Sepuluh hari aku di Pada Suka Parta datang bergabung denganku. Parta memanfaatkan kemalangan yang menyebabkan kepincangannya itu untuk menarik simpati orang-orang Pada Suka.
“Saudara-saudara setelah kita mengetahui apa yang sebenarnya terjadi, setelah kita melihat kekejian rezim pemerintah secara nyata, apakah kita akan tetap diam dan menerima segala bentuk ketidakadilan ini? Apakah kita akan membiarkan mereka terus menyalahgunakan kekuasaan untuk kepentingan pribadi?” Parta berkata pada suatu kesempatan.
“Tentu saja tidak!” sahut hadirin.
“Kalau begitu, mari kita sekali lagi menyatukan kekuatan untuk melawan ketidakadilan. Mari kita perjuangkan apa yang menjadi hak kita.”
“Tapi, apakah tidak ada cara lain selain menjadi komunis?” tanya salah di antara mereka.
Sekarang segalanya menjadi seterang siang hari. Misteri besar kehidupan terungkap, alasan yang menarikku begitu kuat, tugas terakhir yang harus kutuntaskan. Tanpa membuang waktu lagi aku minta diri kepada Pak Kiyai untuk suatu urusan mendadak. Dan tanpa mempedulikan apa pun aku bergegas pergi ke danau untuk menemuinya sekali lagi. Dia pasti berada di sana, di dasar danau itu. Mungkin sedang bernyanyi atau bahkan mungkin sedang mentertawakanku. Aku menyorotkan senter, berusaha menyentuh permukaan danau sejauh mungkin dan menyapunya. Kupanggil-panggil namanya, kunyanyikan pula lagu yang yang sering dinyanyikannya. Nihil, tak ada tanda-tanda. Saat aku hampir menyerah pulang, dikejauhan, tepat di tengah-tengah danau, aku melihat sesosok lelaki muncul dengan membawa lampu minyak. Aku melompat, tak percaya dengan apa yang kulihat. Karman. Lelaki gila menghampiriku, senyumnya yang mirip beban berat terkembang.  
Pagi pertama di awal Mei 1981. Hari penghukuman, hari yang memisahkan antara kebaikan dan kejahatan. Seratus orang lebih simpatisan PKI dari berbagai desa sekitar Pada Suka berkumpul di alun-alun. Mereka anggota pilihan yang telah dipersiapkan dengan cermat untuk kemudian disebar ke desa-desa mencari simpatisan baru. Mereka dipecah menjadi kelompok-kelompok kecil yang terdiri dari tiga sampai lima orang. “Saudara-saudaraku sebangsa dan setanah air. Hari yang kita nantikan selama berbulan-bulan yang panjang akhirnya tiba. Hari ini kita akan berjuang sekali lagi, kita satukan gerak tubuh, teriakan, pukulan semangat dan bersama berkata tidak pada ketidakadilan. Terlalu lama bangsa kita diinjak-injak bukan saja oleh bangsa lain, tapi oleh sesama kita sendiri, oleh orang-orang yang memegang kuasa.” Bung Kasim membakar semangat semua orang. &n
Rintihan pilu yang menyayat hati membuat Rohanah terbangun dari tidur panjangnya. Dia mengenali nada-nada kesedihan itu. Dengan satu gerakan Rohana mengambil obor minyak dan melayang ke arah sumber suara. Ketika dia telah semakin dekat, dia mencium aroma tubuh, napas, dan kehangatannya yang tak asing bercampur darah dan keputusasaan. Rohana mempercepat langkahnya. Rintihan itu terdengar lagi. Lebih dalam dan perih. Kemudian berubah menjadi gumam lirih. Rohana menyadari kegentingan jika sampai kehilangan suara itu. Namun, satu gerak tiba-tiba dari semak belukar menghilangkan seluruh kecemasannya. Seonggok tubuh lelaki muda yang terbelit tali kulit senapan di hadapan Rohana menggugah rasa laparnya. Dengan nyala obor di tangan Rohana membakar tali kulit itu hingga putus. Dia kemudian mendekatkan wajah, melumat mulut mangsanya dengan mulutnya, menjangkau le
“Paman Darto membangunkanku tengah malam buta. Dia telah menyiapkan keberangkatanku. Mobil Jeep-nya terparkir di halaman rumah Pak Mantri. Aku tidak bertanya kenapa kami harus naik mobil dan Pamanku pun tidak menjelaskan apa-apa padaku. Kami berangkat tanpa ribut-ribut. “Malam luruh semakin pekat, angin membelai pepohonan yang berkilau tertimpa cahaya bulan purnama. Paman mengendarai mobilnya tanpa terburu-buru. Pada Suka tengah beristirahat, tertidur lelap seperti bayi dipangkuan ibunya. Saat mobil kami melintasi pematang sawah, entah mengapa aku merasakan ketenangan yang aneh. Kehidupan dan rahasianya seolah terbentang di hadapanku, di atas sawah-sawah. Semilir angin berembus dari jendela dan menyentuh wajah kami. Aku berkata pada pamanku kalau aku sangat berterimakasih padanya untuk semuanya ini. Pamanku hanya mengangguk lesu.
