Caca terdiam di sudut keramaian rumahnya. Ia menunduk. Pasrah dengan nasib yang akan ia jelang. Dalam hati ia terus meratapi kebodohan yang telah ia lakukan.
Suara-suara yang terdengar di telinganya saat ini terdengar seperti suara tawon yang sedang berkerumun. Bising. Membuat kepalanya pusing. Selain percakapan Lukman dengan pengurus RT, suara Kiran termasuk dalam suara yang jelas tertangkap di telinga Caca.Caca melirik ke arah Kiran. Suara dan tingkah perempuan itu sangat menyebalkan. Andai saja tadi ia tidak menerima telefon dari Kiran, maka kejadian seperti ini tidak akan pernah ada."Saya minta maaf atas keributan ini, Pak RT. Ini salah saya, karena nggak bisa mendidik istri saya dengan baik," ujar Lukman.Caca melirik ke arah Lukman. Laki-laki itu sadar juga rupanya. Jika saja, Lukman bisa terus berada di sampingnya mungkin ia tidak akan pernah terjerat pesona lelaki lain. Tapi, benarkah? batin Caca terus bertanya.Benarkah ia bisa lolos dari kisah cinta terlarang yang tidak sengaja ia ciptakan? Cinta dari seorang lelaki yang lebih muda dari Lukman. Cinta dari seorang lelaki yang selalu nyambung saat mereka berbicara, bercanda hingga akhirnya berakhir di atas ranjang.Lukman selalu memberikan Caca kebutuhan lahir tanpa tahu bahwa Caca juga perlu teman untuk berbagi dalam kesehariannya. Caca perlu nafkah batin yang bukan hanya diberikan sebagai peruntuh kewajiban. Caca menginginkan sebuah kepemilikan secara utuh dari seorang pasangan. Sebuah kasih sayang, bukan rasa kasihan."Untuk selanjutnya biar saya yang akan urus masalah saya dengan istri saya Pak RT. Jadi tolong bantu saya membubarkan warga," pinta Lukman."Oh, nggak bisa begitu, Pak! Saya perlu tau siapa laki-laki itu!" ucap Kiran dengan suara melengking."Biar itu menjadi privasi kami, Mbak Kiran.""Nggak bisa, Pak RT. Warga harus tau. Jangan cuma Caca yang disidang seperti ini. Keenakan laki-lakinya."Lukman kembali merapatkan kedua rahangnya, menahan emosi. Tidak bisakah semua dihentikan sampai di sini? Sungguh ia tak mau masalah menjadi rumit. Lukman berusaha menghindari nama laki-laki itu disebut. Ia tak mau meninggalkan istri pertamanya jika nanti harus menghabiskan waktu di dalam penjara karena melakukan pembunuhan terhadap laki-laki yang telah meludahi wajahnya.Caca menatap Kiran dengan wajah kesal. Wanita ini vokal sekali dari tadi. Ternyata provokator adalah bakat terpendam yang Kiran miliki. Caca ingin sekali menjambak rambut atau memukul mulut Kiran agar menutup mulutnya, ia sadar hal itu tak mungkin ia lakukan saat ini."Saya nggak perlu tau siapa laki-laki itu, Pak RT. Saya hanya akan mengembalikan Caca kepada orang tuanya. Secepatnya."Tangis Caca kembali pecah. Kehidupan di kampungnya adalah salah satu hal yang sangat ia benci. Kemiskinan di desa nelayan. Astaga, ia tak mau kembali dalam kehidupan seperti itu. Ia rela menerima tawaran pamannya untuk dinikahkan dengan Lukman agar bisa keluar dari kampung itu. Ia rela menjadi istri kedua Lukman walau tidak ada perasaan apapun di antara mereka berdua. Ia harus melakukan hal itu agar tidak berkubang dalam kemiskinan. Agar meja makan kedua orang tuanya bisa bertemu dengan beras dan ikan segar bukan nasi aking dan ikan asin yang sudah tidak layak makan.Caca terus menutup wajah dengan kedua tangannya kemudian mengusapnya beberapa kali. Setelah itu, ia mengedarkan pandangannya ke sana ke mari, mencari seseorang.'Apakah dia akan