Jon
Juni, 2015“Summer?” panggilku cemas ketika ia mulai sadar.
Ia membuka kedua matanya perlahan. Summer mulai sadarkan diri dan terduduk di sofa.
“Kau baik-baik saja?”
“Apa kau pusing?” tanya Kevin mendekatinya, “Minumlah!” ia menyerahkan segelas air pada cewek itu.
“Aku di mana?” tanyanya dengan raut menelisik. Mulai waspada.
“Kau di rumah. Minumlah dulu,” saranku padanya.
Summer segera meminum air yang diberikan Kevin. Ia meletakkan gelas yang sudah kosong itu di atas meja di hadapannya. “Apa yang terjadi?”
“Entahlah, tiba-tiba saja kau pingsan sewaktu kita di danau. Lalu kami membawamu pulang,” jelasku padanya.
Ia terkesiap. Sepertinya ia mulai sadar. “Maafkan aku.” Ia mulai menampakkan sorot menyesalnya. “Aku sudah merepotkan kalian. Apa kalian memberi tahu ibuku? Bagaimana kalian bisa masuk?” ia terlihat mulai panik.
Kevin menepuk bahunya. “Tenanglah Sum. Kami belum memberitahu ibumu. Belum ada yang tahu.”
“Kumohon jangan ceritakan pada ibuku, atau ibumu. Aku tidak ingin ia cemas,” lalu ia menatap kami bergantian dengan raut bingung, “Ibuku sedang bekerja, bagaimana kalian bisa masuk kalau tidak memberi tahunya? Apa kalian mendobrak pintu rumahku?”
Aku terburu-buru menjawab, “Aku berpikir kau pasti punya kunci sendiri, kalian kan cuma tinggal berdua. Dan pasti kau membawanya. Aku melihatmu mengalungkan kunci di leher. Jadi, kucoba saja.”
Summer terlihat sangat lega. Kentara sekali ia tak mau terlibat masalah dan membuat murka ibunya. Aku jadi mengira-ngira apa Rosalie segalak itu pada anaknya.
“Apa ibumu galak?” tanyaku tanpa tedeng aling-aling.
Summer tersenyum geli. “Tidak, Jon! Dia sangat sabar.”
“Yang benar?” tanya Kevin tak percaya. Kentara sekali ia memberi spekulasi yang sama denganku terhadap Rosalie. Kini dahinya berkerut. “Kita tadi cuma mau hang out, tapi kau bilang meminta ijin padanya bisa rumit. Kau sangat gelisah dan takut kalau-kalau ada masalah seperti yang barusan. Jangan bilang aku salah, aku memperhatikan gelagat ibumu ketika makan malam yang lalu. Sepertinya ia selalu mengontrol dirimu. Maksudku, terlihat sangat protektif terhadap dirimu. Dan sangat menjaga bagaimana sikapmu di sana.”
Summer terlihat putus asa. Begitu yang kulihat darinya. Tubuhnya kembali merosot di sofa. Ia menghela nafas berat.
“Ada sesuatu tak baik yang pernah menimpaku. Sejak itu, ia tak pernah melepaskanku melakukan segala hal. Ia jadi sangat panik ketika ada hal tak beres lain yang menimpaku. Ia tak pernah marah. Tidak pernah, sungguh. Hanya saja ia sangat mudah cemas dan merasa takut sesuatu yang buruk, yang bahkan menurutku konyol, terjadi padaku. Maksudku, lihatlah! Aku baik-baik saja sampai detik ini.” Ia menghela nafas lagi. “Aku sih tak masalah dengan semua perhatiannya. Aku tahu ia menyayangiku. Tapi, terkadang aku merasa ia berlebihan. Tapi, yah... itulah seorang ibu, begitu kan?!”
“Jangan-jangan kejadian barusan adalah karma karna kau sudah berbohong padanya. Diam-diam pergi,” kataku padanya. “Aku jadi ikut merasa bersalah.” Aku ikut menghela nafas berat.
Ia mengangguk lemah. Ada penyesalan tersirat dari sana. “Tidak apa-apa, Jon.”
“Tahu tidak sih? Kau tadi kayak ikan menggelepar keluar dari air. Mau tahu tidak mulutmu seperti apa?” Tiba-tiba Kevin dengan menyebalkan menirukan tubuh dan mulut ikan yang sedang sekarat di darat.
“Mukamu yang seperti itu, Kev, yang membuatku ingin meninjumu!”
Ia tak menggubrisku dan terus saja menirukan menggeleparnya ikan sekarat.Aku melemparinya dua bantal sofa. Sementara ia mengaduh sekaligus tertawa mengejek. Dan ia sukses membuat Summer terbahak.
Aku memperhatikan tawa itu. Ini pertama kali Summer menunjukkan raut tawanya yang lepas. Mendung kelabu yang biasa menghiasi wajahnya langsung sirna. Raut yang sering kali datar itu terlihat sangat segar dan berbinar lebih dari pada biasanya.
