Kiran hendak menelfon Agung kembali, ia penasaran ingin memastikan apa yang sedang suaminya lakukan sampai mendesah seperti itu?
Tidak mungkin Agung sedang makan seblak level sepuluh. Kiran tahu, Agung jelas-jelas tidak bisa makan masakan pedas.
Ia harus pulang sekarang juga. Namun, ia urungkan mengingat kondisi dompetnya. Lima belas ribu hanya cukup setengah perjalanan saja. Lagipula sepertinya percuma.
Jika apa yang ada di otaknya itu adalah sebuah kebenaran, maka hal itu telah terjadi. Kiran percaya akan perasaannya, ditambah lagi dengan analisa yang Nunik katakan.
Kiran menghapus air mata kemudian mengucap terima kasih terhadap Nunik atas nasi bungkusnya. Ia bilang, ia hanya kelelahan menghadapi hal ini sendirian. Nunik mengangguk mengerti.
Nunik pun minta maaf karena merasa telah melontarkan kata-kata yang membuat Kiran cemas dan meninggalkan Kiran karena ia ingin melihat cucunya kembali.
Kiran menatap layar ponselnya, melihat aplikasi w******p. Kiran kemudian menghubungi Caca, tetangga yang tinggal di depan rumahnya. Mereka seumuran dan dengan sendirinya jadi bersahabat.
"Hallo, Kiran," jawab Caca di jalur telefon.
"Ca ...." ucap Kiran lirih.
"Kiran? Kenapa? Kamu nangis? Malika ya, Ran? Gimana Malika, Ran? Astaga, kamu baik-baik aja kan, Ran?" tanya Caca tanpa jeda.
"Malika dirawat lagi, Ca. Tapi bukan itu yang membuat aku bersedih."
"Ya ampun, sabar ya. Terus kamu kenapa, Ran?"
Kiran mengusap air matanya berkali-kali. Selama ini ia mencoba menelan segala kesulitannya sendiri. Ia tidak ingin membuat Agung merasa repot dengan keadaan Malika. Namun, dadanya terasa sangat sesak saat ini.
"Nggak, Ca. Nggak papa. Mungkin aku cuma capek aja."
"Ooh, iya. Itu pasti, Ran. Maaf ya, aku belum bisa ke sana lagi, menjenguk kalian."
"Iya, Ca. Nggak papa. Aku cuma perlu temen untuk ngobrol aja sekarang. Kamu nggak sibuk kan?"
"Nggak kok, Ran. Aawww ...."
"Kenapa, Ca?"
"Aduh, maaf, Ran. Ini suamiku. Dia lagi di rumah."
"Oh, aku jadi ganggu ya. Maaf ya, Ca."
"Eh, nggak kok, Ran. Ya ampun jangan sungkan begitu. Lanjut aja ngobrolnya."
"Iya, Ca. Sebenarnya aku mau minta tolong."
"Apa, Ran? Kalau bisa, pasti aku bantuin."
"Tolong liatin suami aku. Dia ada nggak di rumah?"
"Hah? Aduh gimana caranya, Ran? Aku nggak enak, kan suami kamu pendiam. Nggak suka nanya sama tetangga."
"Iya sih, Ca. Tapi ...."
"Aww ...." jerit Caca Cagi.
"Aduh, Ran. Maaf ya, ini suamiku. Ih, sabar kenapa sih, Mas?" ucap Caca, disela omelan ke suaminya.
"Oh ya sudah. Aku yang minta maaf, Ca, udah ganggu kalian. Nanti aku telefon lagi ya."
"Iya, Ran. Nanti aku coba liat ke rumah kamu ya. Udah dulu ya, Ran."
Kiran menutup telefonnya kemudian melemparkan pandangan sejauh mungkin.
'Bodoh. Mikir apa aku sekarang? Ganggu orang lagi asyik saja,' batin Kiran menertawakan diri sendiri sambil meringis.
Ia tidak tahu perasaan apa yang terselip di hatinya saat ini? Secara tidak langsung, ia tidak dapat mencegah perasaan iri kepada Caca. Lukman, suami Caca bekerja di kantor yang bonafit.
