Aku terus memikirkan Marni meskipun sekarang telah di Pada Suka untuk sebuah misi. Marni adalah angin segar sekaligus cahaya baru dalam hidupku. Dia memberiku harapan, masa depan, impian dan hasrat dan gairah. Seperti datangnya sang juru selamat Marni datang disaat yang tepat dalam hidupku. Kehampaan yang membeku perlahan mencair lalu menguap. Rasa sepi menepi. Semangat bergejolak. Dari Marni aku belajar apa yang kulewatkan selama aku terasing dari dunia dan mendekam di kamp kosentrasi pulau buru.
“Kehidupan sekarang telah berubah sama sekali,” kata Marni pada suatu hari. “Pasca geger komunis dan penangkapan besar-besaran dulu itu, sekarang kita hidup di dunia di mana krisis kemanusiaan menjadi hal yang tidak menarik lagi. Kebanyakan dari kita melarikan diri dengan berpura-pura baik-baik saja, tidak ada masalah, dan memilih tidak peduli atas apa yang terjadi karena tidak mau berurusan dengan orang-orang pemerintahan. Memang, berisikap menurut saja itu adalah langkah yang ama
Sepuluh hari aku di Pada Suka Parta datang bergabung denganku. Parta memanfaatkan kemalangan yang menyebabkan kepincangannya itu untuk menarik simpati orang-orang Pada Suka. “Saudara-saudara setelah kita mengetahui apa yang sebenarnya terjadi, setelah kita melihat kekejian rezim pemerintah secara nyata, apakah kita akan tetap diam dan menerima segala bentuk ketidakadilan ini? Apakah kita akan membiarkan mereka terus menyalahgunakan kekuasaan untuk kepentingan pribadi?” Parta berkata pada suatu kesempatan. “Tentu saja tidak!” sahut hadirin. “Kalau begitu, mari kita sekali lagi menyatukan kekuatan untuk melawan ketidakadilan. Mari kita perjuangkan apa yang menjadi hak kita.” “Tapi, apakah tidak ada cara lain selain menjadi komunis?” tanya salah di antara mereka.
Sekarang segalanya menjadi seterang siang hari. Misteri besar kehidupan terungkap, alasan yang menarikku begitu kuat, tugas terakhir yang harus kutuntaskan. Tanpa membuang waktu lagi aku minta diri kepada Pak Kiyai untuk suatu urusan mendadak. Dan tanpa mempedulikan apa pun aku bergegas pergi ke danau untuk menemuinya sekali lagi. Dia pasti berada di sana, di dasar danau itu. Mungkin sedang bernyanyi atau bahkan mungkin sedang mentertawakanku. Aku menyorotkan senter, berusaha menyentuh permukaan danau sejauh mungkin dan menyapunya. Kupanggil-panggil namanya, kunyanyikan pula lagu yang yang sering dinyanyikannya. Nihil, tak ada tanda-tanda. Saat aku hampir menyerah pulang, dikejauhan, tepat di tengah-tengah danau, aku melihat sesosok lelaki muncul dengan membawa lampu minyak. Aku melompat, tak percaya dengan apa yang kulihat. Karman. Lelaki gila menghampiriku, senyumnya yang mirip beban berat terkembang.  
Pagi pertama di awal Mei 1981. Hari penghukuman, hari yang memisahkan antara kebaikan dan kejahatan. Seratus orang lebih simpatisan PKI dari berbagai desa sekitar Pada Suka berkumpul di alun-alun. Mereka anggota pilihan yang telah dipersiapkan dengan cermat untuk kemudian disebar ke desa-desa mencari simpatisan baru. Mereka dipecah menjadi kelompok-kelompok kecil yang terdiri dari tiga sampai lima orang. “Saudara-saudaraku sebangsa dan setanah air. Hari yang kita nantikan selama berbulan-bulan yang panjang akhirnya tiba. Hari ini kita akan berjuang sekali lagi, kita satukan gerak tubuh, teriakan, pukulan semangat dan bersama berkata tidak pada ketidakadilan. Terlalu lama bangsa kita diinjak-injak bukan saja oleh bangsa lain, tapi oleh sesama kita sendiri, oleh orang-orang yang memegang kuasa.” Bung Kasim membakar semangat semua orang. &n
Rintihan pilu yang menyayat hati membuat Rohanah terbangun dari tidur panjangnya. Dia mengenali nada-nada kesedihan itu. Dengan satu gerakan Rohana mengambil obor minyak dan melayang ke arah sumber suara. Ketika dia telah semakin dekat, dia mencium aroma tubuh, napas, dan kehangatannya yang tak asing bercampur darah dan keputusasaan. Rohana mempercepat langkahnya. Rintihan itu terdengar lagi. Lebih dalam dan perih. Kemudian berubah menjadi gumam lirih. Rohana menyadari kegentingan jika sampai kehilangan suara itu. Namun, satu gerak tiba-tiba dari semak belukar menghilangkan seluruh kecemasannya. Seonggok tubuh lelaki muda yang terbelit tali kulit senapan di hadapan Rohana menggugah rasa laparnya. Dengan nyala obor di tangan Rohana membakar tali kulit itu hingga putus. Dia kemudian mendekatkan wajah, melumat mulut mangsanya dengan mulutnya, menjangkau le
“Paman Darto membangunkanku tengah malam buta. Dia telah menyiapkan keberangkatanku. Mobil Jeep-nya terparkir di halaman rumah Pak Mantri. Aku tidak bertanya kenapa kami harus naik mobil dan Pamanku pun tidak menjelaskan apa-apa padaku. Kami berangkat tanpa ribut-ribut. “Malam luruh semakin pekat, angin membelai pepohonan yang berkilau tertimpa cahaya bulan purnama. Paman mengendarai mobilnya tanpa terburu-buru. Pada Suka tengah beristirahat, tertidur lelap seperti bayi dipangkuan ibunya. Saat mobil kami melintasi pematang sawah, entah mengapa aku merasakan ketenangan yang aneh. Kehidupan dan rahasianya seolah terbentang di hadapanku, di atas sawah-sawah. Semilir angin berembus dari jendela dan menyentuh wajah kami. Aku berkata pada pamanku kalau aku sangat berterimakasih padanya untuk semuanya ini. Pamanku hanya mengangguk lesu.
