Selama Mardian bercerita Kolonel Sudarto tidak pernah menyela atau menampilkan ekspresi yang mungkin dapat menyinggungnya. Sebaliknya, Kolonel Sudarto justru memperhatikan lebih dekat lagi gerak-gerik bahas tubuh Mardian, cuaca di kepalanya, gelora kehidupan di dada dan kedua matanya serta warna yang menyelimuti dirinya yang sepenuhnya lain sama sekali dari diri Mardian. Sekarang Kolonel Sudarto menjadi sangat yakin jika memang orang yang duduk di hadapannya itu bukan Mardian keponakannya. Tak ada yang sama bahkan gerakan kedipan matanya sekalipun dengan Mardian. Tubuh itu memang masih miliknya, tapi jiwanya sama sekali bukan.
“Sekarang Pak Kolonel percaya kalau saya benar-benar bukan keponakan Pak Kolonel Bung Mardian?” tanyanya.
Kolonel Sudarto sedikit tersipu karena ternyata isi pikirannya bisa dibaca begitu mudah. Dia mengangguk dengan lemah. “Kau bercerita mengenai kisah agung Nabi Muhammad yang kau narasikan dalam sosok segerombola
Jendral Sumarto masih tidak dapat mempercayai apa yang dilihatnya. Ada penyesalan yang menggumpal di dada, membuatnya sesak dan sulit bernapas. “Saya yakin Pak Kolonel sudah berbicara banyak pada Anda, Pak Jendral.” Suara itu begitu tenang, penuh kedamaian, dan hampir tanpa emosi. “Saya berjanji akan membantu Anda, saya akan mengatakan segala sesuatunya kepada Anda, apa yang Anda ingin ketahui.” Jendral Sumarto duduk di sebelah Rohana, punggungnya menyandar ke dinding batu sumur tua itu. Dia mengangsurkan sigaret dan korek api. Ana mengambilnya sebatang dan menyalakannya. “Aku tidak pernah menyangka akhirnya akan begini,” ujar Jendral Sumarto. “Semua memang salahku. Ya, aku bertindak terlalu sembrono. Aku terlalu memaksa Mardian, aku mendesaknya, aku menghancurkan hidupnya, harapannya, sisa-sisa kesadarannya. Aku sendiri yang meminta Marni untuk mendekati Mardian seperti dia mendekati Parta. Agar aku dapat mengorek informasi mengenai keterlibatan Bu Mantri dengan orang-orang komun
Dari hari ke hari isu mengenai orang-orang komunis yang membuat keonaran semakin senter terdengar. Akan tetapi, Pada Suka yang terlalu lugu, terlalu kolot, tidak pernah sampai berpikir jika desa mereka akan disentuh orang komunis yang jahat itu. Pada Suka terpencil, hampir terasing. Selain itu, mereka tidak punya urusan apalagi masalah dengan orang komunis. Mereka juga miskin. Tidak ada sesuatu hal pun di Pada Suka yang cukup menarik perhatian orang komunis. Yang tidak mereka ketahui adalah bahwa orang-orang komunis itu adalah bagian dari mereka. Pada suatu hari beberapa orang dari kota datang mengunjungi rumah Pak Mantri. Mereka berasal dari Semarang. Dua orang perempuan muda dengan seorang pria paruh baya yang memiliki bekas luka memanjang di lehernya. Mereka memperkenalkan diri sebagai teman lama Bu Mantri. Setelah mempersilakan tamunya masuk, Pak Mantri yang tahu siapa sebenarnya orang-orang ini meminta diri dengan beralasan ada janj
Mardian adalah seorang pria yang tahu persis apa yang diinginkannya. Tak ada sesuatu hal pun di dunia ini yang paling dia inginkan selain diakui keberadaannya oleh semua orang. Oleh karena itulah dia bertekad menundukkan semua orang, menjadikan mereka boneka yang dapat dikontrol nasibnya. Pertama-tama dia membangun citra sebagai seorang korban. Lemah, rapuh, tak berdaya. Dia memainkan perannya dengan sangat apik. Orang yang menderita sekaligus sebagai pembuat derita. Dengan berani Mardian menyelinap keluar rumah pada suatu malam lalu mencuri senapan Pak Mantri yang biasa digunakan untuk memburu babi hutan perusak kebun singkong warga. Setelah mengisikan beberapa butir peluru, Mardian berjinjit keluar dari gudang dan berlari meninggalkan Pada Suka. Sebelumnya dia telah mendengar berita mengenai penyerbuan komplotan komunis di gunung sebelah utara yang dipimpin oleh pamannya, Kolonel Sudarto atas perintah langsung dari Jendral Sumarto. Dengan nyala lampu senter ditangan Mardian be
“Aku tidak percaya pada surga. Tapi aku percaya pada kesedihan. Aku tidak percaya pada penderitaan. Tapi aku percaya pada kematian. Kebebasan, pembebasan dan kemanusiaan. Aku tidak percaya lagi pada omong kosong selain tiga hal itu. Tidak bahkan pada penyesalan.”“Apa maksudmu, Mardian?”Mardian mengembangkan senyum lugu. “Aku tidak tahu. Kardi, pamanku yang terkutuk yang mengatakan itu padaku. Tapi, setelah kupikir-pikir, mungkin dia ada benarnya. Surga itu sepertinya memang tidak ada. Dunia telah begitu kacau balau. Bukan karena zaman semakin modern. Melainkan karena manusianya sudah tak saling peduli. Dan soal penderitaan, bahkan dalam keadaan yang paling buruk sekalipun seperti saat ini kita masih bisa tersenyum bahkan tertawa. Lalu penyesalan. Benarkah seseorang benar-benar menyesali perbuatannya bukan karena terpaksa atau hal lain? Aku ragu soal itu. Sebab, yang kulihat, seseorang berlutut dan meneriakkan penyes
