Disaat aku dan Rahma setuju dengan kesimpulan yang dibuat mas Umair, namun masih ada umi yang tampak masih belum legowo dengan kejadian ini. Aku sendiri berusaha memaklumi lantaran umi memang memiliki hati yang lembut dan super baik pada siapa pun. Walaupun terkadang kebaikan umi ataupun keluarga ini tak jarang juga disalah artikan oleh seseorang. Ah, umi ... sifat bawaanmu inilah yang kadang membuatku tak berani menegurmu meskipun pendapatmu berseberangan denganku. Karena sifat bawaanmu ini jugalah aku senantiasa menghormatimu dan selalu merasa nyaman bersamamu. Dan sifat bawaanmu inilah yang menurun ke anak lelakimu yang kerap kali membuatku geregetan. Kami pun bubar dan kembali pada aktivitas masing-masing. Namun tidak dengan umi, beliau lebih memilih duduk di sofa ruang tamu dengan wajah yang masih terlihat lesu. Sepertinya beliau masih merasa tak enak hati karena baru kali ini ada orang yang kabur dari rumahnya. Padahal telah dijamu dengan sebegitu baiknya. ***Hari menjelang
Lantas suster tersebut pun menceritakan apa yang sedang terjadi pada mama yang membuatku dan mas Umair terkejut setengah mati. Tanpa berpikir lebih panjang lagi kami pun memutuskan untuk pergi ke rumah mama saat ini juga. "Ayo, Dek!" mas Umair beranjak dari posisinya setelah menutup teleponnya. Aku pun mengikutinya untuk bersegera mengganti pakaian kami. ***Sampai di rumah mama aku dan mas Umair benar-benar dibuat terkejut karena melihat mama yang sudah tergeletak tak sadarkan diri di lantai dekat ranjangnya. Menurut cerita suster Mita -suster yang disewa mas Umair- sebelum tidur mama hanya minum obat seperti biasanya. Bahkan ia tampak biasa saja dan tidak menunjukkan gelagat yang aneh. Mas Umair lantas menggendong mama untuk dibawa ke rumah sakit. Aku dan suster pun mengikutinya dari belakang. ***Pagi ini terpaksa aku dan mas Umair membatalkan rencana kami untuk pulang ke desa. Menemani mama yang terbaring lemah di ranjang rumah sakit akibat pingsan tadi malam. Menurut dugaan
Tapi yang mengganjal pikiran kami kenapa mama sampai hati ingin mengakhiri hidupnya? Padahal selama ini aku dan mas Umair tulus merawat mama. Sebaik mungkin kami berusaha memberikan fasilitas yang bagus untuk proses pemulihannya. Bahkan sampai kami menyewa seorang suster untuk merawatnya 24 jam agar kondisi mama benar-benar terpantau dengan baik. Tiba-tiba ponselku berdering. Mengagetkanku dan mas Umair yang masih bergeming memandang tumpahan cairan pembersih lantai di kamar mandi. "Suster Mita," kataku pada mas Umair saat ia tanya siapa yang meneleponku. Gegas ku angkat telepon dari suster Mita dan tak lupa mengeraskan suaranya. "Mbak, ibu kritis Mbak!" ucap suster Mita cepat yang membuatku melebarkan lagi mataku. "Kita kesana!" tandas mas Umair lalu mematikan ponsel ditanganku dan menarikku segera keluar rumah. Jarak rumah mama dan rumah sakit sebetulnya kurang dari setengah jam bisa kami tempuh. Tetapi dalam keadaan genting seperti ini mendadak perjalanan terasa amat lama.
Lima tahun berlalu, banyak hal yang kini merubah kehidupanku. Shaka, buah cintaku dengan mas Umair kini juga sudah tumbuh besar. Ia bersekolah di TK di desa tempat kami tinggal. Ya, semenjak kematian mama, aku dan mas Umair memutuskan untuk menetap di desa. Kecuali ketika mas Umair menemui jadwalnya untuk mengajar. Kami diharuskan kembali ke kota. Bedanya kali ini aku lebih sering tak ikut seperti dulu. Karena aku lebih memilih bersama Shaka ketimbang ikut suamiku ke kota dimana sepanjang perjalanan yang hanya membuat mata bosan. Berbanding terbalik dengan adik iparku, Rahma yang kini lebih banyak menghabiskan waktunya di kota karena harus menempuh pendidikan tinggi. Rahma sendiri lah yang menempati rumah milik kakaknya yang ada di kota. Kata mas Umair, biar rumahnya tak kosong jika di tinggal pulang ke desa. Duh, padahal kan kakak beradik ini juga tak jarang pulang ke desa dalam waktu yang sama. Rumah mendiang ayah dan mama pun kami putuskan untuk disewakan saja. Sebab aku hanya
Baru kali ini aku mendapati pesan seperti itu. