Summer
Juni, 2015Aku sangat mengantuk. Sekujur tubuhku begitu lemas. Tak mampu sedikit pun melakukan gerak kecil. Lalu tiba-tiba semua gelap. Aku merasa seperti melayang.
Kemudian sedikit demi sedikit tersadar. Kubuka kelopak mataku. Biasanya ketika terbangun dari tidur ada cahaya yang menusuk mataku, atau mungkin bayangan kabur benda-benda di sekeliling kamarku. Tapi, kali ini semua hitam pekat. Aku mulai panik. Kukerjap-kerjapkan kelopakku, tapi nyatanya tetap saja gelap gulita. Aku jadi takut. Tak ada cahaya. Benar-benar gelap. Kucoba memanggil ibuku.
“Mom!” suaraku menggema. Sepertinya ruangan ini luas.
“Mom!” kucoba lagi lebih keras. Aku ingin melihat wajahnya. Aku mulai panik.
Tapi, ibuku tak menampakkan diri. Yang kuterima hanyalah tawa mengejek. Suara laki-laki. Dua, atau mungkin tiga orang. Ketika sebuah sekat ruangan terbuka, cahaya temaram muncul dari sana. Mereka mendatangiku. Aku tak kenal mereka. Aku takut. Ini bukan rumah. Ini di mana?
Aku mulai meracau kalut. Aku merengek. Aku mau pulang. Aku mau ibuku. Aku mau ayahku. Ketika mulutku sudah meraung tak terkendali, sebuah tangan menamparku dengan keras.
“Tutup mulutmu kalau tidak kau akan kuhukum!”
Suaraku menciut. Tangisku terisak sesak. Sementara, mereka keluar kembali dan menutup sekat ruangan rapat-rapat. Kini aku sendiri lagi dan takut. Tapi, aku keliru. Sebuah suara lirih berbicara kepadaku.
“Hei, kau baik-baik saja? Sudah, jangan menangis lagi. Kau tak sendiri.”Suara anak laki-laki itu menuntunku mendekat padanya. Kaki dan tanganku terikat. Dengan susah payah aku bergeser ke arahnya. Aku merasa sedikit lega. Tak sendirian. Aku bersama anak laki-laki itu. Tapi, aku tak mampu melihatnya. Tak tahu bentuk hidung pun warna bola matanya. Ataupun menatap wajahnya. Aku tak tahu siapa dia.
***
Mimpi itu menyerangku lagi. Mimpi yang sama sudah beberapa kali. Aku jadi ragu membedakan itu mimpi atau kenangan nyata. Mimpi yang mengerikan. Peluh membanjiri tubuhku. Aku pun menata kembali nafasku yang memburu. Mimpi itu sungguh melelahkan dan aku masih mengantuk, jadi kuputuskan tidur kembali. Lalu, tak lama kemudian aku terhisap ke dunia mimpi yang lain.
***
Aku tengah bosan menunggu ayahku. Ia berjanji setelah dari bengkel mobil akan menjemputku untuk berenang. Berenang di musim panas. Terdengar sangat menyenangkan. Di tengah waktu menunggu itu aku dikejutkan sesuatu.
“Summer!” suara bocah laki-laki itu memekik riang dari depan rumahku. “Coba tebak aku bawa apa?”
Aku mencoba menerka dan menjadi bersemangat. “Memangnya apa? Pistol mainan?”
Ia menggeleng. Lalu menunjukkan dua telapaknya yang sedari tadi tersembunyi di balik punggung. “Rubik baru! Ini satu untukmu. Satu untukku.
Cemberut di wajahku hilang. Aku berterima kasih padanya. Lalu ia mengajariku cara bermain. Setelahnya kami berlomba menyatukan tiap warna hingga ayahku datang. Aku dan ia juga berlomba berlari menuju ayahku yang ke luar dari mobil. Ia mendahuluiku. Lalu tiba-tiba sebelum aku sampai, seseorang menyambarku. Menjauh dari mereka.
***
Aku terbangun dengan terkesiap lagi. Mimpi yang lain. Juga terulang. Mimpi itu membuat dadaku lebih sesak. Aku bersandar sejenak. Masih terduduk di atas ranjang. Air mataku mengalir begitu saja. Tanpa pernah kumau. Selalu seperti ini, setiap kali bayangan wajah ayahku mampir di sana. Di setiap mimpi mengerikan ketika sampai pada bagian aku dan ayahku berpisah.
