"Tunggu."
Ares menghampiri Kian yang hampir sampai di depan pintu. Pemuda itu tersenyum, swsuatu yang tak pernah Kian lihat. Gadis itu bahkan sampai melongo melihatnya. Suasana hatinya yang kesal tiba-tiba berubah melihat senyum menenangkan itu.
"Kita akan bertemu lagi besok," ujarnya sambil mengacak rambut Kian. "Udah sana pergi!"
Tanpa banyak bicara gadis itu pun melangkah keluar. Dari tadi dia hanya melongo mendapatkan perlakuan seperti itu.
"Kita perlu bicara, ikut gue!" ujar Ares pada Reza, setelah suara motor Kian yang meninggalkan rumah ini terdengar.Satu-persatu anak tangga kini Ares naiki, hingga kakinya berhenti di depan sebuah papan bercat putih. Didorongnya papan itu setelah tangan memutar knop pintu.Ares terdiam setelah pintu terbuka, matanya menatap Reza yang saat itu juga tengah menatapnya. Dengan isyarat mata, pemuda itu menyuruh sang sahabat untuk masuk.Reza menatap nyalang ke arah Ares, sebelum kakinya melangkah masuk, melewati pemuda itu.Pintu tertutup, dan tanpa aba-aba Ares memukul pipi pemuda berambut sebahu yang masih nenatapnya nyalang. Reza yang tak menduga itu, tak sempat menghindar dan pukulan itu membuatnya tersungkur ke lantai."Sial," umpat Reza, kembali menatap nyalang ke arah Ares."Bangun lo, Za!"Merasa tertantang, Reza kembali berdiri dan memukul perut Ares hingga pemuda itu terpukul mundur."Lo nantangin gue, ha?!"Reza kembali memukul Ares dan menendangnya."Lo udah ngingkarin kesepakatan yang kita buat!" bentak Reza. Dada pemuda itu naik turun, kemarahannya tak terbendung lagi. Dengan brutal dia terus menyerang Ares. Sedangkan Ares, pemuda itu hanya nembendung serangan Reza yang bertubi-tubi itu. Beberapa kali serangan Reza mengenai dirinya, tetapi dia tak berniat membalas serangan itu."Kenapa lo hanya bertahan?! Pukul gue, banci!"Ares memukul rahang Reza, lalu menendang perutnya hingga Reza terpukul mundur, terjatuh menabrak meja di belakangnya, dan barang-barang di meja tersebut berjatuhan ke lantai."Huh, pemanasan yang lumayan menguras tenaga," ujar Ares sambil memegang perutnya. Pemuda itu terbatuk-batuk, tetapi senyuman remeh tak hilang dari wajahnya."Mau lo apa sebenarnya, Res?!" Ares hanya diam menatap Reza. "Lo kan yang ngirim bangkai ayam yang penuh darah itu ke nyokap gue?! Iya, kan?!""Bangkai ayam?"Bibir atas Reza terangkat, gigi bertubrukan satu sama lain, lalu berkata, "Jangan pura-pura gak tau, hanya lo yang tau kalau depresi nyokap gue bakal kambuh kalau liat bangkai ayam seperti itu."Lagi-lagi Ares hanya diam."Kenapa lo diam, Res? Apa yang gue bilang itu bener, ha?!" Reza kembali berdiri, melangkah mendekati Ares. "Apa yang lo inginkan, gak cukupkah gue jadi kacung lo di depan semua orang?""Itu hanya bunganya," jawab Ares tenang.Reza melangkah mundur, lalu dia tertawa keras. Setelah cukup lama, tawa itu berubah menjadi jeritan."Akh." Reza menjambak rambutnya dengan frustasi, raut wajahnya berubah menjadi sendu."Gue tau, gue sangat buruk. Tapi lo gak berhak!""Gue hanya membantu mengurangi beban lo." Sudut bibir Ares terangkat, namun matanya menatap tajam."Tapi ini di luar kesepakatan,""Lo pikir begitu?""Akh, gue gak mau mati sekarang!"Ares menyeringai, dia melangkah mendekat ke arah Reza, lalu memutari tubuh pemuda itu dengan perlahan. Dengan gerakan tiba-tiba Ares mengunci leher Reza dengan lengan kanannya dari belakang.Reza meronta-ronta, memukul tangan yang mengunci lehernya dengan sekeras mungkin. Namun, kuncian itu tidak lepas, malah semakin mengerat, hingga Reza kesulitan untuk bernapas."Le-pa-sin