Jerit tangis pecah di sebuah tanah lapang dengan jejeran batu nisan. Seorang wanita berpakaian serba hitam menangis tersedu-sedu, di depan sebuah gundukan tanah basah yang bertabur kelopak bunga di atasnya.
Semua orang yang menyaksikan kepiluan itu hanya bisa terdiam, memanjatkan doa pada Sang Kuasa di dalam hati, agar jiwa yang telah meninggalkan raganya itu di terima di sisi Yang Mahakuasa.Satu-persatu orang yang ada di sana mulai pergi, setelah pamit dan mengucapkan bela sungkawa atas meninggalnya putri semata wayang wanita itu, Alisa. Semua orang menyayangkan kepergian Alisa yang secara tiba-tiba dan tragis ini. Alisa adalah gadis yang cantik dan juga pintar, prestasinya pun tak perlu diragukan. Bisa menjadi mahasiswa di Universitas Epicentrium, yang merupakan universitas swasta ternama adalah salah satu bukti kepintaran Alisa. Meski universitas itu swasta, tapi yang bisa masuk hanyalah siswa-siswa berprestasi. Juga memiliki kekayaan yang mumpuni.Kini tinggallah mama dan papa Alisa, beserta Ares yang masih setia berdiri di tempatnya menatap gundukan tanah itu. Pemuda itu menghela napas, berjalan menghampiri pasangan tersebut."Tante, Ares ikut berduka cita atas kepergian Alisa. Ares harap Tante bisa mengikhlaskan kepergian Alisa, agar dia tenang di alam sana.""Terima kasih, Ares." Bukan wanita itu yang menjawab, melainkan suaminya. Sedangkan mama Alisa masih menangis pilu."Maaf, Om. Ares harus pamit." Pria paruh baya yang dipanggil dengan sebuatan om itu, memeluk Ares sebentar, menepuk punggung pemuda itu."Terima kasih sudah menjaga Alisa selama ini." Ares hanya tersenyum tipis, sebelum benar-benar meninggalkan tempat itu.***Di sebuah ruangan kecil, ke tujuh orang duduk pada kursi yang sengaja di susun melingkar, menjadikan meja bulat sebagai pusatnya.Kedelapan orang itu sama-sama terdiam, sebelum salah satu di antara mereka mengeluarkan suara."Kenapa pada diam?" tanya seorang pemuda dengan rambut sebahu. Semua orang hanya diam menatapnya dengan tatapan yang berbeda. "Come on, gak usah serius gitu! Bukankah dengan kematian Alisa kita bisa kembali berkumpul seperti ini?"Ya, ketujuh orang itu adalah teman-teman Alisa waktu SMA dulu dan mungkin ... sampai sekarang. Setelah lulus SMA mereka seperti orang yang tak saling mengenal, padahal berada di universitas yang sama. Mereka terpecah menjadi beberapa kubu, hingga kematian Alisa kembali menyatukannya."Lo bisa gak sih, Za, serius dikit! Alisa itu teman kita, sikap lo terkadang membuat gue berpikir kalau lo gak tulus temenan sama Alisa dan juga kami," celetuk salah satu cewek dengan kesal."Munafik lo, Mon. Lo pikir gue gak tau apa yang lo pikirkan sekarang? Gue tau, lo sebenarnya senang atas kematian Alisa, dengan begitu saingan lo berkurang satu. Atau jangan-jangan--""Jangan-jangan apa maksud lo, hah!?" Monika menggebrak meja di depannya hingga menimbulkan suara. Matanya menatap tajam ke arah Reza yang bicara seenaknya. "Maksud lo, gue yang bunuh Alisa gitu!?""Ya, mungkin saja," jawab Reza enteng."Jadi lo nuduh gue?""Siapa yang nuduh, gue cuma ngomong yang sebenarnya.""Lo ingin mati!?" ancam Monica, tangannya terkepal kuat. Matanya menatap penuh amarah ke arah Reza."Cukup! Kalian bodoh atau gimana sih? Lo, Mon, jaga emosi, lo!" ucap salah satu pemuda kembar yang dari tadi hanya diam. Dia Dava, pemuda itu menatap Monica dengan tajam hingga membuat gadis itu kembali duduk."Lo juga, Za. Udah jelas-jelas laporan forensik menyatakan kalau Alisa terpeleset dan jatuh karena ulahnya sendiri. Jadi apa yang lo ragukan?" celetuk Deva, kembaran Dava. Reza hanya diam, karena tak bisa membantah ucapan Deva.Ares yang mendengar itu hanya tersenyum tipis. Seakan menertawakan ucapan Deva.