Lamunanku terinterupsi oleh ketukan pintu. Suara ibuku menembus ke dalam kamarku. Memintaku cepat bersiap diri dan keluar. Hari ini adalah hari terakhir kami ada di rumah. Selepas itu, kami berdua akan memiliki tempat tinggal baru. Lagi. Ya, kami akan pindah rumah untuk kesekian kalinya. Berharap hidup baru yang semakin membaik. Aku berharap kali ini ibuku jera dan lepas dari kengeriannya sendiri.
***
“Sudah kubilang, biar aku saja yang bereskan, mom!” cegahku sembari mengambil dua tumpukan kardus yang ada di tangan wanita berusia 49 tahun itu. Kularang ia membawa barang pindahan kami ke dalam rumah. Aku tahu ia pasti sangat lelah.
Ia berkacak pinggang, memandangku dengan senyum gigi lebarnya. “Kau putri paling kuat sejagat raya!”
Aku hanya tersenyum simpul mendengar kalimat berlebihannya kemudian masuk ke dalam rumah. Membawa tumpukan kardus terakhir meninggalkan beranda. Benda itu kuletakkan di bawah tangga.
Mataku tertuju pada ibuku yang tengah menenteng kardus pizza. Ia masuk dengan membawa menu makan siang kami beserta tas belanja. Tepat ketika perutku berbunyi. Berontak ingin diberi asupan. Aku menirukan senyum gigi lebarnya tadi. “Kalau begitu kau adalah mom paling pengertian sejagat raya!”
Ia menyentil keningku pelan. “Sudah, makan siang sana!”
Aku pun mengikutinya ke arah dapur dan segera mencuci tangan di wastafel. Setelah itu aku duduk di meja makan minimalis di depan konter. Memperhatikan ibuku yang tengah menuangkan jus jeruk ke dalam dua buah gelas.
“Maaf, mom tidak memasak dulu hari ini,” ia menyerahkan gelasku.Aku menerimanya. “Tidak masalah. Aku bersyukur kita masih bisa makan enak di hari yang melelahkan ini.”
Ia mengelus lembut puncak kepalaku dari seberang. “Aku tahu kau tak pernah buatku kecewa.”
“Karna aku sayang mom.”
“Dan tentu saja kau satu-satunya putri kesayanganku,” ia mengedikkan bahunya, “Memangnya siapa lagi? Anakku kan cuma satu!”
Aku membeliak. “Memangnya mom berharap punya anak berapa? Sebelas?”
“Coba saja begitu, pasti ramai.”
“Sebelas?!”
Ia menatapku sok serius. “Kan kita bisa buat klub sepak bola sendiri.”
“Dengan pelatih seorang wanita?!”
Kami pun tertawa.
Aku dan mom, terutama sejak ayahku tidak ada, hubungan kami semakin akrab. Tidak hanya sebagai anak dan ibu, bahkan teman. Aku suka dengan semangatnya.
Aku sangat senang melihatnya memasak. Kemahiran yang sempurna sebagai seorang wanita. Dan itu sama sekali tidak sepertiku.
Ia berjuang keras untuk hidup kami selepas keterpurukan paling menyakitkan. Ia orang tua tunggal yang merawatku tanpa cela.
Ia mengantar dan menjemputku setiap pulang sekolah, hampir tak pernah terlambat. Ia berkata bahwa aku tidak perlu berangkat sendiri atau naik bis sekolah. Aku hampir tidak pernah menolaknya, kecuali aku ingin bersepeda.
Ia sangat protektif, namun aku mulai nakal. Jadi, bersepeda pulang ke rumah tepat waktu adalah pengecualian yang kudapat dengan negosiasi rumit setahun yang lalu. Ia tidak bisa terus mengukungku, meskipun aku tidak keberatan selalu menuruti peraturannya. Aku bicara padanya kalau aku butuh udara bebas untuk menyegarkan diri. Ia menyuruhku ikut klub olah raga agar aku tetap bugar dan kuat, namun aku tidak menyukainya. Hanya sepeda yang aku suka saat ini, jadi ia tak bisa menolakku.
Masih dalam libur musim panas. Dengan suhu tinggi dan kegiatan berat membereskan rumah baru, kalori yang terbakar sangat banyak. Aku pun melahap pizza itu hingga habis, lalu bergegas membongkar barang siang ini. Siang yang terang di musim panas. Terang yang melelahkan dan aku sudah merindukan malam ketika aku bisa meringkuk tenang di atas kasurku.
Rumah baru. Hari baru. Begitulah setiap selang beberapa tahun sejak aku kelas tiga. Sejak mom bekerja kembali di perusahaan lamanya. Tapi, itu artinya aku harus menerima kenyataan kalau kami harus siap-siap sering pindah dari kota ke kota karena penugasannya. Awalnya itu berat bagiku. Imbasnya aku tidak punya kawan dengan hubungan sangat erat. Tidak sama sekali. Pergaulanku berganti-ganti seolah itu musim. Namun, suasana yang berbeda-beda setiap beberapa waktu menjadikan diriku terbiasa menikmatinya.
