Aku dan Kekasih Suamiku (13)
**
"Bu, Tuan Aris ingin membuat janji. Apakah anda bisa?" ucap Siska saat aku tengah mengerjakan laporan bulanan.
"Apa saja jadwalku hari ini?"
"Tidak ada, Bu. Hanya meeting dengan staf intern membahas laporan bulanan," tuturnya lagi dengan membuka catatan kecil di tangannya.
Sepertinya Tuan Aris ingin membicarakan mengenai Lusi dan juga masalahku, karena jika mengenai pekerjaan pasti dia yang akan memintaku untuk ke kantornya. Tidak ada salahnya aku menyetujui ajakannya, siapa tau aku bisa mendapatkan jawaban atas masalah yang tengah kuhadapi.
"Baik, buat janji saat makan siang saja. Jam 12 di Kafe Baruto, ya."
Siska mengangguk, lalu kembali keluar ruangan. Sedangkan aku melanjutkan laporan bulanan sebelum meeting dengan para stafku dilaksanakan.
Kini, Mas Chandra benar-benar tidak bisa berkutik setelah tahu bahwa aku lah yang mengendalikan perusahaan ini. Sikapnya tidak pernah semena-mena la
Aku dan Kekasih Suamiku (14)**"Hanan, gimana penawaranku kemarin? Bukankah lebih baik aku yang urus perusahaan induk, biar kamu bisa fokus di rumah dan melanjutkan program hamil kita?" ucap Mas Chandra ketika aku baru saja membuka laptop hendak menyalin laporan bulanan.Dia duduk di hadapanku, memegang beberapa berkas yang sepertinya juga laporan bulanan perusahaan yang dia pegang. Wajahnya berseri, dia begitu yakin bahwa aku akan menyerahkan perusahaan induk padanya."Nan, kamu kan cewek. Masa urus perusahaan, sih. Lagipula, aku kan udah lama berkecimpung dalan dunia bisnis. Kalau kamu ngomong sama Papa, pasti bakal dikasih ke aku," tuturnya lagi percaya diri.Aku tersenyum kecut, mana mungkin aku memilih duduk di rumah, mengurus segala sesuatunya, melanjutkan program hamil sedang di luar sana dia tengah memanfaatkan kebaikan yang kuberikan. Apa dia pikir aku sebodoh itu?Kutekan kursor 'copy' lalu menatap suami yang sudah beberapa hari b
Aku dan Kekasih Suamiku (15)**Pak Akbar berjalan meninggalkanku dengan raut wajah aneh, dia seperti tengah memikirkan sesuatu. Padahal sebelumnya, ketika aku mengajaknya berbincang mengenai Lusi dia tak terlihat selesu itu."Ok-oki? Oki Wijaya?" ucapnya saat aku baru saja menyelesaikan sambungan teleponku dengan papa.Aku mengangguk, dengan meraih kunci mobil yang masih tergeletak di atas meja. Apa dia mengenalnya? Jika tidak, kenapa dia bisa sekaget itu?"Kenapa, Pak? Anda kenal?"Dia mengerjapkan matanya yang sedari tadi menatapku dalam. "Oh, mungkin hanya namanya saja yang sama. Dulu aku juga punya teman bernama Oki Wijaya, tapi sudah lama tak berjumpa," tuturnya dengan lantas mengusap kasar wajahnya.Aku hanya mengangkat kedua bahuku, lalu mengajaknya pergi dari restoran sebelum ada orang lain yang mengenalinya. Lagipula setelah ini aku masih harus ke rumah papa untuk bertemu dengan mama, katanya lewat sambungan telepon tadi mam
Aku dan Kekasih Suamiku (16)**"Sejak kapan kamu mengenalnya?" tanya papa tiba-tiba membuatku terkejut dengan nada ketusnya.Sebenarnya ada apa? Kenapa mama dan papa terlihat sangat aneh dengan semua ini. Begitu juga Pak Akbar, perpisahan kami tadi juga terlihat sangat aneh."Aku baru bertemu beberapa kali.""Untuk apa? Jangan katakan kalau perusahaan kita bekerja sama dengannya!" tandas papa dengan nada tinggi, membuatku semakin bingung.Aku menghela nafas, lalu berdiri dan menghampiri mama yang duduk di seberang. Sepertinya mama sangat terkejut dengan hal ini, membuat kepalaku semakin pening. Belum juga masalah Lusi selesai, kini kedua orang tuaku pun membuatku semakin penasaran."Ma. Ada apa sebenernya, emangnya Pak Akbar ini siapa?"Mama terlihat melamun, tapi jelas terlihat kedua manik matanya menyiratkan sebuah kegelisahan. "Jauhi laki-laki itu, Nak. Mama nggak suka kamu berurusan dengannya," kata mama datar.Seda