Ruangan itu kembali sunyi, setelah semua penghuninya terdiam dengan pemikiran masing-masing."Kematian Alisa bukan sebuah kecelakaan, tapi sudah direncanakan," ujar seorang gadis bermata bulat, yang membuat semua orang menatapnya dengan kening mengernyit."Maksud lo apa, Ris?" tanya Monica yang tak mengerti maksud Risa. Bukannya menjawab, Risa malah menoleh ke samping. Tepat ke arah, gadis yang matanya terlihat bengkak. Dia Emily, teman yang paling dekat dengan Alisa. Gadis itu terlihat sangat terpukul daripada yang lainnya."Em," panggil Risa, gadis itu menggenggam tangan Emily yang terasa dingin. Emily hanya diam, lalu perlahan kepalanya mengangguk. Risa tersenyum melihatnya, gadis itu menatap satu-persatu orang yang ada di sana."Tiga hari sebelum Alisa meninggal, ada seseorang yang ngirim amplop misterius padanya.""Amplop misterius?" tanya Reza. Risa hanya mengangguk."Saat itu ban mobil gue bocor dan Alisa nawarin gue buat bareng sama dia. Lalu Alisa nemuin sebuah amplop yang sudah ada di tasnya, entah siapa yang naruh tu amplop. Dalam amplop itu isinya kertas sodoku dan di bawahnya ada semacam kalimat ancaman. Kalau kalian gak percaya kalian bisa tanya Emily yang saat itu juga ada sama gue dan Alisa."Risa memandang Emily, yang juga tengah dipandang oleh semua orang di ruangan itu. Emily hanya mengangguk, tanpa mengucapkan sepatah kata pun."Kalau kalian masih gak percaya, gue punya fotonya. Sebelum Alisa buang tuh sudoku, gue sempat ambil fotonya."Risa menunjukkan gambar sudoku di ponselnya. Benda pipih itu berpindah bergiliran ke tangan semua orang, kecuali Emily."Selesaikan dengan benar atau mati! Dari kalimat tersebut, pengirimnya mencoba menantang sekaligus mengancam," ujar Dava."Tunggu, kenapa harus sudoku?" tanya Reza yang dari tadi kebingungan."Apa mungkin ...." Risa menggantung ucapannya."Binar," timpali pemuda kembar secara bersamaan. Risa hanya mengangguk menyetujuinya."Ini pasti akal-akalan lo berdua, 'kan?" tuduh Monica."Buat apa, Mon? Kenapa gue dan Emily harus nglakuin itu?""Ya bisa saja lo berdua ingin kita ketakutan, dan merasa bersalah. Sehingga lo berdua bisa fokus sama kuliah kalian. Dan kami akan tertinggal, lalu orang tua lo berdua bisa punya bahan buat ngejek kami. Iya kan? Ngaku lo! Dasar licik!""Gue gak sepengecut itu!""Dan gue tau sepengecut apa lo itu!" bentak Monica.Reza yang melihat itu hanya tertawa, bahkan tawanya terdengar sangat keras, hingga semua orang menatapnya."Bodoh. Mana mungkin Binar bisa nglakuin itu, kita bahkan mengantar jasadnya ke liang kubur. Kalian pikir, orang yang udah mati bakal hidup lagi. Dan kali ini gue setuju sama Monica." Monica yang mendengar itu hanya tersenyum sinis."Jadi kalian nuduh gue dan Emily merencanakan semua ini!?" Risa terlanjur marah sekarang ini. Sedangkan Emily hanya diam, tak ingin ikut campur meski dirinya dituduh."Udah, cukup!" tengahi Dava. "Menurut lo gimana, Res?" tanya pemuda itu pada Ares yang dari tadi hanya bungkam menyaksikan perdebatan teman-temannya. "Bukan apa-apa, lo kan pacarnya Alisa. Dan gue denger, lo ada di sana saat dia meninggal."Semua orang kini memandang Ares, menunggu pemuda itu angkat suara. Bukannya menjawab, Ares malah berdiri dari duduknya."Gue harus pergi," ujar pemuda itu. Tanpa menunggu jawaban dari teman-temannya Ares pergi keluar."Masih dingin dan menyebalkan. Kalau saja dia tidak tau rahasia gue, udah gue habisin tuh cowok," gerutu Monica kesal."Jangan coba-coba lo ganggu, Ares! Atau lo berurusan sama gue," ancam Reza."Dasar, kacung. Kenapa lo gak sekalian pergi nyusul majikan, lo?""Tanpa lo minta, gue juga bakal pergi. Gak