Jadi apakah benar Agung ada main dengan Caca? pikiran itu kembali membuat Kiran melamun di dalam mobilnya Lukman.
"Mbak. Mbak Kiran. Enggak jadi turun, Mbak?"
Lukman menegur Kiran hingga beberapa kali sampai Kiran sadar.
"Eh, iya, Pak Lukman. Sudah sampai kan, Bapak bisa turun sekarang."
"Lho?"
"Eh, kenapa jadi saya yang nyuruh Bapak turun dari mobil ya? Duh, maaf ya, Pak. Pikiran saya lagi ruwet."
Lukman tertawa kecil melihat tingkah Kiran.
"Saya permisi ya, Pak. Sekali lagi maaf. Terima kasih juga."
Lukman mengangguk dan tersenyum saat Kiran turun dari mobilnya. Namun, belum sempat ia menyalakan mesin mobilnya kembali, Kiran sudah berada di samping mobil sambil mengetuk kaca jendela mobilnya.
"Ada apa lagi, Mbak Kiran?" tanya Lukman sambil menurunkan jendela mobilnya.
"Pak Lukman. Maaf, saya enggak bermaksud lancang. Ada baiknya kalau Bapak mampir ke rumah Caca. Saya khawatir. Caca kan wanita muda ...."
Entah kenapa Kiran menghentikan ucapannya saat nama Agung sudah berada di ujung lidah. Kiran melangkah pergi tanpa peduli dengan wajah Lukman yang kebingungan.
Kiran terus melangkah memasuki gang kecil menuju rumahnya. Rumahnya masih harus ditempuh lima menit dengan berjalan kaki melalui gang ini. Gang yang hanya bisa dilewati dua jalur motor. Keadaan di gang ini memang selalu sepi. Pagar-pagar rumah lumaya tinggi. Para penghuni rumah biasanya pergi bekerja di siang hari dan langsung beristirahat saat pulang kerja di malam hari.
'Kalau Mas Agung ke rumah Caca secara diam-diam atau sebaliknya, pasti tetangga enggak akan tau,' batin Kiran.
Kiran terus berjalan dengan pikiran kalut.
"Kiraaan."
Kiran menoleh saat suara perempuan memanggilnya beberapa kali. Ia melihat Caca keluar dari warung tak jauh dari rumahnya. Sekuat tenaga ia menahan emosi yang bergemuruh di dada. Bisa-bisanya Caca bersikap santai seperti ini di depannya.
"Kamu sudah pulang, Ran? Kamu baik-baik aja kan? Gimana Malika?" tanya Caca sambil membawa satu kantong plastik besar isi belanjaan.
Kiran memandang Caca dengan sinis. Hidungnya berkali-kali mendengkus secara spontan. Seakan-akan Kiran dapat mencium bau tidak enak dari tubuh Caca.
'Ih, ini perempuan. Bau perselingkuhan,' batin Kiran sambil menggosok hidungnya beberapa kali.
"Kamu kenapa, Ran?"
Kiran menepis tangan Caca dengan cepat saat Caca menyentuh tangannya.
"Kamu kurang sehat kayaknya, Ran. Langsung istirahat gih."
Kiran tetap terdiam dan sesekali memandang sinis ke arah Caca.
"Oiya, sorry, Ran. Aku enggak sempet mampir ke rumah kamu. Jadi aku enggak tau, suamimu ada di rumah apa enggak."
Kiran mengangguk kemudian kembali tersenyum sinis.
"Atau jangan-jangan suamimu udah jemput kamu ke rumah sakit?"
'Dih, akting maksimal banget sih ini perempuan. Asal kamu tau ya, aku enggak akan tertipu dengan muslihatmu lagi,' gumam Kiran dalam hati.
"Enggak, kok. Aku pulangnya enggak sama Mas Agung. Tapi sama Pak Lukman," jawab Kiran.
Wajah Caca terlihat terkejut mendengar ucapan Kiran.
"Jangan bercanda kamu, Kiran."
"Serius. Tadi aku diturunin di depan gang. Enggak bisa mampir ke kamu, katanya belum gilirannya ya? Enggak nyangka aku, ternyata kamu itu bini muda."