Melihat mom yang bekerja keras, kali ini aku ingin meringankan bebannya. Setidaknya aku berusaha tidak menyusahkannya. Terbersit keinginan bekerja paruh waktu, tanpa mengesampingkan sekolahku.
Kemampuan akademikku memang tidak secemerlang murid-murid pengikut kompetisi cerdas cermat. Tapi, aku selalu berusaha untuk mempertahankan posisiku ada dalam lima besar di kelas. Kata mom itu cukup untuk membuatnya bahagia.
Aku berusaha keras mengerjakan pekerjaan rumah untuk kami berdua, kecuali memasak. Jika pekerjaan rumah beres, maka kecantikannya akan bertambah karena rautnya berbinar-binar.
Namun sekarang, itu tidak cukup untuk menghibur kegelisahannya. Karena akhir-akhir ini kami membutuhkan banyak biaya untuk berbagai tagihan dan rumah baru ini. Ia berkata padaku bahwa ia sudah mulai lelah. Ia ingin hidup di satu tempat dengan nyaman. Rumah yang sebenarnya. Namun, itu malah menguras tabungannya. Maka, bulatlah tekadku untuk membereskan masalah uang jajan. Di sela-sela menata perabot di ruang tengah aku memutuskan membicarakan hal itu padanya.
“Mom, ada yang ingin kubicarakan.”
Ia masih sibuk menata beberapa pigura ketika menjawab, “Ada apa?”
“Aku berencana untuk mencari kerja paruh waktu.”
Ia melotot. “Kau serius? Kau yakin? Jangan konyol, Sum! Jangan bercanda denganku sekarang!”
“Aku serius mom! Aku tahu kita butuh banyak biaya. Kalau aku punya pemasukan sendiri, setidaknya aku tidak perlu lagi menerima uang jajan darimu. Aku bisa menabung dengan uangku sendiri.”
“Sayang, apa uang jajanmu kurang?” ia menatapku lembut.
“Cukup kok. Lebih dari cukup malah. Maksudku aku tidak ingin menjadi beban bagimu terus-menerus. Aku bisa membeli keperluanku sendiri.”
Ia berjalan ke arahku. Memelukku erat dan singkat. Menatapku lekat. “Kau tidak perlu melakukannya. Itu kewajibanku.”
“Mom! Ayolah...” protesku padanya.
Ia menggeleng.
“Kenapa?”
“Aku bilang, kau tidak perlu melakukannya.”
“Mom, ijinkan aku melakukannya, please?”
Lagi-lagi ia menggeleng.
“Kenapa tidak? Jelaskan padaku!”
“Aku tidak yakin itu akan baik bagimu. Aku hanya memintamu untuk belajar dengan baik.”
Mom terlalu banyak memberi aturan. Tapi, untuk yang satu ini, yang bahkan bermaksud baik, ia juga tak ijinkan. Aku sangat kesal.
“Mom! Anak seusiaku... mereka baik-baik saja dengan hal itu. Apa salah jika aku mau belajar mandiri? Aku ingin semua berjalan normal seperti mereka.”
“Kau normal, Sum.”
“Tidak! Aku tidak normal seperti mereka!”
“Kau normal!”
“Normal seperti apa? Hidup hanya berdua? Tanpa saudara? Berpindah-pindah tempat? Tidak melakukan apapun selain sekolah? Aku ingin melakukan kegiatan yang kusukai, tapi kau malah menyuruhku melakukan hal yang kau mau... Seperti klub olah raga misalnya. Sudah cukup, mom! Aku tidak mau lagi. Kau bahkan tidak mengijinkanku keluar rumah terlalu jauh! Aku harus apa lagi?”
“Sum! Kau tidak mengerti, ini semua demi...”
Aku memotongnya, “Mom! Cukup. Hentikan!”
Aku menjauh darinya. “Bahkan aku tidak punya ayah lagi!” Air mataku pun tumpah dalam keheningan.
Mom terpukul.
Lalu aku merasa bimbang. Aku merasa bersalah, namun juga bersikeras dengan suara yang bergema di kepalaku. Tapi, kali ini aku memang bebal.
“Aku tidak masalah dengan sendiri. Segalanya, bahkan ketika kau harus bekerja. Aku menuruti peraturanmu di rumah. Aku tidak keberatan untuk tidak mengakses media sosial bahkan ketika aku tidak memiliki banyak teman. Aku selalu pulang tepat waktu, aku jarang keluyuran. Tapi please, ijinkan aku melakukan apa yang kumau.”