Walau usia mereka berbeda jauh, Lukman selalu bisa membahagiakan Caca. Di mata Kiran, Caca selalu ceria dan penuh dengan kebahagiaan. Berbeda jauh dengan dirinya.
'Ya, tentu saja. Apalah kehidupanku dibanding Caca? Ditambah lagi Mas Agung dan Pak Lukman sangat jauh berbeda. Caca pasti selalu dipenuhi kebutuhan lahir dan batin oleh Pak Lukman,' batin Kiran.
Kiran menunduk, meratapi nasib. Apa yang harus ia lakukan saat ini? Dengan uang lima belas ribu. Apa sebaiknya ia pulang saja?
'Kenapa tadi nggak sekalian ngomong sama Caca minjam uang aja ya? Biar dia langsung transfer. Uang dia kan banyak dari Pak Lukman. Dia pasti mau nolongin aku,' batin Kiran, lagi-lagi ia merutukin kebodohannya.
Kiran menggigit bibir bawahnya, pikirannya kembali mengembara. Pulang? Ya, ia memliki urusan dengan Agung. Ia harus tahu apa yang suaminya lakukan selama ini di belakangnya. Agung harus bertanggung jawab atas dirinya dan juga Malika.
"Lima belas ribu nggak akan cukup buat ongkos pulang, aku w* Caca aja lah. Pinjam uang," ucap Kiran pada dirinya sendiri dengan pelan.
Sebelum mengirim pesan pada Caca, Kiran memejamkan mata sebentar, mengumpulkan kekuatan untuk menghadapi Agung di rumah nanti.
Keputusannya sudah bulat, Agung tidak bisa melepaskan tanggung jawab begitu saja.
Kiran membuang napas panjang lalu mengedarkan pandangan ke sekeliling rumah sakit. Namun, pandangannya bertumbuk pada tiga orang laki-laki berpakaian rapi. Kiran mengenali wajah salah satu dari laki-laki yang berada di sana.
"Lho itu kan Pak Lukman?! Terus tadi si Caca ber-aw-aw-ria sama siapa?"
Kiran berdiri dari tempat duduknya. Pandangannya berkali-kali berganti antara ponsel dan wajah laki-laki yang berdiri jauh di depannya. Apa benar itu adalah suaminya Caca? Bukankah Caca tadi sedang bersenang-senang dengan suami di rumah?
Untuk lebih meyakinkan diri sendiri sendiri, Kiran segera membuka fesbuk dari ponselnya. Tanpa perlu skrol beranda lebih jauh, postingan Caca bersama Lukman bisa ia dapat karena Caca memang rajin memposting momen-momennya bersama Lukman.
Kiran membuka salah satu foto Caca bersama Lukman. Wajah Lukman terlihat jelas di sana, ditambah lagi seragam yang dipakai Lukman sama seperti yang dipakai saat ini.
"Astaga, kenapa aku jadi kepo begini sih sama urusan orang?" ucap Kiran pelan.
Kiran kembali berdiri terpaku. Ia kembali menatap ponselnya.
'Jadi pinjam uang nggak ya sama Caca?' batin Kiran.
Kiran ragu, ia bukanlah termasuk orang yang mudah meminta kepada orang lain. Sejak dulu ia memiliki prinsip, sebisa mungkin tidak berutang.
Kiran kembali menoleh ke arah Lukman.
"Apa aku nebeng aja ya sama Pak Lukman sampai rumah? Kan satu arah. Ya daripada ngutang, nambah-nambahin beban."
Kiran berjalan menghampiri Lukman. Kebetulan kedua teman Lukman sedang pergi entah ke mana.
"Permisi, Pak," sapa Kiran.
"Pak Lukman kan ya?" sambung Kiran lagi.
Lukman menoleh ke arah Kiran, mencoba mengenali wanita yang menyapa dan berdiri di depannya.
"Iya. Mbak siapa ya?"
"Saya Kiran. Kita tetanggaan."
Dahi Lukman semakin mengkerut mendengarnya.
"Bapak suaminya Caca kan?" tanya Kiran. Ia sempat salah tingkah karena sikapnya Lukman.
