Summer
Juli, 2015Ruangan ini terlihat asing. Kotor. Terbengkalai seperti tempat yang lama ditinggalkan. Ada sebuah meja di tengah ruangan dan beberapa kursi berserakan. Di sana ada dua lelaki sedang berbicara. Mereka berdiri di dekat jendela yang setengah dibuka. Dari situ aku tahu hari mulai terang. Aku baru terbangun dan menyadari aku tidak sedang berada di rumah.
Spontan telapak tanganku terangkat untuk menutup mulut ketika menguap. Tapi, tanganku berada di depan dan tak bisa digerakkan. Kedua tanganku terikat menjadi satu. Aku menggerak-gerakkannya mencoba melepaskan tali itu, tapi tidak bisa.
Seseorang di dekat jendela tertawa. Sementara itu, aku mulai kedinginan dan takut. Aku hanya mengenakan kaus dan rok selutut. Dan aku lapar. Aku ingin ayahku. Aku ingin ibuku.
“Aku mau pulang,” aku mulai merengek.
“Diamlah!” suara keras itu meneriakiku.
Tangisku bertambah hebat.
“Tenanglah! Kau tidak sendirian,”satu suara berbisik di sebelahku. Suara kecil yang mencoba menenangkanku.
Tapi, tangisku belum berhenti meski tidak sehisteris tadi. “Aku tetap mau pulang.”
Lalu satu tamparan melayang dan membuatku terkejut.
***
Aku terkesiap membuka mata. Pipiku basah. Aku tertegun dan mencoba mencerna keadaan. Sadar kalau tadi aku sedang tidur dan bermimpi. Mimpi yang sama tiga kali. Entah bersambung dengan cerita mimpi yang lain atau tidak.
Aku turun dari ranjang. Lalu membuka jendela. Ternyata masih terlalu pagi untuk bangun. Di luar bahkan belum terang. Tapi, rasanya sia-sia jika aku kembali meringkuk dan mencoba tidur karena kedua mataku pasti akan terus terbuka. Kuputuskan pergi ke kamar mandi untuk mencuci muka dan menggosok gigi. Aku mengganti piyamaku dengan celana training dan kaus. Lalu menyambar sepatuku dan segera turun ke bawah.
Ibuku masih tertidur saat aku menyelinap ke luar rumah. Aku mengambil sepeda. Lalu memilih rute ke arah jalur sekolah. Meskipun terlalu awal untuk disebut olah raga pagi, tapi aku tetap menyebutnya begitu.
Aku menyimpang dari rute utama untuk mengelilingi beberapa jalan pemukiman. Tidak ada salahnya mulai mengenali tempat tinggal baru. Terlintas dalam benakku, mungkin dengan penelusuran kecil ini besok aku bisa menjadi pengantar koran. Aku mulai mempertimbangkan hal itu.
Tanpa sadar aku sudah menemukan sekolah. Kuingat kembali jalan yang harus kutempuh untuk sampai di sini dengan cepat dan selamat. Aku pun berhenti dan beristirahat sejenak. Kuteguk botol airku.
Tiba-tiba berada di sini membuatku merinding. Aku merasa diawasi. Memang masih terlalu pagi dan sepi. Bahkan kabut masih tersisa dan bau embun masih terasa dari muka daun-daun dan rumput. Tapi, itu malah membuatku semakin gelisah.Tap. Tap.
Hampir saja aku berteriak ketika mendengarkan langkah kaki di belakangku. Langkah kaki sungguhan. Bukan khayalanku. Tak mau membuang waktu, aku langsung mengayuh berputar ke arah jalur semula. Tapi, belum sampai lima meter jarak yang kuambil, seseorang berseru padaku, pemilik langkah kaki itu.
“Hei! Tunggu!” suara laki-laki itu terdengar lantang di tengah suasana sunyi.
Aku menoleh. Ia sukses membuatku penasaran. Kini aku berhenti. Ragu, aku menatap tajam pada sosok bertudung hitam itu. Aku sedikit lega ketika ia mengenakan celana training dan bersepatu lari. Ternyata ia hanya warga yang sedang olah raga. Aku pun menghela nafas.
“Kau menjatuhkan sesuatu,” ia berlari kecil ke arahku. Ia memberikan benda di genggamannya.
Aku menerima benda yang diberikannya. Seketika aku malu. Tahu bahwa yang kujatuhkan adalah isi kantong celanaku. Beberapa uang receh dan jepit rambut kuningku.
“Trims,” kataku singkat.
Sebelum aku berbalik dan lanjut mengayuh ia kembali menahanku. “Tunggu!”
Aku menatapnya kembali.
“Apa kita pernah bertemu?” ia membuka tudungnya. Mencoba memperlihatkan sosoknya. Sepertinya ia merasa pernah mengenalku.