“Kau terlihat manis saat tertawa,” spontan aku mengatakan itu.
Sekejap garis tawanya menghilang. Ia terdiam. Lalu tersenyum padaku. “Terima kasih sanjungannya, Jon.”
Kevin mendorongku hingga merebah di lantai. Ia mengerang. “Kurasa aku bakalan muntah kalau lama-lama di sini,” ia bangkit dari karpet.
"Hoek! Hoek... Hoek!!!" serunya dibuat-dibuat.
"Gak lucu tahu!" aku dengan sebal menimpuknya lagi.
"Memangnya aku lagi melucu?! Sudah, aku mau pergi dulu. Kalian bersenang-senang sana berdua!" ia pun melangkah ke arah pintu depan.
“Kau mau kemana?” tanyaku dan Summer hampir bersamaan.
Ia terhenti. “Pingsanmu merusak acara bersenang-senang kita di danau tahu! Aku mau berjalan-jalan untuk memotret.”
Summer terlihat menyesal setelah mendengar perkataan Kevin. “Maafkan aku, Kev.”
Kevin pun buru-buru menjawab, “Tidak, Sum. Tidak apa-apa. Kau istirahat saja di rumah. Jon mungkin akan menemanimu sejenak. Aku pergi dulu. Istirahatlah dengan baik.”
Lalu dengan cepat ia mengerlingkan matanya padaku dan segera keluar.
Aku memutar bola mataku. Tahu kalau bocah itu sedang menggodaku. Konyol.
Sesaat selepas kepergian Kevin suasana menjadi hening. Ia memang sumber keributan. Berbeda sekali dengan gadis yang ada di dekatku sekarang ini.
Aku memperhatikannya diam-diam. Ia selalu tampak waspada. Seperti selalu curiga jika di sekelilingnya ada sesuatu yang siap menerkamnya jika ia lengah. Ia tak banyak bicara, bahkan tertawa sangat irit. Sangat tidak cocok dengan nama yang disandangnya, Summer. Seolah ia diselubungi oleh lapisan es tak kasat mata. Setiap awalan dengannya terasa canggung. Ada tembok yang mengitarinya.
“Kau sudah sarapan? Apa kau lapar?” tanyanya padaku tiba-tiba.
“Belum. Sebenarnya... ya, aku lapar. Bagaimana denganmu?”
“Sebenarnya juga iya. Aku tidak mahir memasak. Meskipun aku yakin di kulkas banyak bahan mentah siap dimasak. Apa kau mau makan di luar?”
Aku menimbang-nimbang. “Mungkin... kita buat makanan saja di sini. Kalau kau tidak keberatan?”
“Tentu. Tapi, kau yang harus memasak.”
“Baiklah! Tunjukan padaku kau punya apa saja.”
Ia bangkit dari sofa. Gadis itu sepertinya mengajakku berjalan menuju ruang paling belakang di lantai satu rumah ini. Melewati ruang tengah dan sebuah kamar tertutup di sebelah kiri kami. Aku mengikutinya dalam keheningan. Kami berjalan dalam lorong dengan banyak pigura foto di dinding kanannya.
Aku memecah keheningan, “Gadis kecil di beberapa pigura itu apakah kau?”
“Ya,” katanya singkat.
Ia membenahi kuncir ekor kudanya yang sudah berantakan. Menguncirnya lalu pada ikatan terakhir menggulungnya keluar dan rambutnya sukses tergulung sempurna. Beberapa rambut halus menghiasi leher belakangnya yang jenjang. Indah, pikirku.“Kau sangat manis dengan baju perempuanmu, dulu. Khas seorang cewek. Sekarang sepertinya terjadi perubahan.”
Ia menoleh padaku sembari masih berjalan. “Perubahan itu biasa terjadi kan pada masa puber?”
“Oke. Aku tidak bermaksud menyinggungmu,” aku mengangkat kedua tanganku di udara, “Sungguh, aku memang hanya ingin mengetahuinya. Kenapa?”
“Mungkin kau bisa menyebutnya sebagai transformasi masa remaja. Kata orang dewasa itu pencarian identitas, benar begitu kan?”
“Mungkin,” aku mengedikkan bahuku, “Hanya saja aku merasa kau akan banyak digilai cowok kalau kau lebih kelihatan khas cewek.”
“Aku hanya tidak mau terlihat mencolok.”
“Kenapa?”
“Aku tidak nyaman menjadi pusat perhatian. Dan tidak mau mendapatkan masalah yang merepotkan.”
“Ah! Alasan yang masuk akal. Hanya saja foto batitamu itu mengingatkanku dengan seseorang.”
“Siapa?”
