Pagi pertama di awal Mei 1981. Hari penghukuman, hari yang memisahkan antara kebaikan dan kejahatan. Seratus orang lebih simpatisan PKI dari berbagai desa sekitar Pada Suka berkumpul di alun-alun. Mereka anggota pilihan yang telah dipersiapkan dengan cermat untuk kemudian disebar ke desa-desa mencari simpatisan baru. Mereka dipecah menjadi kelompok-kelompok kecil yang terdiri dari tiga sampai lima orang.
“Saudara-saudaraku sebangsa dan setanah air. Hari yang kita nantikan selama berbulan-bulan yang panjang akhirnya tiba. Hari ini kita akan berjuang sekali lagi, kita satukan gerak tubuh, teriakan, pukulan semangat dan bersama berkata tidak pada ketidakadilan. Terlalu lama bangsa kita diinjak-injak bukan saja oleh bangsa lain, tapi oleh sesama kita sendiri, oleh orang-orang yang memegang kuasa.” Bung Kasim membakar semangat semua orang.
&n
Rintihan pilu yang menyayat hati membuat Rohanah terbangun dari tidur panjangnya. Dia mengenali nada-nada kesedihan itu. Dengan satu gerakan Rohana mengambil obor minyak dan melayang ke arah sumber suara. Ketika dia telah semakin dekat, dia mencium aroma tubuh, napas, dan kehangatannya yang tak asing bercampur darah dan keputusasaan. Rohana mempercepat langkahnya. Rintihan itu terdengar lagi. Lebih dalam dan perih. Kemudian berubah menjadi gumam lirih. Rohana menyadari kegentingan jika sampai kehilangan suara itu. Namun, satu gerak tiba-tiba dari semak belukar menghilangkan seluruh kecemasannya. Seonggok tubuh lelaki muda yang terbelit tali kulit senapan di hadapan Rohana menggugah rasa laparnya. Dengan nyala obor di tangan Rohana membakar tali kulit itu hingga putus. Dia kemudian mendekatkan wajah, melumat mulut mangsanya dengan mulutnya, menjangkau le
“Paman Darto membangunkanku tengah malam buta. Dia telah menyiapkan keberangkatanku. Mobil Jeep-nya terparkir di halaman rumah Pak Mantri. Aku tidak bertanya kenapa kami harus naik mobil dan Pamanku pun tidak menjelaskan apa-apa padaku. Kami berangkat tanpa ribut-ribut. “Malam luruh semakin pekat, angin membelai pepohonan yang berkilau tertimpa cahaya bulan purnama. Paman mengendarai mobilnya tanpa terburu-buru. Pada Suka tengah beristirahat, tertidur lelap seperti bayi dipangkuan ibunya. Saat mobil kami melintasi pematang sawah, entah mengapa aku merasakan ketenangan yang aneh. Kehidupan dan rahasianya seolah terbentang di hadapanku, di atas sawah-sawah. Semilir angin berembus dari jendela dan menyentuh wajah kami. Aku berkata pada pamanku kalau aku sangat berterimakasih padanya untuk semuanya ini. Pamanku hanya mengangguk lesu.
“Dia berada di ambang kegilaan,” ujar Jendral Sudarto. “Dia menukar sisa-sisa kewarasannya untuk memenuhi janji pada teman-teman komunisnya.” Marni berlutut di samping Mardian, menggenggam tangan kekasihnya. Tak ada reaksi. Marni terisak. “Apa yang telah kau lakukan pada dirimu, Sayangku? Mengapa kau lakukan semua ini? Apa kau tahu, yang kau lakukan sangat menyakitkan hatiku? Kau membuatku ingin mati.” Marni mengguncang-guncang tangan Mardian. “Kenapa kau siksa aku begini kejam, Mardian? Kenapa kau lakukan ini kepadaku, apa salahku padamu? Jawab aku, bangsat, jelaskan padaku, pengecut!” Marni menangis sejadi-jadinya. Jendral Sumarto hanya menghela napas. Kolonel Sudarto memalingkan wajah, sementara Sersan Andi terpekur di tempatnya berdiri. Mardian telah benar-benar menjadi sebongkah batu. Kehidupan memang belum meninggalkan tubuhnya, tapi ia hanya menatap hampa, tak bergerak, bahkan tak berkedip. Hanya dadanya yang naik-turun pelan sekali. “Aku menyesa
Mardian mendongak. Malam memang telah menghilang, gumpalan awan gelap bertepi merah menyala terserat di belakangnya. Fajar menyingsing di ufuk timur. Suara lesung mulai terdengar bertalu-talu. “Mardian, Nak, apa kau mendengarku? Nak, ini Paman. Kau berjanji pada Paman akan bertahan, Paman sudah mengikuti semua kemauanmu. Paman juga sudah membantumu untuk membangkitkan kembali kenangan masa lalumu. Sekarang Paman menuntut janjimu, Mardian. Penuhilah janjimu.” Kolonel Sudarto terus mencoba menyadarkan Mardian. Dia mengguncang-guncang bahunya dengan keras. “Mardian, Paman tahu kamu bisa bertahan. Nak, sadarlah. Demi Paman, Nak. Demi ayahmu.” Melihat Mardian yang tidak bereaksi dan hanya menatap nyalang ke langit, tangis Kolonel Sudarto pecah, tak mampu di tahan lebih lama lagi. “Kenapa menangis, Pak Kolonel?” Kolonel Sudarto menoleh tajam ke wajah Mardian. Dia tak yakin baru saja mendengar suara keponakann