gu-e, breng-sek!""Sepertinya lo belum mengenal gue dengan baik, Za. Dan lo harus mendapat hukumannya." Ares semakin mengeratkan kunciannya. Hingga membuat Reza hampir meregang nyawa karena kehabisan napas."Res, le-pas!" mohon pemuda itu, rasanya ia benar-benar akan mati sekarang ini."Cih." Ares meludah, lalu setelahnya, ia melepas kuncian itu dan mendorong tubuh Reza ke depan dengan keras.Rambut sebahu milik Reza menyentuh marmer putih, ketika tubuh pemuda itu terdorong ke bawah. Kedua tangan kekar menapak pada lantai pijakan, mencoba menahan beban tubuhnya layaknya posisi orang push-up, agar tak terjatuh di lantai. Dia terbatuk, mencoba menghirup udara sebanyak yang ia bisa, setelah merubah posisinya menjadi terduduk.Belum sempat napas Reza kembali menormal, Ares lagi-lagi mengunci dirinya. Jika tadi leher, sekarang pemuda itu mengunci tangan Reza ke belakang, dan mengikatnya dengan tali yang ia ambil dari atas meja."Res, jangan gila!" Reza mencoba melepaskan ikatan itu. Ares benar-benar gila. Reza tau seperti apa pemuda yang mengikatnya ini, dia terlalu kejam untuk disebut sebagai seorang sahabat. Dia lebih gila dari pasien rumah sakit jiwa. Dan dia lebih berbahaya dari seorang penjahat."Gak sia-sia gue siapin tali di kamar ini," ucap Ares sambil menyeringai penuh kemenangan."Res, jangan lagi!""Terlambat."Sial, Reza mengumpat dalam hati. Sekarang apa yang harus ia lakukan? Ares bukanlah tandingan untuknya, setidaknya untuk saat ini.Tubuh yang terikat itu ditarik ke atas agar berdiri, Ares menyeret Reza dan membuat pemuda itu berdiri di atas kursi. Sebuah tali yang sengaja dibentuk melingkar dengan ujung tali terikat dengan paflon atas kini membuat mata Reza membulat sempurna."Res, jangan lakuin ini! Lo gak akan dapat apa-apa dengan membunuh gue," racau Reza, berharap Ares mendengarkan peringatannya dan melepaskan dirinya."Jinjit!""Res!""Gue bilang jinjit!"Tak ada yang bisa Reza lakukan selain menuruti perintah Ares. Dengan terpaksa, pemuda itu mulai menumpukan seluruh beban tubuhnya pada ujung-ujung jari kaki. Ares tersenyum, lalu memasukkan kepala Reza ke dalam lubang tali di depan pemuda itu."Res!" Reza yang merasa nyawanya terancam seketika menyebut nama Ares dengan teriakan. Tapi sayangnya, hal itu tak membuat Ares gentar untuk melakukan aksinya."Lo akan---" Belum sempat Reza menyelesaikan kalimatnya, sebuah kain sudah menyumpal mulut pemuda itu hingga dia tak bisa bicara lagi, dan hanya bisa bergumam tak jelas.Ares turun dari atas kursi tempat Reza berdiri, dia membersihakan kedua tangannya, dengan menepuk-nepuk kedua telapak tangan beberapa kali."Kalau lo takut mati, sebaiknya gak usah hidup," ucapnya yang diakhiri dengan seringai. Reza melototkan matanya sambil bergumam tak jelas. "Jangan banyak gerak, atau kursi itu akan berpindah posisi, dan gue rasa lo tau apa yang akan terjadi selanjutnya."Sial, Reza hanya bisa mengumpat dalam hati saja. Dengan berdiri dalam keadaan berjinjit seperti ini tidak akan mudah untuk menjaga tubuh agar tak bergerak. Bergerak sedikit saja, kursi akan berpindah posisi dan tentunya, tali yang melingkar di lehernya akan dengan senang hati menjadi penyebab kematiannya."Tetap seperti itu sampai gue kembali." Setelah mengatakan itu Ares melangkah menuju pintu, lalu keluar dari kamar.Dalam kegelapan yang hanya diterangi cahaya lampu remang-remang, Ares terlihat duduk di depan meja persegi panjang.Dua kertas lusuh berisi permainan sudoku menyita seluruh perhatiannya. Dilihatnya kedua kertas itu secara bergantian dengan seksama.Isi dari kertas itu terlihat sama persis, hanya saja di kertas sebelah kanan terdapat tambahan masing-masing satu angka dalam dua kotak besar permainan. 