa pasang mata memerhatikan tidak suka dengan kehadiran Sheila dan berbisik-bisik. Sheila merasakan aura ketidaksenangan akan kehadirannya di situ, ia melirik tajam sekilas ke arah ujung berlawanan dengan papanya. "Sepertinya saya tidak perlu memperkenalkan siapa yang baru saja hadir, bukan?" "Mulai sekarang, Sheila akan bekerja di sini," ujar Banta pada para hadirin yang menatap dengan wajah kaku. Sheila tersenyum tipis ke arah mereka.
Sheila turun dari boncengan. Ia melihat Mak Cik Limah sudah berada di ambang pintu depan dengan wajah cemas dan peluh di dahi. Sheila merasakan panas di sekitar pipinya saat merasa dipergoki Mak Cik Limah.Lain halnya dengan Mak Cik Limah. Ia bahkan tidak memedulikan bagaimana Sheila tiba di rumah. Karena yang ada di benaknya kini adalah kebahagiaan karena Sheila pulang dengan selamat."Ya ampun Sheila! Kau bikin Mak Cik jantungan!" Sesalnya pada Sheila."Sheila… baik saja Mak Cik, " lirih Sheila.Mak Cik limah melirik sekilas pada Zaid. Kemudian ia mengajak ke duanya masuk."Masuklah, " perintahnya pada Zaid.Begitu tiba di dapur, Mak Cik Limah menyuguhkan teh jahe kesukaan Sheila.Ia pun menawari Zaid secangkir. Namun, Zaid menolak. Ia mengambil air putih dingin dari dalam kulkas.Ketika Zaid meletakkan botol air dingin di atas meja makan,
"Zaid itu anak yang baik. Hanya nasibnya saja yang kurang baik." Mak Cik Limah mendesah kasar. "Kalau ayah dan ibunya masih ada, mungkin dia sudah jadi orang sukses di usianya kini." Mata Limah berkaca-kaca menatap ke pada Sheila yang menjadi serba salah karena telah mentertawakan Zaid. Sepertinya Mak Cik Limah memang tak salah mengatakan kalau. Zaid seorang baik karena Sheila telah merasakan kehangatan yang ditawarkan Zaid, meski rasa benci dan dendam kadang masih saja menghantuinya saat melihat Zaid. "Hmm, aku punya ide," batin Sheila. "Mau ke mana Sheila?" tanya Papa Banta yang telah berdiri di hadapan Sheila ketika ia berdiri dan berbalik arah hendak ke luar dari dapur. "Eh, Papa!" Kemudian, Papa mengajak Sheila berbincang di halaman rumah belakang. Sheila duduk di ayunan sambil mengayun ringan. Dan, Papa duduk di sebuah bangku taman sambil menyilangkan kaki. "Sebaiknya kau
Angin berhembus lembut di halaman rumah Sheila. Zaid memasuki gerbang rumah Sheila dengan motor bututnya yang mengeluarkan suara bising dengan asap yang membuat batuk orang di sekitar. Syukurilah ia menggunakan kendaraan itu di Indonesia. Kalau di luar negeri seperti Jepang, mungkin Zaid sudah tidak diizinkan mengendarai kendaraan begitu.Ia mengangguk hormat saat berpapasan dengan penjaga rumah di gerbang utama. Senyumnya ceria dan matanya berbinar penuh semangat. Tidak pernah ia menunjukkan rasa tertindas atau ketidaknyamanan saat memasuki halaman mewah dengan kendaraan yang ia miliki. Zaid tetap bangga pada miliknya sendiri. Ia ingat pesan almarhumah ibu saat ia remaja selalu ingin memiliki sesuatu seperti milik temannya."Zaid, ketahuilah. Syukurilah apa yang kita miliki, maka hidup akan terasa sempurna," Ujar Ibu sambil mengelus bahunya.Zaid yang bersedih karena kerap jadi bahan ledekan teman-teman sebayanya, merasa lebih tenang setiap me
Mana Sheila, Limah?" tanya Banta dengan nada tenang. Namun dari raut wajahnya nampak ketegangan hingga di sana."Se, sebentar saya panggil dulu," Jawab Makcik Limah dan kembali ke kamar Sheila dengan tergesa-gesa."Kau sepertinya gagal menjaga Sheila Zaid." Pak Banta menatap tajam ke arah Zaid."Maafkan saya, Pak." Zaid hanya bisa menatap ujung sepatu Banta.Waduh, ada apa ya? Kenapa Pak Banta marah pada Zaid. Jangan-jangan mau dipecat. Yah, kasihan Zaid. Semua karena ulah Sheila."Lalu, apa rencanamu sekarang?"Zaid menarik napas dan melepaskan dengan kasar."Saya mempunyai keterbatasan, Pak," Keluh Zaid."Saya pikir, Sheila memerlukan penjaga yang lain." Zaid menatap sendu ke arah Banta."Maksud kamu?""Sheila membutuhkan sosok penjaga yang m