Aku mengamatinya dengan seksama. Kutaksir usianya tiga hingga lima tahun di atasku. Rambutnya wavy sebahu berwarna pirang seperti pasir pantai. Dengan sedikit kuning dan cokelat. Bentuk wajahnya inverted triangle. Keningnya lebar dengan dagu agak panjang. Hal lain yang kudapati darinya adalah matanya biru. Rahangnya menonjol. Posturnya tinggi dan tidak terlalu berisi. Tatapannya seperti menginterogasi. Aku pun mencoba mengingat apakah punya kenalan sepertinya. Tapi, karena aku jarang mempunyai kenalan terlebih aku baru beberapa minggu di sini, maka aku yakin sekali tidak pernah kenal dengannya.
“Maaf. Sepertinya tidak. Mungkin kau salah mengira aku orang lain.”
Ia ganti meminta maaf. Ia segera undur diri dari hadapanku. Aku pun pergi dari sana.
***
Kevin sedang memotong rumput ketika aku melintas di halaman. Wajahnya masam. Rupanya ia mengomel.
“Hai, Kevin!” Aku ikut berjongkok di sampingnya. “Bagaimana kabarmu hari ini? Sepertinya kau sedang kesal ya?”
“Ada beberapa deadline yang harus kukerjakan hari ini. Tapi, karna sepupu brengsekku itu, semua berantakan!”
“Kenapa? Jon buat ulah?”
“Yep. Mom sedang lembur. Ia mengambil shift malam. Sebenarnya hari ini jatah Jon membantu mom mengurus rumah. Tapi, ia mangkir. Hilang setelah kami sarapan. Aku sudah berusaha mencarinya, tapi percuma saja. Sekarang aku yang harus mengerjakan semuanya. Kau tahu ibuku kan, ia akan ngomel jika pekerjaan rumah tidak beres.”
“Jadi Jon suka kabur?” Aku cekikikan.
Ia menatapku tajam. “Kau tidak berniat membantuku?”
“Sebenarnya aku harus pergi.”
“Baiklah. Pergi saja sana! Jangan buat aku berharap banyak padamu.”
“Jangan merajuk begitu dong, Kev! Lain kali aku pasti membantumu. Aku pergi dulu ya.”
Aku meninggalkan Kevin dan kembali mengambil sepeda. Belum terlalu sore sebelum mom pulang. Aku bergegas ke toko bahan bangunan. Tujuan utamaku adalah membeli cat. Tekadku sudah bulat untuk mendekor ulang kamarku.
Sejak meringkuk di kamar baru aku merasa tak tenang. Terlebih mimpi-mimpi itu menggencarku lebih dari pada biasanya hampir tiap tengah malam. Aku rindu sesuatu yang biasa ada di kamar tidurku. Aku butuh sesuatu yang biasa membuatku lebih tenang dan nyaman. Langit.
***
Toko itu terlihat sepi. Sepertinya akan tutup. Aku bergegas masuk dan langsung menyusuri beberapa lorong rak.
Aku mencari kaleng cat. Ada beberapa merek. Aku memilih salah satu. Jenis akrilik tentu saja. Kuputuskan memilih warna biru dan putih.
Saat aku akan meraih warna biru, seseorang mendahuluiku.Ia tepat berada di belakangku. Aku langsung berjengit. Aku menoleh dan berhadapan dengannya. Ia menatapku dengan wajah dingin. Aku menerka-nerka wajah itu karena merasa pernah melihatnya. Kupikir aku sudah salah orang, tapi ternyata tidak. Aku berbicara dengannya tadi pagi tatkala berada di depan sekolah. Aku terkejut. Sementara, ia masih terdiam dan memandangku lurus. Seperti menyelidik.
“Kau ingat aku?” tanyanya.
“Kupikir begitu. Kau yang tadi pagi kan?” Kini aku sadar tinggiku hanya sampai sebatas pundaknya. Ia lebih menjulang dari pada yang kukira.
“Ya. Kukira kau tidak mengingatku. Kau tinggal dekat sini?”
Aku mengangguk. “Kau juga?”
“Masih beberapa blok lagi dari sini. Sepertinya kita membutuhkan benda yang sama dengan warna yang sama.” Ia menatap kaleng cat warna biru.
“Yep.” Aku pun mengambil kaleng cat putih yang kubutuhkan.
Ia memindahkan kaleng ke tangan kirinya, lalu tangannya yang bebas menunjuk ke tangan kananku. “Boleh kubantu bawakan? Kau keberatan membawanya.”
Aku tidak menolak. “Trims.”
“Kau akan mendekor ulang rumah atau bagaimana?”
“Hanya mengecat kamarku. Aku baru saja pindah. Kau sudah lama tinggal di sini?”
“Baru beberapa tahun. Kau butuh yang lain?”
“Tidak itu saja. Kalau kau?”
“Aku hanya butuh ini. Aku kehabisan warna biru. Kalau begitu ayo pergi dari sini.”
“Ya, sepertinya toko ini sudah mau tutup.”
Kami bersisian melintasi lorong menuju kasir di depan.
