Share

4

Author: Allein Gios
last update Last Updated: 2022-04-09 21:57:05

Jon

Juni, 2015

“Jadi Summer, kau akan sekolah di tempat kami ya?” tanyaku padanya sembari melihat cewek itu dari kaca spion tengah.

Kesunyiannya di belakang membuatku jengah. Dan fakta bahwa hanya Kevin yang banyak bicara dari tadi membuatku bosan.

“Yeah, mom mendaftarkanku di sana.”

Sebelum aku merespon jawabannya, lagi-lagi Kevin mendahuluiku berbicara dan mulai cerewet lagi.

“Please Sum, jangan jadi murid yang menyebalkan seperti Jon dan kawan-kawannya nanti, oke?”

Oh! Dia yang mulai menyebalkan seperti biasanya!

Kulihat dahi Summer berkerut. Ia tampak geli sekaligus waspada. Ia selalu terlihat curiga.

“Aku memang tidak berniat menjadi murid menyebalkan. Memangnya dia dan teman-temannya kenapa?”

Aku pun cepat-cepat memotong Kevin yang baru akan berbicara. “Jangan dengarkan dia, Sum! Dia itu sinting!”

Kevin menatap tajam padaku. Aku pun menyiratkan agar ia diam saja. Sementara kami beradu argumen tanpa suara, Summer sedikit cekikikan di belakang sana.

Kevin menelengkan kepala ke belakang. “Kau bisa tertawa juga?” ia tersenyum.

Summer menatapnya. “Memangnya kenapa? Ada masalah kalau aku tertawa?”

“Kukira dahimu hanya bisa berkerut saja!” ejeknya pada cewek manis itu.

Summer pun berdecak sebal. “Tahu tidak Kev, seperinya kau yang menyebalkan.”

Aku tertawa. “Kau dengar itu, Kev? Dia bilang kau yang menyebalkan! Memang kau yang menyebalkan! Sangat menyebalkan!”

Sekarang Kevin yang mendengus sebal. “Sekarang kau bisa bilang begitu, Sum. Tapi, lihat saja nanti setelah kau masuk sekolah atau mulai banyak bergaul dengannya,” ia meninjukku.

“Oh sudahlah, tutup mulutmu, Kevin!” seruku padanya.

“Ngomong-ngomong, kau sudah memikirkan akan mengikuti klub apa saja?” sepupu sintingku itu masih saja menghadapkan kepala ke belakang. Tak memperdulikan seruanku.

Aku memotong pembicaraannya lagi, “Kevin! Kenapa kau tidak duduk belakang saja sih? Sana! Kau berisik!”

“Diamlah Jonathan!” ia ganti membentakku.

“Kalian lucu sekali,” kata Summer sambil cekikikan lagi, “Apa begini setiap hari?”

“Begitulah..." kata Kevin.

"Menyebalkan sekaligus menyenangkan. Itu salah satu alasan kenapa aku lebih suka tinggal di rumah bibi Diana,” jelasku kepada cewek itu.

“Memangnya kenapa kalau tidak tinggal di sana?”

“Membosankan.”

Aku berharap ia menanyaiku lebih. Aku berharap ia banyak berbicara. Tapi, mengherankan dan mengesalkan karena setelah itu ia memilih bungkam kembali.

Kevin kembali mengusik Summer. “Jadi bagaimana?”

“Apanya yang bagaimana?” seru gadis itu.

”Klub? Kau harus ikut salah satu kalau tidak mau dibilang aneh. Jurnalistik saja, kujamin seru!” Dan ternyata niat terselubungnya adalah promosi klub tercintanya itu.

Aku pun berdecak. 

“Akan kupikirkan hal itu nanti.”

“Guys, kita hampir sampai,” kataku saat mobil yang kukendarai melewati tikungan dan melintasi Dam Onota.

Summer mendekatkan diri ke depan, meninggalkan sandarannya. “Memangnya kita akan kemana sih?”

“Danau. Seharusnya kau suka. Banyak orang yang suka datang ke sini, terlebih musim panas. Lihatlah, indah kan? Banyak pepohonan rindang di sekelilingnya. Kita bisa bersantai di lapangan rumput di pinggiran danau, dan menikmati musik live.”

“Sepertinya kita berangkat terlalu awal, jadi kurasa bakalan masih sepi,” kata Kevin. “Tapi tidak masalah, pasti tetap menyenangkan.”