“Teman masa kecilku. Ia pindah ke Springfield saat kami masih empat tahun. Kami bertetangga. Sekolah bersama. Bermain bersama. Bahkan kami menginap bersama secara bergantian,” aku mengingat gadis kecil itu dan mulai merindukannya lagi, “Hei, bahkan nama kalian sama!”
“Summer?” tanyanya terkejut.
“Yeah! Nama yang keren, kukira. Walaupun pasaran sih!”
“Tidak keren sama sekali!”
“Jadi kau membenci namamu sendiri?” pekikku tak percaya, ”Summer kawanku sangat mencintai namanya! Jelas kau bukan Summer sepertinya!”
“Mungkin,” kini ia sudah menggiringku di depan konter kecil, “Kemarilah!” katanya padaku.
Aku mendekat.
Ia membuka pintu kulkas. “Silahkan kau cermati dan pilih, bahan apa yang bisa kau pakai. Kecuali daging ayam dan jamur, jangan sentuh itu!” ia menjauh dan memberiku ruang.
“Kenapa?”
“Itu harta karun ibuku malam ini.”
“Oke. Sepertinya aku tidak akan memasak yang berat-berat.”“Lalu kau mau buat apa?”
Aku menimbang-nimbang. “Kita buat pie.”
Ia mengrenyit. “Kau benar-benar pandai memasak?”
“Jangan remehkan aku! Aku sudah biasa membantu bibiku. Nah sekarang, bantu aku buat custard dan kulitnya,” pintaku padanya.
Ia pun menyiapkan bahan-bahan yang kuminta. Ia dengan cekatan membantuku membuat custard dengan mencampurkan susu dan kuning telur. Sementara itu, aku membuat kulit pie.
“Keberatan tidak kalau aku menggunakan stoberi di kulkas untuk isinya?” tanyaku padanya.
“Tidak masalah. Mau kusiapkan?”
“Kau sudah selesai?”
Ia mengangguk.
“Oke. Tolong siapkan.”
Ia mengambil satu kap buah stoberi. Ia potong menjadi dua tiap buah dan meletakkannya di sebuah baskom. Summer meletakkannya di dekatku.
Ia berdiri di sebelahku. Sangat dekat. Mendadak sisa aroma vanili, tepung, telur, gula menguap. Mendadak aroma stoberi di hadapanku lenyap, tergantikan aroma jeruk segar.
Aku kira Summer mengambil buah yang lain. Tidak. Ia tidak mengambilnya. Ia tepat berdiri di sebelahku.
Aroma jeruk itu menguar dari rambutnya. Mungkin dari sana. Aku suka aroma ini. Mengingatkanku pada masa kecilku. Kenangan indah saat aku bermain bersama teman masa kecilku. Saat di dekatnya ia selalu beraroma jeruk segar. Mengingatkanku pula pada saat musim panas dan minuman kesukaan kami.
***
“Kau suka?”
Ia mengangguk. Summer memakan bagiannya dengan lahap sesaat setelah mencoba pie buatanku. “Enak,” katanya singkat lalu mengunyah kembali.
“Hah! Tidak percuma aku sering membantu bibi Diana di dapur. Kau tahu, ini pertama kalinya aku mencoba membuat pie sendiri untuk orang lain.”
Ia terbelalak. “Sungguh?”
“Yeah.”
“Kalau begitu aku beruntung sekali."
Kami menghabiskan jatah kami masing-masing. Setelah itu aku membantu Summer membereskan dapur. Aku mengikutinya bekerja dalam keheningan. Membereskan piring dan gelas di meja makan.
Lalu aku memutuskan membuka suara, “Apa kau selalu seperti ini?”“Apa?” tanyanya balik sembari masih mengelap konter.
“Hening. Apa kau selalu melakukan sesuatu dalam keheningan?”
“Apa aku terlihat demikian?”
“Apa kau tidak menyadari bagaimana dirimu sendiri?”
“Apa aku terlihat aneh bagimu?” ia berbalik menghadapku. Gadis itu menghentikan pekerjaannya.
“Apa kau tersinggung dengan pertanyaanku?” aku pun menghentikan kegiatanku juga.
Ia tersenyum dan alisnya terangkat satu. “Apa kau merasa menyinggungku dengan pertanyaanmu?”
Aku tersenyum mengetahui maksudnya. Bukan pertanyaannya. Aku mendekapkan kedua tanganku di depan dan ganti menantangnya. Ini permainan bertahan dalam bertanya. “Apa kau gampang tersinggung?
“Apa kau suka menyinggung orang?”
“Apa kau tidak suka disinggung?”
“Apa kau suka mengganggu orang?”
“Apa kau tidak suka diganggu?”
“Apa kau tukang penggoda?"
“Apa aku terlihat seperti tukang penggoda?”
“Apa aku...” ia menggangtungkan pertanyaannya. Berusaha keras memikirkan kalimat selanjutnya.
