Dalam kegelapan yang hanya diterangi cahaya lampu remang-remang, Ares terlihat duduk di depan meja persegi panjang.
Dua kertas lusuh berisi permainan sudoku menyita seluruh perhatiannya. Dilihatnya kedua kertas itu secara bergantian dengan seksama.Isi dari kertas itu terlihat sama persis, hanya saja di kertas sebelah kanan terdapat tambahan masing-masing satu angka dalam dua kotak besar permainan. 1 dan 4. Tepatnya pada kotak ke-3 dan ke-5, jika diurutkan dari kiri semua juga atas ke bawah.
Bunyi notif pesan kini mengubah atensi pemuda itu. Layar ponsel berwarna silver yang terletak di samping kertas sudoku mengeluarkan cahaya, lalu cahayanya meredup.Pemuda itu menghela napas berat sebelum tangannya meraih benda pipih itu. Dibukanya aplikasi hijau, sebuah pesan masuk dari nomer yang tak ada namanya kini terpampang di layar.Kami telah kehilangan jejakTangan pemuda itu terkepal kuat, lalu memukul meja di depannya dengan keras hingga menimbulkan suara.Gue gak mau tau, cari dia sampai dapat***"Mon."Monica yang baru saja melangkah keluar kelas seketika menghentikan langkahnya. Dua orang pemuda berwajah mirip menghampirinya dengan tas yang disampirkan di bahu, siapa lagi kalau bukan Dava dan Deva."Kenapa?!""Wez, gak usah ketus gitu kali, Mon," ujar Deva."Ck, intinya aja. Gue gak punya banyak waktu.""Hmm, sok sibuk lo." Monica seketika menatap Dava dengan tajam, yang membuat pemuda tersenyum canggung. "Sorry, Mon. Sorry.""Biar gue jelasin." Melihat Monica yang dalam mode tidak bisa diajak bercanda, Deva pun segera menyampaikan maksudnya. "Si Risa ngajakin ketemuan di base camp, katanya mau bahas langkah kita selanjutnya.""Oke. Kalian duluan aja.""Gak mau bareng, Mon?""Gue ada urusan yang harus diselesein dulu.""Okedeh, kita duluan."Setelah si kembar pergi, Monica melangkah cepat menuju toilet. Gadis itu menengok ke segala arah, memastikan tidak ada orang lain di toilet saat itu. Setelah dirasa aman, dia masuk toilet yang terletak paling ujung.Dirogohnya saku celana, ponsel hitam kini dalam genggaman. Dengan cepat, Monica menelusuri kontak di ponselnya. Jarinya berhenti pada username A2, lalu ditekannya tombol telepon."Hallo, Bos."Suara berat dari sebrang telepone kini terdengar."Gue minta lo awasin dia terus. Kalau ada kesempatan, singkirin dia seperti yang lainnya, ngerti! Gue ingin, kematiannya jauh lebih buruk daripada kematian Alisa."TutSambungan diputus secara sepihak oleh Monica. Gadis itu tersenyum licik sambil menatap ponselnya yang menampilkan sebuah foto dirinya dan juga ketujuh temannya termasuk Alisa."Lo akan terima akibatnya karena main-main sama gue."***Setelah memastikan pesanya terkirim dan dibaca oleh Deva, dengan segera Risa keluar dari kelasnya. Gadis itu berjalan dengan amat tergesa, sampai tak melihat jika ada seseorang di depannya. Tabrakan pun tak terhindarkan. Tumpukan kertas yang dibawa oleh Kian, orang yang Risa tabrak, seketika berhamburan di lantai."Lo kalau jalan pake mata, dong!" bentak Risa.Pemilik mata almond hanya menatap datar dalam diam kertas-ketas yang berserakan di lantai, tak mempedulikan bentakan Risa."Maaf." Satu kata yang ditunggu Risa akhirnya keluar dari mulut Kian. Risa tersenyum puas karenanya."Minggir!"Dengan keras Risa menabrak tubuh Kian, hingga gadis itu terhuyung ke belakang. Lagi-lagi Kian hanya diam. Gadis itu memutar tubuh, menatap kepergian Risa dengan tatapan tajam juga tangan terkepal. Hanya beberapa detik, setelahnya dia berjongkok untuk memunguti kertas-kertas miliknya."Orang yang sombong, tidak akan bertahan lama, huh,"Lagi-lagi dengan tergesa Risa berjalan menuju parkiran. Setelah menemukan mobilnya, dengan segera gadis itu masuk dan melajukannya keluar dari area kampus.Honda jazz berwarna putih itu membelah jalan dengan kecepatan rata-rata.Diliriknya ke arah spion. Sebuah sedan hitam kini terlihat mengikuti mobil gadis itu."Mobil itu ... apa dia ngikutin gue?"Merasa ada yang tidak beres. Risa segera menambah kecepatan mobilnya. Lalu ketika ada belokan, gadis itu mengambilnya.Mobil itu masih di belakang, Risa sedikit tak yakin dan kembali berbelok untuk kedua kalianya. Dan benar saja, sedan hitam itu memang mengikuti dirinya.