Dan yang terjadi selanjutnya adalah ia hanya terdiam. Bahkan ia masih bungkam dan terlihat mulai pucat ketika danau indah itu mulai terlihat. Dalam hati aku terheran, ada apa dengannya?

***

Summer

Juni, 2015

Aku bersikeras di dalam. Namun, Kevin dan Jon menyeretku keluar dari mobil. Mereka menarikku mendekati danau. Mereka melepaskan pakaian dan menceburkan diri ke dalam. Mereka meneriakkiku. Tangan mereka mengayun menyuruhku segera turun.

“Ayo Sum! Cepatlah kemari!” teriak Kevin.

Aku berusaha tersenyum dan melangkah lebih jauh. Namun, kakiku terhenti di tepian.

Jon tersenyum lebar. “Cepatlah! Di sini sangat segar!” teriaknya kepadaku.

Ujung sepatuku bersinggungan dengan air. Aku ingin berjalan masuk, namun aku tidak bisa. Otakku memerintahkan setiap selku untuk berhenti sampai di situ. Sementara itu, Kevin dan Jon terus memanggilku. Saat kulihat kembali ke arah keduanya, wajah Jon dan Kevin yang ada di atas air bergerak-gerak mengabur.

Dadaku terasa sesak. Aku mulai merasa pusing dan mual. Rasanya setiap inci tubuhku kedinginan dan bergetar. Sekelilingku seperti berputar dan perlahan memudar. Aku takut. Dan mendadak yang kurasakan sekarang hanyalah dingin dan kegelapan.

***

Jon

Juni, 2015

Kami tertawa cekikikan. Aku dan Kevin sudah merasakan segarnya air di danau ini. Kami bersendau gurau. Lalu menyadari kalau Summer tidak bersama kami. Ia belum juga mengikuti kami.

“Aku menyesal tadi tidak tetap menyeretnya masuk ke dalam. Lihat ia masih berdiam diri di sana seperti patung!” seruku pada Kevin.

Kevin tertawa. “Ayolah Sum! Cepatlah kemari!” katanya sembari melambaikan tangan ke arah gadis berkuncir ekor kuda itu. “Jangan bilang kau tidak bisa berenang!”

Aku ikut melambaikan tangan padanya. Mengisyaratkan agar ia segera berenang kemari. Namun, ia hanya berdiam diri memegangi kepalanya. Sekilas ia tersenyum dan berusaha untuk melangkah.

Aku membalas senyumnya lalu berteriak, “Cepatlah! Di sini sangat segar!”

Lagi-lagi ia terlihat ragu dan terdiam. Kedua tangannya kembali memegang erat sisi kepalanya. Ekspresinya mendadak berubah. Ia seperti terengah-engah. Ia menutup matanya. Membukanya lagi. Menutupnya lagi. Membukanya lagi. Wajahnya kian memucat. Dan ia terlihat seperti orang yang sedang ketakutan. Ia masih terengah-engah.

Aku mulai cemas. Aku berenang perlahan mendekat ke tepi. “Summer?” panggilku padanya.

Ia tidak menjawab.

Kevin segera mengikutiku di belakang. Ia berhenti dan menatap Summer dengan ragu. “Sum, kau baik-baik saja? Kau sedang tidak bercanda kan?”

“Summer ada apa?” kataku sembari mulai berjalan melawan air ke tepi.

Ia tidak menjawab. Ia hanya menggeleng-gelengkan kepala dengan nafas memburu. Lalu sedetik kemudian matanya memejam dan ia jatuh tersungkur ke tanah.

“Sial!” pekikku, “Summer!” aku segera berlari menghampirinya.

Kevin menyusulku. “Summer!”

“Ia tidak sadarkan diri!” pekikku. Kini aku mulai kalut. Takut sekali sesuatu yang buruk terjadi padanya.

“Ya Tuhan! Ada apa sebenarnya?” kata Kevin panik.

Aku berusaha menyadarkannya, namun ia tetap terpejam.

“Sepertinya kita harus bawa dia pulang sekarang,” kataku sembari mulai membopongnya.

Kevin segera berlari mengambil pakaian kami yang tercecer di atas rumput.

“Cepat buka pintunya, kunciku di saku kemeja!”

Setelah itu kami menaruhnya di jok belakang. Kami pun segera berpakaian dan kembali pulang. Dan selama mengendarai mobil, aku sama sekali tak merasa tenang. Berkali-kali kutengok ke spion tengah memeriksa Summer.