“Tik... tok... kena kau!” aku tetawa. “Kau kalah!”
Ia tertawa lalu berbalik kembali menghadap konter. “Oke, baiklah, aku kalah.”
Tawanya sekilas menunjukkan lesung di kedua pipinya. Namun, lenyap begitu saja saat ia berbalik. Tawanya sungguh membuat orang lain tidak mau berpindah pandangan dari sana. Sangat menawan dan menyenangkan.
“Hei, boleh aku bertanya sesuatu?”
“Kau sudah bertanya.”
Aku mengerang. “Aku serius.”
“Baiklah, silahkan.”
“Ada apa dengan yang tadi? Mendadak kau pingsan. Sebelumnya aku melihat wajahmu pucat dan seperti bingung, entahlah, aku sendiri tidak tahu bagaimana menjelaskannya. Kau seperti ketakutan.”
“Aku... aku teringat sesuatu,” ia terdiam, “Aku tidak bisa pergi ke sana lagi. Aku tidak bisa pergi ke danau.”
“Kenapa? Apa terjadi sesuatu?”
“Hanya saja aku tidak bisa pergi ke sana.”
Kami sama-sama terdiam.
Aku rasa aku tidak ingin mendesaknya. Aku tahu pasti ada rahasia tak mengenakkan di sana. “Oke. Tidak masalah. Kau tahu, kau bisa menceritakannya padaku kalau kau mau. Mungkin lain kali?”
“Yeah, mungkin, lain kali. Trims, Jon. Kukira kita sudah berteman cukup baik kan?”
Aku mengangguk. “Tentu saja. Sangat disayangkan kau tidak bisa pergi ke sana. Airnya bersih dan segar, pemandangannya bagus, kau bisa memancing dan naik perahu juga di sana,” lalu aku teringat sesuatu, “Tunggu, memangnya kau pindah dari mana? Kita sudah kenal seminggu lebih dan kita belum membahas yang satu itu, serius deh!”
Ia tertawa. “Sebelum ini aku tinggal di Seattle.”
“Jadi memilih ke kota yang lebih kecil?”
“Ibuku ingin kedamaian, jika ada kesempatan pindah ke tempat yang lebih tenang ia akan langsung mengambilnya,” ia tersenyum. Entah mengapa aku seperti pernah tahu senyum itu. “Kau juga memilih di sini.”
Aku terkekeh. “Aku merasa nyaman dengan keluargaku di sini. Oke. Kurasa aku akan pergi sekarang,” rasanya aku tidak ingin pembicaraan ini mengungkit tentang keluargaku sendiri. Ayah dan ibuku.
“Oke. Kau akan pergi sekarang.”
Suasana kembali menjadi canggung. Kami saling berpandangan dan tidak tahu bagaimana akan mengakhiri pertemuan siang ini.
“Jadi, kau pergi sekarang?” tanyanya ragu.
“Ya, aku pergi dulu. Sampai nanti, Sum.”
“Sampai nanti, Jon.”
Aku pun keluar dari rumah itu. Langkah kakiku menyeberangi jalan. Aku kembali masuk ke dalam rumah dan menuju ke dalam kamar. Pintu kamar kututup dan kukunci. Aku pun menghempaskan tubuhku ke atas ranjang. Entah mengapa jantungku berdegub begitu cepat. Pikiranku kembali pada aroma jeruk. Pada suatu sudut di Springfield. Di mana dulu segalanya terasa sangat manis.
