Suara gaduh tiba-tiba terdengar dari balik papan yang berisi tumpukan buku. Hal itu menyita perhatian seorang pemuda yang sedari tadi sibuk berkutat dengan buku di depannya. Dia menghela napas, menaikkan kaca mata yang setia bertengger di hidungnya, lalu menutup buku tebal yang ia baca.
Decitan kursi terdengar, tatkala pemuda itu berdiri dari duduknya. Ditariknya tas yang tergeletak tak jauh dari jangkauan, menyampirkannya pada salah satu bahu. Dia berjalan ke arah suara gaduh tadi, netra hitamnya menangkap seorang gadis yang terlihat sibuk memunguti buku-buku yang berserakan di lantai, menumpuknya di atas pangkuan. Sesekali tangannya menyelipkan rambut panjangnya yang menutupi mata. Pemuda itu kembali menghela napas, berjalan ke arah gadis itu, berjongkok untuk membantunya.
“Terima kasih,” ujar gadis itu ketika semua buku kembali tertata rapi di tempat semula.
Pemuda itu terdiam, mata hitamnya menatap lekat gadis yang berdiri di depannya.
“Kian,” lanjut gadis itu, yang diakhiri dengan senyuman lebar, hingga membentuk sebuah cekungan di pipi kanan. Tangannya terulur di depan pemuda itu, cukup lama, hingga sang gadis kembali menarik tangannya ketika sang pemuda tak merespon dan hanya menatap dalam diam.
“Kalau gak bisa ngambil, lebih baik minta bantuan orang lain!”
Gadis yang memperkenalkan namanya sebagai Kian itu hanya tersenyum canggung, ketika iris hitam di depannya menatap dingin. Mata almond miliknya beralih menatap deretan buku di samping pemuda itu.
“Maaf, permisi,” ujar Kian masih dengan rasa canggung. Gadis itu melangkah, melewati sang pemuda yang masih saja diam memandang depan.
Mata almond sibuk mengabsen satu-persatu buku yang terjejer rapi di dalam rak. Bibir tipis miliknya terangkat, ketika netra menemukan apa yang ia cari sedari tadi. Dia menghela napas, buku itu terlalu tinggi untuk ukuran gadis pendek sepertinya. Rak kedua dari atas saja, Kian tak bisa mngambilnya, lalu bagaimana ia bisa mengambil buku yang berada di rak paling atas?
Kian mendengkus kecewa, dia tak mau kejadian tadi terulang kembali. Matanya menatap Ares yang berdiri tepat di sampingnya. Ares yang merasa diperhatikan sontak saja mengalihkan pandangan, menatap gadis di sampingnya dengan datar.
Kian kembali menghela napas, meminta bantuan pemuda itu bukanlah pilihan yang tepat. Dengan kecewa gadis itu melangkah pergi, mengubur niatnya untuk meminjam buku tersebut.
“Tunggu!”
Kian yang baru saja melangkahkan kakinya tiga langkah sontak saja berhenti, gadis itu memutar tubuh 180 derajat. Keningnya mengernyit ketika melihat pemuda yang masih setia berdiri di depan rak buku tadi menatap ke arahnya. Gadis itu menoleh ke belakang, mencari seseorang yang mungkin saja pemuda itu maksud. Tapi tak ada orang di belakangnya, perpustakaan saat ini sepi. Apa mungkin yang dia maksud adalah dirinya?
Pemuda itu mengambil buku yang ingin Kian pinjam, dia berjalan menghampiri pemilik mata almond yang masih berdiri mematung menatapnya dengan bingung.
“Ini buku yang lo cari, 'kan?” tanya pemuda itu sambil menyodorkan sebuah buku tebal berwarna biru.
Mata almond berbinar senang, senyuman mengembang indah di wajahnya. Tanpa malu-malu, disahutnya buku tersebut hingga berpindah tangan.
Pemuda itu tersenyum tipis melihat reaksi gadis itu. “Gue Ares,” ucapnya tiba-tiba, yang membuat sang gadis memusatkan pandangan padanya. Kian kembali tersenyum, memandang pemuda bernama Ares itu.
"Terima, aaa ...!" teriak Kian kencang sebelum ucapannya selesai.
Buku dalam genggaman meluncur bebas ke lantai, gadis itu melangkah mundur sambil menutup kedua mulutnya, ketika netranya menangkap seorang gadis yang baru saja terjatuh tepat di antara dia dan Ares berdiri. Cairan merah mengalir dari tubuh yang tengkurap, membasahi lantai pijakan.