Tak pernah kurasakan secemas ini, terlebih bersama seseorang yang baru kukenal. Wajah Summer yang pucat dan dahinya yang berkerut sungguh menggoncangkan benakku. Dulu, dulu sekali, aku pernah sekali menemui perasaan yang seperti ini. Ketika seseorang yang sangat dekat denganku tak lagi bersamaku. Ketika jiwanya tak lagi ada di sisiku. Ketika ia bukan lagi dirinya yang dulu. Ketika sebuah peristiwa merenggutnya dariku.

***

Summer

Juli, 2005

“Mom! Dad!” pekikku.

Yang aku tahu saat ini aku sangat takut. Tapi, mom tidak ada di sana. Hanya ada satu lengan besar mencengkeramku erat-erat. Ia menyeretku tergesa-gesa. Aku semakin tercekik oleh kerah bajuku yang sudah lusuh. Laki-laki itu membawa sebuah pistol di tangan satunya. Aku meronta-ronta, tapi ia tak melepaskanku sedetik pun. Ia berteriak menyuruhku diam. Ia mengumpat. Aku terus teriak meminta pertolongan. Yang kutahu setelahnya lelaki itu melemparkanku ke dalam sebuah perahu. Ia menyalakan mesin sebelum seorang lelaki lain mendekati kami. Lelaki lain bermantel hitam. Ia berlari kalut meneriaki namaku. Aku tahu itu suara siapa. Aku mengenal suara itu seumur hidupku.

“SUMMER, BERTAHANLAH!”

“DAAAAD!” pekikku kencang sambil menangis. Aku tahu ia akan datang. Aku tahu dad adalah superhero-ku. Aku harus yakin ia akan membawaku pergi dari sini.

Laki-laki itu mengumpat lagi. Laki-laki paling mengerikan yang pernah kutemui seumur hidupku. Setelah menyekapku dengan anak-anak yang lain, kini ia menyeretku ke danau dingin. Aku tidak tahu kenapa ia mau membawaku pergi bersamanya.

Dor.

Dor.

Dor.

Aku berteriak. Menunduk. Menutup kedua telingaku. Suara keras itu membuatku terkejut. Suara itu membuat telingaku sakit. Aku takut. Sungguh aku takut.

Tiga tembakan meletus ke arahku. Tidak. Ke arah lelaki di hadapanku. Lengan kirinya terkena tembakan ayahku. Ia mengerang lalu membalas tembakan ke arah ayahku. Aku ingin memastikan dad baik-baik saja, tapi aku terlalu takut untuk mendongak. Aku hanya bisa berteriak dengan posisi yang sama.

“Daaad!”

Entah berapa lama aku meringkuk di lantai perahu. Entah berapa banyak letusan pistol terdengar. Tiba-tiba lelaki itu sudah tersungkur di depanku dengan rintihan yang sangat lemah. Aku menjauh darinya sambil menangis histeris ketakutan. Seluruh tubuhku rasanya bergetar. Dan aku ingin berteriak.

“Tidak apa-apa, sayang. Dad di sini. Kemarilah, ayo kita pulang.”

Suara itu menghampiriku dengan tenang dan terengah-engah. Ia segera menggendongku dan melompat ke perahu lain yang dikendarainya kemari. Aku mencengkeram mantelnya sangat erat. Membenamkan wajahku di sana.

Kukira aku sudah aman, namun tiba-tiba suara letusan pistol yang lain terdengar. Tubuh ayahku bergoyang. Dan sebelum kami melangkah ke tengah perahu, tubuh ayahku oleng ke belakang dan tercebur ke air. Aku berteriak, memanggil ayahku berkali-kali. Kami basah oleh air, sementara lelaki mengerikan itu berusaha pergi dari sini dengan perahunya. Ia menjauh dari kami, entah kemana.

Beberapa saat ayahku masih menahanku berada dekat dengannya. Namun, perlahan pertahanannya mulai melemah. Ia meletakkan kedua tanganku ke pinggir perahu. Ia memegang pipi kananku erat. Ia menatapku sambil menahan sakit di dadanya yang tertembak.

“Bertahanlah, Summer! Kau anak ayah, kau kuat. Teruslah melihat ke depan!”

“Dad! Tidak! Dad!” aku takut ia melepaskanku. Aku tidak mau tidak bersamanya. Aku mau ia tetap di sini bersamaku. Aku mau kembali pulang bersama dengannya.