“Dia berada di ambang kegilaan,” ujar Jendral Sudarto. “Dia menukar sisa-sisa kewarasannya untuk memenuhi janji pada teman-teman komunisnya.” Marni berlutut di samping Mardian, menggenggam tangan kekasihnya. Tak ada reaksi. Marni terisak. “Apa yang telah kau lakukan pada dirimu, Sayangku? Mengapa kau lakukan semua ini? Apa kau tahu, yang kau lakukan sangat menyakitkan hatiku? Kau membuatku ingin mati.” Marni mengguncang-guncang tangan Mardian. “Kenapa kau siksa aku begini kejam, Mardian? Kenapa kau lakukan ini kepadaku, apa salahku padamu? Jawab aku, bangsat, jelaskan padaku, pengecut!” Marni menangis sejadi-jadinya. Jendral Sumarto hanya menghela napas. Kolonel Sudarto memalingkan wajah, sementara Sersan Andi terpekur di tempatnya berdiri. Mardian telah benar-benar menjadi sebongkah batu. Kehidupan memang belum meninggalkan tubuhnya, tapi ia hanya menatap hampa, tak bergerak, bahkan tak berkedip. Hanya dadanya yang naik-turun pelan sekali. “Aku menyesa
Mardian mendongak. Malam memang telah menghilang, gumpalan awan gelap bertepi merah menyala terserat di belakangnya. Fajar menyingsing di ufuk timur. Suara lesung mulai terdengar bertalu-talu. “Mardian, Nak, apa kau mendengarku? Nak, ini Paman. Kau berjanji pada Paman akan bertahan, Paman sudah mengikuti semua kemauanmu. Paman juga sudah membantumu untuk membangkitkan kembali kenangan masa lalumu. Sekarang Paman menuntut janjimu, Mardian. Penuhilah janjimu.” Kolonel Sudarto terus mencoba menyadarkan Mardian. Dia mengguncang-guncang bahunya dengan keras. “Mardian, Paman tahu kamu bisa bertahan. Nak, sadarlah. Demi Paman, Nak. Demi ayahmu.” Melihat Mardian yang tidak bereaksi dan hanya menatap nyalang ke langit, tangis Kolonel Sudarto pecah, tak mampu di tahan lebih lama lagi. “Kenapa menangis, Pak Kolonel?” Kolonel Sudarto menoleh tajam ke wajah Mardian. Dia tak yakin baru saja mendengar suara keponakann
“Anda sungguh-sungguh dengan yang Anda katakan, Kolonel?” “Saya bersungguh-sungguh, Jendral. Setelah Anda, Sersan Andi dan yang lainnya meninggalkan sumur penjara sore tadi, saya terus berusaha membujuk Mardian. Saat saya hendak meninggalkan sumur itu, tiba-tiba saya melihat cahaya mata Mardian hidup kembali. Mardian sudah sadarkan diri. Tapi, dia menjadi lain sama sekali. Dia menyebut dirinya Rohana,” sahut Kolonel Sudarto. “Saya sendiri awalnya menganggap jika Mardian sedang bercanda. Akan tetapi, sikap, gerak-gerik, bahasa tubuh, warna dalam matanya memang bukan Mardia. Saya tidak mengerti apa yang sebenarnya terjadi di sini, Jendral.” Jendral Sumarto duduk di kursinya dengan gelisah. “Menurut Anda, apakah Mardian bisa kita tanyai? Bagaimanapun, kita harus tahu siapa dalang di balik makar bodoh ini. Atasan Bung Kasim.” Kolonel Sudarto mendesah. “Entahlah, Jendral. Saya tidak yakin. Tapi, mari kita coba. Semoga Mardian bisa diajak kerja sama.”