"O ya ya. Kita tetanggaan ya? Maaf ya, Mbak. Saya kurang ngeh," jawab Lukman.
"Iya, Pak. Kebetulan saya juga jarang di rumah. Lebih sering di rumah sakit dan rumah singgah, mendampingin putri saya."
Lukman memandang Kiran dengan wajah turut prihatin.
"Anaknya sakit apa, Mbak?"
"Hidrosefalus, Pak."
"Astaghfirullaah. Sabar ya, Mbak."
"Iya, Pak. Terima kasih. Tapi, Pak Lukman, apa saya bisa minta tolong?"
"Oh iya, minta tolong apa, Mbak? Semoga saya bisa bantu."
"Apa saya bisa menumpang mobil Pak Lukman sampai rumah? Saya ada keperluan di rumah, tapi suami saya belum datang."
"Oh, begitu. Bisa, Mbak. Sebentar saya kasih informasi dulu ke teman-teman saya ya."
Kiran bisa bernapas dengan lega. Ternyata Pak Lukman sama baiknya dengan Caca. Akhirnya ia mendapatkan satu solusi untuk salah satu masalahnya. Ia harus bertemu langsung dengan Agung. Meminta uang untuk bulan ini dan juga meminta penjelasan apa yang sedang Agung lakukan tadi.
"Mbak Kiran. Kita berangkat sekarang. Soalnya saya harus segera kembali ke kantor."
"Oh, iya. Teman-teman Bapak, nggak papa?"
"Nggak papa, teman saya ada yang bawa mobil juga kok."
"Terima kasih banyak kalau begitu, Pak Lukman."
Kiran berjalan mengikuti Lukman dari belakang dan naik ke mobil Lukman saat telah tiba di parkiran.
Setelah sabuk pengaman terpasang, Lukman menjalankan mobil meninggalkan rumah sakit.
"Maaf ya, Mbak Kiran. Saya boleh tau tentang anaknya?"
"Iya, boleh, Pak."
"Sudah lama masuk rumah sakitnya?"
"Bolak balik sudah lebih dari enam bulanan, Pak."
"Ya Allah. Begini, Mbak. Kebetulan di perusahaan saya itu ada program donatur untuk anak-anak penderita hidrosefalus. Sudah ada yayasannya sendiri. Ini kartu nama saya ya, Mbak. Tolong kirim biodata, foto dan juga keterangan tentang anaknya Mbak Kiran. Nanti saya coba ajukan nama anak Mbak Kiran ke yayasan."
Kiran mengambil kartu nama Lukman dengan semringah. Setidaknya ini adalah salah satu kabar gembira yang ia dapatkan di antara kegundahan hatinya.
"Terima kasih banyak, Pak. Terima kasih. Pasti saya akan menghubungi Bapak."
Hampir satu jam sudah mereka menempuh perjalanan. Lukman menghentikan mobilnya di depan sebuah gang kemudian ia kembali berbicara kepada Kiran.
"Saya nggak ikut turun ya, Mbak Kiran."
"O iya, gapapa, Pak. Makasih banget ya, Pak. Pak Lukman pasti mau langsung balik ke kantor ya? Nanti cerita sama Caca kalau Bapak sudah bantuin saya."
"Bukan sesuatu yang sulit kok, Mbak. Selain mau balik ke kantor, hari ini kebetulan bukan jatah kunjungan saya ke Caca."
Kiran tertegun mendengar ucapan Lukman barusan.
"Caca itu istri kedua saya, Mbak."
Kiran mengangkat kedua alisnya, ekspresi wajahnya menunjukkan ketidakpercayaan.
"Istri pertama saya tau kok, Mbak. Tenang saja. Bahkan dia yang minta dimadu karena sakit yang ia derita."
Kiran semakin bengong mendengar ucapan Lukman.
"Makanya saya nggak mau turun. Soalnya kalau saya datang, Caca pasti menahan saya supaya nggak pulang ke istri saya yang pertama. Kasian nanti dia, Mbak. Lagi sakit, saya mau menemani dia sebisa mungkin. Saya enggan poligami sebenarnya. Saya juga lebih nyaman bersama istri pertama saya. Dia yang menemani saya dari zaman saya susah. Jadi saya jarang ke sini, makanya saya nggak kenal sama Mbak Kiran tadi walaupun kita bertetangga."
Lukman bercerita dengan tenang. Dari suaranya terdengar kalau dia sangat mencintai istri pertamanya.
Mendengar cerita Lukman barusan, membuat pikiran Kiran kalut kembali. Agung adalah laki-laki kesepian karena ditinggal olehnya menjaga Malika. Lalu Caca adalah wanita muda yang jarang dikunjungi oleh suami karena dipoligami.
"Astaga! Jangan-jangan?"
*****
Jadi apakah benar Agung ada main dengan Caca? pikiran itu kembali membuat Kiran melamun di dalam mobilnya Lukman."Mbak. Mbak Kiran. Enggak jadi turun, Mbak?"Lukman menegur Kiran hingga beberapa kali sampai Kiran sadar."Eh, iya, Pak Lukman. Sudah sampai kan, Bapak bisa turun sekarang.""Lho?""Eh, kenapa jadi saya yang nyuruh Bapak turun dari mobil ya? Duh, maaf ya, Pak. Pikiran saya lagi ruwet."Lukman tertawa kecil melihat tingkah Kiran."Saya permisi ya, Pak. Sekali lagi maaf. Terima kasih juga."Lukman mengangguk dan tersenyum saat Kiran turun dari mobilnya. Namun, belum sempat ia menyalakan mesin mobilnya kembali, Kiran sudah berada di samping mobil sambil mengetuk kaca jendela mobilnya."Ada apa lagi, Mbak Kiran?" tanya Lukman sambil menurunkan jendela mobilnya."Pak L
Lukman menatap kepergian Kiran dengan bingung. Apa maksud Kiran? Apa Kiran mengetahui sesuatu tentang Caca?Lukman memarkir mobilnya kemudian turun. Tidak ada salahnya jika ia sekalian mampir ke tempat Caca karena sudah berada di sini.Lukman memasuki gang, dari kejauhan ia melihat Caca berjalan tergesa sambil membawa kantong belanjaan hingga tidak sempat melihat dirinya. Di belakang Caca, Lukman melihat Kiran berdiri sambil bertolak pinggang."Apa mereka habis berantem, ya?" tanya Lukman pada diri sendiri.Lukman kembali berjalan menuju ke rumahnya. Ia berdiri sejenak di depan pagar, melihat Kiran yang sedang diteriaki oleh pemilik warung."Berarti benar, mereka berantem."Lukman segera masuk ke rumah dan langsung mencari Caca tanpa bersuara. Kepalanya masih dipenuhi berbagai macam tanda tanya.Lukman mendapati Caca sedang berdiri di dep
Berdegup kencang, irama jantung Agung saat ini tidak seperti biasa. Ia kesal, tetapi juga tidak dapat melampiaskan amarahnya atas sikap Kiran yang sedari tadi teriak-teriak, ikut campur urusan rumah tangga orang.Awalnya ia mengira sikap Kiran hanya penyaluran dari kejenuhan karena terlalu lama berada di rumah sakit dan rumah singgah. Namun kini ia sadar, Kiran sedang memojokkan dirinya."Fitnah? Kalau kamu merasa ini fitnah sebaiknya kita dengerin kisahnya Caca. Buktikan! NAMA KAMU DISEBUT APA NGGAK DI SANA???"Bentakkan Kiran tepat di telinga membuat Agung menarik napas dalam. Ia menahan diri agar tidak membalas sikap Kiran. Ia tidak mau memberikan siaran gratis lain kepada tetangganya."Ish ... Apa sih, Mbak Kiran? Nggak mau kalah ya sama Mbak Caca? Ikut teriak-teriak begitu," celetuk Bu Wati.Kiran masih menatap sinis ke arah Agung, mereka saling memberi tatapan saling menyalahkan."Mbak Kiran, m