1 dan 4. Tepatnya pada kotak ke-3 dan ke-5, jika diurutkan dari kiri semua juga atas ke bawah.Bunyi notif pesan kini mengubah atensi pemuda itu. Layar ponsel berwarna silver yang terletak di samping kertas sudoku mengeluarkan cahaya, lalu cahayanya meredup.Pemuda itu menghela napas berat sebelum tangannya meraih benda pipih itu. Dibukanya aplikasi hijau, sebuah pesan masuk dari nomer yang tak ada namanya kini terpampang di layar.Kami telah kehilangan jejakTangan pemuda itu terkepal kuat, lalu memukul meja di depannya dengan keras
“Em, lo datang sendiri?” tanya Deva yang berdiri menghalangi pintu masuk. Emily yang ditanya hanya mengangguk, lalu melangkah mendekat. “Risa gak sama lo?” lanjut pemuda itu. Dia sedari tadi celingukkan melihat ke belakang Emily, mencari keberadaan Risa. Orang yang mengatur pertemuan ini. Namun, tak ada tanda-tanda bahwa Risa telah datang.Emily mendorong Deva ke samping agar dia bisa lewat. Meski dorongan tersebut terkesan pelan, tetapi Deva segera menyingkir dengan sendirinya, membiarkan Emily masuk tanpa menjawab pertanyaan darinya. Setelah Emily masuk, Deva berdecak, lalu ikut masuk juga.Emily mendudukkan tubuhnya di kursi, menggelengkan kepala sebagai respon dari pertanyaan Deva tadi. Dia meletakkan tasnya di meja lalu melepas kacamata yang senantiasa bertengger di hidung. “ Risa tadi nyuruh gue berangkat duluan. Katanya ada yang mau diurus sebelum ke sini.”Deva hanya mengangguk mendengar pernyataan Emily. Pemuda
Halte bus yang terletak tak jauh dari tempat Emily berkumpul dengan teman-temannya, kini terlihat begitu sepi. Gadis itu menghela napas, berjalan menuju halte tersebut sambil menatap waspada. Jantungnya berdegup kencang, matanya memperhatikan segala arah, takut jika ada yang mengikutinya.Emily menghela napas ketika telah sampai. Gadis itu terduduk dalam diam, lalu berdecak sebal menendang batu kecil yang berada di depan sepatunya. Dia menyesal karena tak mengiayakan ajakan Deva yang menawari untuk pulang bersama. Dia takut jika terlihat bersama Deva akan mengundang bahaya. Jadi gadis itu berpikir untuk pulang naik bus. Dengan begitu, jika ada orang yang ingin mencelakainya, Emily bisa bersembunyi di antara keramaian. Menurutnya, tingkat kejahatan akan rendah ketika target berada dalam kerumunan. Namun, sialnya, malah halte ini tidak ramai seperti biasanya.Emily terus menatap waspada ke sekelilingnya. Jantungnya berdegup semakin kencang, meski di siang bol
"Lo udah baca berita di web klub Jurnalistik kampus?""Iya, gue udah baca.""Emang berita apaan?""Lo tau Alisa kan?""Alisa yang mati di perpus itu?""Iya. Katanya dia dibunuh bukan kecelakaan."Ares berdecak sebal ketika melewati beberapa mahasiswa yang tengah bergosip tentang kematian Alisa. Bagaimana pun Alisa pernah menjadi pacarnya, meskipun Ares tak pernah menginginkan gadis itu. Namun, tetap saja, dia tak suka jika ada yang membicarakan Alisa. Ada rasa takut, marah, sekaligus kecewa yang menyergap hatinya. Ares tidak tahu persis bagaimana dia bisa menggambarkan suasana hatinya saat ini. Tapi ada satu yang pasti, dia harus segera menemukan si pelaku penulisan berita tersebut. Dan itulah sebabnya, pemuda itu berdiri di depan pintu sebuah ruangan dengan papan kecil bertuliskan Klub Jurnalistik. Ares hanya diam bergeming di tempat sambil menyelipkan kedua tangan ke dalam saku. Iris hitam pekat miliknya hanya memandang satu titik yaitu pintu di depan