Ia terlihat ragu sejenak. Namun, ia kembali maju menghampiriku. Ia menyentuh helai rambutku yang jatuh di pipi. Menyingkirkannya perlahan ke balik telingaku. Ia memandangku sejenak. Pandangan yang mencairkan keras kepalaku, “Aku minta maaf, Sum. Aku hanya ingin kau baik-baik saja. Bukan maksudku untuk kolot. Tolong, percayalah padaku.”
“Tapi, ijinkan aku melakukan apa yang kumau. Kali ini saja, mom... Please?”
Ia menghela nafas. Ia memandangku lama, lalu berkata, “Oke.” Ia tersenyum, namun dahinya masih mengerut, “Aku harap kau selalu baik-baik saja.”
“Aku bisa jaga diriku baik-baik, mom. Tenang saja!” kataku mencoba meyakinkannya.
Ia tersenyum lagi. Memandangku lebih dalam, “Jadi, kau sudah mulai dewasa ya?”
Aku memutar bola mataku. “Aku remaja, mom! SMA!”
Ia geleng-geleng. “Tidak. Kau selalu saja lebih dewasa dari umurmu. Pemahamanmu. Seperti itu. Seperti ayahmu,” ia tersenyum, namun matanya mulai berair.
“Mom?” kataku khawatir.
Ia menahannya, tersenyum kembali padaku. “Lihatlah! Anakku sudah mulai dewasa. Di mana pun ia sekarang, ayahmu pasti selalu bangga padamu.”
“Aku harap begitu.”
“Oh ayolah... tentu saja ia bangga padamu ! Kau adalah kebanggaannya, begitulah katanya padaku. Setiap kali pulang ke rumah, hal pertama yang ditanyakannya adalah dirimu. Aku selalu melaporkan perkembanganmu. Bagaimana pertama kau bisa membaca dan berhitung. Kau sangat cepat belajar mengayuh sepeda. Kau tidak berhenti belajar sesuatu yang kau mau hingga kau bisa. Sama sepertinya.”
Aku pun memeluknya. Bicara tentang laki-laki itu selalu membuat kami rapuh.
Saat itu pelukan kami terinterupsi oleh bel rumah yang tiba-tiba berbunyi. Dan aku merasa sangat lega. Setidaknya, bunyi nyaring itu menyelamatkan kami dari tangisan.
“Kita baru di sini dan kita sudah punya tamu?” tanyaku tak percaya.
Ia mengedikkan bahu. “Sepertinya begitu.”
“Well, biar kulihat siapa tamu pertama kita kali ini,” kataku sembari berjalan ke arah pintu depan.
“Duduklah, Sum. Makan! Biar aku yang lihat.”
“Tidak, mom! Kau yang duduk dan makan. Aku tahu kau lelah.”
Ia menghela nafas. “Baiklah.”
Aku pun mencari tahu siapa yang datang. Sangat penasaran.
JonJuni, 2015Aku mengerang. ”Ada apa lagi, bibi?” kataku setelah menghampirinya ke dapur.Bibiku berdecak karena mengetahui responku.Aku tidak bisa mengelak dari panggilannya ketika ia melihatku melintasi ruangan itu. Sepertinya hari ini akan menjadi hari bebas yang tidak santai lagi untukku.Ia berkacak pinggang padaku. “Bisakah kau hilangkan nada mengeluhmu itu? Kau tahu, kau bertambah tampan kalau saja kau bersikap semanis biasanya. Aku tahu ini hari liburmu Jon… tapi, sepertinya aku membutuhkan banyak bantuanmu.”Aku menghela nafas berat. Seperti tikus yang terlanjur masuk dalam jebakan. “Oke, baiklaaah….”Ia geleng-geleng kepala. Lalu meringis, “Jangan buat aku merasa bersalah, please? Apa kau tidak iba sedikit pun dengan satu-satunya wanita yang tinggal di rumah ini dan harus memastikan semuanya beres sendirian?"Aku menghela nafas dan tersenyum. Luluh.