Kiran merasa senang saat melihat wajah Caca yang memerah. Ia melihat sekeliling dan sedikit merasa kecewa karena hanya ada Adam, mahasiswa yang sedang menjaga warung.
'Kenapa cuma Adam yang ada di sini? Coba emaknya, kalau Bu Winda yang sedang jaga warung, pasti berita ini akan cepat menyebar dari mulut ke mulut,' batin Kiran.
Caca terlihat panik, kemudian menoleh ke ujung gang. Ia ingin memastikan apakah Lukman berada di sana.
"Oiya, badewe tadi aku ketemu sama Pak Lukman di rumah sakit. Kalau begitu, kamu ber-aw-aw-ria sama siapa, Ca?" tanya Kiran sambil menatap Caca dengan tatapan siap membunuh.
Caca semakin kaget dengan ucapan dan tingkah Kiran yang kini berjalan memojokkan dirinya hingga ke tembok rumah warga.
"Apaan sih kamu, Ran? A-aku tuh tadi cuma bercanda saat di telefon sama kamu," ucap Caca panik.
Tanpa diduga oleh Kiran, Caca tiba-tiba mendorong tubuh Kiran hingga terhuyung kemudian melarikan diri dari interogasi Kiran dan segera kembali ke rumah.
"Mbak Kiran!"
Kiran menoleh ke arah suara, ternyata Adam yang memanggilnya.
"Jangan berantem di depan warung, Mbak. Kalau ada Mama, pasti kena siram!"
Kiran mencibir ke arah Adam. Bisa-bisanya bocah itu marah-marah padanya. Walau perbedaan usia mereka hanya tiga tahun, tetapi tetap saja dia masih kuliah dan tidak pernah merasakan pahitnya hidup.
"Kalau enggak ngerti, nanti aku yang siram nih, Mbak?!"
'Adam kurang ajar! Hancur sudah rencanaku melabrak si Caca,' batin Kiran gemas.
'Lihat saja nanti, Ca. Aku pasti bisa membalas perbuatan kamu. Sekarang biar aku selesaikan urusanku dengan Mas Agung.'
Kiran menatap ke rumah Caca dengan geram. Perempuan itu pasti sudah bersembunyi di kolong kasurnya. Kiran mengambil napas kasar, ia berpikir untuk saat ini biarlah untuk Caca lolos. Sekarang, Kiran harus menghadapi Agung di rumah.
Kiran membuka pagar dan berjalan menuju pintu. Motor Agung tidak ada di teras. Pintu rumah juga masih terkunci. Kiran segera membuka pintu rumah dan masuk. Tidak ada tanda-tanda bahwa Agung berada di rumah.
Kiran mengempaskan tubuhnya ke atas kasur. Padahal banyak yang ingin ia lakukan saat tiba ke rumah, tetapi kenapa malah jadi melamun seperti ini? Kiran menarik napas panjang dan memikirkan kembali apa saja yang harus ia lakukan. Selain ingin melabrak Caca dan Agung, ia sangat membutuhkan uang untuk biaya hidupnya sehari-hari. Kiran terus menatap langit-langit kamar saat mendengar suara memanggilnya di ruang tamu.
"Ran ... Kiran."
Sayup-sayup Kiran mendengar suara yang memanggilnya. Suara seseorang yang selama ini ia rindukan keberadaannya. Suara seseorang yang selalu ingin ia peluk dan ia milikin sejak zaman dirinya SMA.
"Mas Agung?"
"Benar kamu rupanya. Aku pikir maling masuk ke rumah."
Agung menggantungkan jaketnya kemudian kembali keluar kamar. Kiran bangkit dari ranjang kemudian menghampiri Agung.
"Kamu dari mana, Mas?"
"Gimana keadaan Malika, Ran?"
"Aku yang tanya duluan, kenapa kamu malah balik tanya?"
"Aku baru pulang."
"Dari mana?"
"Rumah singgah, rumah sakit."
"Maksudnya?"
"Kamu tadi telefon kan? Bilang kalau uang kamu habis. Jadi aku langsung ke sana. Eh, kamunya enggak ada."
"Terus pas aku telefon tadi, kamu di mana? Ngapain sampai mendesah-desah seperti itu?"
"Gym."
