“An ... sudah beres semua persiapan gaunnya?” tanya Cika memastikan.Ana terenyak. Fokusnya menatap beberapa foto yang baru sehari diunggah di media sosial oleh Keenan dan Sinta buyar. Foto itu menampilkan betapa bahagianya mereka berdua. Kedua pasangan sejoli itu saling senyum yang membuat siapa pun akan iri melihatnya. Pasangan laki-laki tampan dan perempuan cantik. Siapa yang tidak iri? Apa dia saja sebenarnya yang merasa iri? Tidak, kan?Kembali lagi Ana menatap gaun yang beberapa waktu yang lalu sebenarnya ingin sekali rasanya perempuan itu robek-robek. Iya, dia bukanlah sosok manusia yang punya hati seratus persen luar biasa baiknya. Ada beberapa persen juga sisi gelap di dalam hatinya. Ia juga merasakan ke tidak sukaan atau iri saat perempuan yang menganggapnya musuh akan hidup bahagia dengan orang yang memiliki posisi cukup penting di dalam hatinya.Akan tetapi entah mengapa dalam beberapa jam saja, perasaan iri serta jengkel musnah dalam sekejap. Foto-foto bahagia yang Ana li
Keenan menggigil, akhirnya badannya menunjukkan protes juga setelah dipaksa untuk bekerja dan berpikir dengan begitu kerasnya. Hidungnya mampet, beberapa kali ia juga mulai bersin-bersin. Sinta pun sempat mengukur suhu tubuhnya, tiga puluh delapan koma lima derajat. Sepertinya, memang lumayan tinggi juga. Lalu agak samar Keenan merasakan, bahkan perempuan itu juga sempat dengan telatennya mengompres dan merawat dirinya.Akan tetapi, sekarang Keenan sendirian. Kira-kira empat jaman yang lalu kalau tidak salah, Sinta pamit kepada dirinya untuk pergi ke apotek. Mungkin soal jamnya dia juga tidak begitu yakin, dikarenakan kondisinya yang antara sadar dan tidak ini. Akan tetapi, yang jelas Keenan tahu itu lumayan lama untuk jarak yang hanya lima ratusan meter saja. Apa perempuan itu masih ada keperluan lain, sehingga belum sampai juga di apartemen? Saat ini dirinya benar-benar dilanda rasa khawatir.Tadinya Sinta sempat mengajak Keenan untuk segera pergi memeriksakan diri ke rumah sakit at
Beberapa waktu tadi ayah Daren menghubunginya. Menyuruh laki-laki itu untuk segera pulang, karena banyak pekerjaan yang harus dikerjakannya. Yah, ayahnya memang seperti itu. Tidak akan ada namanya bekerja, jika dia tidak berkutat seharian di kantor dengan bertemankan laptop serta berkas-berkas yang menggunung. Padahal walau Daren ada di Indonesia sekalipun, ia masih tetap bekerja. Akan tetapi, tetap saja itu semua tidak masuk dalam kriteria kerja ayahnya.Melihat laporan-laporan yang harus diperiksanya, mengucek kedua matanya yang mulai pedih, pada akhirnya Daren menyerah juga. Ia lalu meletakkan ponsel pintarnya ke sembarang tempat. Alasan apa lagi yang akan ia katakan untuk menunda kepulangannya? Sepertinya, dia mulai kehabisan ide. Kemudian, laki-laki itu memijit pelipisnya yang mendadak terasa berat sekali.Daren mendongak menatap gedung yang menjulang tinggi di balik kemudinya. Laki-laki itu mengigil. Meski di dalam mobil, hawa dingin tetap saja masih bisa ia rasakan. Menatap sek
Keenan otomatis terbangun begitu merasakan aroma masakan yang begitu menggoda perutnya. Tidak menunggu kesadarannya pulih seratus persen ia sampai berlari dengan terburu-buru ke luar dari kamarnya.Badannya sudah sepenuhnya pulih, kepalanya juga seringan kapas sekarang ini. Keenan tidak sabar akan apa yang dilihatnya setelah ini. Dengan senyum lebar laki-laki itu menuju dapur, karena ia tahu jelas sumber aroma itu menguar dari sana.Begitu sampai di bibir dapur, senyum lebarnya berubah, kedua alisnya menyatu. Bahkan Keenan sampai melangkah mundur saking tidak percaya dengan apa yang tengah dilihatnya. Laki-laki itu sampai berkali-kali mengucek kedua matanya, tapi penampakan yang ada di hadapannya tetap saja sama. Tidak berubah.Tunggu ... Keenan tidak salah lihat, kan? Bukan Ana yang seperti perkiraannya yang ada di sana, namun sosok manusia yang berjenis kelamin sama dengan dirinya yang malah ada di hadapannya. Seperti iklan pasta gigi, laki-laki itu tersenyum memamerkan deretan gigi