"Kurang ajar."Gadis itu menggebrak kemudi cukup kuat. Hingga dia meringis karenanya. "Sial, pake sakit lagi."
Tanpa pikir panjang, Risa menginjak pedal gas dengan sekuat tenanga. Mobilnya kini meluncur begitu cepat. Melenggak-lenggok menyelip kendaraan yang lain, layaknya pembalap profesional.Sedangkan mobil yang mengikutinya pun tak mau kalah. Mobil itu terus mengikuti Risa.
Kebut-kebutan di jalan pun tak terhindarkan. Berbagai umpatan dari penggunan jalan lainnya kini terus saja dilayangkan pada mereka. Namun, Risa tak peduli. Dia harus lolos dari kejaran mobil itu.
Honda jazz putih milik Risa kini segaja berbelok ke arah jalanan yang sepi. Diliriknya spion mobilnya kembali. Gadis itu menghela napas. Lalu melambatkan laju kendaraannya."Sepertinya mobil tadi gak tau kalau gue belok."Risa menghentikan laju mobil, gadis itu menghela napas panjang. Diraihnya tas yang ia letakkan di kursi bagian belakang."Gue harus hubungi Emily." Diambilnya ponsel dari dalam tas. "Sial, baterai tinggal dikit."
Dengan tergesa, gadis itu kembali merogoh tas, mencari power bank.
Sebuah amplop kini terjatuh saat Risa mengambil power bank. Risa mengernyitkan kening, gadis itu berjongkok untuk mengambil amplop tersebut.Sebuah kertas berisi permainan sudoku kini terlihat ketika amplop itu dia buka. Dengan tangan bergetar, Risa mengeluarkan kertas itu dengan sempurna dari amplopnya."Su-sudoku yang sama." Matanya melotot sempurna, jantungnya berdegup kencang. Risa tak menyangka bahwa dia yang mendapatkan sudoku itu. "Tidak Risa, lo harus tenang."Dengan cepat gadis itu mengambil gambar sudoku tersebut. Lalu mengirimkannya pada Emily.
Risa mencoba menelepon Emily, untuk memberitahunya dengan pasti. Entah mengapa, Risa merasa dia tidak akan sampai ke base camp. Setidaknya untuk hari ini. Jadi, dia harus memberitahu Emily semuanya.
"Em, angkat. Gue mohon!" Dengan was-was Risa masih mencoba menghubungi Emily. "Sial, nie anak kemana sih."
Suara klakson yang dibunyikan keras, tiba-tiba terdengar. Risa yang terkejut bukan main, refleks melempar ponselnya ke depan.Saat, dia berjongkok untuk mengambil ponselnya. Suara klakson kembali terdengar, kali ini dibunyikan secara bertubi-tubi dan cukup keras, hingga terasa berdengung di telinga.
Risa menatap ke depan, dia menutup mata dengan kedua tangan ketika sebuah cahaya menyorot ke arahnya. Dengan perlahan gadis itu membuka tangannya, penasaran berasal dari mana cahaya itu.
Matanya membelalak, mulut menganga lebar ketika melihat sedan hitam yang tadi, melaju dengan kecepatan tinggi ke arahnya.