“Memangnya apa yang sedang kau kerjakan? Mengecat rumah juga?” tanyaku penasaran padanya.
“Sama. Hanya kamarku. Aku mau membuat laut dan ombak.”
“Kalau begitu kau pandai melukis?”
Ia tersenyum. “Ya.”
“Aku mau membuat langit. Di dinding dan langit-langit kamarku tepatnya.”
“Kalau begitu kau juga bisa melukis?”
“Tidak terlalu mahir. Ibuku tidak suka. Tapi, aku tidak peduli. Hanya saja kamar tanpa langit membuatku tidak nyaman.”
“Mau kubantu?”
“Akan kupikirkan lagi.”
"Gratis kok. Tidak dipungut biaya."
Kami tertawa.
"Menyewa jasa pelukis kan mahal tahu!" kataku saat menoleh kepadanya. Tatapannya padaku begitu tajam, sekaligus hangat. Entahlah, tapi aku tidak bisa mengerti kenapa nyaman-nyaman saja berjalan bersisian begini dengan orang asing seperti dirinya. Sesuatu yang tidak pernah kutemui sebelumnya.
"Koreksi. Bukan membuka jasa pelukis. Aku cuma menawarkan bantuan."
"Trims. Akan kupertimbangkan." Kusunggingkan senyum padanya.
Ia balas tersenyum padaku. Menatapku sejenak. "Manis sekali kau memakai jepit rambut kuning itu."
"Eh..." tiba-tiba mukaku terasa menghangat. "Terima kasih sudah memungutnya tadi pagi untukku, itu sangat berharga." Aku menunduk malu. Berharap wajahku sekarang tidak semerah lobster rebus.
"Sebegitu berharganya ya barang seimut itu?"
Aku mengangguk. "Itu pemberian ayahku."
Kami berjalan terus bersisian sampai hampir mendekati kasir.
“Ngomong-ngomong aku Cloud,” ia menjulurkan telapak tangannya padaku.
Aku terdiam. Entah mengapa seperti tersengat sesuatu di kepalaku ketika mendengar Cloud.
“Kau baik-baik saja?” ia ikut terhenti.
Kini aku ganti menatapnya dan berusaha mencerna apa ada yang salah dengan nama itu. Namun, aku tidak menemukan reaksi apa-apa di dalam pikiranku. Mungkin saja karena namanya yang unik dan aku juga suka awan.
“Maksudmu Cloud seperti awan di langit?”“Begitulah. Kau oke? Terkaget karena namaku?”
“Mungkin. Namamu unik. Aku Summer.”
Kami berjabat tangan lalu kembali ke arah kasir. Cloud membayar dulu. Aku mengantri.
Aku memperhatikan cowok itu dari belakang. Meski ototnya tidak sebesar Jon, tetap saja ia memiliki tubuh ramping yang berbentuk. Terutama lengan tangannya. Rambutnya lebih mengkilat dan indah dibanding rambutku yang kusam. Sejenak aku merasa malu karena aku cewek dan sangat cuek. Lalu memoriku memutar ulang pertemuanku dengannya. Aku mencernanya. Menyimpulkan kalau caranya bercakap selalu dengan nada lugas dan tidak terburu-buru. Terlihat tenang. Ia dingin, namun tidak semenakutkan yang kubayangkan.
“Sum?”
Aku mengerjap.
“Giliranmu!” ia pergi dari hadapanku.
Aku tersadar dan langsung membayar. Sambil menunggu kembalian aku menoleh ke samping. Sekedar memastikan kalau Cloud sudah tidak ada di dekatku. Dan ia memang sudah pergi.
Aku mengambil kembalian. Tanganku menenteng dua kaleng cat menuju pintu. Saat berjalan ke luar kukira sepi, tapi Cloud berbalik menghadapku. Ia menatapku dengan sorot iba.“Kukira kau sudah pergi.”
Ia menghampiriku. “Aku menunggumu. Sepertinya tidak tepat aku meninggalkanmu begitu saja. Kemarikan! Biar kubantu membawanya.”
Aku terperangah. Tapi, tak menolak.
Lagi-lagi ia membantuku. Ia menumpuk dua kaleng punyaku dengan satu miliknya. Lalu membawanya dengan kedua tangan di depan dada.
“Kau naik apa kemari?”
“Sepeda. Aku parkirkan di sana,” aku menunjuk ke depan, “Antar saja sampai sana.”
Ia mengelak. “Tidak. Biar kuantarkan sampai rumah.”
Biasanya aku akan merespon dengan penolakan. Tapi, kali ini aku terkaget sendiri dengan jawaban spontanku. “Bagaimana dengan sepedaku?”
“Akan kunaikkan ke mobilku. Di sana,” ia menunjuk mobilnya yang hanya berjarak sekitar empat meter dari sepedaku, “Tidak akan merepotkan kalau kau akan berkata akan merepotkan. Mobilku tidak jauh.”