membiarkanku dalam keadaan seperti ini?' batin Caca kembali bertanya-tanya."Baiklah kalau masalah ini sudah diputuskan seperti itu, Pak Lukman. Kalau begitu, kami permisi pulang.""Lho? Lho, Pak RT. Jangan pulang dulu. Saya harus memastikan siapa lelaki selingkuhannya Caca, Pak RT. Saya harus mendengarnya langsung dari mulutnya Caca sendiri. Ayo, Ca bilang! Siapa laki-laki itu? Bilang, Ca!"Kiran terus berteriak-teriak heboh. Sedangkan Agung hanya memijat keningnya melihat kelakuan Kiran."Kita harus menghargai keputusan Pak Lukman, Mbak Kiran.""Biar saya yang urus masalah keluarga saya, Mbak Kiran," ucap Lukman. Jika ia tidak bisa menyelamatkan nama baiknya, setidaknya ia bisa menyelamatkan Caca dari amukan warga. Ia tidak mau Caca terluka saat ia mengembalikan wanita itu kepada orang tua Caca."Tapi, Pak?!"Pak RT dan juga pengurus lainnya berjalan keluar rumah sambil menggiring Kiran dan juga meminta warga lainnya untuk bubar.Kiran menatap Caca dengan penuh amarah. Tanpa peduli dengan keadaan, Kiran berjalan cepat menghampiri dan mengguncang-guncang bahu Caca."Katakan, Ca! Katakan siapa laki-laki itu? Apakah laki-laki itu su-""Kiran! Malika kritis!" teriak Agung sambil memperlihatkan ponselnya yang baru saja menerima pesan dari salah satu petugas rumah sakit.Kiran segera menoleh ke arah Agung. Dunianya kini terasa berhenti berputar. Ia segera memeriksa saku bajunya, mengambil ponsel dan melihat pemberitahuan yang tertera di layar kemudian ia menatap Agung dengan tatapan panik."Malika. Astaga. Gimana ini? Malika. Antar aku ke rumah sakit sekarang, Mas. Sekarang. Cepat!""Kiran! Malika kritis!" teriak Agung sambil memperlihatkan ponselnya yang baru saja menerima pesan dari salah satu petugas rumah sakit.Kiran segera menoleh ke arah Agung. Dunianya kini terasa berhenti berputar. Ia segera memeriksa saku bajunya, mengambil ponsel dan melihat pemberitahuan yang tertera di layar kemudian ia menatap Agung dengan tatapan panik."Malika. Astaga. Gimana ini? Malika. Antar aku ke rumah sakit sekarang, Mas. Sekarang. Cepat!"Tanpa peduli hal lainnya lagi, Kiran segera menarik Agung keluar dari rumah Caca. Kemudian Agung segera mengambil motor dan membawa Kiran ke rumah sakit.Kiran memegang pinggang Agung dengan erat. Kemarahannya meluap, berubah menjadi sebuah ketakutan dan penyesalan. Bagaimana jika semua sudah terlambat? Bagaimana jika nanti ia tidak sempat bertemu kembali dengan Malika."Ampuni, Hamba, Ya Allah. Beri hamba kesempatan bertemu kembali dengan putri hamba."K
Mencintai orang yang salah? Atau menikmati cinta milik orang lain? Bagaimana caranya mengenali perasaan sendiri?Banyak orang bilang, cinta diuji saat pasangan menghadapi kesulitan. Apakah kita akan memilih tetap bersama atau pergi meninggalkannya."Ca, bagaimana keadaan kamu?" tanya seorang lelaki di depan pintu rumah Caca dengan napas tersengal-sengal.Lelaki itu menembus orang-orang yang sedang berkerumun di gang depan rumah Caca.Caca menatap laki-laki itu dengan tatapan tidak percaya.'Dia datang. Bod*h. Bisa saja kita berdua mati di sini,' batin Caca saat melihat wajah laki-laki itu.Caca menggeleng sambil menatap mata laki-laki itu. Satu sisi Caca menyukai kemunculan laki-laki yang ia cintai, dengan begitu, ia tahu bahwa cinta tidak bertepuk sebelah tangan. Laki-laki itu bukan hanya menginginkan tubuhnya saja. Laki-laki itu berani bertanggungjawab atas kebersamaan yang telah mereka lakukan.