Aku dan Kekasih Suamiku (17)"Tidak! Aku tidak bersedia. Lupakan anganmu untuk mengajakku bekerja sama," ungkap Mas Chandra membuatku terkejut.Lusi terlihat marah, terlebih setelah Mas Chandra melepaskan pelukannya. Hatiku sedikit berbunga, ketika suamiku ternyata benar-benar menepati perkataannya bahwa dia akan menjauhi Lusi."Lebih baik kamu pulang. Aku tidak ada waktu meladeni orang sepertimu," tandas Mas Chandra lagi.Lusi menatap tajam Mas Chandra, "aku tahu, dalam lubuk hatimu yang paling dalam pasti sebenarnya kamu sedang mengincar hak milik istrimu juga, kan? Oleh sebab itu kamu tidak membiarkanmu masuk dan merusak seluruh milik istrimu. Katakan?"Dahiku mengernyit, apa lagi yang dikatakan oleh Lusi? Kenapa dia bisa berkata seperti itu?"Bukankah sudah kukatakan, bersamaku lah maka semua masalahmu akan selesai. Aku mendapatkan restu orang tuaku, dan kamu akan memiliki semua yang sedang kau incar."Tunggu ... Aku jadi teringat
Aku dan Kekasih Suamiku (18)**Tiga tahun yang lalu ...."Maaf, Papa nggak bisa jadi wali di pernikahan kamu," ucap papa membuat seluruh sendiku seakan lemas.Kenapa? Apa papa tidak sayang padaku? Atau tidak merestui hubunganku dengan Mas Chandra?Mana sesegukan, aku yakin dia tengsh menangis karena perkataan papa. Setega itu kah papa kepadaku, hingga tak mau menikahkan anaknya ini?"Papa becanda, kan?"Ku tatap lekat pria yang membuatku jatuh cinta pertama kali itu. Oki Wijaya, pria yang kupanggil papa sejak pertama kali bibir ini mampu berucap.Papa menundukkan kepala, lalu mengacak kasar rambutnya. "Tidak, Papa nggak bercanda, Hanan."Seluruh sendiku lemas, semua ini bagai mimpi buruk bagiku yang akan menikah sebentar lagi. Jika memang papa dan mama tidak merestui hubunganku dengan Mas Chandra, kenapa mereka membiarkan hubungan ini berlanjut hingga kejenjang serius seperti ini.Terlebih, Mas Chandra sudah mela
Aku dan Kekasih Suamiku (19).Aku masih terdiam dalam keterkejutanku, rasanya untuk memahami keadaan ini sangat lah sulit. Entah, siapa mereka dan apa hubunganku dengannya. Mama dan papa sebelumnya tak pernah menceritakan apapun padaku.Kulirik mama, aku tengah berusaha meminta penjelasan darinya. Karena aku rasa ini sungguh aneh, sepertinya ini tidak hanya menyangkut tentang pernikahanku saja tapi juga tentang masalalu kedua orang tuaku."Hanan, kenalkan, panggil dia kekek dan Bibi Wulan," ucap mama dengan raut wajah tak ceria.Aku berusaha sopan, menatap mereka bergantian dan tersenyum. "Ma, sebenarnya ....""Aku tahu kamu bingung, Hanan. Oleh sebab itu Papa dan Mama membawamu ke rumah ini agar semua menjadi jelas." Papa bersuara, tapi dapat kulihat jelas sorot kesedihan dalan manik matanya.Lelaki yang mama sebut sebagai bapak itu menyandarkan tubuhnya, lalu melepas kacamata yang masih terpasang di wajahnya. Dia terlihat berwibawa
Aku dan Kekasih Suamiku (20)."Sudah berapa lama kamu kenal orang ini?" tanya kakek tanpa menjawab pertanyaanku.Aku menghela nafas panjang, sepertinya orang yang aku tanyakan ini memang benar ayahku."Kek, tolong. Apa benar, orang ini ayahku?" ucapku sekali lagi.Kakek menatap Bibi Wulan seperti meminta persetujuan, lalu berbalik menatapku setelah Bibi Wulan menganggukkan kepalanya. Jantungku berdetak dua kali lipat dari sebelumnya, menunggu saat kakek akan menjawab pertanyaanku."Iya. Itu memang ayahmu," jawab kakek membuat duniaku seketika berhenti berputar.Aku terpaku, semua ini benar-benar membuatku sangat terkejut. Bagaimana bisa semua ini terjadi? Benar hanya kebetulan, atau memang sudah di rencanakan?"Selama ini kami benar-benar kehilangan kontak dengannya karena kami memang tidak ingin mengenalnya lagi. Sikap dan perbuatannya dulu sangat membuat kami terutama Kakekmu ini sakit hati, hingga akhirnya aku memutuskan un
Aku dan Kekasih Suamiku (21)**Siang ini aku berencana untuk menyegarkan pikiranku dengan berjalan-jalan di Mall besar kota. Setelah tragedi Mas Chandra kemarin, dia belum berani pulang ke rumah. Entah, dia pergi kemana setelah aku mengusirnya.Tidak ada sesuatu yang penting, aku hanya ingin menyegarkan pikiranku sejenak dengan berjalan-jalan dan menikmati hari. Usai kunjunganku ke rumah kakek, aku juga belum bertemu dengan Pak Akbar yang ternyata adalah ... Ayahku.Ah, memuakkan sekali. Ternyata, selama ini aku telah mengenal pria yang dulu telah mengkhianati mama sedalam itu. Bahkan mungkin bisa saja mama depresi karena ulah pria itu.Dan sekarang, anak perempuannya pun juga ingin merusak rumah tanggaku. Bukan kah hal itu adalah suatu kebetulan yang sangat mengejutkan. Atau ... Sebenarnya ini bukan kebetulan? Melainkan direncanakan. Entahlah.Kedua mataku tertuju pada sebuah toko baju yang sering kukunjungi. Jika biasanya aku akan datang