Ia tersenyum padaku. “Jangan khawatir!” ia mencium keningku lama, lalu ia berkata, “Dad sayang kau, Summer. Jaga dirimu baik-baik.”

Kemudian ia menutup mata dan menghilang ke dalam air.

Aku menangis dan meneriakinya. Aku takut. Hampir saja aku akan menyusulnya sebelum sebuah tangan menarikku.

Tangan kecil yang kokoh. Ia berenang dan menyeretku ke tepi paling dekat. Aku meronta-ronta ingin kembali mencari ayahku, namun ia menahanku dengan kuat.

Aku kedingingan dan tenagaku melemah. Aku sudah ada di dalam pelukannya ketika aku menangis histeris dan bergetar hebat. Dan ia terus memelukku, sangat erat. 

Related chapters

  • Summer Pieces   5

    JonJuni, 2015“Summer?” panggilku cemas ketika ia mulai sadar.Ia membuka kedua matanya perlahan. Summer mulai sadarkan diri dan terduduk di sofa.“Kau baik-baik saja?”“Apa kau pusing?” tanya Kevin mendekatinya, “Minumlah!” ia menyerahkan segelas air pada cewek itu.“Aku di mana?” tanyanya dengan raut menelisik. Mulai waspada.“Kau di rumah. Minumlah dulu,” saranku padanya.Summer segera meminum air yang diberikan Kevin. Ia meletakkan gelas yang sudah kosong itu di atas meja di hadapannya. “Apa yang terjadi?”“Entahlah, tiba-tiba saja kau pingsan sewaktu kita di danau. Lalu kami membawamu pulang,” jelasku padanya.Ia terkesiap. Sepertinya ia mulai sadar. “Maafkan aku.” Ia mulai menampakkan sorot menyesalnya. “Aku sudah merepotkan kalian. Apa kalian memberi tahu ibuku? Bagaimana kalian bis

    Last Updated : 2022-04-17
  • Summer Pieces   6

    SummerJuli, 2015Ruangan ini terlihat asing. Kotor. Terbengkalai seperti tempat yang lama ditinggalkan. Ada sebuah meja di tengah ruangan dan beberapa kursi berserakan. Di sana ada dua lelaki sedang berbicara. Mereka berdiri di dekat jendela yang setengah dibuka. Dari situ aku tahu hari mulai terang. Aku baru terbangun dan menyadari aku tidak sedang berada di rumah.Spontan telapak tanganku terangkat untuk menutup mulut ketika menguap. Tapi, tanganku berada di depan dan tak bisa digerakkan. Kedua tanganku terikat menjadi satu. Aku menggerak-gerakkannya mencoba melepaskan tali itu, tapi tidak bisa.Seseorang di dekat jendela tertawa. Sementara itu, aku mulai kedinginan dan takut. Aku hanya mengenakan kaus dan rok selutut. Dan aku lapar. Aku ingin ayahku. Aku ingin ibuku.“Aku mau pulang,” aku mulai merengek.“Diamlah!” suara keras itu meneriakiku.Tangisku bertambah hebat.“Tenanglah! K

    Last Updated : 2022-04-18
  • Summer Pieces   7

    SummerJuli, 2005“Kau tahu, kau kelihatan berantakan sekali!” suara anak laki-laki di sebelahku menyadarkanku.Aku kembali sadar setelah tertidur cukup lama. Dalam remang aku menyesuaikan pandangan. Aku menoleh ke sumber suara. Anak laki-laki itu sedang mengamatiku. Penasaran. Penuh rasa ingin tahu. Aku balas menatapnya. Lalu membenahi posisi dudukku. Kini kami duduk berhadapan dengan tumit sama-sama terlipat di depan. Kurasa ia beberapa tingkat di atasku.“Apa itu sakit?”Aku bingung. “Apanya yang sakit?”“Itu. Memar di dahimu.”Kedua tanganku yang terikat spontan terangkat menuju dahi. Jari-jariku meraba di sana. Saat menyentuh bagian samping kudapati rasa nyeri yang sangat menusuk. Aku merintih.“Sudah jangan di pegang lagi!” katanya dengan terburu padaku.Aku menurunkan kedua tanganku segera. Ia benar. Itu akan membuatku merasa sakit. Aku meliha