Kiran kembali tidur di ruang tunggu dengan perlengkapan seadanya, di depan ruang ICU bersama ibu-ibu lain yang bernasib sama dengannya.Baginya sikap Agung masih penuh dengan teka-teki. Jika memang Agung harus bekerja dua kali, itu memang membuatnya merasa bersalah karena telah menuduhnya macam-macam. Sikap Agung yang menolak Kiran untuk pulang bersamanya malam ini juga masih mengganjal di hati Kiran."Nggak bisa tidur, Mbak Kiran?" tanya Nunik."Eh, iya nih, Bu.""Suster bilang apa tadi?""Besok anak saya dioperasi, Bu," Kiran bangkit dari posisi tiduran dan duduk tetap berselimut.Nunik hanya mengangguk, di sini berita tentang keluar masuk ruang operasi adalah hal yang biasa mereka bicarakan. Hal itu tentu jauh lebih baik daripada membahas tentang pemakaman."Semoga kita mendapatkan hasil yang terbaik ya, Mbak Kiran.""Iya, Bu.""Jangan terlalu khawatir, Mbak. Kita semua
Agung membalas senyuman Kiran saat mengantarnya ke parkiran motor. Ada sedikit rasa lega saat Malika telah melewati operasi dan masalah Kiran pun berhasil ia atasi.Agung mulai meninggalkan rumah sakit. Namun, belum seberapa jauh ia menghentikan motor karena ponselnya berbunyi."Hallo, Gung," sapa seorang perempuan di balik telefon."Ya," jawab Agung."Bikini warna putihnya ada di tas pakaian istri kamu!""HAH???"Jalur telefon itu tak lagi terhubung. Tanpa memikirkan hal lain, Agung segera menghubungi Kiran."Ran," panggil Agung saat telefon mereka tersambung."Ya, Mas.""Tas baju belum kamu apa-apain kan?"Agung menunggu jawaban Kiran dengan jantung kebat kebit. Baru saja ia berhasil membuat Kiran yakin kalau dia tidak bermain gila di belakang istrinya itu."Oh, belum, Mas. Aku belum sempet periksa. Kenapa?"Agung bernap
Kebersamaan yang dirindukan tidak menjamin membawa kebahagiaan.Kiran kembali melihat kondisi Malika dari balik pintu kaca ruang ICU. Pihak rumah sakit mengabarkan bahwa kondisi Malika jauh membaik. Sudah seharusnya berita itu menjadi kabar suka cita bagi Kiran. Namun, hatinya saat ini terasa sangat perih.Air matanya tak pernah berhenti mengalir. Sudah tiga hari berlalu dari operasinya Malika dan Agung belum juga datang kembali.'Ternyata rasanya sesakit ini,' batin Kiran merintih.Ia tak paham kenapa waktu itu dia begitu bersemangat membongkar perselingkuhan Agung dan Caca. Kini, saat ia telah berhasil memastikan bahwa Agung selingkuh, ia merasa seperti kehilangan pegangan hidup.Bukankah Agung seharusnya menenangkan dirinya yang sedang kelelahan menghadapi kondisi Malika? Kenapa?Kenapa Agung begitu tega melakukan hal itu di belakangnya.Kiran masih tidak bisa menutupi rasa pena
Kecurigaan tidak pernah tuntas jika tidak dibuktikan.Nunik menepati janjinya kepada Kiran untuk membantunya. Ia meminta Milo, putra bungsunya untuk datang ke rumah sakit."Mbak Kiran. Ini anak saya, Milo sudah datang. Kebetulan dia lagi libur."Kiran dan Milo saling beralas senyum."Milo, tolong, antar Mbak Kiran liat-liat ke tempat kerja kamu ya. Kalau ada yang tanya, bilang aja Mbak Kiran mau beli alat olahraga yang paling mahal!"Kiran dan Milo tertawa mendengar ucapan Nunik.Milo seorang pemuda berusia dua puluh tahun, sedang Fitri sama dengan Kiran dua puluh lima tahun. Dalam pertemuan pertama, mereka sudah mudah akrab. Kiran berpikir ini semua karena pembawaan Nunik yang hangat kepada siapa saja."Ayok, Mbak. Kalau ke sana sekarang aja. Mumpung masih buka," ajak Milo.Kiran menoleh ke arah Nunik dan Fitri yang juga sedang berada di ruang tunggu."Ya sudah, gapap