sudi gue lama-lama berkumpul sama orang-orang munafik seperti kalian." Setelah mengatakan itu, Reza pergi, menutup pintu dengan keras hingga menimbulkan suara."Gue gak mau berakhir seperti Alisa."Semua orang yang masih tersisa di ruangan itu sontak saja mengarahkan pandangan pada asal suara, tepat pada Risa yang terlihat mengepalkan tangan. Gadis itu baru mengeluarkan suara setelah ruangan kembali sunyi."Lo pikir gue mau?" ujar Monica sambil tersenyum sinis.Risa hanya menatap Monica sekilas, lalu menatap ponsel dalam genggaman. Yang memperlihatkan gambar sudoku."Kita harus menangkap pelakunya!" lanjut gadis itu."Tentu saja. Setelah pelakunya tertangkap, gue gak akan mengampuni mereka," ujar Monika sambil melirik ke arah dua gadis yang dia pojokkan sedari tadi. Risa yang tak terima, membalas dengan tatapan tajam ke arah Monika. Sedangkan Emily masih diam seperti tadi."Lalu, apa yang harus kita lakukan untuk menangkapnya?" Dave memandang satu persatu orang yang ada di sana, menuntut jawaban atas pertanyaan yang ia lontarkan.Semua orang lagi-lagi hanya terdiam, tak memiliki jawaban atas p
"Aaa ...!" Beberapa kali jeritan terus terdengar dari mulut Kian, ketika semua benda yang sengaja dilempar itu berjatuhan di lantai. Kian melangkah mundur perlahan, berdiri di belakang Ares, menjadikan pemuda itu sebagai penutup dirinya.Mata hitam menatap datar ke arah seorang pemuda yang menjadi penyebab suara dan berantakannya rumah ini. Tak ada rasa takut dalam matanya, seakan kejadian seperti ini sudah tidak asing lagi untuknya.Bugh"Aaa ...!" Kian kembali menjerit, ketika sebuah hantaman keras mendarat di pipi Ares, hingga membuat cowok itu tersungkur di lantai. Sedangkan Kian, yang saat itu di belakang Ares ikut terjatuh karena tersenggol tubuh pemuda itu."Aw," ringis gadis itu.Ares yang mendengarnya seketika menatap ke arah Kian."Bangun lo, brengsek!"Baju Ares di tarik paksa ke atas, hingga tubuhnya kembali berdiri seperti semula."Maksud lo apa, ha?!" Pemuda berambut sebahu, menatap nyalang penuh amar
Dalam kegelapan yang hanya diterangi cahaya lampu remang-remang, Ares terlihat duduk di depan meja persegi panjang.Dua kertas lusuh berisi permainan sudoku menyita seluruh perhatiannya. Dilihatnya kedua kertas itu secara bergantian dengan seksama.Isi dari kertas itu terlihat sama persis, hanya saja di kertas sebelah kanan terdapat tambahan masing-masing satu angka dalam dua kotak besar permainan. 1 dan 4. Tepatnya pada kotak ke-3 dan ke-5, jika diurutkan dari kiri semua juga atas ke bawah.Bunyi notif pesan kini mengubah atensi pemuda itu. Layar ponsel berwarna silver yang terletak di samping kertas sudoku mengeluarkan cahaya, lalu cahayanya meredup.Pemuda itu menghela napas berat sebelum tangannya meraih benda pipih itu. Dibukanya aplikasi hijau, sebuah pesan masuk dari nomer yang tak ada namanya kini terpampang di layar.Kami telah kehilangan jejakTangan pemuda itu terkepal kuat, lalu memukul meja di depannya dengan keras
“Em, lo datang sendiri?” tanya Deva yang berdiri menghalangi pintu masuk. Emily yang ditanya hanya mengangguk, lalu melangkah mendekat. “Risa gak sama lo?” lanjut pemuda itu. Dia sedari tadi celingukkan melihat ke belakang Emily, mencari keberadaan Risa. Orang yang mengatur pertemuan ini. Namun, tak ada tanda-tanda bahwa Risa telah datang.Emily mendorong Deva ke samping agar dia bisa lewat. Meski dorongan tersebut terkesan pelan, tetapi Deva segera menyingkir dengan sendirinya, membiarkan Emily masuk tanpa menjawab pertanyaan darinya. Setelah Emily masuk, Deva berdecak, lalu ikut masuk juga.Emily mendudukkan tubuhnya di kursi, menggelengkan kepala sebagai respon dari pertanyaan Deva tadi. Dia meletakkan tasnya di meja lalu melepas kacamata yang senantiasa bertengger di hidung. “ Risa tadi nyuruh gue berangkat duluan. Katanya ada yang mau diurus sebelum ke sini.”Deva hanya mengangguk mendengar pernyataan Emily. Pemuda
