Mataku melebar mendengar pernyatan bu Sum. Amarahku kembali naik dibuatnya. Apa dia ini tidak bisa membedakan mana kabaikan mana keburukan? Sampai anaknya dibela mati-matian seperti ini. "Terus ngapain Situ nyerang kami? Serang polisi yang nangkap sana!" kataku sembari beranjak dari dudukku. Emosi rasanya menghadapi bu Sum. 'Aarrghh, kenapa juga tadi harus dikasih makan, sih? Jadi dia punya tenaga 'kan buat melawanku!' batinku. Kesal melihatnya yang ternyata lupa daratan. "Sudah sudah." Umi mencoba melerai antara aku dan bu Sum yang sudah sama-sama emosi. Aku pun kembali duduk atas permintaan umi. Begitu juga bu Sum. Kalau bukan karena menghargai prinsip umi untuk memuliakan tamu, sudah ku tinju wajah menyebalkan bu Sum itu. Dalam hati sebenarnya agak kesal juga pada umi, kenapa bisa memperlakukan baik pada orang yang jelas-jelas berniat buruk pada keluarga ini? "Bu, Anda sudah jelas bersalah di sini. Kalau Anda merasa anak Anda benar, silakan lapor ke pihak yang berwajib. Bukan
Aku bela-belain berlari sampai napas ngos-ngosan dan tak memedulikan penjahat yang ada, namun ternyata Rahma sendiri malah asyik berpelukan dengan kakaknya. Beruntungnya perutku tak kenapa-napa.Malah mas Umair sendiri sempat-sempatnya melambaikan tangannya padaku sembari tersenyum saat masih dalam pelukan adiknya. Argh, bisa-bisanya suamiku itu melakukan hal demikian padahal aku di sini sudah mulai emosi karena kepergiannya yang begitu lama dan tanpa kabar. Tiba-tiba bu Sum dan ketiga lelaki suruhannya pun sudah berada di belakang tak jauh dariku. "Itu suamimu apa suami dia?" tanya bu Sum padaku saat ia melihat mas Umair yang masih berpelukan dengan Rahma. "Dih, suamikulah!" balasku memandang geli bu Sum. Untuk apa tanya-tanya suami orang. Tahu-tahu bu Sum berjalan mendekati mas Umair berada. Aku yang melihatnya seketika dibuat panik karena takut bu Sum akan bertindak diluar dugaan. Mengingat sikap bu Sum yang seenak jidat bertindak di rumah ini. Mas Umair yang sudah melepas pel
Sayangnya berbeda dengan mas Umair dan umi yang tampak pasti akan memaafkan tindakan bu Sum. Terlihat dari sikap mereka yang masih memperlakukan baik pada orang itu yang mana tak pernah kami kenal sebelumnya. Apalagi apa yang dilakukan bu Sum sudah terbilang sebuah kejahatan. "Kamu gil* Mas!" cercaku dengan menunjuk tepat di wajah mas Umair. "Memaafkan penjahat bukanlah keputusan yang bijak!""Dek?" lambaian tangan mas Umair membuyarkan lamunanku. Ah, ternyata makianku pada mas Umair hanya khayalan. "Jangan ngelamun. Lihat, tuh!" Mas Umair menujuk bu Sum yang masih terdiam. Apa maksudnya menyamakan aku dengan wanita itu? Ah, dasar. "Sudah berapa lama?" tanyaku yang entah ku tujukan pada siapa. "Sudah berapa lama bu Sum kek gitu?" tanyaku lagi karena tak ada yang merespon. "Setengah jam, Mbak," balas Rahma yang duduk di sebelahku. "Makanya jangan ngelamun," sahut mas Umair. Ah, bikin kesal saja. Cukup lama kami duduk bersama. Menunggui orang yang sama sekali kami tak mengenalnya
Disaat aku dan Rahma setuju dengan kesimpulan yang dibuat mas Umair, namun masih ada umi yang tampak masih belum legowo dengan kejadian ini. Aku sendiri berusaha memaklumi lantaran umi memang memiliki hati yang lembut dan super baik pada siapa pun. Walaupun terkadang kebaikan umi ataupun keluarga ini tak jarang juga disalah artikan oleh seseorang. Ah, umi ... sifat bawaanmu inilah yang kadang membuatku tak berani menegurmu meskipun pendapatmu berseberangan denganku. Karena sifat bawaanmu ini jugalah aku senantiasa menghormatimu dan selalu merasa nyaman bersamamu. Dan sifat bawaanmu inilah yang menurun ke anak lelakimu yang kerap kali membuatku geregetan. Kami pun bubar dan kembali pada aktivitas masing-masing. Namun tidak dengan umi, beliau lebih memilih duduk di sofa ruang tamu dengan wajah yang masih terlihat lesu. Sepertinya beliau masih merasa tak enak hati karena baru kali ini ada orang yang kabur dari rumahnya. Padahal telah dijamu dengan sebegitu baiknya. ***Hari menjelang