"Aaa ...!"BrakkSedan hitam itu menghantam keras mobil Risa hingga, honda jazz miliknya bergoyang dan terpukul mundur menyamping menabrak pembatas jalan. Selang beberapa menit, asap keluar dari mobil itu, disusul ledakan yang cukup keras yang mengakibatkan kebakaran hebat.“Em, lo datang sendiri?” tanya Deva yang berdiri menghalangi pintu masuk. Emily yang ditanya hanya mengangguk, lalu melangkah mendekat. “Risa gak sama lo?” lanjut pemuda itu. Dia sedari tadi celingukkan melihat ke belakang Emily, mencari keberadaan Risa. Orang yang mengatur pertemuan ini. Namun, tak ada tanda-tanda bahwa Risa telah datang.Emily mendorong Deva ke samping agar dia bisa lewat. Meski dorongan tersebut terkesan pelan, tetapi Deva segera menyingkir dengan sendirinya, membiarkan Emily masuk tanpa menjawab pertanyaan darinya. Setelah Emily masuk, Deva berdecak, lalu ikut masuk juga.Emily mendudukkan tubuhnya di kursi, menggelengkan kepala sebagai respon dari pertanyaan Deva tadi. Dia meletakkan tasnya di meja lalu melepas kacamata yang senantiasa bertengger di hidung. “ Risa tadi nyuruh gue berangkat duluan. Katanya ada yang mau diurus sebelum ke sini.”Deva hanya mengangguk mendengar pernyataan Emily. Pemuda
Halte bus yang terletak tak jauh dari tempat Emily berkumpul dengan teman-temannya, kini terlihat begitu sepi. Gadis itu menghela napas, berjalan menuju halte tersebut sambil menatap waspada. Jantungnya berdegup kencang, matanya memperhatikan segala arah, takut jika ada yang mengikutinya.Emily menghela napas ketika telah sampai. Gadis itu terduduk dalam diam, lalu berdecak sebal menendang batu kecil yang berada di depan sepatunya. Dia menyesal karena tak mengiayakan ajakan Deva yang menawari untuk pulang bersama. Dia takut jika terlihat bersama Deva akan mengundang bahaya. Jadi gadis itu berpikir untuk pulang naik bus. Dengan begitu, jika ada orang yang ingin mencelakainya, Emily bisa bersembunyi di antara keramaian. Menurutnya, tingkat kejahatan akan rendah ketika target berada dalam kerumunan. Namun, sialnya, malah halte ini tidak ramai seperti biasanya.Emily terus menatap waspada ke sekelilingnya. Jantungnya berdegup semakin kencang, meski di siang bol
"Lo udah baca berita di web klub Jurnalistik kampus?""Iya, gue udah baca.""Emang berita apaan?""Lo tau Alisa kan?""Alisa yang mati di perpus itu?""Iya. Katanya dia dibunuh bukan kecelakaan."Ares berdecak sebal ketika melewati beberapa mahasiswa yang tengah bergosip tentang kematian Alisa. Bagaimana pun Alisa pernah menjadi pacarnya, meskipun Ares tak pernah menginginkan gadis itu. Namun, tetap saja, dia tak suka jika ada yang membicarakan Alisa. Ada rasa takut, marah, sekaligus kecewa yang menyergap hatinya. Ares tidak tahu persis bagaimana dia bisa menggambarkan suasana hatinya saat ini. Tapi ada satu yang pasti, dia harus segera menemukan si pelaku penulisan berita tersebut. Dan itulah sebabnya, pemuda itu berdiri di depan pintu sebuah ruangan dengan papan kecil bertuliskan Klub Jurnalistik. Ares hanya diam bergeming di tempat sambil menyelipkan kedua tangan ke dalam saku. Iris hitam pekat miliknya hanya memandang satu titik yaitu pintu di depan
Suara gaduh tiba-tiba terdengar dari balik papan yang berisi tumpukan buku. Hal itu menyita perhatian seorang pemuda yang sedari tadi sibuk berkutat dengan buku di depannya. Dia menghela napas, menaikkan kaca mata yang setia bertengger di hidungnya, lalu menutup buku tebal yang ia baca.Decitan kursi terdengar, tatkala pemuda itu berdiri dari duduknya. Ditariknya tas yang tergeletak tak jauh dari jangkauan, menyampirkannya pada salah satu bahu. Dia berjalan ke arah suara gaduh tadi, netra hitamnya menangkap seorang gadis yang terlihat sibuk memunguti buku-buku yang berserakan di lantai, menumpuknya di atas pangkuan. Sesekali tangannya menyelipkan rambut panjangnya yang menutupi mata. Pemuda itu kembali menghela napas, berjalan ke arah gadis itu, berjongkok untuk membantunya.“Terima kasih,” ujar gadis itu ketika semua buku kembali tertata rapi di tempat semula.Pemuda itu terdiam, mata hitamnya menatap lekat gadis yang berdiri di depannya.“Kian,” lanju