“Dia berada di ambang kegilaan,” ujar Jendral Sudarto. “Dia menukar sisa-sisa kewarasannya untuk memenuhi janji pada teman-teman komunisnya.” Marni berlutut di samping Mardian, menggenggam tangan kekasihnya. Tak ada reaksi. Marni terisak. “Apa yang telah kau lakukan pada dirimu, Sayangku? Mengapa kau lakukan semua ini? Apa kau tahu, yang kau lakukan sangat menyakitkan hatiku? Kau membuatku ingin mati.” Marni mengguncang-guncang tangan Mardian. “Kenapa kau siksa aku begini kejam, Mardian? Kenapa kau lakukan ini kepadaku, apa salahku padamu? Jawab aku, bangsat, jelaskan padaku, pengecut!” Marni menangis sejadi-jadinya. Jendral Sumarto hanya menghela napas. Kolonel Sudarto memalingkan wajah, sementara Sersan Andi terpekur di tempatnya berdiri. Mardian telah benar-benar menjadi sebongkah batu. Kehidupan memang belum meninggalkan tubuhnya, tapi ia hanya menatap hampa, tak bergerak, bahkan tak berkedip. Hanya dadanya yang naik-turun pelan sekali. “Aku menyesa
Mardian mendongak. Malam memang telah menghilang, gumpalan awan gelap bertepi merah menyala terserat di belakangnya. Fajar menyingsing di ufuk timur. Suara lesung mulai terdengar bertalu-talu. “Mardian, Nak, apa kau mendengarku? Nak, ini Paman. Kau berjanji pada Paman akan bertahan, Paman sudah mengikuti semua kemauanmu. Paman juga sudah membantumu untuk membangkitkan kembali kenangan masa lalumu. Sekarang Paman menuntut janjimu, Mardian. Penuhilah janjimu.” Kolonel Sudarto terus mencoba menyadarkan Mardian. Dia mengguncang-guncang bahunya dengan keras. “Mardian, Paman tahu kamu bisa bertahan. Nak, sadarlah. Demi Paman, Nak. Demi ayahmu.” Melihat Mardian yang tidak bereaksi dan hanya menatap nyalang ke langit, tangis Kolonel Sudarto pecah, tak mampu di tahan lebih lama lagi. “Kenapa menangis, Pak Kolonel?” Kolonel Sudarto menoleh tajam ke wajah Mardian. Dia tak yakin baru saja mendengar suara keponakann
“Anda sungguh-sungguh dengan yang Anda katakan, Kolonel?” “Saya bersungguh-sungguh, Jendral. Setelah Anda, Sersan Andi dan yang lainnya meninggalkan sumur penjara sore tadi, saya terus berusaha membujuk Mardian. Saat saya hendak meninggalkan sumur itu, tiba-tiba saya melihat cahaya mata Mardian hidup kembali. Mardian sudah sadarkan diri. Tapi, dia menjadi lain sama sekali. Dia menyebut dirinya Rohana,” sahut Kolonel Sudarto. “Saya sendiri awalnya menganggap jika Mardian sedang bercanda. Akan tetapi, sikap, gerak-gerik, bahasa tubuh, warna dalam matanya memang bukan Mardia. Saya tidak mengerti apa yang sebenarnya terjadi di sini, Jendral.” Jendral Sumarto duduk di kursinya dengan gelisah. “Menurut Anda, apakah Mardian bisa kita tanyai? Bagaimanapun, kita harus tahu siapa dalang di balik makar bodoh ini. Atasan Bung Kasim.” Kolonel Sudarto mendesah. “Entahlah, Jendral. Saya tidak yakin. Tapi, mari kita coba. Semoga Mardian bisa diajak kerja sama.”