Suara gaduh tiba-tiba terdengar dari balik papan yang berisi tumpukan buku. Hal itu menyita perhatian seorang pemuda yang sedari tadi sibuk berkutat dengan buku di depannya. Dia menghela napas, menaikkan kaca mata yang setia bertengger di hidungnya, lalu menutup buku tebal yang ia baca.Decitan kursi terdengar, tatkala pemuda itu berdiri dari duduknya. Ditariknya tas yang tergeletak tak jauh dari jangkauan, menyampirkannya pada salah satu bahu. Dia berjalan ke arah suara gaduh tadi, netra hitamnya menangkap seorang gadis yang terlihat sibuk memunguti buku-buku yang berserakan di lantai, menumpuknya di atas pangkuan. Sesekali tangannya menyelipkan rambut panjangnya yang menutupi mata. Pemuda itu kembali menghela napas, berjalan ke arah gadis itu, berjongkok untuk membantunya.“Terima kasih,” ujar gadis itu ketika semua buku kembali tertata rapi di tempat semula.Pemuda itu terdiam, mata hitamnya menatap lekat gadis yang berdiri di depannya.“Kian,” lanju
Jerit tangis pecah di sebuah tanah lapang dengan jejeran batu nisan. Seorang wanita berpakaian serba hitam menangis tersedu-sedu, di depan sebuah gundukan tanah basah yang bertabur kelopak bunga di atasnya.Semua orang yang menyaksikan kepiluan itu hanya bisa terdiam, memanjatkan doa pada Sang Kuasa di dalam hati, agar jiwa yang telah meninggalkan raganya itu di terima di sisi Yang Mahakuasa.Satu-persatu orang yang ada di sana mulai pergi, setelah pamit dan mengucapkan bela sungkawa atas meninggalnya putri semata wayang wanita itu, Alisa. Semua orang menyayangkan kepergian Alisa yang secara tiba-tiba dan tragis ini. Alisa adalah gadis yang cantik dan juga pintar, prestasinya pun tak perlu diragukan. Bisa menjadi mahasiswa di Universitas Epicentrium, yang merupakan universitas swasta ternama adalah salah satu bukti kepintaran Alisa. Meski universitas itu swasta, tapi yang bisa masuk hanyalah siswa-siswa berprestasi. Juga memiliki kekayaan yang mumpuni.Kini ting
"Gue gak mau berakhir seperti Alisa."Semua orang yang masih tersisa di ruangan itu sontak saja mengarahkan pandangan pada asal suara, tepat pada Risa yang terlihat mengepalkan tangan. Gadis itu baru mengeluarkan suara setelah ruangan kembali sunyi."Lo pikir gue mau?" ujar Monica sambil tersenyum sinis.Risa hanya menatap Monica sekilas, lalu menatap ponsel dalam genggaman. Yang memperlihatkan gambar sudoku."Kita harus menangkap pelakunya!" lanjut gadis itu."Tentu saja. Setelah pelakunya tertangkap, gue gak akan mengampuni mereka," ujar Monika sambil melirik ke arah dua gadis yang dia pojokkan sedari tadi. Risa yang tak terima, membalas dengan tatapan tajam ke arah Monika. Sedangkan Emily masih diam seperti tadi."Lalu, apa yang harus kita lakukan untuk menangkapnya?" Dave memandang satu persatu orang yang ada di sana, menuntut jawaban atas pertanyaan yang ia lontarkan.Semua orang lagi-lagi hanya terdiam, tak memiliki jawaban atas p
"Lo udah baca berita di web klub Jurnalistik kampus?""Iya, gue udah baca.""Emang berita apaan?""Lo tau Alisa kan?""Alisa yang mati di perpus itu?""Iya. Katanya dia dibunuh bukan kecelakaan."Ares berdecak sebal ketika melewati beberapa mahasiswa yang tengah bergosip tentang kematian Alisa. Bagaimana pun Alisa pernah menjadi pacarnya, meskipun Ares tak pernah menginginkan gadis itu. Namun, tetap saja, dia tak suka jika ada yang membicarakan Alisa. Ada rasa takut, marah, sekaligus kecewa yang menyergap hatinya. Ares tidak tahu persis bagaimana dia bisa menggambarkan suasana hatinya saat ini. Tapi ada satu yang pasti, dia harus segera menemukan si pelaku penulisan berita tersebut. Dan itulah sebabnya, pemuda itu berdiri di depan pintu sebuah ruangan dengan papan kecil bertuliskan Klub Jurnalistik. Ares hanya diam bergeming di tempat sambil menyelipkan kedua tangan ke dalam saku. Iris hitam pekat miliknya hanya memandang satu titik yaitu pintu di depan
