Satu minggu lagi adalah hari pernikahan Sinta. Akan tetapi rasanya untuk bertahan sedikit lagi, itu rasanya sulit sekali. Dia tahu, harusnya ia tidak boleh banyak mau, sudah syukur Keenan mau menikahinya, mau membantu dirinya, menghindarkan dia dari rasa malu, karena hamil tanpa suami. Tapi, boleh tidak sih, dia juga punya rasa sedih dan kecewa? Boleh tidak sih dia mengutarakan isi hatinya?Keenan selalu mengingkari janjinya. Laki-laki itu bilang, akan berusaha untuk lebih memperhatikan dirinya. Akan tetapi, pada kenyataannya itu hanyalah angin yang sekedar berlalu untuk mendamaikan Sinta saja.Untuk beberapa saat memang angin lalu itu begitu mendinginkan Sinta. Tapi, sungguh itu semua hanya sementara yang setelahnya membuat dirinya semakin masuk ke dalam lubang panas yang menyiksanya.Sinta berusaha keras sekali mempertahankan harga dirinya di depan Ana dengan menampilkan kebahagiaan, seolah dirinya dan Keenan adalah pasangan sempurna saat laki-laki itu sendiri sama sekali tidak tert
Dosa Sinta, dia sadar memang banyak sekali. Tapi dia tidak menyangka lagi-lagi karma instan secepat itu menimpanya. Seperti saat ini, setelah apa yang ia katakan kepada Ana hari ini. Dia langsung mendapatkan imbalannya. Mobil yang Keenan kendarai yang ada Sinta di dalamnya, semakin lama semakin melaju dengan kecepatan tinggi. Keenan benar-benar seperti orang kerasukan yang tidak memiliki rasa takut. Tubuh Sinta bergerak ke kanan dan ke kiri, ke atas lalu dihempas lagi duduk pada tempatnya semula. Beberapa kali tubuh perempuan itu juga terbentur pada pintu mobil. Agak sedikit ngilu sebenarnya sekujur tubuhnya. Mual, pusing, rasa takut tidak bisa dihindarinya. Sayangnya dia sendiri tidak mampu berbuat apa-apa. Kalau saja tidak ada sabuk pengaman mungkin dia akan terjerembap jatuh dari kursi penumpang ini. Berkali-kali Sinta berusaha memanggil Keenan. Memohon laki-laki itu agar bersikap waras, berteriak dan bahkan mengumpat, tapi semua itu percuma. Keenan benar-benar tidak mau peduli.
Keenan turun dari tempat tidurnya. Berjalan menuju pintu kaca besar lalu menyibak gorden kamarnya. Langit masih gelap, bahkan bulan dan bintang masih terlihat, walau tampak malu-malu di atas sana. Cahaya matahari juga belum bisa dilihatnya. Maju beberapa langkah ia menghirup udara pagi yang belum banyak tercemar oleh polusi. Sangat menyejukkan. Kepalanya menjadi dingin, suasana hatinya menjadi sedikit lebih membaik. Kebiasaan Keenan sebenarnya adalah selalu bangun pagi. Seberapa malam pun dia tidur, entah kenapa otomatis dia akan selalu bangun sebelum matahari muncul menyinari permukaan bumi. Kecuali jika pikirannya lagi suntuk, walau sebenarnya dia sudah terbangun, tapi matanya akan tetap terpejam dan dia akan berdiam diri di dalam kamarnya. Bersemadi, berusaha tidak memikirkan apa-apa, atau pun untuk sekedar mendengarkan musik saja di dalam kamarnya. Keenan menyeret kedua kakinya, digerakkan juga tubuhnya menuju kamar mandi. Mandi, memakai kemeja kerjanya, dan menyisir rambutnya y