Caca terdiam di sudut keramaian rumahnya. Ia menunduk. Pasrah dengan nasib yang akan ia jelang. Dalam hati ia terus meratapi kebodohan yang telah ia lakukan.Suara-suara yang terdengar di telinganya saat ini terdengar seperti suara tawon yang sedang berkerumun. Bising. Membuat kepalanya pusing. Selain percakapan Lukman dengan pengurus RT, suara Kiran termasuk dalam suara yang jelas tertangkap di telinga Caca.Caca melirik ke arah Kiran. Suara dan tingkah perempuan itu sangat menyebalkan. Andai saja tadi ia tidak menerima telefon dari Kiran, maka kejadian seperti ini tidak akan pernah ada."Saya minta maaf atas keributan ini, Pak RT. Ini salah saya, karena nggak bisa mendidik istri saya dengan baik," ujar Lukman.Caca melirik ke arah Lukman. Laki-laki itu sadar juga rupanya. Jika saja, Lukman bisa terus berada di sampingnya mungkin ia tidak akan pernah terjerat pesona lelaki lain. Tapi, benarkah? batin Caca terus
"Kiran! Malika kritis!" teriak Agung sambil memperlihatkan ponselnya yang baru saja menerima pesan dari salah satu petugas rumah sakit.Kiran segera menoleh ke arah Agung. Dunianya kini terasa berhenti berputar. Ia segera memeriksa saku bajunya, mengambil ponsel dan melihat pemberitahuan yang tertera di layar kemudian ia menatap Agung dengan tatapan panik."Malika. Astaga. Gimana ini? Malika. Antar aku ke rumah sakit sekarang, Mas. Sekarang. Cepat!"Tanpa peduli hal lainnya lagi, Kiran segera menarik Agung keluar dari rumah Caca. Kemudian Agung segera mengambil motor dan membawa Kiran ke rumah sakit.Kiran memegang pinggang Agung dengan erat. Kemarahannya meluap, berubah menjadi sebuah ketakutan dan penyesalan. Bagaimana jika semua sudah terlambat? Bagaimana jika nanti ia tidak sempat bertemu kembali dengan Malika."Ampuni, Hamba, Ya Allah. Beri hamba kesempatan bertemu kembali dengan putri hamba."K
Mencintai orang yang salah? Atau menikmati cinta milik orang lain? Bagaimana caranya mengenali perasaan sendiri?Banyak orang bilang, cinta diuji saat pasangan menghadapi kesulitan. Apakah kita akan memilih tetap bersama atau pergi meninggalkannya."Ca, bagaimana keadaan kamu?" tanya seorang lelaki di depan pintu rumah Caca dengan napas tersengal-sengal.Lelaki itu menembus orang-orang yang sedang berkerumun di gang depan rumah Caca.Caca menatap laki-laki itu dengan tatapan tidak percaya.'Dia datang. Bod*h. Bisa saja kita berdua mati di sini,' batin Caca saat melihat wajah laki-laki itu.Caca menggeleng sambil menatap mata laki-laki itu. Satu sisi Caca menyukai kemunculan laki-laki yang ia cintai, dengan begitu, ia tahu bahwa cinta tidak bertepuk sebelah tangan. Laki-laki itu bukan hanya menginginkan tubuhnya saja. Laki-laki itu berani bertanggungjawab atas kebersamaan yang telah mereka lakukan.
