"Brengsek kamu, Fery!" Siska tampak marah pada Fery yang mengukir senyum penuh misteri."Bukankah saya hanya bicara jujur pada Mia, Siska. Saya memang mencintai kamu kok." Dengan entengnya Fery membela diri tanpa merasa bersalah dengan apa yang sudah dilakukannya, memfitnah Siska."Tutup mulut kotormu!" sergah Siska seraya mengerutkan bibirnya menahan emosi. Andai saja bukan di tempat umum, mungkin sudah ditamparnya wajah Fery yang menjijikan di matanya."Ayolah, Siska. Semua akan baik-baik saja jika kamu membalas cintaku," rayu Fery sambil berusaha lebih mendekat ke arah Siska.Namun, di waktu yang bersamaan pula Siska segera mendorong tubuh tinggi nan kekar itu agar menjauh darinya."Saya tidak sudi!" bentak Siska segera."Kamu galak juga ya, tapi saya semakin suka saat melihat kamu marah dan galak seperti ini." Lagi-lagi Fery masih dengan usahanya merayu Siska yang tengah dibakar emosi."Kamu benar-benar sudah gila, Fery. Bicara denganmu hanya akan membuang-buang waktu saya. Ingat b
Setelah mematung dalam beberapa detik aku kemudian melanjutkan langkah menuju taksi online yang telah terparkir di depan rumah kemudian masuk dan duduk di kursi belakang."Sesuai titik ya, Mas," perintahku.Mas Fery kini semakin acuh. Ia tak lagi punya inisiatif untuk mengantarkanku. Pikiran dan isi hatinya telah dibalut oleh cinta pada selingkuhannya. Lalu, siapa selingkuhan Mas Fery? Aku merasa tak yakin kalau Siska orangnya.Semalaman aku mencerna setiap detik mengenai pengakuan Mas Fery. Memang ada yang janggal antara Mas Fery dan Siska, namun entah mengapa hati ini terus saja menolaknya. Aku merasa Siska adalah sahabat yang tak mungkin berkhianat. Lalu, aku pun memutuskan untuk memberikan waktu kepada Siska untuk membela dirinya.Semalam juga, aku tak melihat Mas Fery tidur di kamar. Mungkin bisa saja dia tidur di sofa karena kami berdua tengah berselisih. Lagi pula, aku merasa Mas Fery sudah tak menginginkan diri ini. Dia bahkan sudah hampir dua bulan tak memberikan nafkah batin
Aku masih berpacu dalam tangisan sendu. Bukan Mas Fery yang aku tangisi saat ini, melainkan kegagalan yang kembali terjadi dalam rumah tanggaku. Aku mengusap dada ini, sementara air mata seakan tak mau berhenti mengalir."Apa aku adalah wanita yang banyak kekurangan? Dua lelaki telah berpaling dan mencari kesenangan dengan wanita lain. Dua lelaki telah mengkhianatiku tanpa perasaan." Aku berkata dengan suara isak tangis yang mengiringi.Mendengar ucapan sendu yang keluar dari mulut ini, gegas Siska memeluk guna menguatkan."Tidak seperti itu, Mia. Hanya saja kamu bertemu dengan lelaki yang salah untuk yang kedua kalinya," balas Siska membantah perkataanku.Pelukan sahabatku dilonggarkan. Gegas aku mengusap air mata yang membanjiri pipi. Mengatur napas yang berhembus tak beraturan."Aku akan meminta cerai," ucapku dengan yakin saat suasana hati sedikit tenang."Tapi, aku bingung harus pulang kemana. Rumah saudaraku belum tentu menerima raga ini," sambungku lesu."Rumahku cukup luas unt
"Ahh... aah... mch.."Suara Rani yang menjijikan bagaikan bom atom yang seketika menghancurkan hidupku. Tubuh yang masih terasa bergetar ini perlahan berjalan mundur dengan pelan. Aku tidak mau kalau sampai Rani dan Mas Fery menyadari keberadaanku.Tubuh telanjang Rani yang bergoyang di atas paha Mas Fery jelas terlihat oleh kedua bola mata ini. Anak gadisku nampak lihai memainkan hubungan intim. Mengapa anak gadisku setega ini terhadapku?Aku kemudian memutuskan untuk keluar lagi dari rumah. Mengunci kembali pintunya agar kehadiranku tak tercium oleh siapa pun.Aku segera memesan taksi online dan memutuskan akan kembali ke rumah Siska. Aku tak akan kuat berhadapan dengan mereka saat ini. Tubuh lemas ini seakan tak memiliki kekuatan.Di sepanjang perjalanan di dalam mobil, pasang manik ini tak mau berhenti mengeluarkan cairan beningnya. Driver taksi online itu bahkan terlihat iba saat aku terus saja berpacu dalam tangisan sendu sore ini.Aku tak pernah menyangka sama sekali kalau sore