Kehilangan adalah suatu kepastian.Livy menggeliatkan tubuhnya di balik selimut, dengan enggan ia membuka mata. Livy memandangi wajah tirus laki-laki yang masih terpejam di sampingnya.Agung.Tak ada penyesalan sedikitpun dalam hati Livy karena telah mengajak Agung untuk ikut dengannya ke Bali selama satu minggu ini.Livy membuka sedikit selimut dan memperhatikan tubuh Agung. Sial, kenapa hanya dengan melihat Agung tidur seperti bayi di pagi hari seperti ini bisa membuatnya tinggi kembali? Livy melirik ke jam kecil yang berada di atas meja. Ia tersenyum kecil. Masih ada waktu untuk mereka bersenang-senang.Agung terbangun dan menatap Livy yang sudah berada di hadapannya. Ia hanya mengatur napas dan tersenyum tipis. Yang pasti, ini bukan pertama kali Livy mengusik tidurnya.Livy kembali merebahkan tubuh ke samping Agung setelah menuntaskan kegiatannya. Ia meraih ponsel yang berada di atas nakas kemudi
Kesedihan tak akan pernah hilang jika kita terus meratapinya. Empat puluh hari telah berlalu dari kepergian Malika. Kiran telah menutup pintu hati dan juga pintu rumah untuk Agung. Bohong jika ia mengatakan bahwa dirinya baik-baik saja.Agung dan Malika adalah dunianya selama ini.Kemudian semuanya runtuh dalam satu waktu. Kehilangan, kesedihan, bukankah semua orang pasti mengalaminya?Kiran memeriksa berkas-berkas ijazah miliknya. Kiran adalah seorang sarjana akuntansi universitas negeri di Jakarta. Sepertinya saat ini sudah habis masa berlaku menggantung ijazah bagi Kiran.Ia tidak pernah tahu sampai kapan usia akan menemaninya, tetapi ia juga tidak mau menghabiskan semua sisa hidupnya di dalam kamar untuk terus meratap. Ia harus kembali ke dunia nyata."Assalamualaikum ...."Kiran merapikan kembali berkas-berkas yang ada di meja kemudian melihat ke depan rumah."Sebentar,"
Tujuh hari berlalu dari kematian Ronald di tangan Agung. Livy telah menyiapkan segalanya. Ia harus segera pergi dari daerah ini. Ada satu tempat yang akan ia jadikan tempat persembunyian sebelum ke luar negeri. Yaitu rumah tempat ia dulu tinggal bersama tantenya, mendiang Ilona.Livy kesal saat mengetahui dari Nathalie bahwa polisi masih terus mengawasi keluarganya. Ditambah lagi peristiwa penyergapan kemarin, tentu saja polisi semakin siaga mencari keberadaannya.Livy berdiri di tepi ranjang kamar. Ia menatap ke tas yang sudah ia siapkan. Livy memandang seisi kamar, kemudian menarik napas. Sama seperti biasanya, tempat ini selalu sepi.Pukul tujuh malam lewat lima belas menit, waktu yang telah ia putuskan untuk meninggalkan rumah yang ia tempati saat ini. Ia tidak mungkin keluar saat matahari bersinar. Ia juga tidak mau mengundang kecurigaan warga jika keluar tengah malam."Non. Non Olie ...."Suara Bu Ida terdengar bersamaan dengan suara ketukan pintu.Livy menoleh kemudian melangk
Kenapa kami harus kehilangan kasih sayang yang baru saja kami dapatkan kembali? *****Yoga membawa bola basket dengan wajah cemberut. Sesekali ia melirik ke arah Kiran yang sedang duduk di kebun mawar bersama Bu Nunik. Dalam hati, Yoga selalu bertanya kapankah Kiran akan bersikap seperti dulu kepadanya.Bu Nunik tersenyum dan melambaikan tangan kepada Yoga yang melihat ke arah mereka, sedangkan Kiran hanya memberikan tatapan datar.Setidaknya itu adalah sebuah kemajuan bagi Kiran. Setelah beberapa kali bertemu dengan Farah, ia tidak lagi panik bersembunyi saat melihat dan mendengar suara laki-laki. Namun, untuk berbicara atau berinteraksi lainnya, ia belum berani mencoba.Kiran menatap Yoga yang masih saja cemberut saat mengoper bola basket kepada Andika. Kiran berharap dapat menghilangkan rasa takut saat berada bersama anak itu. Bagi Kiran, Yoga sangat menggemaskan. Segala tingkah laku anak itu, cukup membuatnya nyaman. Kini ia pun merindukan saat-saat kebersamaan mereka."Mau mend