SummerJuli, 2015Ruangan ini terlihat asing. Kotor. Terbengkalai seperti tempat yang lama ditinggalkan. Ada sebuah meja di tengah ruangan dan beberapa kursi berserakan. Di sana ada dua lelaki sedang berbicara. Mereka berdiri di dekat jendela yang setengah dibuka. Dari situ aku tahu hari mulai terang. Aku baru terbangun dan menyadari aku tidak sedang berada di rumah.Spontan telapak tanganku terangkat untuk menutup mulut ketika menguap. Tapi, tanganku berada di depan dan tak bisa digerakkan. Kedua tanganku terikat menjadi satu. Aku menggerak-gerakkannya mencoba melepaskan tali itu, tapi tidak bisa.Seseorang di dekat jendela tertawa. Sementara itu, aku mulai kedinginan dan takut. Aku hanya mengenakan kaus dan rok selutut. Dan aku lapar. Aku ingin ayahku. Aku ingin ibuku.“Aku mau pulang,” aku mulai merengek.“Diamlah!” suara keras itu meneriakiku.Tangisku bertambah hebat.“Tenanglah! K
SummerJuli, 2005“Kau tahu, kau kelihatan berantakan sekali!” suara anak laki-laki di sebelahku menyadarkanku.Aku kembali sadar setelah tertidur cukup lama. Dalam remang aku menyesuaikan pandangan. Aku menoleh ke sumber suara. Anak laki-laki itu sedang mengamatiku. Penasaran. Penuh rasa ingin tahu. Aku balas menatapnya. Lalu membenahi posisi dudukku. Kini kami duduk berhadapan dengan tumit sama-sama terlipat di depan. Kurasa ia beberapa tingkat di atasku.“Apa itu sakit?”Aku bingung. “Apanya yang sakit?”“Itu. Memar di dahimu.”Kedua tanganku yang terikat spontan terangkat menuju dahi. Jari-jariku meraba di sana. Saat menyentuh bagian samping kudapati rasa nyeri yang sangat menusuk. Aku merintih.“Sudah jangan di pegang lagi!” katanya dengan terburu padaku.Aku menurunkan kedua tanganku segera. Ia benar. Itu akan membuatku merasa sakit. Aku meliha
JonJuli, 2015Aku dan Summer menaiki anak tangga. Kali ini ia membiarkanku menuntunnya. Kamar Summer ada di pojok depan atas rumah ini dan berhadapan langsung dengan tangga ke bawah. Aku dan Summer masuk ke dalam. Saat masuk ia tak repot-repot menyalakan lampu karena sepertinya lampu di dalam ruangan ini selalu menyala saat hari mulai gelap. Bahkan kamar ini memiliki tiga jendela. Dua menghadap ke rumahku. Dan satu menghadap ke halaman samping rumahnya yang ditumbuhi rumput dan beberapa pohon besar yang rindang.“Apa kau selalu membiarkan lampu menyala di dalam sini?”“Ya. Saat sore hingga pagi. Aku membiarkan ruangan ini terang, bahkan saat tidur.”“Kenapa? Kau takut gelap?”“Aku merasa tidak nyaman dalam kegelapan,” ia berkata sembari naik ke atas kasur yang berada di pojok dekat jendela samping. Summer berbaring di sana dan menyandarkan kepalanya ke bantalan empuk. Ia menepuk-nepu
JonJuli, 2015Rumah sudah sepi. Pasti semua sudah meringkuk di kamar. Aku mengendap-endap masuk ruang tengah dan memastikan suasana aman. Dengan langkah pelan aku menaiki anak tangga. Sampai di lantai dua aku bergegas menuju kamarku. Pikiranku hanya tertuju pada sesuatu yang ada di laci dalam lemari pakaianku. Aku membukanya dan membolak-balik segala nota, surat penting, dokumen, dan catatan yang ada di sana. Lalu kutemukan benda itu di sela tumpukan kertas paling bawah. Aku segera menyambarnya dan kembali ke rumah Summer.Aku berjalan ke arah rumah Summer tepat saat Rosalie keluar dari mobilnya. Wanita yang gemar di dapur itu, banyak sekali berubah. Tubuhnya lebih kurus dari pada dulu. Rambutnya menjadi lurus dan selalu digulung rapi. Tanpa poni. Dan kini ia berkaca mata. Wanita sama yang sering menyiapkan puding, cookies, dan jus jeruk untukku dan Summer dulu. Aku menemuinya sembari berharap ia bukan penghalang agar aku bisa masuk bertemu Summer m
SummerJuli, 2015Kami duduk di ruang tengah. Aku, Jon, dan mom. Acara utamanya adalah membicarakan tentang aku dan Jon. Takdir yang memisahkan dan mempertemukan kami kembali setelah sekian tahun. Mom yang melankolis sudah dipastikan mengeluarkan air mata.Entah mengapa sehari menjadi waktu yang sangat ajaib buatku. Duniaku, memoriku, diriku, sosok-sosok lama yang kembali hadir, segalanya berputar ulang. Cloud yang mengaku mengenalku, walaupun aku tidak pernah merasa mengenalnya. Dan meski berusaha keras hingga kepalaku sakit, aku tidak menemukan gambaran tentangnya. Belum selesai dengan Cloud, muncul hal mengejutkan tentang Jon. Sosok yang selalu bersamaku dulu, yang tidak pernah bisa kuingat lagi bagaimana wajah atau nama lengkapnya. Kini aku sadar cowok di hadapanku itu adalah Jonathan Finch. Aku langsung ingat ketika melihat selembar foto yang ia sodorkan padaku. Bocah kecil itu adalah dia. Mengenal Jon kembali sama dengan membuka kenangan lama bersama dad. Aku takut mengingat se