SummerJuni, 2015“Apa kita benar-benar harus datang?”Ibuku mengangguk. “Segeralah berganti pakaian yang pantas! Jangan mengecewakan. Dia tetangga yang baik sekali. Jangan buat mom malu.”Aku merengek padanya. “Mom, bisakah aku di rumah saja, please?”“Tidak, Summy sayang. Kau harus ikut. Lagi pula kau satu-satunya anggota keluargaku, masa aku pergi sendirian?”Aku menghela nafas panjang. “Baiklah... baiklah...” berat hati harus ikut.Ibuku tersenyum dan mencium keningku. “Cepatlah! Aku tunggu kau di bawah.”Aku segera membuka lemari pakaianku. Melihat-lihat apakah ada dress yang tidak berlebihan dan pantas untuk kugunakan untuk malam ini. Tapi, aku mulai pusing mencari dan memilih mengenakan setelan favoritku. Celana jeans gelap dan kemeja berwarna gelap pula, plus sneakers. Masa bodoh! pikirku.Aku sangat lelah dan ingin sekali berdiam d
JonJuni, 2015“Jadi Summer, kau akan sekolah di tempat kami ya?” tanyaku padanya sembari melihat cewek itu dari kaca spion tengah.Kesunyiannya di belakang membuatku jengah. Dan fakta bahwa hanya Kevin yang banyak bicara dari tadi membuatku bosan.“Yeah, mom mendaftarkanku di sana.”Sebelum aku merespon jawabannya, lagi-lagi Kevin mendahuluiku berbicara dan mulai cerewet lagi.“Please Sum, jangan jadi murid yang menyebalkan seperti Jon dan kawan-kawannya nanti, oke?”Oh! Dia yang mulai menyebalkan seperti biasanya!Kulihat dahi Summer berkerut. Ia tampak geli sekaligus waspada. Ia selalu terlihat curiga.“Aku memang tidak berniat menjadi murid menyebalkan. Memangnya dia dan teman-temannya kenapa?”Aku pun cepat-cepat memotong Kevin yang baru akan berbicara. “Jangan dengarkan dia, Sum! Dia itu sinting!”Kevin menatap tajam padaku. Aku pun
JonJuni, 2015“Summer?” panggilku cemas ketika ia mulai sadar.Ia membuka kedua matanya perlahan. Summer mulai sadarkan diri dan terduduk di sofa.“Kau baik-baik saja?”“Apa kau pusing?” tanya Kevin mendekatinya, “Minumlah!” ia menyerahkan segelas air pada cewek itu.“Aku di mana?” tanyanya dengan raut menelisik. Mulai waspada.“Kau di rumah. Minumlah dulu,” saranku padanya.Summer segera meminum air yang diberikan Kevin. Ia meletakkan gelas yang sudah kosong itu di atas meja di hadapannya. “Apa yang terjadi?”“Entahlah, tiba-tiba saja kau pingsan sewaktu kita di danau. Lalu kami membawamu pulang,” jelasku padanya.Ia terkesiap. Sepertinya ia mulai sadar. “Maafkan aku.” Ia mulai menampakkan sorot menyesalnya. “Aku sudah merepotkan kalian. Apa kalian memberi tahu ibuku? Bagaimana kalian bis
SummerJuli, 2015Ruangan ini terlihat asing. Kotor. Terbengkalai seperti tempat yang lama ditinggalkan. Ada sebuah meja di tengah ruangan dan beberapa kursi berserakan. Di sana ada dua lelaki sedang berbicara. Mereka berdiri di dekat jendela yang setengah dibuka. Dari situ aku tahu hari mulai terang. Aku baru terbangun dan menyadari aku tidak sedang berada di rumah.Spontan telapak tanganku terangkat untuk menutup mulut ketika menguap. Tapi, tanganku berada di depan dan tak bisa digerakkan. Kedua tanganku terikat menjadi satu. Aku menggerak-gerakkannya mencoba melepaskan tali itu, tapi tidak bisa.Seseorang di dekat jendela tertawa. Sementara itu, aku mulai kedinginan dan takut. Aku hanya mengenakan kaus dan rok selutut. Dan aku lapar. Aku ingin ayahku. Aku ingin ibuku.“Aku mau pulang,” aku mulai merengek.“Diamlah!” suara keras itu meneriakiku.Tangisku bertambah hebat.“Tenanglah! K