Jerit tangis pecah di sebuah tanah lapang dengan jejeran batu nisan. Seorang wanita berpakaian serba hitam menangis tersedu-sedu, di depan sebuah gundukan tanah basah yang bertabur kelopak bunga di atasnya.Semua orang yang menyaksikan kepiluan itu hanya bisa terdiam, memanjatkan doa pada Sang Kuasa di dalam hati, agar jiwa yang telah meninggalkan raganya itu di terima di sisi Yang Mahakuasa.Satu-persatu orang yang ada di sana mulai pergi, setelah pamit dan mengucapkan bela sungkawa atas meninggalnya putri semata wayang wanita itu, Alisa. Semua orang menyayangkan kepergian Alisa yang secara tiba-tiba dan tragis ini. Alisa adalah gadis yang cantik dan juga pintar, prestasinya pun tak perlu diragukan. Bisa menjadi mahasiswa di Universitas Epicentrium, yang merupakan universitas swasta ternama adalah salah satu bukti kepintaran Alisa. Meski universitas itu swasta, tapi yang bisa masuk hanyalah siswa-siswa berprestasi. Juga memiliki kekayaan yang mumpuni.Kini ting
"Gue gak mau berakhir seperti Alisa."Semua orang yang masih tersisa di ruangan itu sontak saja mengarahkan pandangan pada asal suara, tepat pada Risa yang terlihat mengepalkan tangan. Gadis itu baru mengeluarkan suara setelah ruangan kembali sunyi."Lo pikir gue mau?" ujar Monica sambil tersenyum sinis.Risa hanya menatap Monica sekilas, lalu menatap ponsel dalam genggaman. Yang memperlihatkan gambar sudoku."Kita harus menangkap pelakunya!" lanjut gadis itu."Tentu saja. Setelah pelakunya tertangkap, gue gak akan mengampuni mereka," ujar Monika sambil melirik ke arah dua gadis yang dia pojokkan sedari tadi. Risa yang tak terima, membalas dengan tatapan tajam ke arah Monika. Sedangkan Emily masih diam seperti tadi."Lalu, apa yang harus kita lakukan untuk menangkapnya?" Dave memandang satu persatu orang yang ada di sana, menuntut jawaban atas pertanyaan yang ia lontarkan.Semua orang lagi-lagi hanya terdiam, tak memiliki jawaban atas p
"Aaa ...!" Beberapa kali jeritan terus terdengar dari mulut Kian, ketika semua benda yang sengaja dilempar itu berjatuhan di lantai. Kian melangkah mundur perlahan, berdiri di belakang Ares, menjadikan pemuda itu sebagai penutup dirinya.Mata hitam menatap datar ke arah seorang pemuda yang menjadi penyebab suara dan berantakannya rumah ini. Tak ada rasa takut dalam matanya, seakan kejadian seperti ini sudah tidak asing lagi untuknya.Bugh"Aaa ...!" Kian kembali menjerit, ketika sebuah hantaman keras mendarat di pipi Ares, hingga membuat cowok itu tersungkur di lantai. Sedangkan Kian, yang saat itu di belakang Ares ikut terjatuh karena tersenggol tubuh pemuda itu."Aw," ringis gadis itu.Ares yang mendengarnya seketika menatap ke arah Kian."Bangun lo, brengsek!"Baju Ares di tarik paksa ke atas, hingga tubuhnya kembali berdiri seperti semula."Maksud lo apa, ha?!" Pemuda berambut sebahu, menatap nyalang penuh amar