“Baiklah.”
Cloud menurunkan kaleng-kaleng cat di aspal dekat mobil. Ia mencari kunci dan membuka pintu mobil. Aku pun menaruhnya di jok belakang. Sementara itu, ia mengangkat sepedaku dan mengaitkannya di belakang mobil. Lalu kami pergi dari sana.
Beberapa meter terlalui. Kami diam sepanjang perjalanan. Diam di dekatnya tidak membuatku canggung. Tenang. Hanya itu. Ia juga tidak repot-repot memaksaku untuk terus mendengarkan atau berbicara. Hanya bunyi suara dari radio yang terdengar. Sesekali aku memberinya intruksi harus berbelok ke arah mana.
“Kau tinggal dengan orang tuamu?” tanyanya tiba-tiba.
“Dengan ibuku.”
“Ayahmu?”
“Sudah meninggal.”
Aku meliriknya. Rahangnya mengeras. Ia tampak tegang. Ia akan berkata sesuatu. Tapi, aku buru-buru menginterupsinya.
“Kau tidak perlu berkata untuk ikut berduka cita. Tidak perlu, sungguh. Aku tidak pernah nyaman mendengarnya. Membuatku merasa kalau ia sudah tidak berbekas lagi.”
Ia menghela nafas. Entah lega atau bagaimana. Ia menyunggingkan senyum. “Aku tahu rasanya. Ayahku juga sudah tidak ada. Dan kau juga tidak perlu berkata begitu.”
“Jadi kita senasib ya?” Aku tersenyum mengejek. Entah padaku atau padanya.
“Yeah,” kini ia tersenyum miring. Lalu ia tertawa.
Aku tertawa.
Mungkin kami menertawakan nasib.
Baru kali ini aku merasa berbeda. Aneh karena bisa sesantai ini berkata tentang hal yang menyakitkan. Merasa ringan tersenyum pada kepedihan.
“Hei! Yang mana rumahmu? Kita sudah dekat kan?”
Aku tersadar kembali dari pikiranku. “Rumahku di seberang truk merah di depan sana,” Kini aku memikirkan kalau Jon sudah pulang. Pasti ia kena omelan.
Aku menatap lekat-lekat rumah Kevin ketika Cloud memarkirkan mobil di depan jalan masuk. Perkiraanku sepertinya meleset kalau Jon sudah kena omelan. Kulihat ia masih ada di belakang kemudi.
Perhatianku teralihkan saat Cloud mematikan mesin mobil dan membuka pintu. Aku menyusulnya. Membuka pintu penumpang lalu segera mengeluarkan kaleng catku dari sana. Sementara itu, Cloud menurunkan sepedaku. Ia menuntunnya melewati halaman.
“Ditaruh di mana?”
“Samping beranda saja,” kataku sembari meletakkan barangku di tangga beranda. Setelah itu aku menghampirinya.
Cloud juga berjalan menghampiriku. Wajahnya masih datar. Ia mengamati wajahku. Kami saling bergeming dalam diam. Ia menatapku begitu dalam. Jantungku berpacu, tapi tatapanku pun terus lekat pada matanya.
Ia menyentuh lembut ubun-ubunku. Lalu perlahan jari telunjuknya turun ke pipiku. Entah mengapa itu tak lagi membuatku takut. Meski begitu ada getaran merambatiku.
”Kau mau apa?” tanyaku lugas.
“Summer Daisy Bower,” gumamnya.
Aku mengerjap. “Apa kau bilang?” Mataku terbelalak menatapnya tak percaya. Sungguh, aku terkejut.
Ia menyebut namaku sekali lagi lebih jelas, “Summer Daisy Bower.”
Aku syok. Terbata-bata meresponnya,“Kau... tahu… namaku?”
“Aku memang pernah mengenalmu.” Ia menatapku tanpa berkedip. “Dulu.”
