**
“Mbak, sudah sampai,” ucap sopir taksi yang kutumpangi membuyarkan konsentrasiku yang masih berbalas pesan dengan Bara.
Ia menceritakan bahwa Hanum datang dengan memohon agar mobilnya dapat ia bawa serta keluar dari rumah itu, tapi Bara sama sekali tak mengijinkannya. Bahkan, Bara tak segan menendang istrinya itu agar cepat keluar dari kediaman yang pernah mereka huni.
Aku seketika menoleh pada sopir tersebut, lalu tersenyum singkat sembari mengulurkan satu lembar uang padanya.
“Terimakasih ya, Pak,” kataku sebelum turun dari taksinya.
Hari belum terlalu siang, pasti ibu dan bapak masih ada di rumah karena biasanya bapak akan pergi mengecek usaha keluarga kami selepas adzan dzuhur. Kubuka pintu gerbang pelan llau masuk ke dalam rumah dengan perasaan tidak menentu, bingung harus memulai cerita ini dari mana.
“Assalamualaiku
Suara Di Bilik Iparku (36)**"Anisa, Wulan, Agus, kalian cari Akbar. Sedang yang lain tetap lanjutkan tahlilan. Aku tidak mau hanya karena masalah ini tahlilan tujuh harian ibu jadi terganggu," ucap bapak bijaksana setelah beberapa saat kami terdiam.Aku lantas mengangguk, lalu mengikuti Mbak Mawar yang juga hendak bergegas masuk ke dalam mobil bersama Mas Agus. Bagaimanapun juga, Mas Akbar masih anggota keluarga ini. Tidak mungkin mereka membiarkan salah satunya meninggal dengan sia-sia.Tak sepatah katapun keluar dari mulutku saat kami tengah berada di perjalanan menuju tempat yang telah di tunjukkan oleh seorang polisi yang menelpon Mbak Mawar. Katanya, nomor terakhir yang ada di panggilan Mas Akbar adalah Mbak Mawar. Ternyata, menurut cerita Mbak Mawar siang tadi Mas Akbar memang baru menghubunginya karena menanyakan mengenai acara tahlilan ibu."Anak itu bisanya cuma bikin masalah aja!" gerutu Mbak Mawar tiba-tiba.Sepertinya pikirannya
Suara Di Bilik Iparku (37)**Bagaimana mungkin, aku benar-benar akan melenyapkan wanita itu sedsng di dalam perutku saja akan ada kehidupan sebentar lagi. Aku tak setega itu, wahai suamiku. Meskipun aku benci, setidaknya aku hanya ingin ia dijemput malaikat maut atas dasar kehendak Tuhan Yang Maha Esa.Aku tak ingin mengotori tanganku dengan perbuatan keji seperti itu. Sudah cukuplah aku menderita seperti ini, tak perlu juga aku ikut mengotori hati dan kedua tanganku.Kususuri lorong rumah sakit tempat Mas Akbar di rawat. Malam sudsh semakin larut, tak mungkin aku pulang sendiri dalam keadaan badan yang belum sepenuhnya sehat karena sejak tadi pagi aku masih merasakan pening di kepalaku.Dan bahkan, sampai detik ini aku juga tak melihat keberadaan Bara di tempat ini. Tidak mungkin jika ia tidak mendengar tentang kabar kecelakaan yang menimpa istri dan kakaknya ini karena seseorang pasti menghubunginya, termasuk Mbak Mawar.Kata
Suara Di Bilik Iparku (38)**Tiga hari kemudian ..."Kamu udah siap? Yakin?" tanya Oki saat kami tiba di halaman kantor pengadilan agama.Aku menghela nafas panjang, lalu mengangguk mantap. Bagaimanapun juga, aku harus segera berpisah dari Mas Akbar meski kini tengah hamil. Oki sudah membantuku mencari informasi mengenai boleh atau tidaknya jika seorang wanita yang tengah hamil menggugat cerai suaminya.Dan ternyata, dalam hukum islam maupun negara cerai dalam keadaan hamil diperbolehkan, tapi masa iddah wanita jatuh hingga sampai ia melahirkan.*"Ayo. Jangan gugup, ya," ucap Oki lagi sembari berjalan mendahuluiku.Dengan degup jantung yang tak beraturan aku berjalan mengikuti Oki masuk ke dalam kantor pengadilan agama. Harapanku hanya satu, bisa cepat lepas dari manusia tak punya hati seperti Mas Akbar. Terserah setelah ini ia mau bersama Hanum atau siapapun, aku sudah tidak perduli lagi.Proses demi proses aku jalani dengan