SummerJuli, 2005“Kau tahu, kau kelihatan berantakan sekali!” suara anak laki-laki di sebelahku menyadarkanku.Aku kembali sadar setelah tertidur cukup lama. Dalam remang aku menyesuaikan pandangan. Aku menoleh ke sumber suara. Anak laki-laki itu sedang mengamatiku. Penasaran. Penuh rasa ingin tahu. Aku balas menatapnya. Lalu membenahi posisi dudukku. Kini kami duduk berhadapan dengan tumit sama-sama terlipat di depan. Kurasa ia beberapa tingkat di atasku.“Apa itu sakit?”Aku bingung. “Apanya yang sakit?”“Itu. Memar di dahimu.”Kedua tanganku yang terikat spontan terangkat menuju dahi. Jari-jariku meraba di sana. Saat menyentuh bagian samping kudapati rasa nyeri yang sangat menusuk. Aku merintih.“Sudah jangan di pegang lagi!” katanya dengan terburu padaku.Aku menurunkan kedua tanganku segera. Ia benar. Itu akan membuatku merasa sakit. Aku meliha
JonJuli, 2015Aku dan Summer menaiki anak tangga. Kali ini ia membiarkanku menuntunnya. Kamar Summer ada di pojok depan atas rumah ini dan berhadapan langsung dengan tangga ke bawah. Aku dan Summer masuk ke dalam. Saat masuk ia tak repot-repot menyalakan lampu karena sepertinya lampu di dalam ruangan ini selalu menyala saat hari mulai gelap. Bahkan kamar ini memiliki tiga jendela. Dua menghadap ke rumahku. Dan satu menghadap ke halaman samping rumahnya yang ditumbuhi rumput dan beberapa pohon besar yang rindang.“Apa kau selalu membiarkan lampu menyala di dalam sini?”“Ya. Saat sore hingga pagi. Aku membiarkan ruangan ini terang, bahkan saat tidur.”“Kenapa? Kau takut gelap?”“Aku merasa tidak nyaman dalam kegelapan,” ia berkata sembari naik ke atas kasur yang berada di pojok dekat jendela samping. Summer berbaring di sana dan menyandarkan kepalanya ke bantalan empuk. Ia menepuk-nepu
JonJuli, 2015Rumah sudah sepi. Pasti semua sudah meringkuk di kamar. Aku mengendap-endap masuk ruang tengah dan memastikan suasana aman. Dengan langkah pelan aku menaiki anak tangga. Sampai di lantai dua aku bergegas menuju kamarku. Pikiranku hanya tertuju pada sesuatu yang ada di laci dalam lemari pakaianku. Aku membukanya dan membolak-balik segala nota, surat penting, dokumen, dan catatan yang ada di sana. Lalu kutemukan benda itu di sela tumpukan kertas paling bawah. Aku segera menyambarnya dan kembali ke rumah Summer.Aku berjalan ke arah rumah Summer tepat saat Rosalie keluar dari mobilnya. Wanita yang gemar di dapur itu, banyak sekali berubah. Tubuhnya lebih kurus dari pada dulu. Rambutnya menjadi lurus dan selalu digulung rapi. Tanpa poni. Dan kini ia berkaca mata. Wanita sama yang sering menyiapkan puding, cookies, dan jus jeruk untukku dan Summer dulu. Aku menemuinya sembari berharap ia bukan penghalang agar aku bisa masuk bertemu Summer m
SummerMei 2016Tadinya aku mengira kesempatanku mendatangi pameran Cloud begitu kecil. Mengingat pada awalnya ia berkata tengah menyiapkan pameran untuk musim dingin. Benar, sekali lagi kata Jon, siapa yang bakal datang di cuaca yang gigil. Seorang seniman, demikianlah, selalu punya sisi idealisme yang tinggi, tapi kali ini sepertinya Cloud menyadari tidak selamanya bersikap idealis itu diperlukan. Ada kalanya kita butuh mempertimbangkan kondisi dan saran dari berbagai sudut. Entah apa alasannya pada awalnya ia akan menyenggelarakan agenda pentingnya itu di musim dingin, tapi pada akhirnya acara itu jatuh bertepatan ketika kami, anak-anak Pittsfield, selesai melalui akhir semester.Semester yang penuh cerita dan perjuangan. Dari kepindahan tempat tinggal dan sekolah, pergumulanku dengan mom, kepingan-kepingan masa lalu yang kembali hadir dengan jelas, perjuanganku menjadi lebih tegar, mandiri dan berani, percintaan masa SMA yang mendadak menjajah hati dan pikiranku, teman-teman baik
