Mungkin sekitar lima belas menit lagi akad pernikahan akan segera dimulai. Nampak tamu undangan yang sedari tadi aku tunggu, yakni Siska. Dia datang bersama suaminya. Duduk di dekatku, menguatkanku."Bagaimana, apa acara sudah bisa dimulai?" Penghulu yang sudah lebih dulu duduk di depan Mas Yusuf nampak bertanya."Silahkan segera dimulai, Pak." Jenifer langsung menjawab dengan semangat."Iya, Pak. Mulai saja." Yang lain menimpali. Sepertinya dari keluarga Jenifer.Aku menarik napas begitu dalam lalu menghembuskannya dengan perlahan. Sudah tersedia beberapa lembar kertas di atas meja, bukan buku nikah karena mereka hanya menikah siri.Para saksi sudah duduk pada tempatnya masing-masing.Penghulu memulai acara dengan berdoa terlebih dahulu. Melihat wajah-wajah keluarga Jenifer, semuanya tampak bangga dan bahagia. Tak ada satu pun yang prihatin dengan nasibku yang nota bene sebagai istri Mas Yusuf.Seorang pria dewasa yang rambutnya mulai berwarna putih sudah berjabat tangan dengan Mas Y
Aku melihat Jenifer dengan semangatnya mengambil pemberian tiket dari papanya. Dia nampak semringah. Awal saja kalau melanggar, aku tak akan memaafkanPria dan wanita paruh baya itu berpamitan kemudian keluar dari rumah Mas Yusuf dengan wajah lega. Sementara aku memilih bersembunyi saja dibalik dinding. Aku tak mau kalau sampai orang tua Jenifer melihatku."Mas." Suara manja itu memanggil suamiku. Dia bergelayut manja padahal sesekali ditepis suamiku.Kumendekat dengan langkah yang cepat."Surat perjanjian itu ada di tangan saya, Jenifer," tegurkku. Jenifer tampak langsung melepaskan genggaman tangannya pada suamiku. Dia merapihkan rambut yang tak acak-acakan."Ya elah, cuma pegangan tangan doang," celotehnya sambil melihat ke kiri dan ke kanan tanpa membalas pandanganku."Sama saja. Karena Mas Yusuf tak akan suka kalau kamu bermanja-manja dengannya," tegasku manyindir. Jenifer memutar bola kata kesal."Iya kan, Mas?" tanyaku pada Mas Yusuf untuk menegaskan. Tak lupa sambil menatap s
Mas Yusuf memperhatikan makanan yang memang sudah tersaji di depannya."Memangnya ini masakan kamu?" tanya Mas Yusuf seraya menarik kursi lalu meluruhkan pantatnya di sana."Mm.. bukan sih. Tapi kan sudah aku siapkan husus untuk kamu," jawab Jenifer dengan manjanya."Kamu sedang apa, Mia?" Mas Yusuf menoleh ke arahku di pantry."Sedang memanaskan makanan, Mas. Hari ini sudah banyak makanan dari catering tadi." Aku menjawab tanpa menoleh."Sudahlah, Mas. Makan saja yang sudah tersedia." Tampaknya Jenifer berusaha mengalihkan perhatian Mas Yusuf."Aku suapin ya." Suara manja Jenifer menggema suasana."Tidak mau," tolak Mas Yusuf saat Jenifer menyodorkan satu sendok makanan ke hadapan Mas Yusuf."Kenapa, Mas?" Suara Jenifer langsung menurun lesu."Saya tidak suka makanan dingin," tegas Mas Yusuf menolak. Meski pun hilang ingatan, seleranya masih tak berubah.Aku yang sudah memanaskan makanan segera menghidangkannya ke hadapan Mas Yusuf."Ini masih panas, Mas. Wanginya juga enak," ucapku.