Halte bus yang terletak tak jauh dari tempat Emily berkumpul dengan teman-temannya, kini terlihat begitu sepi. Gadis itu menghela napas, berjalan menuju halte tersebut sambil menatap waspada. Jantungnya berdegup kencang, matanya memperhatikan segala arah, takut jika ada yang mengikutinya.Emily menghela napas ketika telah sampai. Gadis itu terduduk dalam diam, lalu berdecak sebal menendang batu kecil yang berada di depan sepatunya. Dia menyesal karena tak mengiayakan ajakan Deva yang menawari untuk pulang bersama. Dia takut jika terlihat bersama Deva akan mengundang bahaya. Jadi gadis itu berpikir untuk pulang naik bus. Dengan begitu, jika ada orang yang ingin mencelakainya, Emily bisa bersembunyi di antara keramaian. Menurutnya, tingkat kejahatan akan rendah ketika target berada dalam kerumunan. Namun, sialnya, malah halte ini tidak ramai seperti biasanya.Emily terus menatap waspada ke sekelilingnya. Jantungnya berdegup semakin kencang, meski di siang bol
"Lo udah baca berita di web klub Jurnalistik kampus?""Iya, gue udah baca.""Emang berita apaan?""Lo tau Alisa kan?""Alisa yang mati di perpus itu?""Iya. Katanya dia dibunuh bukan kecelakaan."Ares berdecak sebal ketika melewati beberapa mahasiswa yang tengah bergosip tentang kematian Alisa. Bagaimana pun Alisa pernah menjadi pacarnya, meskipun Ares tak pernah menginginkan gadis itu. Namun, tetap saja, dia tak suka jika ada yang membicarakan Alisa. Ada rasa takut, marah, sekaligus kecewa yang menyergap hatinya. Ares tidak tahu persis bagaimana dia bisa menggambarkan suasana hatinya saat ini. Tapi ada satu yang pasti, dia harus segera menemukan si pelaku penulisan berita tersebut. Dan itulah sebabnya, pemuda itu berdiri di depan pintu sebuah ruangan dengan papan kecil bertuliskan Klub Jurnalistik. Ares hanya diam bergeming di tempat sambil menyelipkan kedua tangan ke dalam saku. Iris hitam pekat miliknya hanya memandang satu titik yaitu pintu di depan
Suara gaduh tiba-tiba terdengar dari balik papan yang berisi tumpukan buku. Hal itu menyita perhatian seorang pemuda yang sedari tadi sibuk berkutat dengan buku di depannya. Dia menghela napas, menaikkan kaca mata yang setia bertengger di hidungnya, lalu menutup buku tebal yang ia baca.Decitan kursi terdengar, tatkala pemuda itu berdiri dari duduknya. Ditariknya tas yang tergeletak tak jauh dari jangkauan, menyampirkannya pada salah satu bahu. Dia berjalan ke arah suara gaduh tadi, netra hitamnya menangkap seorang gadis yang terlihat sibuk memunguti buku-buku yang berserakan di lantai, menumpuknya di atas pangkuan. Sesekali tangannya menyelipkan rambut panjangnya yang menutupi mata. Pemuda itu kembali menghela napas, berjalan ke arah gadis itu, berjongkok untuk membantunya.“Terima kasih,” ujar gadis itu ketika semua buku kembali tertata rapi di tempat semula.Pemuda itu terdiam, mata hitamnya menatap lekat gadis yang berdiri di depannya.“Kian,” lanju