"Gym? Sejak kapan kamu nge-gym? Enggak usah kayak kang bajay, Mas. Ngeles sana, ngeles sini."
Agung dengan santai membuka kulkas, mengambil air putih dan duduk di belakang meja makan.
"Jawab, Mas! Jangan diem aja. Aku capek-capek nunggu anak sakit, kamu malah enak-enakan hah huh hah huh sama perempuan lain. Tega banget kamu, Mas!"
Kiran mengatur napas, dadanya terasa sesak. Apa harus hal seperti ini yang ia dapat setelah berjuang demi sang anak?
Agung tetap terdiam setelah menghabiskan air putih di gelasnya. Ia memegang gelas, menatap lurus ke depan sambil bersandar.
Hal itu membuat Kiran semakin emosi, ia paling tidak suka jika Agung diam di saat ia membutuhkan semua penjelasan.
"Bukan cuma kamu yang capek, Ran. Aku juga."
"Tapi itu enggak bisa kamu jadiin alasan untuk selingkuh dari aku. Kamu itu laki-laki apa bukan sih? Kamu tuh harusnya sadar kalau kamu punya tanggung jawab! Bukan malah senang-senang sendiri."
Tubuh Kiran bergetar hebat. Semua emosi ia keluarkan saat ini.
Agung melihat ke arah Kiran.
"Aku kan cuma bilang kalau aku juga capek, Ran. Kamu kenapa jadi emosi banget?" tanya Agung dengan ekpresi datar.
"Tapi itu benar kan? Benar kamu selingkuh? Benar kamu mengkhianati aku?"
"Orang capek kok malah dituduh selingkuh? Ran ... Ran. Ada-ada aja kamu tuh," ucap Agung, masih dengan nada bicara datar.
"Enggak mau ngaku lagi!"
"Ya, kamu sembarangan nuduh gitu. Kenapa aku harus ngaku?"
"Apa? Sembarangan? Jelas-jelas kamu mendesah di telefon kok. Sembarangan nuduh dari mana?"
Agung terlihat enggan meladeni emosi Kiran. Ia segera pergi ke kamar mandi untuk melepaskan segala penat.
Kiran duduk di ruang tamu. Agung termasuk laki-laki pendiam. Ia selalu memilih menghindar saat Kiran marah seakan tidak tahu bahwa hal itu semakin membuat Kiran kesal.
"Liat saja, Mas. Aku pasti akan mencari bukti kuat tentang perselingkuhan kamu."
Agung keluar dari kamar mandi dengan berbalut handuk. Kiran menatap Agung dengan saksama.
'Apanya yang nge-gym? Badan kerempeng kayak gitu sok ngaku-ngaku.'
Agung menuju kamar dan segera berganti pakaian. Tak lama kemudian ia kembali keluar dan menghampiri Kiran.
"Ini ATM gaji bulananku. Kamu pegang saja supaya enggak ada kejadian seperti ini lagi. Maaf kalau beberapa bulan ini aku telat transfer."
Kiran melirik ke arah ATM yang berada di tangan Agung. Sambil tetap cemberut, secepat kilat ia segera menyambar dan memasukkannya ke dalam dompet yang tadi ia letakkan di atas meja ruang tamu.
Agung duduk di salah satu sofa, berhadapan dengan Kiran. Dengan wajah serius, Agung menatap Kiran.
"Maaf kalau aku bikin kamu marah. Aku sengaja enggak cerita masalah ini karena enggak mau nambah-nambahin pikiran kamu."
"Nambah-nambahin pikiran, Mas? Kamu bilang selingkuh itu cuma nambah-nambahin pikiran? Kamu udah gila ya, Mas? Jangan kamu pikir hatiku akan terobati hanya dengan ATM-mu ini. Awas saja kalau ATM-nya kosong. Aku kejar kamu dunia akhirat, Mas."
"Kamu diam dulu, Ran. Biar aku jelasin. Tadi aku beneran dari gym. Kantor lagi ruwet karena covid. Jam kerja dipangkas begitu pula gaji yang sering telat. Kebetulan temanku ngasih info, ada gym khusus orang-orang kaya yang perlu tenaga untuk bagian kebersihan. Mereka buka kelas secara privat.