SummerJuli, 2015Aku menengok ke luar lewat jendela kamarku yang berhadapan dengan rumah Kevin. Jendela atas rumah itu masih menyala semua. Kevin dan Jon belum tidur. Aku melihat siluet seseorang sedang duduk. Itu pasti Kevin. Sementara, di kamar sebelahnya yang berseberangan dengan kamarku, aku tidak melihat siluet Jon sama sekali. Dalam hati aku bertanya-tanya apa yang ia lakukan. Tiba-tiba sebuah sinar mengagetkanku. Spontan tanganku menutup wajah karena silau. Sinar yang menyorotku itu padam. Aku memincingkan mataku ke arah sebuah suara. Kevin tertawa. Ia bersandar di bingkai jendela sembari membawa sebuah senter.“Kau tidak tidur?” tanyanya setengah teriak.“Aku belum bisa tidur.”“Tapi, sepertinya kau tidak pernah tertidur.”“Apa?” kataku lebih keras.Ia berteriak sedikit lebih lantang dari yang tadi, “Lampu kamarmu selalu menyala!”“Oh... aku tidak pernah mematikannya. Kau tidak tidur?”“Sebentar lagi. Tidurlah, Sum! Ini sudah larut!” katanya penuh perhatian.Aku hanya tersen
SummerJuli, 2015Mereka menjemputku. Mom benar-benar menyuruhku pergi. Aku melangkahkan kaki dengan rasa kesal. Semalam aku tidur sangat larut, pagi-pagi sekali aku mengantar koran, dan sekarang aku hanya ingin tidur. Tapi mom, dengan senyum ceria memberi Jon dan Kevin pesan agar menghubunginya jika sesuatu terjadi padaku. Rupanya ia masih menyimpan rasa trauma dan tetap saja menyimpan sikap protektif itu.Aku sudah berada di dalam jok belakang mobil Jon. Mereka berdua ribut seperti biasanya. Mereka juga memancingku untuk berbicara, sementara aku menjawab seperlunya. Kevin memutar radio, Jon mengganti ke playlist musiknya. Mereka sedikit bertikai lagi, aku hanya geleng-geleng kepala. "Hei, aku belum mendengarkan update berita hari ini tahu!" protes Kevin.Jon berdecak, "Kenapa sih hari libur begini kau tidak bisa sepenuhnya santai?!" Ia memutar kembali playlist-nya."Daftar lagumu itu sungguh membosankan, Jon! Begini saja, karna ini pertama kalinya Sum resmi bergabung, biar dia me
SummerJuli, 2015Orang-orang ini membawaku ke sebuah tempat makan dan minum yang populer di tengah kota. Crossfire. Padat, tapi cukup nyaman. Seperti kota ini yang katanya nyaman dan aman. Interiornya menarik. Klasik dan modern menjadi satu. Wallcover-nya bercorak batu bata. Ruangannya dihiasi dan diterangi oleh lampu downlight yang menawan. Tempat duduknya terdiri dari kursi kayu bulat dengan meja kayu dengan warna cokelat muda. Dinding-dindingnya dihiasi beberapa pigura berisi kolase unik dari gambar pohon dan juga foto-foto Pittsfield hitam putih.“Kau bisa tampil dengan jadwal permanen di sana kalau kau mau, tapi kau harus mendaftar dan diseleksi lebih dulu,” kata Ruby lirih di telingaku sembari menunjuk panggung kecil di dalam yang penuh dengan live sound equipment.“Kecuali rabu malam dan sabtu malam. Kau bisa langsung main untuk kompetisi, tapi kau harus bayar.” sahut Evan tidak mau kalah.Ruby menjelaskan lagi padaku meski aku tidak minta. “Kau akan dapat hadiahnya, kalau men
SummerMei 2016Tadinya aku mengira kesempatanku mendatangi pameran Cloud begitu kecil. Mengingat pada awalnya ia berkata tengah menyiapkan pameran untuk musim dingin. Benar, sekali lagi kata Jon, siapa yang bakal datang di cuaca yang gigil. Seorang seniman, demikianlah, selalu punya sisi idealisme yang tinggi, tapi kali ini sepertinya Cloud menyadari tidak selamanya bersikap idealis itu diperlukan. Ada kalanya kita butuh mempertimbangkan kondisi dan saran dari berbagai sudut. Entah apa alasannya pada awalnya ia akan menyenggelarakan agenda pentingnya itu di musim dingin, tapi pada akhirnya acara itu jatuh bertepatan ketika kami, anak-anak Pittsfield, selesai melalui akhir semester.Semester yang penuh cerita dan perjuangan. Dari kepindahan tempat tinggal dan sekolah, pergumulanku dengan mom, kepingan-kepingan masa lalu yang kembali hadir dengan jelas, perjuanganku menjadi lebih tegar, mandiri dan berani, percintaan masa SMA yang mendadak menjajah hati dan pikiranku, teman-teman baik