SummerDesember 2015Mendung masih bergelayut di angkasa. Aku ditemani secangkir kopi hangat di sebuah cafe penuh kenangan. Sendirian. Dulu tempat ini adalah pertama kalinya di mana aku menyadari kehadiran Cloud. Siapa Cloud sebenarnya. Siapa Cloud bagiku. Kini aku tahu artinya untukku.Semenjak cincin itu melekat di jariku, Jon jadi jarang mengajakku ke Lucky or Not, katanya dengan setengah bercanda ia ingin mengenyahkan pikirannya dari para cewek. Aku tahu ia mungkin iri, aku berakhir epik, sementara ia masih berjuang menghadapi kehilangan Roxie di dekatnya. Dan aku senang ia jadi begitu fokus bermain basket sekaligus menyiapkan kelulusan. Aku merindukannya. Tapi, aku lebih merindukan Cloud.Tak masalah bagiku menjalani ini. Ia tengah berjuang di sana. Aku pun demikian di sini. Hanya saja, aku masih berat mengatakan apa yang baru saja terjadi kepada ibuku. Tentang Cloud yang mengikatku dengan cincin ini. Belum, mungkin nanti ketika lambat laun ibuku menyadarinya sendiri, atau saat na
SummerNovember 2015Sore menjelang senja. Dingin mulai menusuk tulang lagi melalui tiupan angin yang menyerempet tubuhku. Ibuku berpesan akan terlambat pulang dan ia sudah menyimpan makan malam untukku untuk dihangatkan lagi. Aku sudah lapar dan bergegas masuk ke dalam rumah.Baru saja aku menyampirkan jaketku ke lengan sofa, terdengar ketukan pintu. Aku pun kembali melangkah ke ruang depan. Kubuka pintu. Membuatku terkejut. Seseorang sedang berdiri di sana membawa sebuah mangkuk."Jon?""Ya ini aku, siapa lagi?" ia masuk saja ke dalam, menerobosku lalu menuju dapur. Meletakkan mangkuk yang dibawanya di meja konter. "Bibi Diana hari ini membuat sup ayam banyak, ia ingin membagikannya ke beberapa tetangga."Tanpa pikir panjang kuambil mangkok kecil dan mulai mengambil sup hangat itu. "Dia baik sekali. Terima kasih.""Tahu sendiri kan, udara mulai membuat menggigil, makan sup hangat sangat bikin nyaman. Bisa melawan flu. Well, bagaimama kabarmu?""Baik. Kau?""Jauh lebih baik dari sebel
SummerNovember 2015"Kau melamarnya?!" Rub tak percaya. Tentu saja, siapa yang akan percaya seorang pria muda mengagumkan sepertinya melamar seorang gadis yang baru akan melepaskan masa SMA-nya dalam hitungan beberapa bulan lagi.“Ya. Karna aku akan pergi sore ini,” kata Cloud tiba-tiba.Aku menatapnya, kaget. Dia tak mengatakan tentang hal itu kemarin.Rub tersambar lagi. Antara tak mengerti dan terkejut. Ia menatap Cloud tak percaya. “Pergi? Maksudmu pergi bagaimana? Ada apa?”“Ini hari terakhirku mengajar di sini. Aku akan kembali lagi ke Springfield.”“Kau mau menyusul ibumu?”“Tidak dan ya. Mr. Shirley merekomendasikanku langsung mengajar di sekolah seni. Itu akan sangat membantu karirku. Dan, ibuku memang sangat ingin aku menangani galerinya.”Ibunya. Aku begitu penasaran dengan sosok ibunya. Wanita yang sepertinya luar biasa. Seorang dosen dan seniman di Berkshire. Cloud belum pernah sekalipun menunjukkan padaku seperti apa nyonya Garret itu, walaupun ia sudah pernah mengajakk
CLOUDNovember 2015Sedari tadi kuperhatikan ia dari balik jendela. Ia memarkirkan sepeda, dan terlihat kerepotan membawa tugas mix media dariku. Rub dengan cepat berlari mendatanginya. Mengatakan sesuatu tanpa henti sambil membantu membawa kanvasnya. Mungkin mengomel pada Summer, tapi Summer nampak lebih diam dan acuh.Ia datang. Masih belum ada satu pun murid masuk, kecuali dia dan Rub. Aku tentu saja segera berlagak menyelesaikan sesuatu di tumpukan kertas. Pura-pura merekap nilai, yang sebenarnya sudah selesai sedari tadi. Konyol bukan.“Di mana bisa kuletakkan ini?” tanyanya langsung.Aku menunjuk meja panjang di sepanjang bingkai jendela. “Di sana.”Ia meletakkan tugas itu di sana. Kulirik sekilas pekerjaan tangannya. Kusunggingkan senyum puas, sebab ia nampak lebih mahir. Ya ampun, demi apa... melihatnya mengenakan dress boho dan jaket denim sambil menenteng kanvasnya, sungguh membuatku berdesir.Sementara Rub menatapku tajam. Berdeham keras. Mencoba menarik perhatianku.Aku men