Setiap kelas selesai, gym harus langsung dibersihkan sebelum kelas berikutnya mulai. Aku kerja, Ran. Aku harus cari uang tambahan untuk kita. Terutama kamu dan juga Malika."
Kiran mengerutkan dahi mendengar penjelasan Agung.
"Tadi aku terima telefon kamu sambil ngerapiin barbel. Kamu tau barbel yang buat atlet angkat besi? Iya, barbel segede-gede gaban. Berat. Kamu enggak akan kuat. Ini alamat gym-nya kalau kamu masih enggak percaya."
Kiran mengambil selembar kartu nama yang Agung berikan masih dengan seribu tanda tanya di otaknya. Ia masih tidak dapat percaya pada penjelasan Agung begitu saja.
Di saat mereka berdua terdiam, secara tiba-tiba mereka mendengar suara perempuan berteriak.
"Caca?" ucap Kiran lirih saat melihat Caca berlari dan berteriak mengejar Lukman di gang, depan rumah mereka.
*****
Lukman menatap kepergian Kiran dengan bingung. Apa maksud Kiran? Apa Kiran mengetahui sesuatu tentang Caca?Lukman memarkir mobilnya kemudian turun. Tidak ada salahnya jika ia sekalian mampir ke tempat Caca karena sudah berada di sini.Lukman memasuki gang, dari kejauhan ia melihat Caca berjalan tergesa sambil membawa kantong belanjaan hingga tidak sempat melihat dirinya. Di belakang Caca, Lukman melihat Kiran berdiri sambil bertolak pinggang."Apa mereka habis berantem, ya?" tanya Lukman pada diri sendiri.Lukman kembali berjalan menuju ke rumahnya. Ia berdiri sejenak di depan pagar, melihat Kiran yang sedang diteriaki oleh pemilik warung."Berarti benar, mereka berantem."Lukman segera masuk ke rumah dan langsung mencari Caca tanpa bersuara. Kepalanya masih dipenuhi berbagai macam tanda tanya.Lukman mendapati Caca sedang berdiri di dep
Berdegup kencang, irama jantung Agung saat ini tidak seperti biasa. Ia kesal, tetapi juga tidak dapat melampiaskan amarahnya atas sikap Kiran yang sedari tadi teriak-teriak, ikut campur urusan rumah tangga orang.Awalnya ia mengira sikap Kiran hanya penyaluran dari kejenuhan karena terlalu lama berada di rumah sakit dan rumah singgah. Namun kini ia sadar, Kiran sedang memojokkan dirinya."Fitnah? Kalau kamu merasa ini fitnah sebaiknya kita dengerin kisahnya Caca. Buktikan! NAMA KAMU DISEBUT APA NGGAK DI SANA???"Bentakkan Kiran tepat di telinga membuat Agung menarik napas dalam. Ia menahan diri agar tidak membalas sikap Kiran. Ia tidak mau memberikan siaran gratis lain kepada tetangganya."Ish ... Apa sih, Mbak Kiran? Nggak mau kalah ya sama Mbak Caca? Ikut teriak-teriak begitu," celetuk Bu Wati.Kiran masih menatap sinis ke arah Agung, mereka saling memberi tatapan saling menyalahkan."Mbak Kiran, m
Caca terdiam di sudut keramaian rumahnya. Ia menunduk. Pasrah dengan nasib yang akan ia jelang. Dalam hati ia terus meratapi kebodohan yang telah ia lakukan.Suara-suara yang terdengar di telinganya saat ini terdengar seperti suara tawon yang sedang berkerumun. Bising. Membuat kepalanya pusing. Selain percakapan Lukman dengan pengurus RT, suara Kiran termasuk dalam suara yang jelas tertangkap di telinga Caca.Caca melirik ke arah Kiran. Suara dan tingkah perempuan itu sangat menyebalkan. Andai saja tadi ia tidak menerima telefon dari Kiran, maka kejadian seperti ini tidak akan pernah ada."Saya minta maaf atas keributan ini, Pak RT. Ini salah saya, karena nggak bisa mendidik istri saya dengan baik," ujar Lukman.Caca melirik ke arah Lukman. Laki-laki itu sadar juga rupanya. Jika saja, Lukman bisa terus berada di sampingnya mungkin ia tidak akan pernah terjerat pesona lelaki lain. Tapi, benarkah? batin Caca terus