Kiran kembali tidur di ruang tunggu dengan perlengkapan seadanya, di depan ruang ICU bersama ibu-ibu lain yang bernasib sama dengannya.Baginya sikap Agung masih penuh dengan teka-teki. Jika memang Agung harus bekerja dua kali, itu memang membuatnya merasa bersalah karena telah menuduhnya macam-macam. Sikap Agung yang menolak Kiran untuk pulang bersamanya malam ini juga masih mengganjal di hati Kiran."Nggak bisa tidur, Mbak Kiran?" tanya Nunik."Eh, iya nih, Bu.""Suster bilang apa tadi?""Besok anak saya dioperasi, Bu," Kiran bangkit dari posisi tiduran dan duduk tetap berselimut.Nunik hanya mengangguk, di sini berita tentang keluar masuk ruang operasi adalah hal yang biasa mereka bicarakan. Hal itu tentu jauh lebih baik daripada membahas tentang pemakaman."Semoga kita mendapatkan hasil yang terbaik ya, Mbak Kiran.""Iya, Bu.""Jangan terlalu khawatir, Mbak. Kita semua
Agung membalas senyuman Kiran saat mengantarnya ke parkiran motor. Ada sedikit rasa lega saat Malika telah melewati operasi dan masalah Kiran pun berhasil ia atasi.Agung mulai meninggalkan rumah sakit. Namun, belum seberapa jauh ia menghentikan motor karena ponselnya berbunyi."Hallo, Gung," sapa seorang perempuan di balik telefon."Ya," jawab Agung."Bikini warna putihnya ada di tas pakaian istri kamu!""HAH???"Jalur telefon itu tak lagi terhubung. Tanpa memikirkan hal lain, Agung segera menghubungi Kiran."Ran," panggil Agung saat telefon mereka tersambung."Ya, Mas.""Tas baju belum kamu apa-apain kan?"Agung menunggu jawaban Kiran dengan jantung kebat kebit. Baru saja ia berhasil membuat Kiran yakin kalau dia tidak bermain gila di belakang istrinya itu."Oh, belum, Mas. Aku belum sempet periksa. Kenapa?"Agung bernap
Tujuh hari berlalu dari kematian Ronald di tangan Agung. Livy telah menyiapkan segalanya. Ia harus segera pergi dari daerah ini. Ada satu tempat yang akan ia jadikan tempat persembunyian sebelum ke luar negeri. Yaitu rumah tempat ia dulu tinggal bersama tantenya, mendiang Ilona.Livy kesal saat mengetahui dari Nathalie bahwa polisi masih terus mengawasi keluarganya. Ditambah lagi peristiwa penyergapan kemarin, tentu saja polisi semakin siaga mencari keberadaannya.Livy berdiri di tepi ranjang kamar. Ia menatap ke tas yang sudah ia siapkan. Livy memandang seisi kamar, kemudian menarik napas. Sama seperti biasanya, tempat ini selalu sepi.Pukul tujuh malam lewat lima belas menit, waktu yang telah ia putuskan untuk meninggalkan rumah yang ia tempati saat ini. Ia tidak mungkin keluar saat matahari bersinar. Ia juga tidak mau mengundang kecurigaan warga jika keluar tengah malam."Non. Non Olie ...."Suara Bu Ida terdengar bersamaan dengan suara ketukan pintu.Livy menoleh kemudian melangk
Kenapa kami harus kehilangan kasih sayang yang baru saja kami dapatkan kembali? *****Yoga membawa bola basket dengan wajah cemberut. Sesekali ia melirik ke arah Kiran yang sedang duduk di kebun mawar bersama Bu Nunik. Dalam hati, Yoga selalu bertanya kapankah Kiran akan bersikap seperti dulu kepadanya.Bu Nunik tersenyum dan melambaikan tangan kepada Yoga yang melihat ke arah mereka, sedangkan Kiran hanya memberikan tatapan datar.Setidaknya itu adalah sebuah kemajuan bagi Kiran. Setelah beberapa kali bertemu dengan Farah, ia tidak lagi panik bersembunyi saat melihat dan mendengar suara laki-laki. Namun, untuk berbicara atau berinteraksi lainnya, ia belum berani mencoba.Kiran menatap Yoga yang masih saja cemberut saat mengoper bola basket kepada Andika. Kiran berharap dapat menghilangkan rasa takut saat berada bersama anak itu. Bagi Kiran, Yoga sangat menggemaskan. Segala tingkah laku anak itu, cukup membuatnya nyaman. Kini ia pun merindukan saat-saat kebersamaan mereka."Mau mend