CLOUDNovember 2015Sudah sebulan dan ia tak lagi memandangku seperti sebelumnya. Aku pun berusaha keras untuk mengabaikan. Sekeras apapun itu, setiap kali ia melewati mejaku di kelas dan keluar menuju kelas lain tanpa menatapku sama sekali, aku ingin lunglai."Sum..." panggilku saat tiap kali ia melewatiku.Ia meninggalkan senyum tipis dan berlalu.Terkadang aku masih menyimpan harap. Saat mengetahui ia berlama-lama bertahan duduk di bangkunya, memilih waktu terakhir sampai semua murid di kelas keluar, baru ia bangkit meninggalkan tempatnya. Aku sadar ia memperhatikanku, berlama-lama. Mungkin menyedot segala kesempatan untuk menatapku, sebelum akhirnya harus berjauhan. Saat aku merekahkan senyumku untuknya, ia malah menunduk dan pergi. Pupus harapku. Selalu seperti itu, kembang kempis.Atau saat ia mengumpulkan tugas-tugasnya dan berlama-lama menunggu responku. Bertanya-tanya sudahkah itu benar, apakah ada yang kurang, bagian mana yang perlu dikoreksi, saat aku mendongak fokus memper
JonSeptember 2015Gadis itu mendadak terhenti. Langkahnya membeku. Sorot mataku mengikuti arah pandangannya di depan, di seberang sudut parkir mobilku. Cloud-nya memeluk seorang perempuan.Saat ini, hanya satu hal yang ingin kulakukan. Menyelamatkannya dari sini. Kuraih pundaknya, dan menuntunnya dengan cepat memasuki jok penumpangAku memutar ke arah pintu kemudi. Sebelum masuk, sekali lagi mengamati Harrison Garret. Dadaku bergemuruh. Tempo hari ia mengirimkan pesan gencatan senjata dan menyuruhku menjaga Summer, tapi kali ini ia membuatku ingin mencekiknya. Apa-apaan kelakuannya itu. Harry menyadari keberadaan kami. Ia melepaskan pelukannya dari cewek di hadapannya itu. Bahasa tubuhnya ingin segera menghambur ke arahku. Tapi, kuacungkan jari tengah padanya. Aku masuk dan membanting pintu menutup. Kuinjak pedal kuat-kuat, mencap gas pergi dari sana."Brengsek!" umpatku.Sorot Summer masih nampak syok. Tertuju ke depan. Memandang kejauhan di depan kaca jendela mobil. Kuyakin pikiran
SummerSeptember 2015Mengambil jeda dan melihat semuanya dengan kepala lebih jernih memang perlu. Membawaku ke titik ini. Setelah gemuruhku lebih terkontrol, tidak ada yang ingin aku lakukan selain mengamankan suasana hati Jon saat ini. Bila yang lalu aku takut menjadi dekat dengannya adalah sebuah kesalahan, kali ini aku merasa itu pengecualian. Aku hanya ingin berperan sebagaimana seorang sobat menghibur hatinya yang pelan-pelan tergores. Dan Jon sendiri, kurasa, tidak menyadari hatinya yang sedang tidak baik-baik saja. Dan itu malah membuatku sedikit bernafas lega. Setidaknya perkataan Ruby waktu itu ada benarnya. Aku bukan inti dari hatinya.Empat puluh lima menit berlalu dari awal kami duduk di Crossfire. Sepuluh menit setelah menyantap menu, aku rasa sudah cukup untuk angkat kaki dari sini. Aku menatap Jon yang sedari tadi berusaha menyembunyikan gelisahnya. Tepat saat ia meneguk kolanya untuk terakhir kali dan pandangan kami bertemu, aku pun mengangguk padanya. Ia menyambut kod
JonSeptember 2015Aku menunggunya setengah jam dari bel waktu pulang berdering. Masih bersandar di pintu mobilku dan mengamati setiap siswa yang keluar dari pintu hall depan sekolah.Roxie melambaikan tangan dari kejauhan. Ia tersenyum simpul, kukira ia akan mendekatiku. Tapi setelahnya, ia melangkah ke arah lain, melambaikan tangan dengan langkah riang ke seorang lain di jalan luar sekolah. Ia masuk ke sebuah suv hitam dengan seorang cowok mengemudi di sampingnya. Entah mengapa aku penasaran dan merasa tak suka melihatnya."Hai..." sapa suara itu di hadapanku. Summer entah sejak kapan sudah ada di sana. Mengikuti pandanganku yang barusan."Kita akan membahas itu atau tidak?""Tidak." jawabku singkat. "Apakah hari ini lancar?"Summer mengangguk. Ia melambaikan dua kertas di hadapanku. A untuk sebuah tes Biologi dan B+ untuk tes agriculture. Aku otomatis membeliak. "Sejak kapan kau ambil mata pelajaran pilihan itu?!""Kau kan tahu aku suka ilmu alam. Ada biologi dan fisika. Dan seper