    Last Updated : 2022-04-18
  • Summer Pieces   8

    JonJuli, 2015Aku dan Summer menaiki anak tangga. Kali ini ia membiarkanku menuntunnya. Kamar Summer ada di pojok depan atas rumah ini dan berhadapan langsung dengan tangga ke bawah. Aku dan Summer masuk ke dalam. Saat masuk ia tak repot-repot menyalakan lampu karena sepertinya lampu di dalam ruangan ini selalu menyala saat hari mulai gelap. Bahkan kamar ini memiliki tiga jendela. Dua menghadap ke rumahku. Dan satu menghadap ke halaman samping rumahnya yang ditumbuhi rumput dan beberapa pohon besar yang rindang.“Apa kau selalu membiarkan lampu menyala di dalam sini?”“Ya. Saat sore hingga pagi. Aku membiarkan ruangan ini terang, bahkan saat tidur.”“Kenapa? Kau takut gelap?”“Aku merasa tidak nyaman dalam kegelapan,” ia berkata sembari naik ke atas kasur yang berada di pojok dekat jendela samping. Summer berbaring di sana dan menyandarkan kepalanya ke bantalan empuk. Ia menepuk-nepu

    Last Updated : 2022-04-19
  • Summer Pieces   9

    JonJuli, 2015Rumah sudah sepi. Pasti semua sudah meringkuk di kamar. Aku mengendap-endap masuk ruang tengah dan memastikan suasana aman. Dengan langkah pelan aku menaiki anak tangga. Sampai di lantai dua aku bergegas menuju kamarku. Pikiranku hanya tertuju pada sesuatu yang ada di laci dalam lemari pakaianku. Aku membukanya dan membolak-balik segala nota, surat penting, dokumen, dan catatan yang ada di sana. Lalu kutemukan benda itu di sela tumpukan kertas paling bawah. Aku segera menyambarnya dan kembali ke rumah Summer.Aku berjalan ke arah rumah Summer tepat saat Rosalie keluar dari mobilnya. Wanita yang gemar di dapur itu, banyak sekali berubah. Tubuhnya lebih kurus dari pada dulu. Rambutnya menjadi lurus dan selalu digulung rapi. Tanpa poni. Dan kini ia berkaca mata. Wanita sama yang sering menyiapkan puding, cookies, dan jus jeruk untukku dan Summer dulu. Aku menemuinya sembari berharap ia bukan penghalang agar aku bisa masuk bertemu Summer m

    Last Updated : 2022-04-19
  • Summer Pieces   10

    SummerJuli, 2015Kami duduk di ruang tengah. Aku, Jon, dan mom. Acara utamanya adalah membicarakan tentang aku dan Jon. Takdir yang memisahkan dan mempertemukan kami kembali setelah sekian tahun. Mom yang melankolis sudah dipastikan mengeluarkan air mata.Entah mengapa sehari menjadi waktu yang sangat ajaib buatku. Duniaku, memoriku, diriku, sosok-sosok lama yang kembali hadir, segalanya berputar ulang. Cloud yang mengaku mengenalku, walaupun aku tidak pernah merasa mengenalnya. Dan meski berusaha keras hingga kepalaku sakit, aku tidak menemukan gambaran tentangnya. Belum selesai dengan Cloud, muncul hal mengejutkan tentang Jon. Sosok yang selalu bersamaku dulu, yang tidak pernah bisa kuingat lagi bagaimana wajah atau nama lengkapnya. Kini aku sadar cowok di hadapanku itu adalah Jonathan Finch. Aku langsung ingat ketika melihat selembar foto yang ia sodorkan padaku. Bocah kecil itu adalah dia. Mengenal Jon kembali sama dengan membuka kenangan lama bersama dad. Aku takut mengingat se

    Last Updated : 2022-05-15
  • Summer Pieces   11

    SummerJuli, 2015Aku menengok ke luar lewat jendela kamarku yang berhadapan dengan rumah Kevin. Jendela atas rumah itu masih menyala semua. Kevin dan Jon belum tidur. Aku melihat siluet seseorang sedang duduk. Itu pasti Kevin. Sementara, di kamar sebelahnya yang berseberangan dengan kamarku, aku tidak melihat siluet Jon sama sekali. Dalam hati aku bertanya-tanya apa yang ia lakukan. Tiba-tiba sebuah sinar mengagetkanku. Spontan tanganku menutup wajah karena silau. Sinar yang menyorotku itu padam. Aku memincingkan mataku ke arah sebuah suara. Kevin tertawa. Ia bersandar di bingkai jendela sembari membawa sebuah senter.“Kau tidak tidur?” tanyanya setengah teriak.“Aku belum bisa tidur.”“Tapi, sepertinya kau tidak pernah tertidur.”“Apa?” kataku lebih keras.Ia berteriak sedikit lebih lantang dari yang tadi, “Lampu kamarmu selalu menyala!”“Oh... aku tidak pernah mematikannya. Kau tidak tidur?”“Sebentar lagi. Tidurlah, Sum! Ini sudah larut!” katanya penuh perhatian.Aku hanya tersen