Sinta tidak bisa menghentikan senyumnya sejak dari awal Keenan menghubungi dan menanyai dirinya ingin dibawakan apa saat laki-laki itu pulang nanti.Berkali-kali Sinta mondar-mandir melihat jam yang lama sekali berputar. Dia tidak sabar ingin segera bertemu dengan Keenan. Dadanya berdebar tidak karuan. Dia gelisah sekali. Menyesal juga dia sempat tidak mau bertemu laki-laki itu kemarin yang sekarang membuat dirinya rindu setengah mati.Di depan cermin Sinta sekarang. Berputar-putar ia memperbaiki penampilannya, memakai pakaian terbaiknya, berdandan, dan mengoleskan make-up tipis-tipis pada mukanya. Dia tidak sabar sekali menunggu Keenan pulang nanti. Oh Tuhan, sekarang mereka benar-benar mirip seperti pasangan sungguhan.Buru-buru Sinta mencoba mengatur ekspresi wajahnya agar tidak terlalu kentara, jika dia sangat begitu antusiasnya melihat Keenan pulang. Wangi parfum laki-laki itu menguar berbarengan saat Keenan memasuki ruangan. Parfum yang begitu memabukkan bagi Sinta. Dia suka wan
“Lo suka banget sih tidur di rumah gue, An,” protes Cika kepada Ana yang sudah dua hari tidak kunjung pulang ke rumahnya. Kalau dia jadi Ana, dia pasti bakalan sangat betah tinggal di rumah yang fasilitasnya serba ada. Ingin sesuatu pun hanya asal tunjuk, dan pembantu mereka yang akan melaksanakannya.Itu sih khayalan Cika saja. Pada kenyataannya, sahabatnya itu hampir tidak pernah minta tolong kepada pembantunya di sana. Ke mana saja Ana juga sendirian, tanpa ditemani sopir pribadi dan malah seringnya merepotkannya. Sama halnya dengan Tiara adik Ana yang rela menunggunya lama hanya untuk dijemput oleh dirinya, dari pada harus minta tolong dengan sopir mereka. Yang sopir sebenarnya siapa, sih? Mereka menggaji pekerja, emang buat apa, sih? Heran juga dirinya.Cika lalu sengaja menendang-tendang pinggang Ana agar sahabatnya itu segera enyah dari tempat tidurnya. Tapi percuma saja, usahanya berakhir sia-sia. Sahabatnya itu malah seperti dininabobokan oleh kakinya.Cika bahkan menyetel mu
“An ... sudah beres semua persiapan gaunnya?” tanya Cika memastikan.Ana terenyak. Fokusnya menatap beberapa foto yang baru sehari diunggah di media sosial oleh Keenan dan Sinta buyar. Foto itu menampilkan betapa bahagianya mereka berdua. Kedua pasangan sejoli itu saling senyum yang membuat siapa pun akan iri melihatnya. Pasangan laki-laki tampan dan perempuan cantik. Siapa yang tidak iri? Apa dia saja sebenarnya yang merasa iri? Tidak, kan?Kembali lagi Ana menatap gaun yang beberapa waktu yang lalu sebenarnya ingin sekali rasanya perempuan itu robek-robek. Iya, dia bukanlah sosok manusia yang punya hati seratus persen luar biasa baiknya. Ada beberapa persen juga sisi gelap di dalam hatinya. Ia juga merasakan ke tidak sukaan atau iri saat perempuan yang menganggapnya musuh akan hidup bahagia dengan orang yang memiliki posisi cukup penting di dalam hatinya.Akan tetapi entah mengapa dalam beberapa jam saja, perasaan iri serta jengkel musnah dalam sekejap. Foto-foto bahagia yang Ana li
Keenan menggigil, akhirnya badannya menunjukkan protes juga setelah dipaksa untuk bekerja dan berpikir dengan begitu kerasnya. Hidungnya mampet, beberapa kali ia juga mulai bersin-bersin. Sinta pun sempat mengukur suhu tubuhnya, tiga puluh delapan koma lima derajat. Sepertinya, memang lumayan tinggi juga. Lalu agak samar Keenan merasakan, bahkan perempuan itu juga sempat dengan telatennya mengompres dan merawat dirinya.Akan tetapi, sekarang Keenan sendirian. Kira-kira empat jaman yang lalu kalau tidak salah, Sinta pamit kepada dirinya untuk pergi ke apotek. Mungkin soal jamnya dia juga tidak begitu yakin, dikarenakan kondisinya yang antara sadar dan tidak ini. Akan tetapi, yang jelas Keenan tahu itu lumayan lama untuk jarak yang hanya lima ratusan meter saja. Apa perempuan itu masih ada keperluan lain, sehingga belum sampai juga di apartemen? Saat ini dirinya benar-benar dilanda rasa khawatir.Tadinya Sinta sempat mengajak Keenan untuk segera pergi memeriksakan diri ke rumah sakit at