Pada hari di mana Lukman menyergap Ronald dan Livy, Livy segera naik ke lantai dua begitu ada kesempatan. Ia segera mengunci pintu kamar.Livy meraih tas berukuran sedang yang telah ia siapkan jika tiba-tiba harus melarikan diri. Ia langsung mengambil tas itu. Dalam tas itu, ia sudah menyiapkan semua surat identitas baru yang ia bikin melalui Ronald. Begitu pula dengan paspor. Livy juga mengambil ponsel yang ada di atas meja kamar. Tak lupa ia membuka nakas di samping ranjang, tempat Ronald menyimpan uang tunai. Livy segera memasukkan uang itu ke dalam tas. Hingga nakas itu kosong.Livy mengintip dari jendela, Ronald dan Lukman masih sibuk baku hantam. Livy tak mau membuang-buang waktu, ia segera turun dan berlari ke arah ke belakang Villa. Ronald sudah memberitahu rute pelarian yang akan dilewati jika mereka berada di situasi seperti sekarang.Livy yakin, jika memang Ronald selamat, laki-laki itu pasti tahu kalau dirinya kabur melewati jalur ini.Livy melihat pintu belakang villa ya
Firdaus menutup telefon yang baru saja ia terima."Misi selesai," ucapnya, disambut pandangan penasaran semua keluarga."Ronald mati!"Semua yang mendengar saling pandang."Bukan! Bukan sama Bang Lukman."Yang lain semakin heran."Komadan bilang, ada seorang laki-laki yang menikam Ronald di depan villa. Dia mengakui bahwa hari ini semua kejadian di villa itu adalah perbuatannya," jelas Firdaus lagi."Siapa dia?" tanya Haqqi.Firdaus mengangkat kedua bahunya."Aku belum dapat detailnya. Mungkin nanti saat semua sudah kembali ke Jakarta.Firdaus mengambil segelas minuman yang ada di atas meja."Untung saja aku ngikuti saran Papa untuk minta tolong pihak kepolisian saja. Kalau nggak, entah apa jadinya saat ini."Adik-adiknya mengangguk."Ya. Bersyukur juga Ronald mati di sana dan bukan di tangan Lukman. Kalau tertangkap hidup-hidup pasti bikin repot. Liat aja. Paviliun itu benar-benar rata dengan tanah hanya dalam satu hari," ucap Jayadi sambil menunjuk ke arah paviliun dengan dagunya."
Hari yang cukup indah bagi dua orang buronan yang sedang bersembunyi. Ronald membawakan beberapa piring cemilan yang baru saja ia buat untuk Livy."Bagaimana menurutmu tempat ini?" tanya Ronald."Sepi. Cukuplah untuk bersembunyi.""Cuma itu?" tanya Ronald sambil mengeryitkan kening."Lalu, kamu mau aku jawab apa?""Ya, seenggaknya kamu bersyukurlah aku kasih tempat di sini. Nggak terlalu jauh dari Jakarta. Fasilitas lengkap. Aku sediakan semua kebutuhan kamu lewat warga yang biasa aku titipkan tempat ini.""Walau pun cuacanya terasa lebih panas?"Ronald tertawa mendengar pertanyaan Livy yang terdengar mengejek."Aku sudah berusaha membuat tempat ini menjadi asri, Liv. Kamu liat sendiri banyak pepohonankan di sini."Livy akhirnya mengangguk setuju dengan semua ucapan Ronald. Setidaknya itu salah satu cara agar dirinya tidak diusir dari tempat ini."Jadi, bagaimana dengan mobil yang kamu janjikan padaku?" tanya Ronald sambil tersenyum.Livy melihat ke arah Ronald. Laki-laki ini pasti te