Selama Mardian bercerita Kolonel Sudarto tidak pernah menyela atau menampilkan ekspresi yang mungkin dapat menyinggungnya. Sebaliknya, Kolonel Sudarto justru memperhatikan lebih dekat lagi gerak-gerik bahas tubuh Mardian, cuaca di kepalanya, gelora kehidupan di dada dan kedua matanya serta warna yang menyelimuti dirinya yang sepenuhnya lain sama sekali dari diri Mardian. Sekarang Kolonel Sudarto menjadi sangat yakin jika memang orang yang duduk di hadapannya itu bukan Mardian keponakannya. Tak ada yang sama bahkan gerakan kedipan matanya sekalipun dengan Mardian. Tubuh itu memang masih miliknya, tapi jiwanya sama sekali bukan.“Sekarang Pak Kolonel percaya kalau saya benar-benar bukan keponakan Pak Kolonel Bung Mardian?” tanyanya.Kolonel Sudarto sedikit tersipu karena ternyata isi pikirannya bisa dibaca begitu mudah. Dia mengangguk dengan lemah. “Kau bercerita mengenai kisah agung Nabi Muhammad yang kau narasikan dalam sosok segerombola
Mardian telah tiba pada batas akhir kekuatannya. Di hadapannya malam mengundurkan diri seperti yang terjadi di atas gunug menjelang fajar. Rohana berdiri duduk di sampingnya. Sosoknya semakin nyata, semakin utuh, semakin abadi. "Tepat pada saat ini, Ana, akhirnya aku mengerti sudah rahasia alam semesta. Aku tahun jalan setapak jiwa terkadang tumbuh dengan begitu cepat, kerap hanya mengenal malam. Malam yang sangat luas nyaris tak terbatas, gersang dan hampa. Namun, aku katakan padamu : kita akan lolos, Ana.Kita berdua akan terus hidup. Meskipun, ya, pasti dalam situasi yang sangat jauh berbeda.""Maha karya yang luar biasa selalu lahir dari kelam malam. Keindahan yang menakjubkan terinspirasi dari bintang-binta di langit dan rembulan yang menggantung rendah. Kelam mala. Kadang menenggelamkan jiwa manusia dalam lubang keputusasaan yang dalam, yang tak berdasar. Kelam malam membuat manusia sampai menutup mata dan menggadaikan idealismenya sendiri. Kelam malam melahirkan manusia menjadi
"Tunggu dulu, Bung. Jangan pergi dulu. Ada satu kisah yang ingin saya ceritakan kepada Anda sebelum Anda pergi." "Baiklah, Ana. Kalau begitu silakan bercerita." Aku lahir dan dididik menurut agama Islam. Bahkan saat masih kecil dan sepanjang masa remajaku, aku di sekolahkan di sekolah-sekolah Islam. Aku mengaji ilmu agama di sore dan malam hari. Dan lebih sering lagi ketika datang bulan suci. Namun saat berusia sembilan belas tahun aku meninggalkan kegitaan keagamaanku itu, aku mulai kehilangan kepercayaan atas apa yang telah diajarkan padaku. Dilihat dari apa yang bisa kuingat, aku tak pernah benar-benar memiliki kepercayaan yang sungguh-sungguh. Aku sekadar percaya pada apa yang telah diajarkan padaku dan pada hal-hal yang berlaku di masyarakat luas. Namun, saat usiaku menginjak dewasa dan aku mulai mampu memahami kehidupan, kepercayaan ini perlahan mulai goyah. Aku melihat bahwa mayoritas ajaran-ajaran agama yang diterima tanpa pertanyaan dan ditopang ole