"Alisa!" teriak Ares ketika menyadari bahwa itu adalah Alisa. Bukannya menolong gadis di dalam pemuda itu malah menaiki anak tangga satu-persatu yang menuju ke lantai dua, ketika netranya tak sengaja menangkap bayangan hitam dari tempat Alisa jatuh. Mata hitam itu mengabsen setiap sudut yang ada di lantai atas, tanpa ada yang terlewat.
"Sial!" umpatnya ketika dia tak menemukan seorang pun di sana. Lalu dengan tergesa, pemuda itu kembali turun ke bawah.
Semua orang kini sudah berkerumun membentuk lingkaran, menjadikan Alisa sebagai pusatnya. Perpustakaan yang awalnya sepi dan sunyi kini berubah ramai. Genangan darah membanjiri lantai putih perpustakaan, membuat orang-orang bergedik ngeri melihatnya.
Ares yang berjalan ke arah Alisa, membalikkan tubuh gadis itu menjadi terlentang. Tubuh gadis itu sudah tak bergerak, napasnya pun sudah tak bisa dirasakan. Alisa telah tewas. Pemuda itu menghela napas panjang, mata hitamnya menyendu melihat betapa mengenaskannya kondisi Alisa. Baru beberapa menit mereka berpisah, tapi Alisa sudah meregang nyawa seperti ini.
Ares kembali berdiri, menjauh dari jasad Alisa ketika para petugas rumah sakit menembus kerumunan, lalu mengangkat tubuh Alisa.
Pemuda itu kembali menghela napas, bercak darah menghiasi jaket putih yang ia kenakan. Netra hitam legam tak sengaja menangkap seorang gadis yang berdiri bersandar pada rak buku dengan tubuh yang bergetar. Dihampirinya gadis itu, yang tak lain adalah Kian. Gadis itu sepertinya sangat terkejut melihat kematian Alisa yang tak terduga ini, apalagi Alisa jatuh tepat di hadapannya. Ares menarik tangan Kian tanpa izin, membawa gadis itu keluar dari perpustakaan.
***
Kian meneguk air putih di dalam botol yang diberikan Ares dengan tergesa, layaknya orang yang tak minum berhari-hari. Pemuda itu mengajak Kian ke kantin dan membelikan gadis itu air minum agar Kian lebih tenang. Perlahan tapi pasti, tubuh Kian yang bergetar hebat tadi kembali normal seperti semula.
“Udah tenang?”
Kian hanya mengangguk sebagai respon atas pertanyaan Ares. Pemuda itu tersenyum tipis, bangkit dari duduknya, berjalan ke arah pojokan kantin. Dia melepas jaket yang terdapat noda darah Alisa, membuangnya asal ke tempat sampah. Kian yang melihat itu hanya diam, tak berani berkomentar.
Ares kembali menghampiri Kian, mendudukkan tubuhnya di kursi depan gadis itu. Ia merogoh ponsel dari saku, kesepuluh jarinya sibuk menari-nari di atas layar pipih itu. Kian hanya diam memperhatikan pemuda itu, dalam benak gadis itu timbul banyak pertanyaan saat ini, salah satunya, mengapa Ares masih terlihat tenang setelah kejadian tadi? Seolah kejadian tadi tidak berpengaruh padanya.
“Bagaimana kamu bisa tetap setenang ini?” tanya Kian yang sudah tak sanggup menyimpan pertanyaan itu di dalam benaknya. Ares yang mendengar pertanyaan itu sontak saja memusatkan pandangannya pada Kian. Iris hitamnya menatap lekat gadis itu dengan raut wajah datar.
“Karena semua orang bakal mati,” jawab pemuda itu enteng, tanpa beban. Kian kembali diam, tak tahu harus merespon seperti apa. Dia berdehem, meneguk kembali sisa minuman di botol, sedangkan Ares hanya memperhatikan tingkah gadis itu.
“Alisa pacar gue.” Kian tersedak mendengar ucapan Ares, gadis itu menatap tak percaya pada pemuda. Bagaimana pemuda itu bisa tenang saat tahu pacarnya tewas di depannya sendiri? Mengapa dia tak bersedih seperti pasangan yang lainnya, ketika salah satu dari mereka meninggal dunia? Apalagi kematian Alisa ini sangat tragis menurut Kian.
“Alisa izin nyari buku di atas, sebelum gue bantu lo”.