Suara Di Bilik Iparku (39)**“Ki, besok kamu ada acara?” tanyaku saat ia telah selesai memakan pesanannya.Ia mendongak ke arahku, “tidak, ada apa?” tanyanya.Pria yang dulu hanya kukenal sekilas, kini sangat dekat bahkan melebihi saudaraku sendiri. Bahkan dia serasa tidak perduli dengan banyaknya pasang mata yang menilai dirinya buruk karena sering bersama wanita yang masih bersuami.Aku bersyukur, setidaknya dalam hidupku yang kurang beruntung ini masih ada orang yang mau perduli denganku. Tidak bisa kubayangkan seandainya Oki tidak datang di saat yang tepat, mungkin aku hanya akan menjadi seorang wanita yang terpuruk dalam kesedihan.“Besok temenin aku ke rumah sakit, ya. Nganterin surat gugatan cerai sama bair Mas Akbar tau kalau aku udah move-on,” tuturku dengan memandangnya yang masih meneguk minumannya.Seketika seluruh minuman yang ada di dalam mulutnya dia smburkan, lalu menata
Suara Di Bilik Iparku (40)**"Yaudah, nikah sama aku aja. Kamu mau?” katanya terlihat serius.Tubuhku membeku untuk sepersekian detik setelah Oki mengatakan hal itu padaku. Meskipun pastinya kata-kata itu hanya gurauan, tapi dia terlihat sangat serius ketika mengatakannya."Ki, kamu mabuk?"Oki terkekeh, lalu menggeleng dengan sangat yakin. "Enggak, aku nggak mabuk. Aku sadar. Suatu saat nanti kalau kamu udah lahiran, aku mau kok jadi calon ayahnya," tuturnya lagi dengan menatapku lekat, tapi kemudian Oki lantas mengalihkan pandangannya."Udah, nggak usah bahas gituan. Kita makan, yuk. Nanti jam istirahat keburu habis," katanya lagi dengan berlalu meninggalkanku.Aku pun lantas mengikutinya berjalan ke kantin, tapi sebelum itu aku berusaha mencari tahu sesuatu tentang Om David, bos besar kami."Dina, kamu liat bos nggak? Apa hari ini nggak ke kantor?" tanyaku saat bertemu dengan sekretarisnya.Dina menghentikan lang
Suara Di Bilik Iparku (41)**Kulangkahkan kakiku sembari mengusap perutku yang masih rata. Aku berjanji, meskipun dia harus lahir tanpa ayah tapi bisa kupastikan tidak akan kekurangan suatu apapun terutama kasih sayang.Terlebih dengan perkataan bapak mengenai ayah sambung dari bayi ini. Aku belum sempat memikirkannya walau Oki sudah berulang kali bergurau padaku.Aku tak pernah menganggapnya serius karena memang pasti dia hanya bergurau dan ingin membuat hatiku sedikit lebih tenang. Namun, terlepas dari bercanda atau seriusnya setidaknya dia masih sangat perduli denganku. Bahkan saat keadaanku hamil tanpa suami, dia justru terlihat lebih peduli denganku.Bukan berarti aku adalah seorang wanita pendendam. Namun, jika hati dan jiwaku digoncang seperti ini apa aku harus diam saja? Bukankah memberi pelajaran pada mereka yang sudah menyakitiku itu tidak masalah?"Astaga! Kamu kemana aja? Aku udah cari keliling rumah sakit. D
Suara Di Bilik Iparku (42)**"Anisa. Apa yang kamu katakan?" ucap Om David saat Tuan Hadi sudah keluar dari ruangannya.Aku tersenyum miring, lalu menduduki kursi yang semula di pakai oleh Tuan Hadi. "Sudah lah, Om. Katakan saja yang sebenarnya jika tidak ingin aku meneruskan masalah ini ke polisi. Cara Anda merebut perusahaan bapak itu kejam," ungkapku dengan menatapnya tajam.Om David tak berkutik, dia memilih ikut duduk di hadapanku. Aku tak tahu, bagaimana bisa orang sebaik dirinya berubah menjadi kejam seperti ini.Dia menghela nafas panjang, lalu mengusap wajahnya kasar. "Baiklah, aku salah. Aku berdosa," tandasnya membuatku tersenyum tipis.Tak lupa aku sudah menyalakan mode rekam dalam ponsel yang ada di saku bajuku, jadi jika dia berbuat yang tidak-tidak aku punya barang bukti yang kuat. Kesempatan ini tidak akan aku sia-siakan, Om David harus mau mengakui kesalahannya detik ini juga."Jadi?" tanyaku berpura-pu