Halte bus yang terletak tak jauh dari tempat Emily berkumpul dengan teman-temannya, kini terlihat begitu sepi. Gadis itu menghela napas, berjalan menuju halte tersebut sambil menatap waspada. Jantungnya berdegup kencang, matanya memperhatikan segala arah, takut jika ada yang mengikutinya.Emily menghela napas ketika telah sampai. Gadis itu terduduk dalam diam, lalu berdecak sebal menendang batu kecil yang berada di depan sepatunya. Dia menyesal karena tak mengiayakan ajakan Deva yang menawari untuk pulang bersama. Dia takut jika terlihat bersama Deva akan mengundang bahaya. Jadi gadis itu berpikir untuk pulang naik bus. Dengan begitu, jika ada orang yang ingin mencelakainya, Emily bisa bersembunyi di antara keramaian. Menurutnya, tingkat kejahatan akan rendah ketika target berada dalam kerumunan. Namun, sialnya, malah halte ini tidak ramai seperti biasanya.Emily terus menatap waspada ke sekelilingnya. Jantungnya berdegup semakin kencang, meski di siang bol
“Em, lo datang sendiri?” tanya Deva yang berdiri menghalangi pintu masuk. Emily yang ditanya hanya mengangguk, lalu melangkah mendekat. “Risa gak sama lo?” lanjut pemuda itu. Dia sedari tadi celingukkan melihat ke belakang Emily, mencari keberadaan Risa. Orang yang mengatur pertemuan ini. Namun, tak ada tanda-tanda bahwa Risa telah datang.Emily mendorong Deva ke samping agar dia bisa lewat. Meski dorongan tersebut terkesan pelan, tetapi Deva segera menyingkir dengan sendirinya, membiarkan Emily masuk tanpa menjawab pertanyaan darinya. Setelah Emily masuk, Deva berdecak, lalu ikut masuk juga.Emily mendudukkan tubuhnya di kursi, menggelengkan kepala sebagai respon dari pertanyaan Deva tadi. Dia meletakkan tasnya di meja lalu melepas kacamata yang senantiasa bertengger di hidung. “ Risa tadi nyuruh gue berangkat duluan. Katanya ada yang mau diurus sebelum ke sini.”Deva hanya mengangguk mendengar pernyataan Emily. Pemuda
Dalam kegelapan yang hanya diterangi cahaya lampu remang-remang, Ares terlihat duduk di depan meja persegi panjang.Dua kertas lusuh berisi permainan sudoku menyita seluruh perhatiannya. Dilihatnya kedua kertas itu secara bergantian dengan seksama.Isi dari kertas itu terlihat sama persis, hanya saja di kertas sebelah kanan terdapat tambahan masing-masing satu angka dalam dua kotak besar permainan. 1 dan 4. Tepatnya pada kotak ke-3 dan ke-5, jika diurutkan dari kiri semua juga atas ke bawah.Bunyi notif pesan kini mengubah atensi pemuda itu. Layar ponsel berwarna silver yang terletak di samping kertas sudoku mengeluarkan cahaya, lalu cahayanya meredup.Pemuda itu menghela napas berat sebelum tangannya meraih benda pipih itu. Dibukanya aplikasi hijau, sebuah pesan masuk dari nomer yang tak ada namanya kini terpampang di layar.Kami telah kehilangan jejakTangan pemuda itu terkepal kuat, lalu memukul meja di depannya dengan keras