"Kiran! Malika kritis!" teriak Agung sambil memperlihatkan ponselnya yang baru saja menerima pesan dari salah satu petugas rumah sakit.Kiran segera menoleh ke arah Agung. Dunianya kini terasa berhenti berputar. Ia segera memeriksa saku bajunya, mengambil ponsel dan melihat pemberitahuan yang tertera di layar kemudian ia menatap Agung dengan tatapan panik."Malika. Astaga. Gimana ini? Malika. Antar aku ke rumah sakit sekarang, Mas. Sekarang. Cepat!"Tanpa peduli hal lainnya lagi, Kiran segera menarik Agung keluar dari rumah Caca. Kemudian Agung segera mengambil motor dan membawa Kiran ke rumah sakit.Kiran memegang pinggang Agung dengan erat. Kemarahannya meluap, berubah menjadi sebuah ketakutan dan penyesalan. Bagaimana jika semua sudah terlambat? Bagaimana jika nanti ia tidak sempat bertemu kembali dengan Malika."Ampuni, Hamba, Ya Allah. Beri hamba kesempatan bertemu kembali dengan putri hamba."K
Mencintai orang yang salah? Atau menikmati cinta milik orang lain? Bagaimana caranya mengenali perasaan sendiri?Banyak orang bilang, cinta diuji saat pasangan menghadapi kesulitan. Apakah kita akan memilih tetap bersama atau pergi meninggalkannya."Ca, bagaimana keadaan kamu?" tanya seorang lelaki di depan pintu rumah Caca dengan napas tersengal-sengal.Lelaki itu menembus orang-orang yang sedang berkerumun di gang depan rumah Caca.Caca menatap laki-laki itu dengan tatapan tidak percaya.'Dia datang. Bod*h. Bisa saja kita berdua mati di sini,' batin Caca saat melihat wajah laki-laki itu.Caca menggeleng sambil menatap mata laki-laki itu. Satu sisi Caca menyukai kemunculan laki-laki yang ia cintai, dengan begitu, ia tahu bahwa cinta tidak bertepuk sebelah tangan. Laki-laki itu bukan hanya menginginkan tubuhnya saja. Laki-laki itu berani bertanggungjawab atas kebersamaan yang telah mereka lakukan.
Kiran kembali tidur di ruang tunggu dengan perlengkapan seadanya, di depan ruang ICU bersama ibu-ibu lain yang bernasib sama dengannya.Baginya sikap Agung masih penuh dengan teka-teki. Jika memang Agung harus bekerja dua kali, itu memang membuatnya merasa bersalah karena telah menuduhnya macam-macam. Sikap Agung yang menolak Kiran untuk pulang bersamanya malam ini juga masih mengganjal di hati Kiran."Nggak bisa tidur, Mbak Kiran?" tanya Nunik."Eh, iya nih, Bu.""Suster bilang apa tadi?""Besok anak saya dioperasi, Bu," Kiran bangkit dari posisi tiduran dan duduk tetap berselimut.Nunik hanya mengangguk, di sini berita tentang keluar masuk ruang operasi adalah hal yang biasa mereka bicarakan. Hal itu tentu jauh lebih baik daripada membahas tentang pemakaman."Semoga kita mendapatkan hasil yang terbaik ya, Mbak Kiran.""Iya, Bu.""Jangan terlalu khawatir, Mbak. Kita semua
Agung membalas senyuman Kiran saat mengantarnya ke parkiran motor. Ada sedikit rasa lega saat Malika telah melewati operasi dan masalah Kiran pun berhasil ia atasi.Agung mulai meninggalkan rumah sakit. Namun, belum seberapa jauh ia menghentikan motor karena ponselnya berbunyi."Hallo, Gung," sapa seorang perempuan di balik telefon."Ya," jawab Agung."Bikini warna putihnya ada di tas pakaian istri kamu!""HAH???"Jalur telefon itu tak lagi terhubung. Tanpa memikirkan hal lain, Agung segera menghubungi Kiran."Ran," panggil Agung saat telefon mereka tersambung."Ya, Mas.""Tas baju belum kamu apa-apain kan?"Agung menunggu jawaban Kiran dengan jantung kebat kebit. Baru saja ia berhasil membuat Kiran yakin kalau dia tidak bermain gila di belakang istrinya itu."Oh, belum, Mas. Aku belum sempet periksa. Kenapa?"Agung bernap