Satu tahun kemudian....“An! Lo teman baik gue, kan? Best friend forever-nya gue, kan?”“Bukan, sih,” jawab Ana malas. Dia tahu mode Cika kalau sedang ingin memintanya melakukan hal-hal aneh.“Lo mau masuk mobil enggak? Ini jadi keluar gak sih? Kita katanya mau makan. Lapar gue. Keburu udah pada tutup nanti tempat makannya.” Ana itu adalah tipe manusia yang gampang sekali terbawa emosi, jika dirinya sedang lapar. Maka dari itu begitu mendapati Cika yang dari tadi hanya menunda-nundanya untuk segera mengisi perutnya yang kosong. Rasanya, ingin sekali dia memakan sahabatnya itu.Saat melihat tampang Ana yang sangat tidak begitu bersahabat. Cika pun, pada akhirnya memutuskan untuk segera memasuki mobil sahabatnya. Tetapi, bukannya memakai sabuk pengaman dengan segera, perempuan itu malah diam melamun sambil memijat pelipisnya saja.“Pakai Dodol ... sabuk pengamannya! Lo mau kena tilang?”Lagi-lagi bukannya langsung mematuhi saran Ana. Cika malah menatap sahabatnya itu dengan tampang mela
Ana menelan ludah dengan susah payah serta meremas ujung roknya dengan gelisah begitu di depannya berdiri sosok yang selama satu tahun ini tidak pernah ditemuinya. Penampakan yang lebih mengejutkan dari pada melihat hantu di siang bolong.“Keen? Lo sehat? Udah gak sakit lagi?”Keenan mengerutkan kedua alisnya bingung, karena dia merasa sehat-sehat saja akhir-akhir ini.Ana meringis. Ok, terakhir kali mereka bertemu memang ketika Keenan sedang sakit. Tapi, ya Tuhan Ana ... itu sudah setahun yang lalu!“Sorry ... sorry, gue masih teringat waktu lo sakit tempo hari.”“Ingat yang mana?” tanya Keenan dengan tampang jahil. Melihat Ana berubah menjadi kikuk, laki-laki itu memutuskan tidak melanjutkan kejahilannya. Mereka sudah tidak sama seperti dulu.Ana melotot, agak ragu juga menanggapinya. Dia bingung harus bagaimana, jika mengenang hal yang agak-agak tabu.“An, lo udah lama di sini?” Keenan tolah-toleh seperti tengah mencari keberadaan seseorang.Ana mengangguk. “Lo ngapain ada di sini?
Setelah beberapa waktu tadi Ana memberitahukan sebuah fakta mengenai perjodohan antara Beni dan Cika. Mereka berempat sekarang hanya diam saling tatap satu sama lain. Lebih tepatnya, Keenan dan Ana menunggu tanggapan dari Beni juga Cika mengenai fakta tentang perjodohan mereka.Ya, ini semua ide Keenan. Memanggil Cika dan Beni di kafe tempat di mana kemarin mereka bertemu. Syukurnya, keduanya tidak memiliki kecurigaan sama sekali.“Gak lucu deh, An,” ujar Beni pada akhirnya.“Lah emang aku gak lagi ngelucu, Ben. Kamu kira aku lagi nglawak?”“Lo gak sesuka itu kelihatannya, Ben ... tahu kalau lo dijodohin sama gue,” ujar Cika. Harga dirinya sedikit terluka saat melihat Beni terang-terangan tidak suka dengan acara perjodohan dari keluarga mereka.“Hah, Maksudnya? Bukannya lo juga sama? Lo juga minta tolong Ana sama seperti gue minta tolong Keenan, kan?”“Itu saat gue gak tahu kalau yang dijodohin sama gue itu lo?”“Maksudnya?”Ana menyenggol lengan Cika. Temannya ini lebih bar-bar terny
“Satu jam empat puluh lima detik,” sindir Daren sembari menyipitkan kedua matanya. Dia ingin jual mahal dengan pura-pura marah, akan tetapi juga ingin sekali dipeluk oleh Ana. Alhasil yang dilakukan laki-laki berkaca mata itu adalah merentangkan kedua tangannya ke depan dengan pandangannya yang menatap ke arah lain. Jadi, dia masih tetap bisa marah sekaligus menerima pelukan dari sang kekasih. Waaah ... ide yang begitu brilian, bukan?Ana yang melihat pemandangan itu tertawa geli lalu berlari berhambur kepelukan sang kekasih. Dia cukup peka dengan kode yang Daren berikan. Lucu sekali kekasihnya itu.“Rindunyaaaa...,”ujar Ana menghirup dalam-dalam aroma parfum yang menguar dari balik tubuh Daren.“Lamanyaaa...,” sahut Daren dengan masih menahan tawanya yang sebentar lagi sepertinya ingin sekali dibebaskan.Ara meringis. “Sorry, tadi itu ada masalah yang sangat penting, Sayang ... soal Beni sama Cika nanti aku ceritain sama kamu.”“Lebih penting urusannya ya dari pada kekasihnya?” sind