SummerJuli, 2005“Kau tahu, kau kelihatan berantakan sekali!” suara anak laki-laki di sebelahku menyadarkanku.Aku kembali sadar setelah tertidur cukup lama. Dalam remang aku menyesuaikan pandangan. Aku menoleh ke sumber suara. Anak laki-laki itu sedang mengamatiku. Penasaran. Penuh rasa ingin tahu. Aku balas menatapnya. Lalu membenahi posisi dudukku. Kini kami duduk berhadapan dengan tumit sama-sama terlipat di depan. Kurasa ia beberapa tingkat di atasku.“Apa itu sakit?”Aku bingung. “Apanya yang sakit?”“Itu. Memar di dahimu.”Kedua tanganku yang terikat spontan terangkat menuju dahi. Jari-jariku meraba di sana. Saat menyentuh bagian samping kudapati rasa nyeri yang sangat menusuk. Aku merintih.“Sudah jangan di pegang lagi!” katanya dengan terburu padaku.Aku menurunkan kedua tanganku segera. Ia benar. Itu akan membuatku merasa sakit. Aku meliha
JonJuli, 2015Aku dan Summer menaiki anak tangga. Kali ini ia membiarkanku menuntunnya. Kamar Summer ada di pojok depan atas rumah ini dan berhadapan langsung dengan tangga ke bawah. Aku dan Summer masuk ke dalam. Saat masuk ia tak repot-repot menyalakan lampu karena sepertinya lampu di dalam ruangan ini selalu menyala saat hari mulai gelap. Bahkan kamar ini memiliki tiga jendela. Dua menghadap ke rumahku. Dan satu menghadap ke halaman samping rumahnya yang ditumbuhi rumput dan beberapa pohon besar yang rindang.“Apa kau selalu membiarkan lampu menyala di dalam sini?”“Ya. Saat sore hingga pagi. Aku membiarkan ruangan ini terang, bahkan saat tidur.”“Kenapa? Kau takut gelap?”“Aku merasa tidak nyaman dalam kegelapan,” ia berkata sembari naik ke atas kasur yang berada di pojok dekat jendela samping. Summer berbaring di sana dan menyandarkan kepalanya ke bantalan empuk. Ia menepuk-nepu
JonJuli, 2015Rumah sudah sepi. Pasti semua sudah meringkuk di kamar. Aku mengendap-endap masuk ruang tengah dan memastikan suasana aman. Dengan langkah pelan aku menaiki anak tangga. Sampai di lantai dua aku bergegas menuju kamarku. Pikiranku hanya tertuju pada sesuatu yang ada di laci dalam lemari pakaianku. Aku membukanya dan membolak-balik segala nota, surat penting, dokumen, dan catatan yang ada di sana. Lalu kutemukan benda itu di sela tumpukan kertas paling bawah. Aku segera menyambarnya dan kembali ke rumah Summer.Aku berjalan ke arah rumah Summer tepat saat Rosalie keluar dari mobilnya. Wanita yang gemar di dapur itu, banyak sekali berubah. Tubuhnya lebih kurus dari pada dulu. Rambutnya menjadi lurus dan selalu digulung rapi. Tanpa poni. Dan kini ia berkaca mata. Wanita sama yang sering menyiapkan puding, cookies, dan jus jeruk untukku dan Summer dulu. Aku menemuinya sembari berharap ia bukan penghalang agar aku bisa masuk bertemu Summer m
SummerJuli, 2015Kami duduk di ruang tengah. Aku, Jon, dan mom. Acara utamanya adalah membicarakan tentang aku dan Jon. Takdir yang memisahkan dan mempertemukan kami kembali setelah sekian tahun. Mom yang melankolis sudah dipastikan mengeluarkan air mata.Entah mengapa sehari menjadi waktu yang sangat ajaib buatku. Duniaku, memoriku, diriku, sosok-sosok lama yang kembali hadir, segalanya berputar ulang. Cloud yang mengaku mengenalku, walaupun aku tidak pernah merasa mengenalnya. Dan meski berusaha keras hingga kepalaku sakit, aku tidak menemukan gambaran tentangnya. Belum selesai dengan Cloud, muncul hal mengejutkan tentang Jon. Sosok yang selalu bersamaku dulu, yang tidak pernah bisa kuingat lagi bagaimana wajah atau nama lengkapnya. Kini aku sadar cowok di hadapanku itu adalah Jonathan Finch. Aku langsung ingat ketika melihat selembar foto yang ia sodorkan padaku. Bocah kecil itu adalah dia. Mengenal Jon kembali sama dengan membuka kenangan lama bersama dad. Aku takut mengingat se