    Last Updated : 2022-05-16
  • Summer Pieces   12

    SummerJuli, 2015Mereka menjemputku. Mom benar-benar menyuruhku pergi. Aku melangkahkan kaki dengan rasa kesal. Semalam aku tidur sangat larut, pagi-pagi sekali aku mengantar koran, dan sekarang aku hanya ingin tidur. Tapi mom, dengan senyum ceria memberi Jon dan Kevin pesan agar menghubunginya jika sesuatu terjadi padaku. Rupanya ia masih menyimpan rasa trauma dan tetap saja menyimpan sikap protektif itu.Aku sudah berada di dalam jok belakang mobil Jon. Mereka berdua ribut seperti biasanya. Mereka juga memancingku untuk berbicara, sementara aku menjawab seperlunya. Kevin memutar radio, Jon mengganti ke playlist musiknya. Mereka sedikit bertikai lagi, aku hanya geleng-geleng kepala. "Hei, aku belum mendengarkan update berita hari ini tahu!" protes Kevin.Jon berdecak, "Kenapa sih hari libur begini kau tidak bisa sepenuhnya santai?!" Ia memutar kembali playlist-nya."Daftar lagumu itu sungguh membosankan, Jon! Begini saja, karna ini pertama kalinya Sum resmi bergabung, biar dia me

    Last Updated : 2022-05-20

Latest chapter

  • Summer Pieces   46

    SummerMei 2016Tadinya aku mengira kesempatanku mendatangi pameran Cloud begitu kecil. Mengingat pada awalnya ia berkata tengah menyiapkan pameran untuk musim dingin. Benar, sekali lagi kata Jon, siapa yang bakal datang di cuaca yang gigil. Seorang seniman, demikianlah, selalu punya sisi idealisme yang tinggi, tapi kali ini sepertinya Cloud menyadari tidak selamanya bersikap idealis itu diperlukan. Ada kalanya kita butuh mempertimbangkan kondisi dan saran dari berbagai sudut. Entah apa alasannya pada awalnya ia akan menyenggelarakan agenda pentingnya itu di musim dingin, tapi pada akhirnya acara itu jatuh bertepatan ketika kami, anak-anak Pittsfield, selesai melalui akhir semester.Semester yang penuh cerita dan perjuangan. Dari kepindahan tempat tinggal dan sekolah, pergumulanku dengan mom, kepingan-kepingan masa lalu yang kembali hadir dengan jelas, perjuanganku menjadi lebih tegar, mandiri dan berani, percintaan masa SMA yang mendadak menjajah hati dan pikiranku, teman-teman baik

  • Summer Pieces   45

    SummerDesember 2015Mendung masih bergelayut di angkasa. Aku ditemani secangkir kopi hangat di sebuah cafe penuh kenangan. Sendirian. Dulu tempat ini adalah pertama kalinya di mana aku menyadari kehadiran Cloud. Siapa Cloud sebenarnya. Siapa Cloud bagiku. Kini aku tahu artinya untukku.Semenjak cincin itu melekat di jariku, Jon jadi jarang mengajakku ke Lucky or Not, katanya dengan setengah bercanda ia ingin mengenyahkan pikirannya dari para cewek. Aku tahu ia mungkin iri, aku berakhir epik, sementara ia masih berjuang menghadapi kehilangan Roxie di dekatnya. Dan aku senang ia jadi begitu fokus bermain basket sekaligus menyiapkan kelulusan. Aku merindukannya. Tapi, aku lebih merindukan Cloud.Tak masalah bagiku menjalani ini. Ia tengah berjuang di sana. Aku pun demikian di sini. Hanya saja, aku masih berat mengatakan apa yang baru saja terjadi kepada ibuku. Tentang Cloud yang mengikatku dengan cincin ini. Belum, mungkin nanti ketika lambat laun ibuku menyadarinya sendiri, atau saat na