SummerDesember 2015Mendung masih bergelayut di angkasa. Aku ditemani secangkir kopi hangat di sebuah cafe penuh kenangan. Sendirian. Dulu tempat ini adalah pertama kalinya di mana aku menyadari kehadiran Cloud. Siapa Cloud sebenarnya. Siapa Cloud bagiku. Kini aku tahu artinya untukku.Semenjak cincin itu melekat di jariku, Jon jadi jarang mengajakku ke Lucky or Not, katanya dengan setengah bercanda ia ingin mengenyahkan pikirannya dari para cewek. Aku tahu ia mungkin iri, aku berakhir epik, sementara ia masih berjuang menghadapi kehilangan Roxie di dekatnya. Dan aku senang ia jadi begitu fokus bermain basket sekaligus menyiapkan kelulusan. Aku merindukannya. Tapi, aku lebih merindukan Cloud.Tak masalah bagiku menjalani ini. Ia tengah berjuang di sana. Aku pun demikian di sini. Hanya saja, aku masih berat mengatakan apa yang baru saja terjadi kepada ibuku. Tentang Cloud yang mengikatku dengan cincin ini. Belum, mungkin nanti ketika lambat laun ibuku menyadarinya sendiri, atau saat na
SummerNovember 2015Sore menjelang senja. Dingin mulai menusuk tulang lagi melalui tiupan angin yang menyerempet tubuhku. Ibuku berpesan akan terlambat pulang dan ia sudah menyimpan makan malam untukku untuk dihangatkan lagi. Aku sudah lapar dan bergegas masuk ke dalam rumah.Baru saja aku menyampirkan jaketku ke lengan sofa, terdengar ketukan pintu. Aku pun kembali melangkah ke ruang depan. Kubuka pintu. Membuatku terkejut. Seseorang sedang berdiri di sana membawa sebuah mangkuk."Jon?""Ya ini aku, siapa lagi?" ia masuk saja ke dalam, menerobosku lalu menuju dapur. Meletakkan mangkuk yang dibawanya di meja konter. "Bibi Diana hari ini membuat sup ayam banyak, ia ingin membagikannya ke beberapa tetangga."Tanpa pikir panjang kuambil mangkok kecil dan mulai mengambil sup hangat itu. "Dia baik sekali. Terima kasih.""Tahu sendiri kan, udara mulai membuat menggigil, makan sup hangat sangat bikin nyaman. Bisa melawan flu. Well, bagaimama kabarmu?""Baik. Kau?""Jauh lebih baik dari sebel
SummerNovember 2015"Kau melamarnya?!" Rub tak percaya. Tentu saja, siapa yang akan percaya seorang pria muda mengagumkan sepertinya melamar seorang gadis yang baru akan melepaskan masa SMA-nya dalam hitungan beberapa bulan lagi.“Ya. Karna aku akan pergi sore ini,” kata Cloud tiba-tiba.Aku menatapnya, kaget. Dia tak mengatakan tentang hal itu kemarin.Rub tersambar lagi. Antara tak mengerti dan terkejut. Ia menatap Cloud tak percaya. “Pergi? Maksudmu pergi bagaimana? Ada apa?”“Ini hari terakhirku mengajar di sini. Aku akan kembali lagi ke Springfield.”“Kau mau menyusul ibumu?”“Tidak dan ya. Mr. Shirley merekomendasikanku langsung mengajar di sekolah seni. Itu akan sangat membantu karirku. Dan, ibuku memang sangat ingin aku menangani galerinya.”Ibunya. Aku begitu penasaran dengan sosok ibunya. Wanita yang sepertinya luar biasa. Seorang dosen dan seniman di Berkshire. Cloud belum pernah sekalipun menunjukkan padaku seperti apa nyonya Garret itu, walaupun ia sudah pernah mengajakk
CLOUDNovember 2015Sedari tadi kuperhatikan ia dari balik jendela. Ia memarkirkan sepeda, dan terlihat kerepotan membawa tugas mix media dariku. Rub dengan cepat berlari mendatanginya. Mengatakan sesuatu tanpa henti sambil membantu membawa kanvasnya. Mungkin mengomel pada Summer, tapi Summer nampak lebih diam dan acuh.Ia datang. Masih belum ada satu pun murid masuk, kecuali dia dan Rub. Aku tentu saja segera berlagak menyelesaikan sesuatu di tumpukan kertas. Pura-pura merekap nilai, yang sebenarnya sudah selesai sedari tadi. Konyol bukan.“Di mana bisa kuletakkan ini?” tanyanya langsung.Aku menunjuk meja panjang di sepanjang bingkai jendela. “Di sana.”Ia meletakkan tugas itu di sana. Kulirik sekilas pekerjaan tangannya. Kusunggingkan senyum puas, sebab ia nampak lebih mahir. Ya ampun, demi apa... melihatnya mengenakan dress boho dan jaket denim sambil menenteng kanvasnya, sungguh membuatku berdesir.Sementara Rub menatapku tajam. Berdeham keras. Mencoba menarik perhatianku.Aku men