“Bung masih belum menjawab pertanyaan saya, mengapa Bung kembali ke desa itu lagi?”“Bersabarlah, Ana. Aku pasti akan menceritakannya padamu; kisahku pada akhirnya akan sampai pertanyaanmu.”“Setelah memejamkan mata aku mematikan senter. Kegelapan yang pekat dengan cepat menelan sekujur tubuhku dan mengempaskannya ke dalam kehampaan. Suara malam terdengar lebih jernih. Kesunyian terasa begitu lembut. Waktu berhenti dan menjadi bisa di amati. Yang lainnya, semua yang lain berubah menjadi aku. Yang ketiga dalam segitiga. Yang bersatu menafikan cahaya.“Aku merasakan ketenangan yang aneh, berdamai dengan diri sendiri. Sesuatu yang seperti tirai berat terangkat. Semilir angin berembus. Kegelapan retak, melebar, dan berhamburan. Di atasku aku mendapati ketinggian sejati. Aku mencoba mencapainya. Tapi aku tak cukup kuat mendaki. Kakiku terkilir dan aku jatuh berguling-guling.“Kembali lagi ke bawah, aku menangis. Aku tak bisa mencapai ketinggian itu dan aku tidak tahu cara mencapainya. Dala
“Kami meninggalkan Pada Suka dengan sepeda. Pak Mantri yang memboncengku. Sepanjang perjalan Pak Mantri menjelaskan bahwa Paman Darto baik-baik saja.“ ‘Kau jangan cemas. Pamanmu baik-baik saja. Sekarang dia masih berada di Pada Suka. Yang terpenting sekarang kau harus pergi sejauh mungkin. Jendral Sudarto berencana mengarakmu di alun-alun.’“Aku menjelaskan pada Pak Mantri bahwa aku tidak tahu harus pergi ke mana dan bagaimana. Aku tidak punya teman dan keluarga selain pamanku.“Jangan cemas. Aku sudah mengatur keberangkatanmu. Kau akan naik mobil yang membawa gula kelapa ke kota. Setelah itu, carilah kereta jurusan Cirebon. Tunggulah pamanmu di sana.’“Aku berterima kasih pada Pak Mantri. Aku memeluknya saat mengucapkan selamat tinggal dan berjanji akan mengirim telegram begitu tiba di Cirebon nanti.“Tapi apa yang terjadi kemudian, yang kudengar dari bisikan angin, ternyata ada persekongkolan—sebuah drama—yang telah direncanakan untuk menghancurkanku. Lebih kejam lagi, pamanku send
"Ana apa kau masih di dalam aku?""Ya, Bung, saya masih di dalam Bung.""Aku ingin menyelesaikan ceritaku. Aku terbangun untuk memberitahumu bagian terakhir dari ceritaku.""Saya akan mendengarkan Bung. Saya akan selalu mendengarkan Bung. Bung juga masih belum menjawab pertanyaan saya, mengapa Bung kembali ke desa itu lagi?”“Bersabarlah, Ana. Aku pasti akan menceritakannya padamu; kisahku pada akhirnya akan sampai pertanyaanmu.”“Setelah memejamkan mata aku mematikan senter. Kegelapan yang pekat dengan cepat menelan sekujur tubuhku dan mengempaskannya ke dalam kehampaan. Suara malam terdengar lebih jernih. Kesunyian terasa begitu lembut. Waktu berhenti dan menjadi bisa di amati. Yang lainnya, semua yang lain berubah menjadi aku. Yang ketiga dalam segitiga. Yang bersatu menafikan cahaya.“Aku merasakan ketenangan yang aneh, berdamai dengan diri sendiri. Sesuatu yang seperti tirai berat terangkat. Semilir angin berembus. Kegelapan retak, melebar, dan berhamburan. Di atasku aku mendapat
Saya melihat semuanya. Apa yang tidak orang lihat saya menyaksikannya. Dunia benar-benar gelap waktu itu. Harapan seperti kabut tipis yang mudah menguap. Saya adalah saksi bisu dari ketidak adilan tanah moyang saya. Jika saya bisa berseru, saya pasti akan berteriak paling nyaring. Waktu itu, adalah pagi yang biasa. Benar-benar tak ada satu pertanda apa pun dari malam harinya. Saya membuka pintu. Tak ada yang asing di udara, tak ada yang ganjil di langit. Tapi, dunia kemudian berubah dengan sangat cepat, tanpa aba- aba , tanpa peringatan , tanpa pertanda. Hanya salakkan anjing. Itulah awal mulanya. Salakkan anjing terdengar dari arah hutan Pada Suka. Tapi, apa yang salah dengan salakkan anjing? Tentu saja tidak ada. Di hutan itu memamng masih banyak binatang liar. Babi hutan, anjing liar, monyet, dan yang lain-lain. Karena itulah, hampir atak ada yang sepesial dengan anjing yang menyalak pagi hari itu. Kecuali saya yang merasa aneh, yang lainnya sama sekali tidak peduli."Ayah, ada apa