  • Summer Pieces   44

    SummerNovember 2015Sore menjelang senja. Dingin mulai menusuk tulang lagi melalui tiupan angin yang menyerempet tubuhku. Ibuku berpesan akan terlambat pulang dan ia sudah menyimpan makan malam untukku untuk dihangatkan lagi. Aku sudah lapar dan bergegas masuk ke dalam rumah.Baru saja aku menyampirkan jaketku ke lengan sofa, terdengar ketukan pintu. Aku pun kembali melangkah ke ruang depan. Kubuka pintu. Membuatku terkejut. Seseorang sedang berdiri di sana membawa sebuah mangkuk."Jon?""Ya ini aku, siapa lagi?" ia masuk saja ke dalam, menerobosku lalu menuju dapur. Meletakkan mangkuk yang dibawanya di meja konter. "Bibi Diana hari ini membuat sup ayam banyak, ia ingin membagikannya ke beberapa tetangga."Tanpa pikir panjang kuambil mangkok kecil dan mulai mengambil sup hangat itu. "Dia baik sekali. Terima kasih.""Tahu sendiri kan, udara mulai membuat menggigil, makan sup hangat sangat bikin nyaman. Bisa melawan flu. Well, bagaimama kabarmu?""Baik. Kau?""Jauh lebih baik dari sebel

  • Summer Pieces   43

    SummerNovember 2015"Kau melamarnya?!" Rub tak percaya. Tentu saja, siapa yang akan percaya seorang pria muda mengagumkan sepertinya melamar seorang gadis yang baru akan melepaskan masa SMA-nya dalam hitungan beberapa bulan lagi.“Ya. Karna aku akan pergi sore ini,” kata Cloud tiba-tiba.Aku menatapnya, kaget. Dia tak mengatakan tentang hal itu kemarin.Rub tersambar lagi. Antara tak mengerti dan terkejut. Ia menatap Cloud tak percaya. “Pergi? Maksudmu pergi bagaimana? Ada apa?”“Ini hari terakhirku mengajar di sini. Aku akan kembali lagi ke Springfield.”“Kau mau menyusul ibumu?”“Tidak dan ya. Mr. Shirley merekomendasikanku langsung mengajar di sekolah seni. Itu akan sangat membantu karirku. Dan, ibuku memang sangat ingin aku menangani galerinya.”Ibunya. Aku begitu penasaran dengan sosok ibunya. Wanita yang sepertinya luar biasa. Seorang dosen dan seniman di Berkshire. Cloud belum pernah sekalipun menunjukkan padaku seperti apa nyonya Garret itu, walaupun ia sudah pernah mengajakk

  • Summer Pieces   42

    CLOUDNovember 2015Sedari tadi kuperhatikan ia dari balik jendela. Ia memarkirkan sepeda, dan terlihat kerepotan membawa tugas mix media dariku. Rub dengan cepat berlari mendatanginya. Mengatakan sesuatu tanpa henti sambil membantu membawa kanvasnya. Mungkin mengomel pada Summer, tapi Summer nampak lebih diam dan acuh.Ia datang. Masih belum ada satu pun murid masuk, kecuali dia dan Rub. Aku tentu saja segera berlagak menyelesaikan sesuatu di tumpukan kertas. Pura-pura merekap nilai, yang sebenarnya sudah selesai sedari tadi. Konyol bukan.“Di mana bisa kuletakkan ini?” tanyanya langsung.Aku menunjuk meja panjang di sepanjang bingkai jendela. “Di sana.”Ia meletakkan tugas itu di sana. Kulirik sekilas pekerjaan tangannya. Kusunggingkan senyum puas, sebab ia nampak lebih mahir. Ya ampun, demi apa... melihatnya mengenakan dress boho dan jaket denim sambil menenteng kanvasnya, sungguh membuatku berdesir.Sementara Rub menatapku tajam. Berdeham keras. Mencoba menarik perhatianku.Aku men

  • Summer Pieces   41

    CLOUDNovember 2015Sudah sebulan dan ia tak lagi memandangku seperti sebelumnya. Aku pun berusaha keras untuk mengabaikan. Sekeras apapun itu, setiap kali ia melewati mejaku di kelas dan keluar menuju kelas lain tanpa menatapku sama sekali, aku ingin lunglai."Sum..." panggilku saat tiap kali ia melewatiku.Ia meninggalkan senyum tipis dan berlalu.Terkadang aku masih menyimpan harap. Saat mengetahui ia berlama-lama bertahan duduk di bangkunya, memilih waktu terakhir sampai semua murid di kelas keluar, baru ia bangkit meninggalkan tempatnya. Aku sadar ia memperhatikanku, berlama-lama. Mungkin menyedot segala kesempatan untuk menatapku, sebelum akhirnya harus berjauhan. Saat aku merekahkan senyumku untuknya, ia malah menunduk dan pergi. Pupus harapku. Selalu seperti itu, kembang kempis.Atau saat ia mengumpulkan tugas-tugasnya dan berlama-lama menunggu responku. Bertanya-tanya sudahkah itu benar, apakah ada yang kurang, bagian mana yang perlu dikoreksi, saat aku mendongak fokus memper