Mardian mendongak. Malam memang telah menghilang, gumpalan awan gelap bertepi merah menyala terseret di belakangnya. Fajar menyingsing di ufuk timur. Suara lesung mulai terdengar bertalu-talu.“Mardian, Nak, apa kau mendengarku? Nak, ini Paman. Kau berjanji pada Paman akan bertahan, Paman sudah mengikuti semua kemauanmu. Paman juga sudah membantumu untuk membangkitkan kembali kenangan masa lalumu. Sekarang Paman menuntut janjimu, Mardian. Penuhilah janjimu.” Kolonel Sudarto terus mencoba menyadarkan Mardian. Dia mengguncang-guncang bahunya dengan keras. “Mardian, Paman tahu kamu bisa bertahan. Nak, sadarlah. Demi Paman, Nak. Demi ayahmu.” Melihat Mardian yang tidak bereaksi dan hanya menatap nyalang ke langit, tangis Kolonel Sudarto pecah, tak mampu di tahan lebih lama lagi.“Kenapa menangis, Pak Kolonel?”Kolonel Sudarto menoleh tajam ke wajah Mardian. Dia tak yakin baru saja mendengar suara keponakannya itu. Ditelitinya air muka Mardian. Tak ada perubahan, kosong, hampa, tanpa ekspr
Meskipun Kolonel Sudarto mengatakan jika dia telah mempercayai Ana, akan tetapi, Ana tahu persis jika Kolonel Sudarto masih belum mempercayainya sepenuhnya. Jauh di dalam mata Kolonel Sudarto Ana melihat keraguan dalam diri paman teman baiknya itu. Lalu, "Pak Kolonel, sambil menunggu Pak Jendral, ada sebuah pemeo yang ingin saya ceritakan pada Pak Jendral. Pemeo ini saya dengar dari seorang teman lama saya yang sekarang saya tidak tahu ada di mana. Saya harap Pak Kolonel akan bersedia untuk mendengarkannya.""Tentu, tentu saja, Nak Ana."Dan Rohana pun mulai menceritakan pemeonya. Dia mengambil dirinya sendiri untuk dimasukan ke dalam cerita sebagai pelakon utama. Agar, cerita itu meninggalkan kesan yang mendalam untuk Kolenel Sudarto.Kami adalah segerombol anjing liar penguasa kota ini. Para nabi, iblis, bahkan malaikat, takut melintasi kawasan kami. Namun itu cerita beratus-ratus tahun lalu. Masa sebelum anak gembala bernama Muhammad datang dan mengadukan kejahatan kami kepada tuha
Jendral Sumarto masih tidak dapat mempercayai apa yang dilihatnya. Ada penyesalan yang menggumpal di dada, membuatnya sesak dan sulit bernapas.“Saya yakin Pak Kolonel sudah berbicara banyak pada Anda, Pak Jendral.” Suara itu begitu tenang, penuh kedamaian, dan hampir tanpa emosi. “Saya berjanji akan membantu Anda, saya akan mengatakan segala sesuatunya kepada Anda, apa yang Anda ingin ketahui.”Jendral Sumarto duduk di sebelah Rohana, punggungnya menyandar ke dinding batu sumur tua itu. Dia mengangsurkan sigaret dan korek api. Ana mengambilnya sebatang dan menyalakannya.“Aku tidak pernah menyangka akhirnya akan begini,” ujar Jendral Sumarto. “Semua memang salahku. Ya, aku bertindak terlalu sembrono. Aku terlalu memaksa Mardian, aku mendesaknya, aku menghancurkan hidupnya, harapannya, sisa-sisa kesadarannya. Aku sendiri yang meminta Marni untuk mendekati Mardian seperti dia mendekati Parta. Agar aku dapat mengorek informasi mengenai keterlibatan Bu Mantri dengan orang-orang komunis j
Jendral Sumarto masih tidak dapat mempercayai apa yang dilihatnya. Ada penyesalan yang menggumpal di dada, membuatnya sesak dan sulit bernapas.“Saya yakin Pak Kolonel sudah berbicara banyak pada Anda, Pak Jendral.” Suara itu begitu tenang, penuh kedamaian, dan hampir tanpa emosi. “Saya berjanji akan membantu Anda, saya akan mengatakan segala sesuatunya kepada Anda, apa yang Anda ingin ketahui.”Jendral Sumarto duduk di sebelah Rohana, punggungnya menyandar ke dinding batu sumur tua itu. Dia mengangsurkan sigaret dan korek api. Ana mengambilnya sebatang dan menyalakannya.“Aku tidak pernah menyangka akhirnya akan begini,” ujar Jendral Sumarto. “Semua memang salahku. Ya, aku bertindak terlalu sembrono. Aku terlalu memaksa Mardian, aku mendesaknya, aku menghancurkan hidupnya, harapannya, sisa-sisa kesadarannya. Aku sendiri yang meminta Marni untuk mendekati Mardian seperti dia mendekati Parta. Agar aku dapat mengorek informasi mengenai keterlibatan Bu Mantri dengan orang-orang komunis j