Ana melipat kakinya dalam posisi bersila. “Pak Jendral, sebaiknya Pak Jendral segera menangkap Bung Tan Djiman. Sebelum segala sesuatunya terlambat.”Jendral Sumarto mengerutkan alis. “Apa maksudmu? Mengapa aku harus menangkan Tan Djiman?”“Karena Bung Tan Djimanlah yang membantu Bung Mardian dalam rencana balas dendamnya pada kehidupan ini. Bung Tan tak lain dan tak bukan merupakan keponakan Bung Kasim. Bung Tan juga seorang komunis. Dialah salah satu otak dibalik huru-hara selama ini. Dalang dari geger-geger. Bung Tan Djiman memiliki banyak jaringan. Dia sangat cerdik dan licik. Bung Tan Djiman memiliki banyak uang yang dapat membeli apa pun yang dia mau. Karena itulah orang-orang bersedia menjadi pengikutnya.”“Aku tidak percaya pada surga. Tapi aku percaya pada kesedihan. Aku tidak percaya pada penderitaan. Tapi aku percaya pada kematian. Kebebasan, pembebasan dan kemanusiaan. Aku tidak percaya lagi pada omong kosong selain tiga hal itu. Tidak bahkan pada penyesalan.”“Apa maksudm
Jendral Sumarto masih tidak dapat mempercayai apa yang dilihatnya. Ada penyesalan yang menggumpal di dada, membuatnya sesak dan sulit bernapas.“Saya yakin Pak Kolonel sudah berbicara banyak pada Anda, Pak Jendral.” Suara itu begitu tenang, penuh kedamaian, dan hampir tanpa emosi. “Saya berjanji akan membantu Anda, saya akan mengatakan segala sesuatunya kepada Anda, apa yang Anda ingin ketahui.”Jendral Sumarto duduk di sebelah Rohana, punggungnya menyandar ke dinding batu sumur tua itu. Dia mengangsurkan sigaret dan korek api. Ana mengambilnya sebatang dan menyalakannya.“Aku tidak pernah menyangka akhirnya akan begini,” ujar Jendral Sumarto. “Semua memang salahku. Ya, aku bertindak terlalu sembrono. Aku terlalu memaksa Mardian, aku mendesaknya, aku menghancurkan hidupnya, harapannya, sisa-sisa kesadarannya. Aku sendiri yang meminta Marni untuk mendekati Mardian seperti dia mendekati Parta. Agar aku dapat mengorek informasi mengenai keterlibatan Bu Mantri dengan orang-orang komunis j
Jendral Sumarto masih tidak dapat mempercayai apa yang dilihatnya. Ada penyesalan yang menggumpal di dada, membuatnya sesak dan sulit bernapas.“Saya yakin Pak Kolonel sudah berbicara banyak pada Anda, Pak Jendral.” Suara itu begitu tenang, penuh kedamaian, dan hampir tanpa emosi. “Saya berjanji akan membantu Anda, saya akan mengatakan segala sesuatunya kepada Anda, apa yang Anda ingin ketahui.”Jendral Sumarto duduk di sebelah Rohana, punggungnya menyandar ke dinding batu sumur tua itu. Dia mengangsurkan sigaret dan korek api. Ana mengambilnya sebatang dan menyalakannya.“Aku tidak pernah menyangka akhirnya akan begini,” ujar Jendral Sumarto. “Semua memang salahku. Ya, aku bertindak terlalu sembrono. Aku terlalu memaksa Mardian, aku mendesaknya, aku menghancurkan hidupnya, harapannya, sisa-sisa kesadarannya. Aku sendiri yang meminta Marni untuk mendekati Mardian seperti dia mendekati Parta. Agar aku dapat mengorek informasi mengenai keterlibatan Bu Mantri dengan orang-orang komunis j