Kian hanya diam, gadis itu bingung harus memberi respon seperti apa. Menurutnya Ares adalah orang yang tak memiliki hati, atau ia tak benar-benar mencintai Alisa. Sebab Kian tak melihat luka atau kesedihan di mata pemuda itu.
Ares bangkit dari duduknya, setelah dirasa urusannya telah selesai. “Lo udah baikan, 'kan? Kalau gitu gue pergi dulu. ” Tanpa menunggu jawaban dari Kian, Ares meninggalkan gadis itu dengan berbagai pertanyaan yang mengganggu pikiran Kian.
Pemuda yang aneh.
Jerit tangis pecah di sebuah tanah lapang dengan jejeran batu nisan. Seorang wanita berpakaian serba hitam menangis tersedu-sedu, di depan sebuah gundukan tanah basah yang bertabur kelopak bunga di atasnya.Semua orang yang menyaksikan kepiluan itu hanya bisa terdiam, memanjatkan doa pada Sang Kuasa di dalam hati, agar jiwa yang telah meninggalkan raganya itu di terima di sisi Yang Mahakuasa.Satu-persatu orang yang ada di sana mulai pergi, setelah pamit dan mengucapkan bela sungkawa atas meninggalnya putri semata wayang wanita itu, Alisa. Semua orang menyayangkan kepergian Alisa yang secara tiba-tiba dan tragis ini. Alisa adalah gadis yang cantik dan juga pintar, prestasinya pun tak perlu diragukan. Bisa menjadi mahasiswa di Universitas Epicentrium, yang merupakan universitas swasta ternama adalah salah satu bukti kepintaran Alisa. Meski universitas itu swasta, tapi yang bisa masuk hanyalah siswa-siswa berprestasi. Juga memiliki kekayaan yang mumpuni.Kini ting
"Gue gak mau berakhir seperti Alisa."Semua orang yang masih tersisa di ruangan itu sontak saja mengarahkan pandangan pada asal suara, tepat pada Risa yang terlihat mengepalkan tangan. Gadis itu baru mengeluarkan suara setelah ruangan kembali sunyi."Lo pikir gue mau?" ujar Monica sambil tersenyum sinis.Risa hanya menatap Monica sekilas, lalu menatap ponsel dalam genggaman. Yang memperlihatkan gambar sudoku."Kita harus menangkap pelakunya!" lanjut gadis itu."Tentu saja. Setelah pelakunya tertangkap, gue gak akan mengampuni mereka," ujar Monika sambil melirik ke arah dua gadis yang dia pojokkan sedari tadi. Risa yang tak terima, membalas dengan tatapan tajam ke arah Monika. Sedangkan Emily masih diam seperti tadi."Lalu, apa yang harus kita lakukan untuk menangkapnya?" Dave memandang satu persatu orang yang ada di sana, menuntut jawaban atas pertanyaan yang ia lontarkan.Semua orang lagi-lagi hanya terdiam, tak memiliki jawaban atas p
"Aaa ...!" Beberapa kali jeritan terus terdengar dari mulut Kian, ketika semua benda yang sengaja dilempar itu berjatuhan di lantai. Kian melangkah mundur perlahan, berdiri di belakang Ares, menjadikan pemuda itu sebagai penutup dirinya.Mata hitam menatap datar ke arah seorang pemuda yang menjadi penyebab suara dan berantakannya rumah ini. Tak ada rasa takut dalam matanya, seakan kejadian seperti ini sudah tidak asing lagi untuknya.Bugh"Aaa ...!" Kian kembali menjerit, ketika sebuah hantaman keras mendarat di pipi Ares, hingga membuat cowok itu tersungkur di lantai. Sedangkan Kian, yang saat itu di belakang Ares ikut terjatuh karena tersenggol tubuh pemuda itu."Aw," ringis gadis itu.Ares yang mendengarnya seketika menatap ke arah Kian."Bangun lo, brengsek!"Baju Ares di tarik paksa ke atas, hingga tubuhnya kembali berdiri seperti semula."Maksud lo apa, ha?!" Pemuda berambut sebahu, menatap nyalang penuh amar