Serentak Khaila dan Mas Yusuf dan langsung menolong Jenifer. Memindahakan tubuhnya ke atas sofa yang ada di kamar itu."Kok bisa ada minyak?" Khaila bertanya usai memastikan cairan kuning yang berserakan di lantai.Aku masih berdiri di ambang pintu. Hanya melihat Khaila dan Mas Yusuf yang nampak sibuk menolong Jenifer."Aku juga tidak tahu, Khai. Saat Mia menyuruhku ke kamar ini, aku masuk tanpa teliti hingga akhirnya menginjak tumpahan minyak goreng yang entah dari mana datangnya." Jenifer dengan nada suara merengek sambil menjelaskan."Mana mungkin. Ruangan masak bukankah ada di bawah, masa ada minyak goreng di sini," timpal Mas Yusuf yang menyanggah pernyataan Jenifer.Wanita tak tahu malu itu tampak langsung memeluk Mas Yusuf dari samping bergelayut manja. Entah sengaja atau tidak, apakah dia tak sadar kalau aku sedang berdiri di ambang pintu."Entahlah, Sayang. Aku juga tidak tahu," rengeknya membuatku menghela napas kesal."Apa mungkin ini hanyalah ulah, Mba Mia?" tuduh Khaila y
Jenifer memilih hengkang saja dari ruang makan. Dia merasa muak melihat pemandangan Mia dan Yusuf. "Mba Jenifer kenapa?" Khaila bertanya saat berpapasan dengannya di anak tangga pertama. Jenifer berniat akan segera naik ke lantai dua ke kamar yang disiapkan keluarga Yusuf untuknya.Wanita itu menahan emosi, itu terlihat dari raut wajahnya. "Aku muak dengan Mia yang so berkuasa, so cari perhatian," Jawabnya berdesis.Kemudian Khaila membisikan sesuatu kepadanya. Mereka saling berbicara sambil berbisik sehingga tak ada siapa pun yang bisa mendengar perbincangan mereka berdua di anak tangga pertama.Usai saling berbisik, Jenifer langsung naik ke kamarnya pun dengan Khaila yang berbalik arah kembali ke kamarnya.'Aku harus melakukan sesuatu,' batinnya mulai berencana.Dia mengambil gunting yang ada di dalam tas selempangnya. Bersamaan dengan itu, lsitrik padam sejenak. Jenifer langsung naik ke atas kursi dia menggunting dengan cekatan kabel yang melekat pada kamera cctv. Setelah itu dia
Dalam perjalanan menuju rumah sakit, Jenifer terus saja mengeluarkan suara rintihan kesakitan. Sebelah tangannya memegang perut bagian bawah dengan raut wajah mengerut terlihat menahan rasa sakit."Sabar, Jen. Sebentar lagi kita akan segera sampai," kata Yusuf yang mulai khawatir pada istri mudanya itu.Sama halnya dengan Khaila, dia yang duduk di samping Jenifer nampak mengelus-elus bahu Jenifer."Iya, Mba Jenifer. Sabar ya," timpal Khaila turut cemas.Khaila dan Jenifer memang bersekongkol. Mereka tengah berakting di hadapan Yusuf. Perut Jenifer tidak kenapa-kenapa karena mereka hanya berpura-pura demi menjatukan nama baik Mia."Ini semua gara-gara, Mia. Pasti wanita itu yang telah menaruh minyak goreng di kamar lantai dua," tuduh Khaila di dekat Yusuf."Sudahlah jangan bicara seperti itu, Khaila. Jangan membuat fitnah." Yusuf langsung menyangkal."Tidak fitnah, Mas. Namanya wanita dimadu pasti Mia kalap dan cemburu. Mia sendiri yang telah menyiapkan kamar di lantai dua itu." Khaila
"Tapi, Mas. Aku tidak mau diurus suster. Aku ini bukan bayi atau jompo. Aku masih bisa melakukan aktivitas sendiri kok." Tiba-tiba Jenifer mengelak."Tuh kan, Mas. Bisa kamu dengar baik-baik. Mba Jenifer ini memang wanita mandiri. Dia tak mau merepotkan siapa pun. Maka Mas Yusuf harus benar-benar memperhatikannya," celoteh Khaila turut memanas-manasi saja.Namun, tak ada balasan lagi dari Yusuf. Pria tampan dengan perawakan berisi itu tampak menatap ke arah depan, tak mau lagi menanggapi celotehan Khaila."Mas Yusuf harus bilang pada Mia kalau Mba Jenifer akan pindah ke kamar di lantai satu. Mba Jenifer akan tinggal di rumah kita selama masa kehamilan," saran Khaila sambil menaikan sebelah alisnya pada Jenifer seperti tengah memberikan kode."Itu tidak ada dalam surat perjanjian," balas Yusuf menanggapi."Jangan pikirkan surat perjanjian, Mas. Tapi pikirkan kesehatan Mba Jenifer yang tengah mengandung anak kamu, Mas. Calon penerus perusahaan Zubair. Jangan biarkan semuanya diatur ole
Aku menghela napas kesal. Lagi-lagi harus berpapasan dengan Khaila di waktu yang tidak tepat."Terserah kamu saja, Khaila. Saya memang tak punya kuasa di rumah ini." Aku melanjutkah langkah. Tenggorokan ini rasanya kering membutuhkan segelas air minum."Tunggu!" Khaila menahan langkahku."Apa lagi?" Aku menghentikan langkah."Jangan pernah sekali-sekali mengganggu, Mba Jenifer. Dia sedang hamil anak Mas Yusuf. Jadi kami harus legowo menerimanya," pinta Khaila menekan tanpa sopan santun."Saya tidak pernah mengganggu siapa pun. Sebaliknya, jika hidup saya diganggu dan diusik, maka saya tak akan tinggal diam," balasku tanpa merasa takut. Segera kulanjutkan langkah tanpa perduli dengan panggilan Khaila lagi. Kepala ku pusing, lebih baik membuat kopi saja di dapur. "Bu Mia, ngopi sendirian?" Ijah menyapaku. Dia baru saja tiba entah muncul dari mana."Iya, Jah. Temani saya ngopi yu. Saya tidak punya teman di sini, selain kamu," balasku."Siap, Bu." Kulihat Ijah membawa sesuatu di tangann