SummerJuli, 2015Aku menengok ke luar lewat jendela kamarku yang berhadapan dengan rumah Kevin. Jendela atas rumah itu masih menyala semua. Kevin dan Jon belum tidur. Aku melihat siluet seseorang sedang duduk. Itu pasti Kevin. Sementara, di kamar sebelahnya yang berseberangan dengan kamarku, aku tidak melihat siluet Jon sama sekali. Dalam hati aku bertanya-tanya apa yang ia lakukan. Tiba-tiba sebuah sinar mengagetkanku. Spontan tanganku menutup wajah karena silau. Sinar yang menyorotku itu padam. Aku memincingkan mataku ke arah sebuah suara. Kevin tertawa. Ia bersandar di bingkai jendela sembari membawa sebuah senter.“Kau tidak tidur?” tanyanya setengah teriak.“Aku belum bisa tidur.”“Tapi, sepertinya kau tidak pernah tertidur.”“Apa?” kataku lebih keras.Ia berteriak sedikit lebih lantang dari yang tadi, “Lampu kamarmu selalu menyala!”“Oh... aku tidak pernah mematikannya. Kau tidak tidur?”“Sebentar lagi. Tidurlah, Sum! Ini sudah larut!” katanya penuh perhatian.Aku hanya tersen
SummerJuli, 2015Mereka menjemputku. Mom benar-benar menyuruhku pergi. Aku melangkahkan kaki dengan rasa kesal. Semalam aku tidur sangat larut, pagi-pagi sekali aku mengantar koran, dan sekarang aku hanya ingin tidur. Tapi mom, dengan senyum ceria memberi Jon dan Kevin pesan agar menghubunginya jika sesuatu terjadi padaku. Rupanya ia masih menyimpan rasa trauma dan tetap saja menyimpan sikap protektif itu.Aku sudah berada di dalam jok belakang mobil Jon. Mereka berdua ribut seperti biasanya. Mereka juga memancingku untuk berbicara, sementara aku menjawab seperlunya. Kevin memutar radio, Jon mengganti ke playlist musiknya. Mereka sedikit bertikai lagi, aku hanya geleng-geleng kepala. "Hei, aku belum mendengarkan update berita hari ini tahu!" protes Kevin.Jon berdecak, "Kenapa sih hari libur begini kau tidak bisa sepenuhnya santai?!" Ia memutar kembali playlist-nya."Daftar lagumu itu sungguh membosankan, Jon! Begini saja, karna ini pertama kalinya Sum resmi bergabung, biar dia me
SummerJuli, 2015Orang-orang ini membawaku ke sebuah tempat makan dan minum yang populer di tengah kota. Crossfire. Padat, tapi cukup nyaman. Seperti kota ini yang katanya nyaman dan aman. Interiornya menarik. Klasik dan modern menjadi satu. Wallcover-nya bercorak batu bata. Ruangannya dihiasi dan diterangi oleh lampu downlight yang menawan. Tempat duduknya terdiri dari kursi kayu bulat dengan meja kayu dengan warna cokelat muda. Dinding-dindingnya dihiasi beberapa pigura berisi kolase unik dari gambar pohon dan juga foto-foto Pittsfield hitam putih.“Kau bisa tampil dengan jadwal permanen di sana kalau kau mau, tapi kau harus mendaftar dan diseleksi lebih dulu,” kata Ruby lirih di telingaku sembari menunjuk panggung kecil di dalam yang penuh dengan live sound equipment.“Kecuali rabu malam dan sabtu malam. Kau bisa langsung main untuk kompetisi, tapi kau harus bayar.” sahut Evan tidak mau kalah.Ruby menjelaskan lagi padaku meski aku tidak minta. “Kau akan dapat hadiahnya, kalau men
SummerMaret, 2008Ini tahun ketiga mom masih membawaku ke psikiater. Meskipun masih di Springfield dengan rumah yang berbeda dan jarak yang lebih jauh, ia masih membawaku ke rumah sakit yang sama. Kata mom, di sana adalah tempat aku bisa bercerita tentang semua yang kurasakan sehingga aku bisa lebih tenang. Kupikir seharusnya ia juga melakukan apa yang ia perintahkan padaku, sebab ia terlihat sama tidak okenya denganku sejak dad meninggal.Aku sudah lelah dengan hal itu, namun bagaimanapun aku tidak pernah mau punya niat membantahnya jika yang ia utarakan adalah demi kebaikanku, kebaikan kami bersama. Aku tahu mom ingin aku sembuh sepenuhnya. Tapi, aku tahu kepedihan yang kurasakan akan meninggalkan jejak yang tidak akan pernah bisa dihapus. Kecuali, aku benar-benar terkena amnesia total.Tiga tahun. Dan aku masih belum mampu memaafkan mom sepenuhnya karena sudah ikut andil merubah total hidupku. Baginya, membuang segalanya yang dulu adalah jalan terbaik untuk memulai hidup dan menem
SummerMei 2016Tadinya aku mengira kesempatanku mendatangi pameran Cloud begitu kecil. Mengingat pada awalnya ia berkata tengah menyiapkan pameran untuk musim dingin. Benar, sekali lagi kata Jon, siapa yang bakal datang di cuaca yang gigil. Seorang seniman, demikianlah, selalu punya sisi idealisme yang tinggi, tapi kali ini sepertinya Cloud menyadari tidak selamanya bersikap idealis itu diperlukan. Ada kalanya kita butuh mempertimbangkan kondisi dan saran dari berbagai sudut. Entah apa alasannya pada awalnya ia akan menyenggelarakan agenda pentingnya itu di musim dingin, tapi pada akhirnya acara itu jatuh bertepatan ketika kami, anak-anak Pittsfield, selesai melalui akhir semester.Semester yang penuh cerita dan perjuangan. Dari kepindahan tempat tinggal dan sekolah, pergumulanku dengan mom, kepingan-kepingan masa lalu yang kembali hadir dengan jelas, perjuanganku menjadi lebih tegar, mandiri dan berani, percintaan masa SMA yang mendadak menjajah hati dan pikiranku, teman-teman baik