Dalam kegelapan yang hanya diterangi cahaya lampu remang-remang, Ares terlihat duduk di depan meja persegi panjang.Dua kertas lusuh berisi permainan sudoku menyita seluruh perhatiannya. Dilihatnya kedua kertas itu secara bergantian dengan seksama.Isi dari kertas itu terlihat sama persis, hanya saja di kertas sebelah kanan terdapat tambahan masing-masing satu angka dalam dua kotak besar permainan. 1 dan 4. Tepatnya pada kotak ke-3 dan ke-5, jika diurutkan dari kiri semua juga atas ke bawah.Bunyi notif pesan kini mengubah atensi pemuda itu. Layar ponsel berwarna silver yang terletak di samping kertas sudoku mengeluarkan cahaya, lalu cahayanya meredup.Pemuda itu menghela napas berat sebelum tangannya meraih benda pipih itu. Dibukanya aplikasi hijau, sebuah pesan masuk dari nomer yang tak ada namanya kini terpampang di layar.Kami telah kehilangan jejakTangan pemuda itu terkepal kuat, lalu memukul meja di depannya dengan keras
“Em, lo datang sendiri?” tanya Deva yang berdiri menghalangi pintu masuk. Emily yang ditanya hanya mengangguk, lalu melangkah mendekat. “Risa gak sama lo?” lanjut pemuda itu. Dia sedari tadi celingukkan melihat ke belakang Emily, mencari keberadaan Risa. Orang yang mengatur pertemuan ini. Namun, tak ada tanda-tanda bahwa Risa telah datang.Emily mendorong Deva ke samping agar dia bisa lewat. Meski dorongan tersebut terkesan pelan, tetapi Deva segera menyingkir dengan sendirinya, membiarkan Emily masuk tanpa menjawab pertanyaan darinya. Setelah Emily masuk, Deva berdecak, lalu ikut masuk juga.Emily mendudukkan tubuhnya di kursi, menggelengkan kepala sebagai respon dari pertanyaan Deva tadi. Dia meletakkan tasnya di meja lalu melepas kacamata yang senantiasa bertengger di hidung. “ Risa tadi nyuruh gue berangkat duluan. Katanya ada yang mau diurus sebelum ke sini.”Deva hanya mengangguk mendengar pernyataan Emily. Pemuda
Halte bus yang terletak tak jauh dari tempat Emily berkumpul dengan teman-temannya, kini terlihat begitu sepi. Gadis itu menghela napas, berjalan menuju halte tersebut sambil menatap waspada. Jantungnya berdegup kencang, matanya memperhatikan segala arah, takut jika ada yang mengikutinya.Emily menghela napas ketika telah sampai. Gadis itu terduduk dalam diam, lalu berdecak sebal menendang batu kecil yang berada di depan sepatunya. Dia menyesal karena tak mengiayakan ajakan Deva yang menawari untuk pulang bersama. Dia takut jika terlihat bersama Deva akan mengundang bahaya. Jadi gadis itu berpikir untuk pulang naik bus. Dengan begitu, jika ada orang yang ingin mencelakainya, Emily bisa bersembunyi di antara keramaian. Menurutnya, tingkat kejahatan akan rendah ketika target berada dalam kerumunan. Namun, sialnya, malah halte ini tidak ramai seperti biasanya.Emily terus menatap waspada ke sekelilingnya. Jantungnya berdegup semakin kencang, meski di siang bol
"Lo udah baca berita di web klub Jurnalistik kampus?""Iya, gue udah baca.""Emang berita apaan?""Lo tau Alisa kan?""Alisa yang mati di perpus itu?""Iya. Katanya dia dibunuh bukan kecelakaan."Ares berdecak sebal ketika melewati beberapa mahasiswa yang tengah bergosip tentang kematian Alisa. Bagaimana pun Alisa pernah menjadi pacarnya, meskipun Ares tak pernah menginginkan gadis itu. Namun, tetap saja, dia tak suka jika ada yang membicarakan Alisa. Ada rasa takut, marah, sekaligus kecewa yang menyergap hatinya. Ares tidak tahu persis bagaimana dia bisa menggambarkan suasana hatinya saat ini. Tapi ada satu yang pasti, dia harus segera menemukan si pelaku penulisan berita tersebut. Dan itulah sebabnya, pemuda itu berdiri di depan pintu sebuah ruangan dengan papan kecil bertuliskan Klub Jurnalistik. Ares hanya diam bergeming di tempat sambil menyelipkan kedua tangan ke dalam saku. Iris hitam pekat miliknya hanya memandang satu titik yaitu pintu di depan