Suara Di Bilik Iparku (43)**Seharian ini usai perdebatanku dengan Oki, aku belum sama sekali bertemu dengannya meskipun jam pulang kantor sudah tiba. Dia yang biasanya menungguku sampai dapat taksi, hari ini tidak ada di sampingku. Entahlah, kenapa dia bisa berubah seperti itu. Padahal bagiku dia lah satu-satunya orang yang paling dekat denganku.Kulangkahkan kakiku masuk ke dalam rumah ketika taksi yang mengantarku telah berhasil membawaku sampai di rumah dengan selamat. Untung saja seharian ini perutku bisa diajak kerja sama, jadi tubuhku tidak terlalu letih.Rencananya, besok aku akan mengunjungi dokter kandungan untuk memeriksakan kondisi kehamilanku. Semoga saja anak yang ada di dalam kandunganku baik-baik saja meski segala cobaan tengah mendera hidupku."Sudah pulang, Nis." Ibu menyapaku saat kaki kananku baru saja melangkah ke dalam kamar.Segera kuhentikan langkahku, lalu tersenyum ke arah wanita yanh sudah melahirkanku itu. "Sudah
Aku dan Kekasih SuamikuPart 28Satu tahun kemudian ...."Sarapannya sudah siap, Mas," ucapku pada Mas Chandra ketika aku baru saja menyiapkan dua lembar roti tawar dengan selai kacang di atasnya, juga susu hangat di samping piringnya."Iya, sebentar," jawabnya dari kamar.Aku tersenyum tipis, lalu melanjutkan menyiapkan sayuran yang hendak kumasak untuk makan siang. Namun, sebelum itu aku mengelus lembut perutku yang mulai menyembul.Ya, tepat bulan ini usia kandunganku sudah memasuki bulan ke tujuh, rencananya sepulang dari kantor Mas Chandra akan mengantarkanku pergi ke dokter untuk kontrol bulanan.Tak berselang lama, Mas Chandra menghampiriku dengan melingkarkan tangannya di perut buncitku. Dia menciumi pipiku brutal hingga aku meletakkan pisau yang kugunakan untuk mengupas bawang."Ini masih pagi, Mas," ledekku, membuatnya terkekeh kecil lalu melepaskanku."Kamu cantik banget hari ini," ujarnya.Aku mendengus, lalu mundur darinya. "Jadi aku cantiknya hari ini saja?"Dia tak han
Aku dan Kekasih Suamiku (27)“Kamu sudah tahu kalau Lusi kecelakaan?” tanya ibu ketika aku baru saja pulang bekerja.Aku memicingkan mata, “dari mana Ibu tahu?”Wanita yang telah melahirkanku itu tersenyum, lalu berjalan mendekat ke arahku. “Apa kamu pikir gara-gara Ibu tidak perna bertanya padamu mengenai masalahmu lantas Ibu tidak tahu?”Sampai ibu berkata demikian pun aku masih belum paham mengenai apa yang beliau maksud. Memang selama ini aku sangat jarang sekali menceritakan masalah pribadiku pada ibu maupun bapak karena aku takut jika apa yang kuceritakan akan menganggu pikirannya.“Bu ….”“Sayang … selama ini Ibu dan Bapak hanya diam, tapi diamnya kami bukan karena tidak perduli melainkan kami memilih mengawasimu seperti sebelumnya,” kata ibu lagi memotong pembicaraanku.“Selama ini Ibu pun kesana kemari mencari informasi tentangmu dan semua yang berhubungan denganmu. Semua itu kulakukan karena semata-mata kami tidak ingin ada yang menyakiti hatimu, Nak.”Kedua mataku berkaca-k