Aku telah berdiri diantara Rani dan Fery yang tengah sarapan. Mereka menatapku gugup. Bagaimana tidak, mereka tengah asik sarapan bersama sambil bergurau, tiba-tiba aku datang dan mengganggu keduanya."Selamat pagi!" Aku menyapa berusaha mengukir senyum seolah tak terjadi apa-apa."Mia!" Mas Fery menghentikan sarapannya. Ia yang gugup segera beranjak dari tempat duduk lalu menghampiriku yang masih mematung.Sementara Rani, dia masih saja duduk dan tak perduli denganku. Aku tak habis pikir dengan anak itu. Entah terbuat dari apa isi hatinya sampai tega menghancurkan perasaan ibunya sendiri.Mas Fery kini telah berada tepat di hadapanku ia kemudian meraih tangan ini. Sebenarnya ingin ku hempaskan belaiannya yang menjijikan itu, akan tetapi aku tetap harus mengikuti alurnya saat ini."Mia, aku minta maaf. Aku sadar, aku khilaf. Tapi, aku akan berubah. Kita mulai semuanya dari awal." Mas Fery berbicara dengan meyakinkanku. Lelaki penghianat itu menatapku begitu dalam, tapi aku yakin itu s
Aku segera mengamankan perhiasan. Aku bukan mencuri karena benda ini adalah milikku. Setelah itu, aku melanjutkan penyisiran lemari Rani. Aku yakin masih ada benda mencurigakan di dalamnya.Di dalam sebuah laci yang terletak di dalam lemari Rani, aku kembali menemukan sebuah amplop uang berwarna coklat dengan ukuran besar. Aku yang penasaran segera membuka isi amplop itu. Sudah bisa diraba ketebalan isinya. Hanya saja aku masih belum tahu kertas apa yang berada di dalamnya.Lagi-lagi kepala ini dibuat menggeleng. Hal yang mengejutkan kembali aku dapatkan saat melihat isi amplopnya.Lembaran uang berwarna merah dengan jumlah yang banyak dan aku tak tahu berapa. Uang lembaran berwarna merah itu cukup tebal. Bisa diperkirakan jumlahnya mencapai puluhan juta rupiah.Aku menelan saliva yang terasa berat. Batinku kembali lemas. Dari mana uang puluhan juta ini Rani dapatkan? Padahal yang aku tahu uang jajan sekolahnya saja hanya lima puluh ribu sehari. Apa ini termasuk pemberian Mas Fery?Ya
Usai makan malam aku melihat Mas Fery mengutak-atik leptop. Aku pura-pura bertanya sekedar basa-basi."Mau ngapain, Mas? Ini kan sudah malam. Masa masih mau kerja," tanyaku."Enggak kok. Aku hanya ingin melihat CCTV saja," jawab Mas Fery. Sementara pandangannya tetap fokus pada layar monitor."Untuk apa, Mas?" Lagi, aku bertanya agar Mas Fery yakin kalau aku memang tak tahu apa-apa."Aku penasaran saja. Aku ingin lihat siapa yang masuk ke kamar Rani dan mengambil perhiasannya," jelas Mas Fery."Ya ampun, Mas. Kok kamu sampai begitu repot-repot. Bukannya hanya perhiasan perak dan tak terlalu berharga," sindirku dengan enteng. Aku segera merebahkan tubuh di atas ranjang tak terlalu perduli saat Mas Fery sibuk dengan leptop rumah."Katanya hadiah dari pacarnya. Aku hanya kasian saja sama, Rani. Terlihat sedih," jawabnya.'Kamu tak akan menemukan apa-apa, Mas,' batinku sambil tersenyum getir merasa senang. Kemudian aku berpura-pura tidur duluan.Mas Fery terdengar berdesis kesal. Ah aku ta
Benar saja, Mas Fery keluar dari kamar sambil membawa map yang berwarna hijau. Ah menyeringai senang karena sudah bisa dipastikan kalau isi map itu pasti surat rumah. Aku memperbaiki raut wajahku agar terlihat biasa."Ini!" Mas Fery meletakan map hijau itu di atas meja makan."Ini surat rumahnya?" Aku pura-pura bertanya dan Mas Fery tampak menganggukan kepalanya.'Ternyata tak begitu sulit membohongi kamu, Mas.' Aku bergumam dalam hati."Oke!""Setelah pembayaran pajak selesai, surat rumah serahkan kembali kepadaku karena aku harus menyimpannya kembali," kata Mas Fery seraya meneguk sisa teh hangat dalam gelasnya."Tentu saja, Mas." Aku mengiyakan.Mas Fery berlalu pergi menuju kantor. Sementara surat rumah sudah berada dalam genggaman tanganku. Aku harus gerak cepat karena Mas Fery tak memberiku banyak waktu.***Aku mengalihkan nama rumah menjadi atas namaku. Beruntung prosesnya berjalan lancar dan cepat. Aku tak mau kalau sampai Mas Fery keburu pulang menggagalkan rencana ini."Maa