Pada hari di mana Lukman menyergap Ronald dan Livy, Livy segera naik ke lantai dua begitu ada kesempatan. Ia segera mengunci pintu kamar.Livy meraih tas berukuran sedang yang telah ia siapkan jika tiba-tiba harus melarikan diri. Ia langsung mengambil tas itu. Dalam tas itu, ia sudah menyiapkan semua surat identitas baru yang ia bikin melalui Ronald. Begitu pula dengan paspor. Livy juga mengambil ponsel yang ada di atas meja kamar. Tak lupa ia membuka nakas di samping ranjang, tempat Ronald menyimpan uang tunai. Livy segera memasukkan uang itu ke dalam tas. Hingga nakas itu kosong.Livy mengintip dari jendela, Ronald dan Lukman masih sibuk baku hantam. Livy tak mau membuang-buang waktu, ia segera turun dan berlari ke arah ke belakang Villa. Ronald sudah memberitahu rute pelarian yang akan dilewati jika mereka berada di situasi seperti sekarang.Livy yakin, jika memang Ronald selamat, laki-laki itu pasti tahu kalau dirinya kabur melewati jalur ini.Livy melihat pintu belakang villa ya
Firdaus menutup telefon yang baru saja ia terima."Misi selesai," ucapnya, disambut pandangan penasaran semua keluarga."Ronald mati!"Semua yang mendengar saling pandang."Bukan! Bukan sama Bang Lukman."Yang lain semakin heran."Komadan bilang, ada seorang laki-laki yang menikam Ronald di depan villa. Dia mengakui bahwa hari ini semua kejadian di villa itu adalah perbuatannya," jelas Firdaus lagi."Siapa dia?" tanya Haqqi.Firdaus mengangkat kedua bahunya."Aku belum dapat detailnya. Mungkin nanti saat semua sudah kembali ke Jakarta.Firdaus mengambil segelas minuman yang ada di atas meja."Untung saja aku ngikuti saran Papa untuk minta tolong pihak kepolisian saja. Kalau nggak, entah apa jadinya saat ini."Adik-adiknya mengangguk."Ya. Bersyukur juga Ronald mati di sana dan bukan di tangan Lukman. Kalau tertangkap hidup-hidup pasti bikin repot. Liat aja. Paviliun itu benar-benar rata dengan tanah hanya dalam satu hari," ucap Jayadi sambil menunjuk ke arah paviliun dengan dagunya."
Hari yang cukup indah bagi dua orang buronan yang sedang bersembunyi. Ronald membawakan beberapa piring cemilan yang baru saja ia buat untuk Livy."Bagaimana menurutmu tempat ini?" tanya Ronald."Sepi. Cukuplah untuk bersembunyi.""Cuma itu?" tanya Ronald sambil mengeryitkan kening."Lalu, kamu mau aku jawab apa?""Ya, seenggaknya kamu bersyukurlah aku kasih tempat di sini. Nggak terlalu jauh dari Jakarta. Fasilitas lengkap. Aku sediakan semua kebutuhan kamu lewat warga yang biasa aku titipkan tempat ini.""Walau pun cuacanya terasa lebih panas?"Ronald tertawa mendengar pertanyaan Livy yang terdengar mengejek."Aku sudah berusaha membuat tempat ini menjadi asri, Liv. Kamu liat sendiri banyak pepohonankan di sini."Livy akhirnya mengangguk setuju dengan semua ucapan Ronald. Setidaknya itu salah satu cara agar dirinya tidak diusir dari tempat ini."Jadi, bagaimana dengan mobil yang kamu janjikan padaku?" tanya Ronald sambil tersenyum.Livy melihat ke arah Ronald. Laki-laki ini pasti te