"Lo udah baca berita di web klub Jurnalistik kampus?""Iya, gue udah baca.""Emang berita apaan?""Lo tau Alisa kan?""Alisa yang mati di perpus itu?""Iya. Katanya dia dibunuh bukan kecelakaan."Ares berdecak sebal ketika melewati beberapa mahasiswa yang tengah bergosip tentang kematian Alisa. Bagaimana pun Alisa pernah menjadi pacarnya, meskipun Ares tak pernah menginginkan gadis itu. Namun, tetap saja, dia tak suka jika ada yang membicarakan Alisa. Ada rasa takut, marah, sekaligus kecewa yang menyergap hatinya. Ares tidak tahu persis bagaimana dia bisa menggambarkan suasana hatinya saat ini. Tapi ada satu yang pasti, dia harus segera menemukan si pelaku penulisan berita tersebut. Dan itulah sebabnya, pemuda itu berdiri di depan pintu sebuah ruangan dengan papan kecil bertuliskan Klub Jurnalistik. Ares hanya diam bergeming di tempat sambil menyelipkan kedua tangan ke dalam saku. Iris hitam pekat miliknya hanya memandang satu titik yaitu pintu di depan
Halte bus yang terletak tak jauh dari tempat Emily berkumpul dengan teman-temannya, kini terlihat begitu sepi. Gadis itu menghela napas, berjalan menuju halte tersebut sambil menatap waspada. Jantungnya berdegup kencang, matanya memperhatikan segala arah, takut jika ada yang mengikutinya.Emily menghela napas ketika telah sampai. Gadis itu terduduk dalam diam, lalu berdecak sebal menendang batu kecil yang berada di depan sepatunya. Dia menyesal karena tak mengiayakan ajakan Deva yang menawari untuk pulang bersama. Dia takut jika terlihat bersama Deva akan mengundang bahaya. Jadi gadis itu berpikir untuk pulang naik bus. Dengan begitu, jika ada orang yang ingin mencelakainya, Emily bisa bersembunyi di antara keramaian. Menurutnya, tingkat kejahatan akan rendah ketika target berada dalam kerumunan. Namun, sialnya, malah halte ini tidak ramai seperti biasanya.Emily terus menatap waspada ke sekelilingnya. Jantungnya berdegup semakin kencang, meski di siang bol
“Em, lo datang sendiri?” tanya Deva yang berdiri menghalangi pintu masuk. Emily yang ditanya hanya mengangguk, lalu melangkah mendekat. “Risa gak sama lo?” lanjut pemuda itu. Dia sedari tadi celingukkan melihat ke belakang Emily, mencari keberadaan Risa. Orang yang mengatur pertemuan ini. Namun, tak ada tanda-tanda bahwa Risa telah datang.Emily mendorong Deva ke samping agar dia bisa lewat. Meski dorongan tersebut terkesan pelan, tetapi Deva segera menyingkir dengan sendirinya, membiarkan Emily masuk tanpa menjawab pertanyaan darinya. Setelah Emily masuk, Deva berdecak, lalu ikut masuk juga.Emily mendudukkan tubuhnya di kursi, menggelengkan kepala sebagai respon dari pertanyaan Deva tadi. Dia meletakkan tasnya di meja lalu melepas kacamata yang senantiasa bertengger di hidung. “ Risa tadi nyuruh gue berangkat duluan. Katanya ada yang mau diurus sebelum ke sini.”Deva hanya mengangguk mendengar pernyataan Emily. Pemuda
Dalam kegelapan yang hanya diterangi cahaya lampu remang-remang, Ares terlihat duduk di depan meja persegi panjang.Dua kertas lusuh berisi permainan sudoku menyita seluruh perhatiannya. Dilihatnya kedua kertas itu secara bergantian dengan seksama.Isi dari kertas itu terlihat sama persis, hanya saja di kertas sebelah kanan terdapat tambahan masing-masing satu angka dalam dua kotak besar permainan. 1 dan 4. Tepatnya pada kotak ke-3 dan ke-5, jika diurutkan dari kiri semua juga atas ke bawah.Bunyi notif pesan kini mengubah atensi pemuda itu. Layar ponsel berwarna silver yang terletak di samping kertas sudoku mengeluarkan cahaya, lalu cahayanya meredup.Pemuda itu menghela napas berat sebelum tangannya meraih benda pipih itu. Dibukanya aplikasi hijau, sebuah pesan masuk dari nomer yang tak ada namanya kini terpampang di layar.Kami telah kehilangan jejakTangan pemuda itu terkepal kuat, lalu memukul meja di depannya dengan keras