Beberapa waktu tadi ayah Daren menghubunginya. Menyuruh laki-laki itu untuk segera pulang, karena banyak pekerjaan yang harus dikerjakannya. Yah, ayahnya memang seperti itu. Tidak akan ada namanya bekerja, jika dia tidak berkutat seharian di kantor dengan bertemankan laptop serta berkas-berkas yang menggunung. Padahal walau Daren ada di Indonesia sekalipun, ia masih tetap bekerja. Akan tetapi, tetap saja itu semua tidak masuk dalam kriteria kerja ayahnya.Melihat laporan-laporan yang harus diperiksanya, mengucek kedua matanya yang mulai pedih, pada akhirnya Daren menyerah juga. Ia lalu meletakkan ponsel pintarnya ke sembarang tempat. Alasan apa lagi yang akan ia katakan untuk menunda kepulangannya? Sepertinya, dia mulai kehabisan ide. Kemudian, laki-laki itu memijit pelipisnya yang mendadak terasa berat sekali.Daren mendongak menatap gedung yang menjulang tinggi di balik kemudinya. Laki-laki itu mengigil. Meski di dalam mobil, hawa dingin tetap saja masih bisa ia rasakan. Menatap sek
“Ma, aku mau ke belakang dulu. Kuenya sudah habis, nih....” Untuk meyakinkan sang mama, Ana memperlihatkan jika yang tersisa di atas piringnya adalah hanya tinggal udara saja. Karena, jika sampai tersisa secuil saja kue yang baru diberikan oleh mamanya, maka akan tamat riwayatnya saat itu juga. Gadis itu pun kemudian menyipitkan mata ke arah Beni dan memberi kode agar pria itu segera menyusulnya, tentu saja setelah melihat juga tidak ada yang tersisa pada piring sang kakak. Hari ini seperti biasa, saat ibu ratu di keluarga Ana tengah melakukan percobaan membuat kue ala-ala, seluruh anggota keluarga diharuskan untuk berkumpul dan dengan rela menjadi kelinci percobaan mama mereka. Namun untung saja, walau pun pertama kali mencoba resepnya, hampir sembilan puluh sembilan persen produk yang dihasilkan layak untuk dinikmati oleh semuanya, jadi Ana mau pun yang lainnya tidak benar-benar terpaksa melakukannya, kecuali jika dia sedang mengurangi berat badannya. Yah, kue yang terdiri dari tum
Beberapa kali Ana mengatur napas, agar emosinya tidak sampai meledak. Mencoba mengabaikan suara-suara yang mengganggu telinganya, tatkala ia diharuskan menyelesaikan pekerjaan kantornya. Suara-suara itu terus saja mengganggu, bahkan gadis itu sampai harus menutup kedua telinga, demi agar bisa fokus dengan apa yang ada di depannya.Memejamkan mata lalu menghela napa dalam-dalam, akhirnya kesabaran Ana pun sudah berada pada puncak tertingginya. Gadis itu memukul tumpukan sketsa yang sudah dikerjakannya beberapa waktu yang lalu dan menatap lekat-lekat keadaan Cika, sahabatnya yang hanya berjarak beberapa meter saja dari tempatnya. Amarahnya tadi menguap seketika, saat setelah ia melihat keadaan sahabatnya yang jauh dari keadaan baik-baik saja.“Kenapa, Cik? Ada masalah apa?” tanyanya. Sebelum, pada akhirnya berdiri mendorong mundur kursi kerjanya dengan kedua kaki dan berjalan mendekat ke arah Cika.Ana memijat pelipis, sembari mengamati keadaan ruangannya saat ini. Kapal pecah yang umum