"Lo udah baca berita di web klub Jurnalistik kampus?""Iya, gue udah baca.""Emang berita apaan?""Lo tau Alisa kan?""Alisa yang mati di perpus itu?""Iya. Katanya dia dibunuh bukan kecelakaan."Ares berdecak sebal ketika melewati beberapa mahasiswa yang tengah bergosip tentang kematian Alisa. Bagaimana pun Alisa pernah menjadi pacarnya, meskipun Ares tak pernah menginginkan gadis itu. Namun, tetap saja, dia tak suka jika ada yang membicarakan Alisa. Ada rasa takut, marah, sekaligus kecewa yang menyergap hatinya. Ares tidak tahu persis bagaimana dia bisa menggambarkan suasana hatinya saat ini. Tapi ada satu yang pasti, dia harus segera menemukan si pelaku penulisan berita tersebut. Dan itulah sebabnya, pemuda itu berdiri di depan pintu sebuah ruangan dengan papan kecil bertuliskan Klub Jurnalistik. Ares hanya diam bergeming di tempat sambil menyelipkan kedua tangan ke dalam saku. Iris hitam pekat miliknya hanya memandang satu titik yaitu pintu di depan
Halte bus yang terletak tak jauh dari tempat Emily berkumpul dengan teman-temannya, kini terlihat begitu sepi. Gadis itu menghela napas, berjalan menuju halte tersebut sambil menatap waspada. Jantungnya berdegup kencang, matanya memperhatikan segala arah, takut jika ada yang mengikutinya.Emily menghela napas ketika telah sampai. Gadis itu terduduk dalam diam, lalu berdecak sebal menendang batu kecil yang berada di depan sepatunya. Dia menyesal karena tak mengiayakan ajakan Deva yang menawari untuk pulang bersama. Dia takut jika terlihat bersama Deva akan mengundang bahaya. Jadi gadis itu berpikir untuk pulang naik bus. Dengan begitu, jika ada orang yang ingin mencelakainya, Emily bisa bersembunyi di antara keramaian. Menurutnya, tingkat kejahatan akan rendah ketika target berada dalam kerumunan. Namun, sialnya, malah halte ini tidak ramai seperti biasanya.Emily terus menatap waspada ke sekelilingnya. Jantungnya berdegup semakin kencang, meski di siang bol
“Em, lo datang sendiri?” tanya Deva yang berdiri menghalangi pintu masuk. Emily yang ditanya hanya mengangguk, lalu melangkah mendekat. “Risa gak sama lo?” lanjut pemuda itu. Dia sedari tadi celingukkan melihat ke belakang Emily, mencari keberadaan Risa. Orang yang mengatur pertemuan ini. Namun, tak ada tanda-tanda bahwa Risa telah datang.Emily mendorong Deva ke samping agar dia bisa lewat. Meski dorongan tersebut terkesan pelan, tetapi Deva segera menyingkir dengan sendirinya, membiarkan Emily masuk tanpa menjawab pertanyaan darinya. Setelah Emily masuk, Deva berdecak, lalu ikut masuk juga.Emily mendudukkan tubuhnya di kursi, menggelengkan kepala sebagai respon dari pertanyaan Deva tadi. Dia meletakkan tasnya di meja lalu melepas kacamata yang senantiasa bertengger di hidung. “ Risa tadi nyuruh gue berangkat duluan. Katanya ada yang mau diurus sebelum ke sini.”Deva hanya mengangguk mendengar pernyataan Emily. Pemuda
Dalam kegelapan yang hanya diterangi cahaya lampu remang-remang, Ares terlihat duduk di depan meja persegi panjang.Dua kertas lusuh berisi permainan sudoku menyita seluruh perhatiannya. Dilihatnya kedua kertas itu secara bergantian dengan seksama.Isi dari kertas itu terlihat sama persis, hanya saja di kertas sebelah kanan terdapat tambahan masing-masing satu angka dalam dua kotak besar permainan. 1 dan 4. Tepatnya pada kotak ke-3 dan ke-5, jika diurutkan dari kiri semua juga atas ke bawah.Bunyi notif pesan kini mengubah atensi pemuda itu. Layar ponsel berwarna silver yang terletak di samping kertas sudoku mengeluarkan cahaya, lalu cahayanya meredup.Pemuda itu menghela napas berat sebelum tangannya meraih benda pipih itu. Dibukanya aplikasi hijau, sebuah pesan masuk dari nomer yang tak ada namanya kini terpampang di layar.Kami telah kehilangan jejakTangan pemuda itu terkepal kuat, lalu memukul meja di depannya dengan keras