Lantas suster tersebut pun menceritakan apa yang sedang terjadi pada mama yang membuatku dan mas Umair terkejut setengah mati. Tanpa berpikir lebih panjang lagi kami pun memutuskan untuk pergi ke rumah mama saat ini juga. "Ayo, Dek!" mas Umair beranjak dari posisinya setelah menutup teleponnya. Aku pun mengikutinya untuk bersegera mengganti pakaian kami. ***Sampai di rumah mama aku dan mas Umair benar-benar dibuat terkejut karena melihat mama yang sudah tergeletak tak sadarkan diri di lantai dekat ranjangnya. Menurut cerita suster Mita -suster yang disewa mas Umair- sebelum tidur mama hanya minum obat seperti biasanya. Bahkan ia tampak biasa saja dan tidak menunjukkan gelagat yang aneh. Mas Umair lantas menggendong mama untuk dibawa ke rumah sakit. Aku dan suster pun mengikutinya dari belakang. ***Pagi ini terpaksa aku dan mas Umair membatalkan rencana kami untuk pulang ke desa. Menemani mama yang terbaring lemah di ranjang rumah sakit akibat pingsan tadi malam. Menurut dugaan
Tapi yang mengganjal pikiran kami kenapa mama sampai hati ingin mengakhiri hidupnya? Padahal selama ini aku dan mas Umair tulus merawat mama. Sebaik mungkin kami berusaha memberikan fasilitas yang bagus untuk proses pemulihannya. Bahkan sampai kami menyewa seorang suster untuk merawatnya 24 jam agar kondisi mama benar-benar terpantau dengan baik. Tiba-tiba ponselku berdering. Mengagetkanku dan mas Umair yang masih bergeming memandang tumpahan cairan pembersih lantai di kamar mandi. "Suster Mita," kataku pada mas Umair saat ia tanya siapa yang meneleponku. Gegas ku angkat telepon dari suster Mita dan tak lupa mengeraskan suaranya. "Mbak, ibu kritis Mbak!" ucap suster Mita cepat yang membuatku melebarkan lagi mataku. "Kita kesana!" tandas mas Umair lalu mematikan ponsel ditanganku dan menarikku segera keluar rumah. Jarak rumah mama dan rumah sakit sebetulnya kurang dari setengah jam bisa kami tempuh. Tetapi dalam keadaan genting seperti ini mendadak perjalanan terasa amat lama.
Lima tahun berlalu, banyak hal yang kini merubah kehidupanku. Shaka, buah cintaku dengan mas Umair kini juga sudah tumbuh besar. Ia bersekolah di TK di desa tempat kami tinggal. Ya, semenjak kematian mama, aku dan mas Umair memutuskan untuk menetap di desa. Kecuali ketika mas Umair menemui jadwalnya untuk mengajar. Kami diharuskan kembali ke kota. Bedanya kali ini aku lebih sering tak ikut seperti dulu. Karena aku lebih memilih bersama Shaka ketimbang ikut suamiku ke kota dimana sepanjang perjalanan yang hanya membuat mata bosan. Berbanding terbalik dengan adik iparku, Rahma yang kini lebih banyak menghabiskan waktunya di kota karena harus menempuh pendidikan tinggi. Rahma sendiri lah yang menempati rumah milik kakaknya yang ada di kota. Kata mas Umair, biar rumahnya tak kosong jika di tinggal pulang ke desa. Duh, padahal kan kakak beradik ini juga tak jarang pulang ke desa dalam waktu yang sama. Rumah mendiang ayah dan mama pun kami putuskan untuk disewakan saja. Sebab aku hanya
Baru kali ini aku mendapati pesan seperti itu. Selama ini kalaupun ada yang terang-terangan menyukai mas Umair pasti ia menampakkan dirinya.Siapa kira-kira yang mengirim pesan menyebalkan ini? Atau mungkin hanya salah kirim? Tapi kenapa menyakut nama suamiku? Ah, tidak mungkin jika itu hanya sekedar pesan nyasar. "Apa mungkin Sarah?" kataku seraya masih menatap layar ponsel. "Jangan su'udzon." Tiba-tiba mas Umair sudah berdiri saja di belakangku. Mas Umair mengambil alih ponselku lalu meletakannya di atas meja di dekat kami. "Abaikan saja. Percayalah, gak akan ada wanita di hati Mas kecuali kamu dan umi," kata mas Umair yang lantas membuatku tersipu malu. Memang benar adanya apa yang dikatakan suamiku ini. Selama ini banyak wanita yang terang-terangan mengaku lebih dari mengagumi mas Umair, namun hatinya tetap berlabuh padaku. Ia tetap setia meski aku begitu banyak kekurangan. "Iya, Mas," balasku sambil tersenyum pada mas Umair. Lantas mengambil kembali ponselku guna menghapus d