Malam ini Ana dan Cika, mereka berdua sudah tiba di taman tempat Beni menyuruhnya ke sana. Suasana taman gelap, karena memang ini sudah pukul setengah sembilan malam. Memang ada penerangan di sini, namun tidak banyak. Hanya ada beberapa cahaya lampu taman yang cukup minim.Cika mengamati lingkungan sekitarnya. Gadis itu tampak heran, karena tidak biasanya taman sesepi ini. Biasanya, walau tidak banyak orang yang berlalu lalang, setidaknya ketika malam hari di pinggiran taman masih ada beberapa pedagang yang berjualan. Bahkan, kalau Cika tidak salah biasanya juga ada beberapa anak muda yang sedang nongkrong di sana.“Beni ngapain minta lo datang ke sini sih, An?” Cika merinding. Entah karena udara malam ini sangat dingin, ataukah karena tempat ini lebih mirip kuburan. Membuatnya, jadi berpikiran yang tidak-tidak. Dan satu lagi yang juga jadi pertanyaan besar Cika, adalah kenapa Beni menyuruh Ana datang ke sini? Bukan bertemu di rumah atau paling tidak di kafe saja yang banyak peneranga
Daren menatap rentetan pesan pada layar ponselnya. Pesan-pesan yang banyak itulah yang membuatnya harus berdiam diri di sini dari setengah jam yang lalu. Kalau bukan karena rasa putus asanya, dia pasti akan mengabaikannya saja.Hiruk-pikuk orang-orang membuatnya pusing. Daren rasanya lelah sendiri melihat keramaian-keramaian ini seorang diri, dan sebenarnya dia malas sekali ada orang lain yang akan menemaninya selain Ana, tentu saja.Pandangan Daren lalu dialihkan pada sosok gadis yang berjalan mendekat ke arahnya. Yah, Daren akui, gadis itu memang cantik. Namun, seberapa cantik dia tidak mampu membuatnya melupakan Ana begitu saja. Ana satu-satunya gadis yang membuatnya tertarik sejak awal pertemuan mereka. Entah kenapa, pria itu sendiri juga tidak tahu apa alasannya.“Sudah menunggu lama?” tanya gadis itu. Dengan anggun dia lalu menarik kursi yang ada di depannya, kemudian mendudukinya.Daren tersenyum, hanya sebuah senyuman untuk menghargai lawan bicaranya saja. “Lumayan,” jawabnya.
“Terus ... apa jawaban lo, An?” tanya Cika setelah mendengar cerita Ana tentang Daren beberapa waktu yang lalu. Ceritanya panjang sekali, herannya dia sama sekali tidak pernah bosan mendengarkannya.Gelengan lemas diberikan Ana sebagai jawaban atas pertanyaan dari sahabat dekatnya itu. Ana lunglai, persis sekali seperti manusia yang tidak makan beberapa hari. Yah, berbeda sekali dengan Cika yang selalu saja berapi-api. Apalagi untuk kasus mengatai Ana setelah selesai menceritai.“Kalau lo diam aja ... gila banget, sih. Lo merelakan kesempatan yang enggak tahu bakalan ada sampai kapan lagi.” Cika menyipitkan kedua matanya, menelisik tajam segala mimik wajah yang ditampilkan oleh Ana. “Jangan bilang lo masih bingung atau apalah itu sama perasaan lo sendiri. Jangan lagi deh, An ... sumpah jangan lagi,” tambah gadis itu lagi masih berapi-api. Cika adalah satu-satunya orang yang sangat frustasi dengan ketidaktegasan dari sahabatnya itu. Karena memang, hanya gadis itulah tempat pembuangan s
"An, nitip beli in pecel dong pengen, nih!"Ana cemberut, Beni sekarang benar-benar mendalami peran sebagai kakak rupanya, dia sudah berani menyuruh dirinya seenaknya."Aku juga, Kak! Mama sama papa juga nitip sama es boba, ya? Rasa apa aja terserah, yang penting gratis!" Belum juga ia membuka mulut, mulut Tiara jauh lebih cepat bersuara dari pada dirinya. Ana melotot kepada Cika yang hendak akan ikut bersuara juga.“Kenapa melotot kayak gitu, Kak? Jangan jahat-jahat lagi jadi manusia tahu!” sergah Tiara kepadanya.Tunggu, sejak kapan Cika dan Tiara menjadi sekutu? Apa dia ketinggalan sesuatu.“Buruan, Kak ... katanya sekalian sama olahraga juga?” Tiara mendorong-dorong tubuh Ana, seolah menyuruhnya agar segera enyah dari sana. “Keburu siang ... kan enggak enak ya olahraga siang-siang. Panas gitu, jadi gosong lo ntar.”Ana mengibaskan bahunya. "Setidaknya salah satu dari kalian ikut bantu gue dong ... tega banget, sih! Gue kan ke car free day buat olahraga, bukan buat jadi jasa antar