"Aaa ...!" Beberapa kali jeritan terus terdengar dari mulut Kian, ketika semua benda yang sengaja dilempar itu berjatuhan di lantai. Kian melangkah mundur perlahan, berdiri di belakang Ares, menjadikan pemuda itu sebagai penutup dirinya.Mata hitam menatap datar ke arah seorang pemuda yang menjadi penyebab suara dan berantakannya rumah ini. Tak ada rasa takut dalam matanya, seakan kejadian seperti ini sudah tidak asing lagi untuknya.Bugh"Aaa ...!" Kian kembali menjerit, ketika sebuah hantaman keras mendarat di pipi Ares, hingga membuat cowok itu tersungkur di lantai. Sedangkan Kian, yang saat itu di belakang Ares ikut terjatuh karena tersenggol tubuh pemuda itu."Aw," ringis gadis itu.Ares yang mendengarnya seketika menatap ke arah Kian."Bangun lo, brengsek!"Baju Ares di tarik paksa ke atas, hingga tubuhnya kembali berdiri seperti semula."Maksud lo apa, ha?!" Pemuda berambut sebahu, menatap nyalang penuh amar
"Gue gak mau berakhir seperti Alisa."Semua orang yang masih tersisa di ruangan itu sontak saja mengarahkan pandangan pada asal suara, tepat pada Risa yang terlihat mengepalkan tangan. Gadis itu baru mengeluarkan suara setelah ruangan kembali sunyi."Lo pikir gue mau?" ujar Monica sambil tersenyum sinis.Risa hanya menatap Monica sekilas, lalu menatap ponsel dalam genggaman. Yang memperlihatkan gambar sudoku."Kita harus menangkap pelakunya!" lanjut gadis itu."Tentu saja. Setelah pelakunya tertangkap, gue gak akan mengampuni mereka," ujar Monika sambil melirik ke arah dua gadis yang dia pojokkan sedari tadi. Risa yang tak terima, membalas dengan tatapan tajam ke arah Monika. Sedangkan Emily masih diam seperti tadi."Lalu, apa yang harus kita lakukan untuk menangkapnya?" Dave memandang satu persatu orang yang ada di sana, menuntut jawaban atas pertanyaan yang ia lontarkan.Semua orang lagi-lagi hanya terdiam, tak memiliki jawaban atas p
Jerit tangis pecah di sebuah tanah lapang dengan jejeran batu nisan. Seorang wanita berpakaian serba hitam menangis tersedu-sedu, di depan sebuah gundukan tanah basah yang bertabur kelopak bunga di atasnya.Semua orang yang menyaksikan kepiluan itu hanya bisa terdiam, memanjatkan doa pada Sang Kuasa di dalam hati, agar jiwa yang telah meninggalkan raganya itu di terima di sisi Yang Mahakuasa.Satu-persatu orang yang ada di sana mulai pergi, setelah pamit dan mengucapkan bela sungkawa atas meninggalnya putri semata wayang wanita itu, Alisa. Semua orang menyayangkan kepergian Alisa yang secara tiba-tiba dan tragis ini. Alisa adalah gadis yang cantik dan juga pintar, prestasinya pun tak perlu diragukan. Bisa menjadi mahasiswa di Universitas Epicentrium, yang merupakan universitas swasta ternama adalah salah satu bukti kepintaran Alisa. Meski universitas itu swasta, tapi yang bisa masuk hanyalah siswa-siswa berprestasi. Juga memiliki kekayaan yang mumpuni.Kini ting
Suara gaduh tiba-tiba terdengar dari balik papan yang berisi tumpukan buku. Hal itu menyita perhatian seorang pemuda yang sedari tadi sibuk berkutat dengan buku di depannya. Dia menghela napas, menaikkan kaca mata yang setia bertengger di hidungnya, lalu menutup buku tebal yang ia baca.Decitan kursi terdengar, tatkala pemuda itu berdiri dari duduknya. Ditariknya tas yang tergeletak tak jauh dari jangkauan, menyampirkannya pada salah satu bahu. Dia berjalan ke arah suara gaduh tadi, netra hitamnya menangkap seorang gadis yang terlihat sibuk memunguti buku-buku yang berserakan di lantai, menumpuknya di atas pangkuan. Sesekali tangannya menyelipkan rambut panjangnya yang menutupi mata. Pemuda itu kembali menghela napas, berjalan ke arah gadis itu, berjongkok untuk membantunya.“Terima kasih,” ujar gadis itu ketika semua buku kembali tertata rapi di tempat semula.Pemuda itu terdiam, mata hitamnya menatap lekat gadis yang berdiri di depannya.“Kian,” lanju