"Aaa ...!" Beberapa kali jeritan terus terdengar dari mulut Kian, ketika semua benda yang sengaja dilempar itu berjatuhan di lantai. Kian melangkah mundur perlahan, berdiri di belakang Ares, menjadikan pemuda itu sebagai penutup dirinya.Mata hitam menatap datar ke arah seorang pemuda yang menjadi penyebab suara dan berantakannya rumah ini. Tak ada rasa takut dalam matanya, seakan kejadian seperti ini sudah tidak asing lagi untuknya.Bugh"Aaa ...!" Kian kembali menjerit, ketika sebuah hantaman keras mendarat di pipi Ares, hingga membuat cowok itu tersungkur di lantai. Sedangkan Kian, yang saat itu di belakang Ares ikut terjatuh karena tersenggol tubuh pemuda itu."Aw," ringis gadis itu.Ares yang mendengarnya seketika menatap ke arah Kian."Bangun lo, brengsek!"Baju Ares di tarik paksa ke atas, hingga tubuhnya kembali berdiri seperti semula."Maksud lo apa, ha?!" Pemuda berambut sebahu, menatap nyalang penuh amar
"Gue gak mau berakhir seperti Alisa."Semua orang yang masih tersisa di ruangan itu sontak saja mengarahkan pandangan pada asal suara, tepat pada Risa yang terlihat mengepalkan tangan. Gadis itu baru mengeluarkan suara setelah ruangan kembali sunyi."Lo pikir gue mau?" ujar Monica sambil tersenyum sinis.Risa hanya menatap Monica sekilas, lalu menatap ponsel dalam genggaman. Yang memperlihatkan gambar sudoku."Kita harus menangkap pelakunya!" lanjut gadis itu."Tentu saja. Setelah pelakunya tertangkap, gue gak akan mengampuni mereka," ujar Monika sambil melirik ke arah dua gadis yang dia pojokkan sedari tadi. Risa yang tak terima, membalas dengan tatapan tajam ke arah Monika. Sedangkan Emily masih diam seperti tadi."Lalu, apa yang harus kita lakukan untuk menangkapnya?" Dave memandang satu persatu orang yang ada di sana, menuntut jawaban atas pertanyaan yang ia lontarkan.Semua orang lagi-lagi hanya terdiam, tak memiliki jawaban atas p
Jerit tangis pecah di sebuah tanah lapang dengan jejeran batu nisan. Seorang wanita berpakaian serba hitam menangis tersedu-sedu, di depan sebuah gundukan tanah basah yang bertabur kelopak bunga di atasnya.Semua orang yang menyaksikan kepiluan itu hanya bisa terdiam, memanjatkan doa pada Sang Kuasa di dalam hati, agar jiwa yang telah meninggalkan raganya itu di terima di sisi Yang Mahakuasa.Satu-persatu orang yang ada di sana mulai pergi, setelah pamit dan mengucapkan bela sungkawa atas meninggalnya putri semata wayang wanita itu, Alisa. Semua orang menyayangkan kepergian Alisa yang secara tiba-tiba dan tragis ini. Alisa adalah gadis yang cantik dan juga pintar, prestasinya pun tak perlu diragukan. Bisa menjadi mahasiswa di Universitas Epicentrium, yang merupakan universitas swasta ternama adalah salah satu bukti kepintaran Alisa. Meski universitas itu swasta, tapi yang bisa masuk hanyalah siswa-siswa berprestasi. Juga memiliki kekayaan yang mumpuni.Kini ting
Suara gaduh tiba-tiba terdengar dari balik papan yang berisi tumpukan buku. Hal itu menyita perhatian seorang pemuda yang sedari tadi sibuk berkutat dengan buku di depannya. Dia menghela napas, menaikkan kaca mata yang setia bertengger di hidungnya, lalu menutup buku tebal yang ia baca.Decitan kursi terdengar, tatkala pemuda itu berdiri dari duduknya. Ditariknya tas yang tergeletak tak jauh dari jangkauan, menyampirkannya pada salah satu bahu. Dia berjalan ke arah suara gaduh tadi, netra hitamnya menangkap seorang gadis yang terlihat sibuk memunguti buku-buku yang berserakan di lantai, menumpuknya di atas pangkuan. Sesekali tangannya menyelipkan rambut panjangnya yang menutupi mata. Pemuda itu kembali menghela napas, berjalan ke arah gadis itu, berjongkok untuk membantunya.“Terima kasih,” ujar gadis itu ketika semua buku kembali tertata rapi di tempat semula.Pemuda itu terdiam, mata hitamnya menatap lekat gadis yang berdiri di depannya.“Kian,” lanju