Tak ada yang lebih menyakitkan daripada melihat orang yang kita sayangi terluka.Agung kembali menutup kaca mobil setelah Lukman masuk ke dalam rumah. Sudah dari pagi ia mengikuti Lukman. Selepas ia berbincang dengan Ujang di warung kopi.Ia tidak turun dari mobil saat melihat Lukman masuk ke warung pecel ayam. Ia juga melihat pemuda yang ditemui Lukman. Namun, ia tidak mau gegabah. Daerah pelabuhan Tanjung Priok bukanlah tempat yang bisa disepelekan begitu saja.Agung mematikan mesin dan membuka sedikit jendela mobil. Kemudian ia menyandarkan kepala. Pikirannya melayang. Bagaimana jika ia kembali menyusup ke rumah Lukman? Ia ingin sekali melihat keadaan Kiran. Banyak hal yang terlintas dalam otaknya hingga terasa amat penat, hingga akhirnya ia pun memejamkan mata, tertidur.*****Pagi menjelang. Lukman terbangun di meja kerjanya. Semalaman ia menyelesaikan tugas tiga hari ke depan karena ada hal yang harus ia lakukan.Lukman segera membersihkan diri dan turun ke meja makan untuk sara
Ketika malam kejadian Kiran disekap Ronald, Agung sama sekali tidak dapat memejamkan mata, tanpa ia tahu alasannya. Saat ini ia tidak perlu lagi pusing memikirkan masalah uang. Ia yakin Livy tidak akan berani melaporkan dirinya ke pihak yang berwajib. Ia juga telah mendapatkan pekerjaan sambilan di sebuah bengkel untuk mengisi waktu luangnya.Bukan karena ia tak lagi tinggal di apartemen mewah. Rumah kecil yang ia sewa saat ini cukup memberinya kenyamanan. Semua yang bisa ia lakukan malam itu, sudah ia kerjakan semua. Namun, tetap saja matanya tak mau terpejam. Satu hal yang tidak bisa ia hindari, Kiran selalu ada di dalam pikirannya malam ini.Untuk itu, saat paginya tiba Agung memutuskan pergi ke rumah Lukman. Di dekat rumah Lukman, ada warung kopi liar yang selalu ramai. Para security kompleks sering mampir ke sana. Pada waktu-waktu tertentu warung ini ramai security yang memesan kopi, mie instan atau sekedar berbincang-bincang. Bukan berarti mereka tidak mendapatkan makanan dari
Bu Nunik tiba di rumah Kiran pukul empat sore. Siang tadi, Lukman menelepon. Memintanya untuk datang ke rumah Lukman, menjenguk Kiran. Lukman menawarkan diri untuk menjemput ke rumah Bu Nunik. Namun, Bu Nunik menolak. Ia bilang akan ke sana bersama Milo, putra bungsunya.Ning menyambut Bu Nunik di ruang tamu, tak lama kemudian Lukman muncul dan menyapa Bu Nunik."Apa kabar, Bu Nunik, Milo?" tanya Lukman."Alhamdulillaah, kami baik, Pak," jawab Bu Nunik."Ayo duduk, Bu, Milo. Maaf merepotkan," ucap Lukman."Jadi, apa yang terjadi dengan Kiran, Pak?" tanya Bu Nunik.Lukman menarik napas panjang. Ia agak ragu menceritakan semua yang terjadi pada Kiran di hadapan Milo."Hmm ... Saya boleh numpang ke ruang makan, Pak?" tanya Milo, membuat Bu Nunik bingung. Milo cukup peka, ia tahu ada hal yang harus dibicarakan tanpa perlu diketahui dirinya."Apa-apaan sih, Mil?""Biar Ibu sama Pak Lukman bisa ngobrol, Bu.""Iya, tapi kenapa jadi minta makan begitu?""Laper, Bu. Pengen cemilan."Lukman ter
Kiran terbangun dari tidur meringkuknya. Rasa takut menghampiri. Ia tak sanggup menggerakkan badan bahkan ia tak sanggup memandang anak-anak yang berada di depannya."Mbak Kiran," sapa Yoga.Suara Yoga, membuat Kiran semakin merapatkan diri ke dinding."Aku sudah mandi dong. Tadi cari bajunya sendiri," ucap Yoga."Boong, Mbak. Dibantuin sama Mbak Ning tadi," timpal Andika.Kiran menutup kedua telinga, membuat anak-anak bingung. Ning segera meminta anak-anak pergi ke meja makan untuk sarapan karena melihat reaksi Kiran seperti itu. Anak-anak pun menurut."Mbak Kiran. Kita sarapan dulu, yuk," ajak Ning dengan suara berhati-hati.Kiran menatap ke arah Ning. Reaksinya berbeda saat mendengar suara laki-laki dan perempuan. Ia lebih bisa menerima kehadiran sosok perempuan di dekatnya.Berbeda dengan sosok laki-laki. Rasa takut menyergapnya seketika jika mendengar suara laki-laki. Ia merasa bahwa suara laki-laki itulah yang telah melecehkan dirinya. Kini ia berpikir bahwa semua laki-laki akan