Aku dan Kekasih Suamiku (26).Untuk beberapa saat kedua orang yang baru saja kubongkar rahasianya itu terdiam, terlebih dihadapan Lusi. Mana mungkin mereka akan mengakui kebobrokan masalalunya di hadapan anaknya?"Pa, Ma. Kenapa diam? Katakan apa yang sebenarnya terjadi."Aku tersenyum kecut, melihat orang yang hendak menghancurkan rumah tanggaku nyatanya justru akan hancur dengan sendirinya. Mungkin ini yang dinamakan 'karma'."Pak Akbar, Bu Hanum. Kenapa? Lebih baik jujur, bukan?""Lancang kamu!" bentak perempuan yang duduk di atas kursi roda itu.Bukan aku ingin menjadi wanita yang jahat, hanya saja mereka sudah lebih dulu menjahatiku. Mungkin dulu ibuku diam, dan menerima semuanya. Namun, aku tak terima. Mereka harus mendapatkan sanki atas apa yang sudah dilakukannya.Kulihat Pak Akbar menarik rambutnya kasar, lalu menatapku dan Lusi secara bergantian. Bisa kulihat jelas bahwa dia tengah tertekan dengan keadaan saat ini.
Aku dan Kekasih Suamiku (25).“Dari mana kamu yakin bahwa orang tuaku lah yang telah membuat hidup mamamu menjadi seperti ini? Dan juga, bagaimana kamu bisa yakin bahwa orang tuaku pula telah merebut semua milik mamamu?” tanyaku ketika telah duduk berhadapan dengan Lusi di meja nomor 8.Dia tampak santai, raut tenang tergambar jelas di wajahnya. Semua ini terlihat berbanding terbalik dengan apa yang biasa dia tunjukkan padaku. Jika biasanya dia selalu saja terlihat menjengkelkan tapi kali ini dia terlihat jauh lebih tenang.“Kamu tau hanya dari ucapan mamamu, kan?”“Mana mungkin aku bisa mempercayai orang lain, sedang aku yakin Mama tidak akan pernah berbohong kepadaku,” tandasnya begitu percaya dengan mamanya.Memang, kuakui bahwa di dunia ini tidak ada orang yang patut kita percayai selain perempuan yang telah melahirkan kita. Namun, bukankah seharusnya kitak boleh menelan kebenaran itu secara mentah-me
Aku dan Kekasih Suamiku (24).Aku masih tertegun setelah mendengar penuturan Mas Chandra mengenai alasannya mengenai foto itu. Rasanya kini untuk percaya dengannya terlihat sangat lah sulit, karena aku pernah dikecewakan olehnya."Hanan, kamu percaya, kan?" ucapnya lagi ketika aku masih terdiam.Jika dilihat dari gerak-gerik dan mimik wajahnya, dia terlihat seperti benar-benar tidak berbohong. Namun, bukankah tidak seharusnya aku percaya begitu saja dengannya?"Terserah, sekarang kamu kamu percaya atau tidak denganmu. Namun, yang pasti aku telah mengatakan semua kejujuran ini padamu."Hatiku bimbang, sejujurnya aku sangat ingin percaya padanya. Aku juga tidak ingin rumah tanggaku hancur hanya karena wanita seperti Lusi."Baik, aku percaya. Tapi jangan memaksaku untuk bersikap baik seperti dulu lagi," tuturku setelah beberapa saat memikirkan mengenai hal ini.Mas Chandra tersenyum, sepertinya dia memang menunggu jawaban ini dar
Aku dan Kekasih Suamiku (23).Pak Akbar masih menatapku heran, ketika dengan sengaja aku mengatakan tentang hubungan saudara antara diriku dan juga Lusi. Hatiku sudah terlanjur panas, terlebih setelah aku mengetahui semua kebenaran yang terjadi antara mama, papa dan juga Pak Akbar."Apa maksud kamu?"Aku memutar bola mata malas, lalu berdiri dan berjalan sedikit menjauh darinya. Bagaimana bisa, aku berbaik hati pada orang yang telah berbuat buruk pada mamaku. Bahkan dia juga tidak berniat mengakuiku sebagai anaknya."Tentunya Anda ingat bukan dengan Anisa dan Oki Wijaya? Sudah lah, aku lelah dengan sandiwara ini, Pak. Lebih baik, jika Anda dan istri Anda masih memiliki dendam pada kedua orang tuaku, jangan bawa-bawa aku dan Mas Chandra. Setidaknya aku hanya ingin rumah tanggaku ini baik-baik saja. Terlepas bahwa ternyata Anda adalah ayah kandungku, itu sudah bukan menjadi prioritasku lagi karena bagiku ayahku cuma satu, yaitu Papa Oki Wijaya."