CLOUDNovember 2015Sudah sebulan dan ia tak lagi memandangku seperti sebelumnya. Aku pun berusaha keras untuk mengabaikan. Sekeras apapun itu, setiap kali ia melewati mejaku di kelas dan keluar menuju kelas lain tanpa menatapku sama sekali, aku ingin lunglai."Sum..." panggilku saat tiap kali ia melewatiku.Ia meninggalkan senyum tipis dan berlalu.Terkadang aku masih menyimpan harap. Saat mengetahui ia berlama-lama bertahan duduk di bangkunya, memilih waktu terakhir sampai semua murid di kelas keluar, baru ia bangkit meninggalkan tempatnya. Aku sadar ia memperhatikanku, berlama-lama. Mungkin menyedot segala kesempatan untuk menatapku, sebelum akhirnya harus berjauhan. Saat aku merekahkan senyumku untuknya, ia malah menunduk dan pergi. Pupus harapku. Selalu seperti itu, kembang kempis.Atau saat ia mengumpulkan tugas-tugasnya dan berlama-lama menunggu responku. Bertanya-tanya sudahkah itu benar, apakah ada yang kurang, bagian mana yang perlu dikoreksi, saat aku mendongak fokus memper
JonSeptember 2015Gadis itu mendadak terhenti. Langkahnya membeku. Sorot mataku mengikuti arah pandangannya di depan, di seberang sudut parkir mobilku. Cloud-nya memeluk seorang perempuan.Saat ini, hanya satu hal yang ingin kulakukan. Menyelamatkannya dari sini. Kuraih pundaknya, dan menuntunnya dengan cepat memasuki jok penumpangAku memutar ke arah pintu kemudi. Sebelum masuk, sekali lagi mengamati Harrison Garret. Dadaku bergemuruh. Tempo hari ia mengirimkan pesan gencatan senjata dan menyuruhku menjaga Summer, tapi kali ini ia membuatku ingin mencekiknya. Apa-apaan kelakuannya itu. Harry menyadari keberadaan kami. Ia melepaskan pelukannya dari cewek di hadapannya itu. Bahasa tubuhnya ingin segera menghambur ke arahku. Tapi, kuacungkan jari tengah padanya. Aku masuk dan membanting pintu menutup. Kuinjak pedal kuat-kuat, mencap gas pergi dari sana."Brengsek!" umpatku.Sorot Summer masih nampak syok. Tertuju ke depan. Memandang kejauhan di depan kaca jendela mobil. Kuyakin pikiran
SummerSeptember 2015Mengambil jeda dan melihat semuanya dengan kepala lebih jernih memang perlu. Membawaku ke titik ini. Setelah gemuruhku lebih terkontrol, tidak ada yang ingin aku lakukan selain mengamankan suasana hati Jon saat ini. Bila yang lalu aku takut menjadi dekat dengannya adalah sebuah kesalahan, kali ini aku merasa itu pengecualian. Aku hanya ingin berperan sebagaimana seorang sobat menghibur hatinya yang pelan-pelan tergores. Dan Jon sendiri, kurasa, tidak menyadari hatinya yang sedang tidak baik-baik saja. Dan itu malah membuatku sedikit bernafas lega. Setidaknya perkataan Ruby waktu itu ada benarnya. Aku bukan inti dari hatinya.Empat puluh lima menit berlalu dari awal kami duduk di Crossfire. Sepuluh menit setelah menyantap menu, aku rasa sudah cukup untuk angkat kaki dari sini. Aku menatap Jon yang sedari tadi berusaha menyembunyikan gelisahnya. Tepat saat ia meneguk kolanya untuk terakhir kali dan pandangan kami bertemu, aku pun mengangguk padanya. Ia menyambut kod
JonSeptember 2015Aku menunggunya setengah jam dari bel waktu pulang berdering. Masih bersandar di pintu mobilku dan mengamati setiap siswa yang keluar dari pintu hall depan sekolah.Roxie melambaikan tangan dari kejauhan. Ia tersenyum simpul, kukira ia akan mendekatiku. Tapi setelahnya, ia melangkah ke arah lain, melambaikan tangan dengan langkah riang ke seorang lain di jalan luar sekolah. Ia masuk ke sebuah suv hitam dengan seorang cowok mengemudi di sampingnya. Entah mengapa aku penasaran dan merasa tak suka melihatnya."Hai..." sapa suara itu di hadapanku. Summer entah sejak kapan sudah ada di sana. Mengikuti pandanganku yang barusan."Kita akan membahas itu atau tidak?""Tidak." jawabku singkat. "Apakah hari ini lancar?"Summer mengangguk. Ia melambaikan dua kertas di hadapanku. A untuk sebuah tes Biologi dan B+ untuk tes agriculture. Aku otomatis membeliak. "Sejak kapan kau ambil mata pelajaran pilihan itu?!""Kau kan tahu aku suka ilmu alam. Ada biologi dan fisika. Dan seper