"Lo udah baca berita di web klub Jurnalistik kampus?""Iya, gue udah baca.""Emang berita apaan?""Lo tau Alisa kan?""Alisa yang mati di perpus itu?""Iya. Katanya dia dibunuh bukan kecelakaan."Ares berdecak sebal ketika melewati beberapa mahasiswa yang tengah bergosip tentang kematian Alisa. Bagaimana pun Alisa pernah menjadi pacarnya, meskipun Ares tak pernah menginginkan gadis itu. Namun, tetap saja, dia tak suka jika ada yang membicarakan Alisa. Ada rasa takut, marah, sekaligus kecewa yang menyergap hatinya. Ares tidak tahu persis bagaimana dia bisa menggambarkan suasana hatinya saat ini. Tapi ada satu yang pasti, dia harus segera menemukan si pelaku penulisan berita tersebut. Dan itulah sebabnya, pemuda itu berdiri di depan pintu sebuah ruangan dengan papan kecil bertuliskan Klub Jurnalistik. Ares hanya diam bergeming di tempat sambil menyelipkan kedua tangan ke dalam saku. Iris hitam pekat miliknya hanya memandang satu titik yaitu pintu di depan
Halte bus yang terletak tak jauh dari tempat Emily berkumpul dengan teman-temannya, kini terlihat begitu sepi. Gadis itu menghela napas, berjalan menuju halte tersebut sambil menatap waspada. Jantungnya berdegup kencang, matanya memperhatikan segala arah, takut jika ada yang mengikutinya.Emily menghela napas ketika telah sampai. Gadis itu terduduk dalam diam, lalu berdecak sebal menendang batu kecil yang berada di depan sepatunya. Dia menyesal karena tak mengiayakan ajakan Deva yang menawari untuk pulang bersama. Dia takut jika terlihat bersama Deva akan mengundang bahaya. Jadi gadis itu berpikir untuk pulang naik bus. Dengan begitu, jika ada orang yang ingin mencelakainya, Emily bisa bersembunyi di antara keramaian. Menurutnya, tingkat kejahatan akan rendah ketika target berada dalam kerumunan. Namun, sialnya, malah halte ini tidak ramai seperti biasanya.Emily terus menatap waspada ke sekelilingnya. Jantungnya berdegup semakin kencang, meski di siang bol
“Em, lo datang sendiri?” tanya Deva yang berdiri menghalangi pintu masuk. Emily yang ditanya hanya mengangguk, lalu melangkah mendekat. “Risa gak sama lo?” lanjut pemuda itu. Dia sedari tadi celingukkan melihat ke belakang Emily, mencari keberadaan Risa. Orang yang mengatur pertemuan ini. Namun, tak ada tanda-tanda bahwa Risa telah datang.Emily mendorong Deva ke samping agar dia bisa lewat. Meski dorongan tersebut terkesan pelan, tetapi Deva segera menyingkir dengan sendirinya, membiarkan Emily masuk tanpa menjawab pertanyaan darinya. Setelah Emily masuk, Deva berdecak, lalu ikut masuk juga.Emily mendudukkan tubuhnya di kursi, menggelengkan kepala sebagai respon dari pertanyaan Deva tadi. Dia meletakkan tasnya di meja lalu melepas kacamata yang senantiasa bertengger di hidung. “ Risa tadi nyuruh gue berangkat duluan. Katanya ada yang mau diurus sebelum ke sini.”Deva hanya mengangguk mendengar pernyataan Emily. Pemuda
Dalam kegelapan yang hanya diterangi cahaya lampu remang-remang, Ares terlihat duduk di depan meja persegi panjang.Dua kertas lusuh berisi permainan sudoku menyita seluruh perhatiannya. Dilihatnya kedua kertas itu secara bergantian dengan seksama.Isi dari kertas itu terlihat sama persis, hanya saja di kertas sebelah kanan terdapat tambahan masing-masing satu angka dalam dua kotak besar permainan. 1 dan 4. Tepatnya pada kotak ke-3 dan ke-5, jika diurutkan dari kiri semua juga atas ke bawah.Bunyi notif pesan kini mengubah atensi pemuda itu. Layar ponsel berwarna silver yang terletak di samping kertas sudoku mengeluarkan cahaya, lalu cahayanya meredup.Pemuda itu menghela napas berat sebelum tangannya meraih benda pipih itu. Dibukanya aplikasi hijau, sebuah pesan masuk dari nomer yang tak ada namanya kini terpampang di layar.Kami telah kehilangan jejakTangan pemuda itu terkepal kuat, lalu memukul meja di depannya dengan keras