"Aaa ...!" Beberapa kali jeritan terus terdengar dari mulut Kian, ketika semua benda yang sengaja dilempar itu berjatuhan di lantai. Kian melangkah mundur perlahan, berdiri di belakang Ares, menjadikan pemuda itu sebagai penutup dirinya.Mata hitam menatap datar ke arah seorang pemuda yang menjadi penyebab suara dan berantakannya rumah ini. Tak ada rasa takut dalam matanya, seakan kejadian seperti ini sudah tidak asing lagi untuknya.Bugh"Aaa ...!" Kian kembali menjerit, ketika sebuah hantaman keras mendarat di pipi Ares, hingga membuat cowok itu tersungkur di lantai. Sedangkan Kian, yang saat itu di belakang Ares ikut terjatuh karena tersenggol tubuh pemuda itu."Aw," ringis gadis itu.Ares yang mendengarnya seketika menatap ke arah Kian."Bangun lo, brengsek!"Baju Ares di tarik paksa ke atas, hingga tubuhnya kembali berdiri seperti semula."Maksud lo apa, ha?!" Pemuda berambut sebahu, menatap nyalang penuh amar
"Gue gak mau berakhir seperti Alisa."Semua orang yang masih tersisa di ruangan itu sontak saja mengarahkan pandangan pada asal suara, tepat pada Risa yang terlihat mengepalkan tangan. Gadis itu baru mengeluarkan suara setelah ruangan kembali sunyi."Lo pikir gue mau?" ujar Monica sambil tersenyum sinis.Risa hanya menatap Monica sekilas, lalu menatap ponsel dalam genggaman. Yang memperlihatkan gambar sudoku."Kita harus menangkap pelakunya!" lanjut gadis itu."Tentu saja. Setelah pelakunya tertangkap, gue gak akan mengampuni mereka," ujar Monika sambil melirik ke arah dua gadis yang dia pojokkan sedari tadi. Risa yang tak terima, membalas dengan tatapan tajam ke arah Monika. Sedangkan Emily masih diam seperti tadi."Lalu, apa yang harus kita lakukan untuk menangkapnya?" Dave memandang satu persatu orang yang ada di sana, menuntut jawaban atas pertanyaan yang ia lontarkan.Semua orang lagi-lagi hanya terdiam, tak memiliki jawaban atas p
Jerit tangis pecah di sebuah tanah lapang dengan jejeran batu nisan. Seorang wanita berpakaian serba hitam menangis tersedu-sedu, di depan sebuah gundukan tanah basah yang bertabur kelopak bunga di atasnya.Semua orang yang menyaksikan kepiluan itu hanya bisa terdiam, memanjatkan doa pada Sang Kuasa di dalam hati, agar jiwa yang telah meninggalkan raganya itu di terima di sisi Yang Mahakuasa.Satu-persatu orang yang ada di sana mulai pergi, setelah pamit dan mengucapkan bela sungkawa atas meninggalnya putri semata wayang wanita itu, Alisa. Semua orang menyayangkan kepergian Alisa yang secara tiba-tiba dan tragis ini. Alisa adalah gadis yang cantik dan juga pintar, prestasinya pun tak perlu diragukan. Bisa menjadi mahasiswa di Universitas Epicentrium, yang merupakan universitas swasta ternama adalah salah satu bukti kepintaran Alisa. Meski universitas itu swasta, tapi yang bisa masuk hanyalah siswa-siswa berprestasi. Juga memiliki kekayaan yang mumpuni.Kini ting
Suara gaduh tiba-tiba terdengar dari balik papan yang berisi tumpukan buku. Hal itu menyita perhatian seorang pemuda yang sedari tadi sibuk berkutat dengan buku di depannya. Dia menghela napas, menaikkan kaca mata yang setia bertengger di hidungnya, lalu menutup buku tebal yang ia baca.Decitan kursi terdengar, tatkala pemuda itu berdiri dari duduknya. Ditariknya tas yang tergeletak tak jauh dari jangkauan, menyampirkannya pada salah satu bahu. Dia berjalan ke arah suara gaduh tadi, netra hitamnya menangkap seorang gadis yang terlihat sibuk memunguti buku-buku yang berserakan di lantai, menumpuknya di atas pangkuan. Sesekali tangannya menyelipkan rambut panjangnya yang menutupi mata. Pemuda itu kembali menghela napas, berjalan ke arah gadis itu, berjongkok untuk membantunya.“Terima kasih,” ujar gadis itu ketika semua buku kembali tertata rapi di tempat semula.Pemuda itu terdiam, mata hitamnya menatap lekat gadis yang berdiri di depannya.“Kian,” lanju