SummerDesember 2015Mendung masih bergelayut di angkasa. Aku ditemani secangkir kopi hangat di sebuah cafe penuh kenangan. Sendirian. Dulu tempat ini adalah pertama kalinya di mana aku menyadari kehadiran Cloud. Siapa Cloud sebenarnya. Siapa Cloud bagiku. Kini aku tahu artinya untukku.Semenjak cincin itu melekat di jariku, Jon jadi jarang mengajakku ke Lucky or Not, katanya dengan setengah bercanda ia ingin mengenyahkan pikirannya dari para cewek. Aku tahu ia mungkin iri, aku berakhir epik, sementara ia masih berjuang menghadapi kehilangan Roxie di dekatnya. Dan aku senang ia jadi begitu fokus bermain basket sekaligus menyiapkan kelulusan. Aku merindukannya. Tapi, aku lebih merindukan Cloud.Tak masalah bagiku menjalani ini. Ia tengah berjuang di sana. Aku pun demikian di sini. Hanya saja, aku masih berat mengatakan apa yang baru saja terjadi kepada ibuku. Tentang Cloud yang mengikatku dengan cincin ini. Belum, mungkin nanti ketika lambat laun ibuku menyadarinya sendiri, atau saat na
SummerNovember 2015Sore menjelang senja. Dingin mulai menusuk tulang lagi melalui tiupan angin yang menyerempet tubuhku. Ibuku berpesan akan terlambat pulang dan ia sudah menyimpan makan malam untukku untuk dihangatkan lagi. Aku sudah lapar dan bergegas masuk ke dalam rumah.Baru saja aku menyampirkan jaketku ke lengan sofa, terdengar ketukan pintu. Aku pun kembali melangkah ke ruang depan. Kubuka pintu. Membuatku terkejut. Seseorang sedang berdiri di sana membawa sebuah mangkuk."Jon?""Ya ini aku, siapa lagi?" ia masuk saja ke dalam, menerobosku lalu menuju dapur. Meletakkan mangkuk yang dibawanya di meja konter. "Bibi Diana hari ini membuat sup ayam banyak, ia ingin membagikannya ke beberapa tetangga."Tanpa pikir panjang kuambil mangkok kecil dan mulai mengambil sup hangat itu. "Dia baik sekali. Terima kasih.""Tahu sendiri kan, udara mulai membuat menggigil, makan sup hangat sangat bikin nyaman. Bisa melawan flu. Well, bagaimama kabarmu?""Baik. Kau?""Jauh lebih baik dari sebel
SummerNovember 2015"Kau melamarnya?!" Rub tak percaya. Tentu saja, siapa yang akan percaya seorang pria muda mengagumkan sepertinya melamar seorang gadis yang baru akan melepaskan masa SMA-nya dalam hitungan beberapa bulan lagi.“Ya. Karna aku akan pergi sore ini,” kata Cloud tiba-tiba.Aku menatapnya, kaget. Dia tak mengatakan tentang hal itu kemarin.Rub tersambar lagi. Antara tak mengerti dan terkejut. Ia menatap Cloud tak percaya. “Pergi? Maksudmu pergi bagaimana? Ada apa?”“Ini hari terakhirku mengajar di sini. Aku akan kembali lagi ke Springfield.”“Kau mau menyusul ibumu?”“Tidak dan ya. Mr. Shirley merekomendasikanku langsung mengajar di sekolah seni. Itu akan sangat membantu karirku. Dan, ibuku memang sangat ingin aku menangani galerinya.”Ibunya. Aku begitu penasaran dengan sosok ibunya. Wanita yang sepertinya luar biasa. Seorang dosen dan seniman di Berkshire. Cloud belum pernah sekalipun menunjukkan padaku seperti apa nyonya Garret itu, walaupun ia sudah pernah mengajakk
CLOUDNovember 2015Sedari tadi kuperhatikan ia dari balik jendela. Ia memarkirkan sepeda, dan terlihat kerepotan membawa tugas mix media dariku. Rub dengan cepat berlari mendatanginya. Mengatakan sesuatu tanpa henti sambil membantu membawa kanvasnya. Mungkin mengomel pada Summer, tapi Summer nampak lebih diam dan acuh.Ia datang. Masih belum ada satu pun murid masuk, kecuali dia dan Rub. Aku tentu saja segera berlagak menyelesaikan sesuatu di tumpukan kertas. Pura-pura merekap nilai, yang sebenarnya sudah selesai sedari tadi. Konyol bukan.“Di mana bisa kuletakkan ini?” tanyanya langsung.Aku menunjuk meja panjang di sepanjang bingkai jendela. “Di sana.”Ia meletakkan tugas itu di sana. Kulirik sekilas pekerjaan tangannya. Kusunggingkan senyum puas, sebab ia nampak lebih mahir. Ya ampun, demi apa... melihatnya mengenakan dress boho dan jaket denim sambil menenteng kanvasnya, sungguh membuatku berdesir.Sementara Rub menatapku tajam. Berdeham keras. Mencoba menarik perhatianku.Aku men