"Aaa ...!" Beberapa kali jeritan terus terdengar dari mulut Kian, ketika semua benda yang sengaja dilempar itu berjatuhan di lantai. Kian melangkah mundur perlahan, berdiri di belakang Ares, menjadikan pemuda itu sebagai penutup dirinya.Mata hitam menatap datar ke arah seorang pemuda yang menjadi penyebab suara dan berantakannya rumah ini. Tak ada rasa takut dalam matanya, seakan kejadian seperti ini sudah tidak asing lagi untuknya.Bugh"Aaa ...!" Kian kembali menjerit, ketika sebuah hantaman keras mendarat di pipi Ares, hingga membuat cowok itu tersungkur di lantai. Sedangkan Kian, yang saat itu di belakang Ares ikut terjatuh karena tersenggol tubuh pemuda itu."Aw," ringis gadis itu.Ares yang mendengarnya seketika menatap ke arah Kian."Bangun lo, brengsek!"Baju Ares di tarik paksa ke atas, hingga tubuhnya kembali berdiri seperti semula."Maksud lo apa, ha?!" Pemuda berambut sebahu, menatap nyalang penuh amar
"Gue gak mau berakhir seperti Alisa."Semua orang yang masih tersisa di ruangan itu sontak saja mengarahkan pandangan pada asal suara, tepat pada Risa yang terlihat mengepalkan tangan. Gadis itu baru mengeluarkan suara setelah ruangan kembali sunyi."Lo pikir gue mau?" ujar Monica sambil tersenyum sinis.Risa hanya menatap Monica sekilas, lalu menatap ponsel dalam genggaman. Yang memperlihatkan gambar sudoku."Kita harus menangkap pelakunya!" lanjut gadis itu."Tentu saja. Setelah pelakunya tertangkap, gue gak akan mengampuni mereka," ujar Monika sambil melirik ke arah dua gadis yang dia pojokkan sedari tadi. Risa yang tak terima, membalas dengan tatapan tajam ke arah Monika. Sedangkan Emily masih diam seperti tadi."Lalu, apa yang harus kita lakukan untuk menangkapnya?" Dave memandang satu persatu orang yang ada di sana, menuntut jawaban atas pertanyaan yang ia lontarkan.Semua orang lagi-lagi hanya terdiam, tak memiliki jawaban atas p
Jerit tangis pecah di sebuah tanah lapang dengan jejeran batu nisan. Seorang wanita berpakaian serba hitam menangis tersedu-sedu, di depan sebuah gundukan tanah basah yang bertabur kelopak bunga di atasnya.Semua orang yang menyaksikan kepiluan itu hanya bisa terdiam, memanjatkan doa pada Sang Kuasa di dalam hati, agar jiwa yang telah meninggalkan raganya itu di terima di sisi Yang Mahakuasa.Satu-persatu orang yang ada di sana mulai pergi, setelah pamit dan mengucapkan bela sungkawa atas meninggalnya putri semata wayang wanita itu, Alisa. Semua orang menyayangkan kepergian Alisa yang secara tiba-tiba dan tragis ini. Alisa adalah gadis yang cantik dan juga pintar, prestasinya pun tak perlu diragukan. Bisa menjadi mahasiswa di Universitas Epicentrium, yang merupakan universitas swasta ternama adalah salah satu bukti kepintaran Alisa. Meski universitas itu swasta, tapi yang bisa masuk hanyalah siswa-siswa berprestasi. Juga memiliki kekayaan yang mumpuni.Kini ting
Suara gaduh tiba-tiba terdengar dari balik papan yang berisi tumpukan buku. Hal itu menyita perhatian seorang pemuda yang sedari tadi sibuk berkutat dengan buku di depannya. Dia menghela napas, menaikkan kaca mata yang setia bertengger di hidungnya, lalu menutup buku tebal yang ia baca.Decitan kursi terdengar, tatkala pemuda itu berdiri dari duduknya. Ditariknya tas yang tergeletak tak jauh dari jangkauan, menyampirkannya pada salah satu bahu. Dia berjalan ke arah suara gaduh tadi, netra hitamnya menangkap seorang gadis yang terlihat sibuk memunguti buku-buku yang berserakan di lantai, menumpuknya di atas pangkuan. Sesekali tangannya menyelipkan rambut panjangnya yang menutupi mata. Pemuda itu kembali menghela napas, berjalan ke arah gadis itu, berjongkok untuk membantunya.“Terima kasih,” ujar gadis itu ketika semua buku kembali tertata rapi di tempat semula.Pemuda itu terdiam, mata hitamnya menatap lekat gadis yang berdiri di depannya.“Kian,” lanju