Kebersamaan yang dirindukan tidak menjamin membawa kebahagiaan.Kiran kembali melihat kondisi Malika dari balik pintu kaca ruang ICU. Pihak rumah sakit mengabarkan bahwa kondisi Malika jauh membaik. Sudah seharusnya berita itu menjadi kabar suka cita bagi Kiran. Namun, hatinya saat ini terasa sangat perih.Air matanya tak pernah berhenti mengalir. Sudah tiga hari berlalu dari operasinya Malika dan Agung belum juga datang kembali.'Ternyata rasanya sesakit ini,' batin Kiran merintih.Ia tak paham kenapa waktu itu dia begitu bersemangat membongkar perselingkuhan Agung dan Caca. Kini, saat ia telah berhasil memastikan bahwa Agung selingkuh, ia merasa seperti kehilangan pegangan hidup.Bukankah Agung seharusnya menenangkan dirinya yang sedang kelelahan menghadapi kondisi Malika? Kenapa?Kenapa Agung begitu tega melakukan hal itu di belakangnya.Kiran masih tidak bisa menutupi rasa pena
Tujuh hari berlalu dari kematian Ronald di tangan Agung. Livy telah menyiapkan segalanya. Ia harus segera pergi dari daerah ini. Ada satu tempat yang akan ia jadikan tempat persembunyian sebelum ke luar negeri. Yaitu rumah tempat ia dulu tinggal bersama tantenya, mendiang Ilona.Livy kesal saat mengetahui dari Nathalie bahwa polisi masih terus mengawasi keluarganya. Ditambah lagi peristiwa penyergapan kemarin, tentu saja polisi semakin siaga mencari keberadaannya.Livy berdiri di tepi ranjang kamar. Ia menatap ke tas yang sudah ia siapkan. Livy memandang seisi kamar, kemudian menarik napas. Sama seperti biasanya, tempat ini selalu sepi.Pukul tujuh malam lewat lima belas menit, waktu yang telah ia putuskan untuk meninggalkan rumah yang ia tempati saat ini. Ia tidak mungkin keluar saat matahari bersinar. Ia juga tidak mau mengundang kecurigaan warga jika keluar tengah malam."Non. Non Olie ...."Suara Bu Ida terdengar bersamaan dengan suara ketukan pintu.Livy menoleh kemudian melangk
Kenapa kami harus kehilangan kasih sayang yang baru saja kami dapatkan kembali? *****Yoga membawa bola basket dengan wajah cemberut. Sesekali ia melirik ke arah Kiran yang sedang duduk di kebun mawar bersama Bu Nunik. Dalam hati, Yoga selalu bertanya kapankah Kiran akan bersikap seperti dulu kepadanya.Bu Nunik tersenyum dan melambaikan tangan kepada Yoga yang melihat ke arah mereka, sedangkan Kiran hanya memberikan tatapan datar.Setidaknya itu adalah sebuah kemajuan bagi Kiran. Setelah beberapa kali bertemu dengan Farah, ia tidak lagi panik bersembunyi saat melihat dan mendengar suara laki-laki. Namun, untuk berbicara atau berinteraksi lainnya, ia belum berani mencoba.Kiran menatap Yoga yang masih saja cemberut saat mengoper bola basket kepada Andika. Kiran berharap dapat menghilangkan rasa takut saat berada bersama anak itu. Bagi Kiran, Yoga sangat menggemaskan. Segala tingkah laku anak itu, cukup membuatnya nyaman. Kini ia pun merindukan saat-saat kebersamaan mereka."Mau mend