“Anda sungguh-sungguh dengan yang Anda katakan, Kolonel?” “Saya bersungguh-sungguh, Jendral. Setelah Anda, Sersan Andi dan yang lainnya meninggalkan sumur penjara sore tadi, saya terus berusaha membujuk Mardian. Saat saya hendak meninggalkan sumur itu, tiba-tiba saya melihat cahaya mata Mardian hidup kembali. Mardian sudah sadarkan diri. Tapi, dia menjadi lain sama sekali. Dia menyebut dirinya Rohana,” sahut Kolonel Sudarto. “Saya sendiri awalnya menganggap jika Mardian sedang bercanda. Akan tetapi, sikap, gerak-gerik, bahasa tubuh, warna dalam matanya memang bukan Mardia. Saya tidak mengerti apa yang sebenarnya terjadi di sini, Jendral.” Jendral Sumarto duduk di kursinya dengan gelisah. “Menurut Anda, apakah Mardian bisa kita tanyai? Bagaimanapun, kita harus tahu siapa dalang di balik makar bodoh ini. Atasan Bung Kasim.” Kolonel Sudarto mendesah. “Entahlah, Jendral. Saya tidak yakin. Tapi, mari kita coba. Semoga Mardian bisa diajak kerja sama.”
Selama Mardian bercerita Kolonel Sudarto tidak pernah menyela atau menampilkan ekspresi yang mungkin dapat menyinggungnya. Sebaliknya, Kolonel Sudarto justru memperhatikan lebih dekat lagi gerak-gerik bahas tubuh Mardian, cuaca di kepalanya, gelora kehidupan di dada dan kedua matanya serta warna yang menyelimuti dirinya yang sepenuhnya lain sama sekali dari diri Mardian. Sekarang Kolonel Sudarto menjadi sangat yakin jika memang orang yang duduk di hadapannya itu bukan Mardian keponakannya. Tak ada yang sama bahkan gerakan kedipan matanya sekalipun dengan Mardian. Tubuh itu memang masih miliknya, tapi jiwanya sama sekali bukan.“Sekarang Pak Kolonel percaya kalau saya benar-benar bukan keponakan Pak Kolonel Bung Mardian?” tanyanya.Kolonel Sudarto sedikit tersipu karena ternyata isi pikirannya bisa dibaca begitu mudah. Dia mengangguk dengan lemah. “Kau bercerita mengenai kisah agung Nabi Muhammad yang kau narasikan dalam sosok segerombola
Jendral Sumarto masih tidak dapat mempercayai apa yang dilihatnya. Ada penyesalan yang menggumpal di dada, membuatnya sesak dan sulit bernapas. “Saya yakin Pak Kolonel sudah berbicara banyak pada Anda, Pak Jendral.” Suara itu begitu tenang, penuh kedamaian, dan hampir tanpa emosi. “Saya berjanji akan membantu Anda, saya akan mengatakan segala sesuatunya kepada Anda, apa yang Anda ingin ketahui.” Jendral Sumarto duduk di sebelah Rohana, punggungnya menyandar ke dinding batu sumur tua itu. Dia mengangsurkan sigaret dan korek api. Ana mengambilnya sebatang dan menyalakannya. “Aku tidak pernah menyangka akhirnya akan begini,” ujar Jendral Sumarto. “Semua memang salahku. Ya, aku bertindak terlalu sembrono. Aku terlalu memaksa Mardian, aku mendesaknya, aku menghancurkan hidupnya, harapannya, sisa-sisa kesadarannya. Aku sendiri yang meminta Marni untuk mendekati Mardian seperti dia mendekati Parta. Agar aku dapat mengorek informasi mengenai keterlibatan Bu Mantri dengan orang-orang komun
Dari hari ke hari isu mengenai orang-orang komunis yang membuat keonaran semakin senter terdengar. Akan tetapi, Pada Suka yang terlalu lugu, terlalu kolot, tidak pernah sampai berpikir jika desa mereka akan disentuh orang komunis yang jahat itu. Pada Suka terpencil, hampir terasing. Selain itu, mereka tidak punya urusan apalagi masalah dengan orang komunis. Mereka juga miskin. Tidak ada sesuatu hal pun di Pada Suka yang cukup menarik perhatian orang komunis. Yang tidak mereka ketahui adalah bahwa orang-orang komunis itu adalah bagian dari mereka. Pada suatu hari beberapa orang dari kota datang mengunjungi rumah Pak Mantri. Mereka berasal dari Semarang. Dua orang perempuan muda dengan seorang pria paruh baya yang memiliki bekas luka memanjang di lehernya. Mereka memperkenalkan diri sebagai teman lama Bu Mantri. Setelah mempersilakan tamunya masuk, Pak Mantri yang tahu siapa sebenarnya orang-orang ini meminta diri dengan beralasan ada janj