CLOUDNovember 2015Sudah sebulan dan ia tak lagi memandangku seperti sebelumnya. Aku pun berusaha keras untuk mengabaikan. Sekeras apapun itu, setiap kali ia melewati mejaku di kelas dan keluar menuju kelas lain tanpa menatapku sama sekali, aku ingin lunglai."Sum..." panggilku saat tiap kali ia melewatiku.Ia meninggalkan senyum tipis dan berlalu.Terkadang aku masih menyimpan harap. Saat mengetahui ia berlama-lama bertahan duduk di bangkunya, memilih waktu terakhir sampai semua murid di kelas keluar, baru ia bangkit meninggalkan tempatnya. Aku sadar ia memperhatikanku, berlama-lama. Mungkin menyedot segala kesempatan untuk menatapku, sebelum akhirnya harus berjauhan. Saat aku merekahkan senyumku untuknya, ia malah menunduk dan pergi. Pupus harapku. Selalu seperti itu, kembang kempis.Atau saat ia mengumpulkan tugas-tugasnya dan berlama-lama menunggu responku. Bertanya-tanya sudahkah itu benar, apakah ada yang kurang, bagian mana yang perlu dikoreksi, saat aku mendongak fokus memper
JonSeptember 2015Gadis itu mendadak terhenti. Langkahnya membeku. Sorot mataku mengikuti arah pandangannya di depan, di seberang sudut parkir mobilku. Cloud-nya memeluk seorang perempuan.Saat ini, hanya satu hal yang ingin kulakukan. Menyelamatkannya dari sini. Kuraih pundaknya, dan menuntunnya dengan cepat memasuki jok penumpangAku memutar ke arah pintu kemudi. Sebelum masuk, sekali lagi mengamati Harrison Garret. Dadaku bergemuruh. Tempo hari ia mengirimkan pesan gencatan senjata dan menyuruhku menjaga Summer, tapi kali ini ia membuatku ingin mencekiknya. Apa-apaan kelakuannya itu. Harry menyadari keberadaan kami. Ia melepaskan pelukannya dari cewek di hadapannya itu. Bahasa tubuhnya ingin segera menghambur ke arahku. Tapi, kuacungkan jari tengah padanya. Aku masuk dan membanting pintu menutup. Kuinjak pedal kuat-kuat, mencap gas pergi dari sana."Brengsek!" umpatku.Sorot Summer masih nampak syok. Tertuju ke depan. Memandang kejauhan di depan kaca jendela mobil. Kuyakin pikiran
SummerSeptember 2015Mengambil jeda dan melihat semuanya dengan kepala lebih jernih memang perlu. Membawaku ke titik ini. Setelah gemuruhku lebih terkontrol, tidak ada yang ingin aku lakukan selain mengamankan suasana hati Jon saat ini. Bila yang lalu aku takut menjadi dekat dengannya adalah sebuah kesalahan, kali ini aku merasa itu pengecualian. Aku hanya ingin berperan sebagaimana seorang sobat menghibur hatinya yang pelan-pelan tergores. Dan Jon sendiri, kurasa, tidak menyadari hatinya yang sedang tidak baik-baik saja. Dan itu malah membuatku sedikit bernafas lega. Setidaknya perkataan Ruby waktu itu ada benarnya. Aku bukan inti dari hatinya.Empat puluh lima menit berlalu dari awal kami duduk di Crossfire. Sepuluh menit setelah menyantap menu, aku rasa sudah cukup untuk angkat kaki dari sini. Aku menatap Jon yang sedari tadi berusaha menyembunyikan gelisahnya. Tepat saat ia meneguk kolanya untuk terakhir kali dan pandangan kami bertemu, aku pun mengangguk padanya. Ia menyambut kod
JonSeptember 2015Aku menunggunya setengah jam dari bel waktu pulang berdering. Masih bersandar di pintu mobilku dan mengamati setiap siswa yang keluar dari pintu hall depan sekolah.Roxie melambaikan tangan dari kejauhan. Ia tersenyum simpul, kukira ia akan mendekatiku. Tapi setelahnya, ia melangkah ke arah lain, melambaikan tangan dengan langkah riang ke seorang lain di jalan luar sekolah. Ia masuk ke sebuah suv hitam dengan seorang cowok mengemudi di sampingnya. Entah mengapa aku penasaran dan merasa tak suka melihatnya."Hai..." sapa suara itu di hadapanku. Summer entah sejak kapan sudah ada di sana. Mengikuti pandanganku yang barusan."Kita akan membahas itu atau tidak?""Tidak." jawabku singkat. "Apakah hari ini lancar?"Summer mengangguk. Ia melambaikan dua kertas di hadapanku. A untuk sebuah tes Biologi dan B+ untuk tes agriculture. Aku otomatis membeliak. "Sejak kapan kau ambil mata pelajaran pilihan itu?!""Kau kan tahu aku suka ilmu alam. Ada biologi dan fisika. Dan seper