Tak ada yang lebih menyakitkan daripada melihat orang yang kita sayangi terluka.Agung kembali menutup kaca mobil setelah Lukman masuk ke dalam rumah. Sudah dari pagi ia mengikuti Lukman. Selepas ia berbincang dengan Ujang di warung kopi.Ia tidak turun dari mobil saat melihat Lukman masuk ke warung pecel ayam. Ia juga melihat pemuda yang ditemui Lukman. Namun, ia tidak mau gegabah. Daerah pelabuhan Tanjung Priok bukanlah tempat yang bisa disepelekan begitu saja.Agung mematikan mesin dan membuka sedikit jendela mobil. Kemudian ia menyandarkan kepala. Pikirannya melayang. Bagaimana jika ia kembali menyusup ke rumah Lukman? Ia ingin sekali melihat keadaan Kiran. Banyak hal yang terlintas dalam otaknya hingga terasa amat penat, hingga akhirnya ia pun memejamkan mata, tertidur.*****Pagi menjelang. Lukman terbangun di meja kerjanya. Semalaman ia menyelesaikan tugas tiga hari ke depan karena ada hal yang harus ia lakukan.Lukman segera membersihkan diri dan turun ke meja makan untuk sara
Ketika malam kejadian Kiran disekap Ronald, Agung sama sekali tidak dapat memejamkan mata, tanpa ia tahu alasannya. Saat ini ia tidak perlu lagi pusing memikirkan masalah uang. Ia yakin Livy tidak akan berani melaporkan dirinya ke pihak yang berwajib. Ia juga telah mendapatkan pekerjaan sambilan di sebuah bengkel untuk mengisi waktu luangnya.Bukan karena ia tak lagi tinggal di apartemen mewah. Rumah kecil yang ia sewa saat ini cukup memberinya kenyamanan. Semua yang bisa ia lakukan malam itu, sudah ia kerjakan semua. Namun, tetap saja matanya tak mau terpejam. Satu hal yang tidak bisa ia hindari, Kiran selalu ada di dalam pikirannya malam ini.Untuk itu, saat paginya tiba Agung memutuskan pergi ke rumah Lukman. Di dekat rumah Lukman, ada warung kopi liar yang selalu ramai. Para security kompleks sering mampir ke sana. Pada waktu-waktu tertentu warung ini ramai security yang memesan kopi, mie instan atau sekedar berbincang-bincang. Bukan berarti mereka tidak mendapatkan makanan dari
Bu Nunik tiba di rumah Kiran pukul empat sore. Siang tadi, Lukman menelepon. Memintanya untuk datang ke rumah Lukman, menjenguk Kiran. Lukman menawarkan diri untuk menjemput ke rumah Bu Nunik. Namun, Bu Nunik menolak. Ia bilang akan ke sana bersama Milo, putra bungsunya.Ning menyambut Bu Nunik di ruang tamu, tak lama kemudian Lukman muncul dan menyapa Bu Nunik."Apa kabar, Bu Nunik, Milo?" tanya Lukman."Alhamdulillaah, kami baik, Pak," jawab Bu Nunik."Ayo duduk, Bu, Milo. Maaf merepotkan," ucap Lukman."Jadi, apa yang terjadi dengan Kiran, Pak?" tanya Bu Nunik.Lukman menarik napas panjang. Ia agak ragu menceritakan semua yang terjadi pada Kiran di hadapan Milo."Hmm ... Saya boleh numpang ke ruang makan, Pak?" tanya Milo, membuat Bu Nunik bingung. Milo cukup peka, ia tahu ada hal yang harus dibicarakan tanpa perlu diketahui dirinya."Apa-apaan sih, Mil?""Biar Ibu sama Pak Lukman bisa ngobrol, Bu.""Iya, tapi kenapa jadi minta makan begitu?""Laper, Bu. Pengen cemilan."Lukman ter
Kiran terbangun dari tidur meringkuknya. Rasa takut menghampiri. Ia tak sanggup menggerakkan badan bahkan ia tak sanggup memandang anak-anak yang berada di depannya."Mbak Kiran," sapa Yoga.Suara Yoga, membuat Kiran semakin merapatkan diri ke dinding."Aku sudah mandi dong. Tadi cari bajunya sendiri," ucap Yoga."Boong, Mbak. Dibantuin sama Mbak Ning tadi," timpal Andika.Kiran menutup kedua telinga, membuat anak-anak bingung. Ning segera meminta anak-anak pergi ke meja makan untuk sarapan karena melihat reaksi Kiran seperti itu. Anak-anak pun menurut."Mbak Kiran. Kita sarapan dulu, yuk," ajak Ning dengan suara berhati-hati.Kiran menatap ke arah Ning. Reaksinya berbeda saat mendengar suara laki-laki dan perempuan. Ia lebih bisa menerima kehadiran sosok perempuan di dekatnya.Berbeda dengan sosok laki-laki. Rasa takut menyergapnya seketika jika mendengar suara laki-laki. Ia merasa bahwa suara laki-laki itulah yang telah melecehkan dirinya. Kini ia berpikir bahwa semua laki-laki akan