Pada hari di mana Lukman menyergap Ronald dan Livy, Livy segera naik ke lantai dua begitu ada kesempatan. Ia segera mengunci pintu kamar.Livy meraih tas berukuran sedang yang telah ia siapkan jika tiba-tiba harus melarikan diri. Ia langsung mengambil tas itu. Dalam tas itu, ia sudah menyiapkan semua surat identitas baru yang ia bikin melalui Ronald. Begitu pula dengan paspor. Livy juga mengambil ponsel yang ada di atas meja kamar. Tak lupa ia membuka nakas di samping ranjang, tempat Ronald menyimpan uang tunai. Livy segera memasukkan uang itu ke dalam tas. Hingga nakas itu kosong.Livy mengintip dari jendela, Ronald dan Lukman masih sibuk baku hantam. Livy tak mau membuang-buang waktu, ia segera turun dan berlari ke arah ke belakang Villa. Ronald sudah memberitahu rute pelarian yang akan dilewati jika mereka berada di situasi seperti sekarang.Livy yakin, jika memang Ronald selamat, laki-laki itu pasti tahu kalau dirinya kabur melewati jalur ini.Livy melihat pintu belakang villa ya
Firdaus menutup telefon yang baru saja ia terima."Misi selesai," ucapnya, disambut pandangan penasaran semua keluarga."Ronald mati!"Semua yang mendengar saling pandang."Bukan! Bukan sama Bang Lukman."Yang lain semakin heran."Komadan bilang, ada seorang laki-laki yang menikam Ronald di depan villa. Dia mengakui bahwa hari ini semua kejadian di villa itu adalah perbuatannya," jelas Firdaus lagi."Siapa dia?" tanya Haqqi.Firdaus mengangkat kedua bahunya."Aku belum dapat detailnya. Mungkin nanti saat semua sudah kembali ke Jakarta.Firdaus mengambil segelas minuman yang ada di atas meja."Untung saja aku ngikuti saran Papa untuk minta tolong pihak kepolisian saja. Kalau nggak, entah apa jadinya saat ini."Adik-adiknya mengangguk."Ya. Bersyukur juga Ronald mati di sana dan bukan di tangan Lukman. Kalau tertangkap hidup-hidup pasti bikin repot. Liat aja. Paviliun itu benar-benar rata dengan tanah hanya dalam satu hari," ucap Jayadi sambil menunjuk ke arah paviliun dengan dagunya."
Hari yang cukup indah bagi dua orang buronan yang sedang bersembunyi. Ronald membawakan beberapa piring cemilan yang baru saja ia buat untuk Livy."Bagaimana menurutmu tempat ini?" tanya Ronald."Sepi. Cukuplah untuk bersembunyi.""Cuma itu?" tanya Ronald sambil mengeryitkan kening."Lalu, kamu mau aku jawab apa?""Ya, seenggaknya kamu bersyukurlah aku kasih tempat di sini. Nggak terlalu jauh dari Jakarta. Fasilitas lengkap. Aku sediakan semua kebutuhan kamu lewat warga yang biasa aku titipkan tempat ini.""Walau pun cuacanya terasa lebih panas?"Ronald tertawa mendengar pertanyaan Livy yang terdengar mengejek."Aku sudah berusaha membuat tempat ini menjadi asri, Liv. Kamu liat sendiri banyak pepohonankan di sini."Livy akhirnya mengangguk setuju dengan semua ucapan Ronald. Setidaknya itu salah satu cara agar dirinya tidak diusir dari tempat ini."Jadi, bagaimana dengan mobil yang kamu janjikan padaku?" tanya Ronald sambil tersenyum.Livy melihat ke arah Ronald. Laki-laki ini pasti te
Tak ada yang lebih menyakitkan daripada melihat orang yang kita sayangi terluka.Agung kembali menutup kaca mobil setelah Lukman masuk ke dalam rumah. Sudah dari pagi ia mengikuti Lukman. Selepas ia berbincang dengan Ujang di warung kopi.Ia tidak turun dari mobil saat melihat Lukman masuk ke warung pecel ayam. Ia juga melihat pemuda yang ditemui Lukman. Namun, ia tidak mau gegabah. Daerah pelabuhan Tanjung Priok bukanlah tempat yang bisa disepelekan begitu saja.Agung mematikan mesin dan membuka sedikit jendela mobil. Kemudian ia menyandarkan kepala. Pikirannya melayang. Bagaimana jika ia kembali menyusup ke rumah Lukman? Ia ingin sekali melihat keadaan Kiran. Banyak hal yang terlintas dalam otaknya hingga terasa amat penat, hingga akhirnya ia pun memejamkan mata, tertidur.*****Pagi menjelang. Lukman terbangun di meja kerjanya. Semalaman ia menyelesaikan tugas tiga hari ke depan karena ada hal yang harus ia lakukan.Lukman segera membersihkan diri dan turun ke meja makan untuk sara