Aku dan Kekasih Suamiku (22)."Jadi, kamu menuduh kami telah mencelakakan mamanya Lusi?" sahut papa ketika aku berbicara demikian."Oh ... Bukan begitu, bukan ....""Lalu? Dengan nada bicaramu seperti itu tandanya kamu menuduh kami melakukan hal itu, Nan. Papa kecewa, bisa-bisanya kamu bersikap seperti itu," tandas papa dengan raut wajah kecewa.Aku menunduk dalam, seharusnya aku memang tidak berkata seperti itu karena mungkin hal itu akan menyakiti hati kedua orang tuaku. Namun, aku hanya ingin mencari kebenaran atas apa yang telah menimpaku ini. Apa aku salah?Mama hanya diam, entah apa yang sedang dipikirkan olehnya. Membenarkan pertanyaanku, atau justru sama kecewanya dengan papa?Kedua bahu papa naik turun, menandakan bahwa dia terlihat sedang menahan amarah."Ma, Pa. Bukan begitu maksudku, hanya saja aku benar-benar sedang ingin mencari kebenaran. Hidupku sudah terlalu penat dengan semua masalah ini. Bukankah lebih
Aku dan Kekasih Suamiku (21)**Siang ini aku berencana untuk menyegarkan pikiranku dengan berjalan-jalan di Mall besar kota. Setelah tragedi Mas Chandra kemarin, dia belum berani pulang ke rumah. Entah, dia pergi kemana setelah aku mengusirnya.Tidak ada sesuatu yang penting, aku hanya ingin menyegarkan pikiranku sejenak dengan berjalan-jalan dan menikmati hari. Usai kunjunganku ke rumah kakek, aku juga belum bertemu dengan Pak Akbar yang ternyata adalah ... Ayahku.Ah, memuakkan sekali. Ternyata, selama ini aku telah mengenal pria yang dulu telah mengkhianati mama sedalam itu. Bahkan mungkin bisa saja mama depresi karena ulah pria itu.Dan sekarang, anak perempuannya pun juga ingin merusak rumah tanggaku. Bukan kah hal itu adalah suatu kebetulan yang sangat mengejutkan. Atau ... Sebenarnya ini bukan kebetulan? Melainkan direncanakan. Entahlah.Kedua mataku tertuju pada sebuah toko baju yang sering kukunjungi. Jika biasanya aku akan datang
Aku dan Kekasih Suamiku (20)."Sudah berapa lama kamu kenal orang ini?" tanya kakek tanpa menjawab pertanyaanku.Aku menghela nafas panjang, sepertinya orang yang aku tanyakan ini memang benar ayahku."Kek, tolong. Apa benar, orang ini ayahku?" ucapku sekali lagi.Kakek menatap Bibi Wulan seperti meminta persetujuan, lalu berbalik menatapku setelah Bibi Wulan menganggukkan kepalanya. Jantungku berdetak dua kali lipat dari sebelumnya, menunggu saat kakek akan menjawab pertanyaanku."Iya. Itu memang ayahmu," jawab kakek membuat duniaku seketika berhenti berputar.Aku terpaku, semua ini benar-benar membuatku sangat terkejut. Bagaimana bisa semua ini terjadi? Benar hanya kebetulan, atau memang sudah di rencanakan?"Selama ini kami benar-benar kehilangan kontak dengannya karena kami memang tidak ingin mengenalnya lagi. Sikap dan perbuatannya dulu sangat membuat kami terutama Kakekmu ini sakit hati, hingga akhirnya aku memutuskan un