  • Summer Pieces   40

    JonSeptember 2015Gadis itu mendadak terhenti. Langkahnya membeku. Sorot mataku mengikuti arah pandangannya di depan, di seberang sudut parkir mobilku. Cloud-nya memeluk seorang perempuan.Saat ini, hanya satu hal yang ingin kulakukan. Menyelamatkannya dari sini. Kuraih pundaknya, dan menuntunnya dengan cepat memasuki jok penumpangAku memutar ke arah pintu kemudi. Sebelum masuk, sekali lagi mengamati Harrison Garret. Dadaku bergemuruh. Tempo hari ia mengirimkan pesan gencatan senjata dan menyuruhku menjaga Summer, tapi kali ini ia membuatku ingin mencekiknya. Apa-apaan kelakuannya itu. Harry menyadari keberadaan kami. Ia melepaskan pelukannya dari cewek di hadapannya itu. Bahasa tubuhnya ingin segera menghambur ke arahku. Tapi, kuacungkan jari tengah padanya. Aku masuk dan membanting pintu menutup. Kuinjak pedal kuat-kuat, mencap gas pergi dari sana."Brengsek!" umpatku.Sorot Summer masih nampak syok. Tertuju ke depan. Memandang kejauhan di depan kaca jendela mobil. Kuyakin pikiran

  • Summer Pieces   39

    SummerSeptember 2015Mengambil jeda dan melihat semuanya dengan kepala lebih jernih memang perlu. Membawaku ke titik ini. Setelah gemuruhku lebih terkontrol, tidak ada yang ingin aku lakukan selain mengamankan suasana hati Jon saat ini. Bila yang lalu aku takut menjadi dekat dengannya adalah sebuah kesalahan, kali ini aku merasa itu pengecualian. Aku hanya ingin berperan sebagaimana seorang sobat menghibur hatinya yang pelan-pelan tergores. Dan Jon sendiri, kurasa, tidak menyadari hatinya yang sedang tidak baik-baik saja. Dan itu malah membuatku sedikit bernafas lega. Setidaknya perkataan Ruby waktu itu ada benarnya. Aku bukan inti dari hatinya.Empat puluh lima menit berlalu dari awal kami duduk di Crossfire. Sepuluh menit setelah menyantap menu, aku rasa sudah cukup untuk angkat kaki dari sini. Aku menatap Jon yang sedari tadi berusaha menyembunyikan gelisahnya. Tepat saat ia meneguk kolanya untuk terakhir kali dan pandangan kami bertemu, aku pun mengangguk padanya. Ia menyambut kod

  • Summer Pieces   38

    JonSeptember 2015Aku menunggunya setengah jam dari bel waktu pulang berdering. Masih bersandar di pintu mobilku dan mengamati setiap siswa yang keluar dari pintu hall depan sekolah.Roxie melambaikan tangan dari kejauhan. Ia tersenyum simpul, kukira ia akan mendekatiku. Tapi setelahnya, ia melangkah ke arah lain, melambaikan tangan dengan langkah riang ke seorang lain di jalan luar sekolah. Ia masuk ke sebuah suv hitam dengan seorang cowok mengemudi di sampingnya. Entah mengapa aku penasaran dan merasa tak suka melihatnya."Hai..." sapa suara itu di hadapanku. Summer entah sejak kapan sudah ada di sana. Mengikuti pandanganku yang barusan."Kita akan membahas itu atau tidak?""Tidak." jawabku singkat. "Apakah hari ini lancar?"Summer mengangguk. Ia melambaikan dua kertas di hadapanku. A untuk sebuah tes Biologi dan B+ untuk tes agriculture. Aku otomatis membeliak. "Sejak kapan kau ambil mata pelajaran pilihan itu?!""Kau kan tahu aku suka ilmu alam. Ada biologi dan fisika. Dan seper

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status