Ketika malam kejadian Kiran disekap Ronald, Agung sama sekali tidak dapat memejamkan mata, tanpa ia tahu alasannya. Saat ini ia tidak perlu lagi pusing memikirkan masalah uang. Ia yakin Livy tidak akan berani melaporkan dirinya ke pihak yang berwajib. Ia juga telah mendapatkan pekerjaan sambilan di sebuah bengkel untuk mengisi waktu luangnya.Bukan karena ia tak lagi tinggal di apartemen mewah. Rumah kecil yang ia sewa saat ini cukup memberinya kenyamanan. Semua yang bisa ia lakukan malam itu, sudah ia kerjakan semua. Namun, tetap saja matanya tak mau terpejam. Satu hal yang tidak bisa ia hindari, Kiran selalu ada di dalam pikirannya malam ini.Untuk itu, saat paginya tiba Agung memutuskan pergi ke rumah Lukman. Di dekat rumah Lukman, ada warung kopi liar yang selalu ramai. Para security kompleks sering mampir ke sana. Pada waktu-waktu tertentu warung ini ramai security yang memesan kopi, mie instan atau sekedar berbincang-bincang. Bukan berarti mereka tidak mendapatkan makanan dari
Bu Nunik tiba di rumah Kiran pukul empat sore. Siang tadi, Lukman menelepon. Memintanya untuk datang ke rumah Lukman, menjenguk Kiran. Lukman menawarkan diri untuk menjemput ke rumah Bu Nunik. Namun, Bu Nunik menolak. Ia bilang akan ke sana bersama Milo, putra bungsunya.Ning menyambut Bu Nunik di ruang tamu, tak lama kemudian Lukman muncul dan menyapa Bu Nunik."Apa kabar, Bu Nunik, Milo?" tanya Lukman."Alhamdulillaah, kami baik, Pak," jawab Bu Nunik."Ayo duduk, Bu, Milo. Maaf merepotkan," ucap Lukman."Jadi, apa yang terjadi dengan Kiran, Pak?" tanya Bu Nunik.Lukman menarik napas panjang. Ia agak ragu menceritakan semua yang terjadi pada Kiran di hadapan Milo."Hmm ... Saya boleh numpang ke ruang makan, Pak?" tanya Milo, membuat Bu Nunik bingung. Milo cukup peka, ia tahu ada hal yang harus dibicarakan tanpa perlu diketahui dirinya."Apa-apaan sih, Mil?""Biar Ibu sama Pak Lukman bisa ngobrol, Bu.""Iya, tapi kenapa jadi minta makan begitu?""Laper, Bu. Pengen cemilan."Lukman ter
Kiran terbangun dari tidur meringkuknya. Rasa takut menghampiri. Ia tak sanggup menggerakkan badan bahkan ia tak sanggup memandang anak-anak yang berada di depannya."Mbak Kiran," sapa Yoga.Suara Yoga, membuat Kiran semakin merapatkan diri ke dinding."Aku sudah mandi dong. Tadi cari bajunya sendiri," ucap Yoga."Boong, Mbak. Dibantuin sama Mbak Ning tadi," timpal Andika.Kiran menutup kedua telinga, membuat anak-anak bingung. Ning segera meminta anak-anak pergi ke meja makan untuk sarapan karena melihat reaksi Kiran seperti itu. Anak-anak pun menurut."Mbak Kiran. Kita sarapan dulu, yuk," ajak Ning dengan suara berhati-hati.Kiran menatap ke arah Ning. Reaksinya berbeda saat mendengar suara laki-laki dan perempuan. Ia lebih bisa menerima kehadiran sosok perempuan di dekatnya.Berbeda dengan sosok laki-laki. Rasa takut menyergapnya seketika jika mendengar suara laki-laki. Ia merasa bahwa suara laki-laki itulah yang telah melecehkan dirinya. Kini ia berpikir bahwa semua laki-laki akan