Di luar sana Ana bisa melihat orang-orang tengah berbincang dan tertawa di sela-sela perbincangan mereka. Dia hampir lupa rasanya bahagia seperti itu setelah apa yang ia alami akhir-akhir ini. Ternyata, setelah kembali pada realitas, nyatanya masih tetap saja sama. Hatinya, masih merasakan sendu.Pandangan Ana beralih pada pemuda di depannya. Selalu saja tampan, semua mengakui ketampanan itu. Tidak terkecuali dirinya. Iya, dia juga sempat bertahun-tahun menyukainya. Sempat lupa, karena mereka sudah tidak pernah bertemu dan merasakan rasa yang sama lagi saat laki-laki itu kembali menyambangi hidupnya. Sayangnya, lagi-lagi dihancurkan kembali. Ana memang tidak pernah kapok.“An....”Selalu saja bodoh. Ana selalu meyakinkan pertemuannya dengan Keenan adalah pertemuan yang terakhir kalinya. Akan tetapi, saat laki-laki itu kembali memintanya bertemu lagi, Ana selalu saja tidak sanggup menolaknya. Walau pun sesungguhnya ia tahu, bertemu dengan laki-laki itu selalu berakhir tidak baik bagi h
“Iih sono-sono! Jangan bikin pemandangan pagi gue jadi kayak film horor deh, An!”Mengabaikan ucapan Cika, Ana berjalan ke luar kamar dengan tubuh yang gontai. Betapa pun perempuan itu malas, dia tetap harus menghadapi kenyataannya hari ini. Kembali bekerja, sesuai rutinitasnya.Cika memandangi penampilan Ana dari atas sampai bawah lalu berdecak. “Lo sisiran enggak, sih? Atau jangan-jangan lo enggak mandi, ya?”Ana terdiam memeriksa rambutnya. Perempuan itu lalu terkekeh. “Eh, iya lupa gue. Mandi gue, Cik. Ngawur aja, lo! Tapi gue lupa sih sikat gigi atau enggak?” Perempuan itu menghembuskan napas pada telapak tangannya.“Jorok, lu!” seru Cika bergidik ngeri.Ana terkekeh. “Ya kali, Cik gue gak sikat gigi. Lo ada-ada aja, ih.”“Bisa jadi, kan? Lo kan anaknya suka ngawur.”Ana mengibaskan tangannya seolah tidak peduli. Perempuan itu menggaruk tengkuknya sambil sesekali menguap.“Idiih ... buruan sisiran napa! Kalu nanti ketemu cogan biar uda cantik, rapi. Duh sini gue sisirin! Sumpek g
Satu jam yang lalu Daren pergi meninggalkan Ana sendirian, akan tetapi gejolak batin yang dirasa setelah kepergian laki-laki itu begitu memberikan efek yang lumayan besar bagi Ana. Perempuan itu tidak tenang.“Kita masih bisa berteman, kan?” ucap Ana menirukan Daren tadi. “Gila apa? Kenapa dia harus berusaha keras sekali mencarinya, jika hanya ingin berteman saja?” Perempuan itu menjambak rambutnya beberapa kali seperti orang gila.“Ke mana aja sih!” sembur Ana begitu mendengar suara pintu rumah terbuka dan suara nyaring sepatu pantofel yang ia yakini adalah Cika pemiliknya. Ya, perempuan itu memang sudah hafal betul bunyi langkah kaki dari sahabatnya itu.Cika meringis mendengar nada penuh amarah dari Ana. Kenapa tiba-tiba dia kena marah? Bukankah seharusnya setelah berlibur, suasana hati sahabatnya itu menjadi lebih baik? Kenapa justru sebaliknya yang ia rasakan? Suasana rumahnya bahkan tiba-tiba menjadi ikut mencekam.Cika melepas sepatu pantofel berhak tujuh sentimeter itu lalu be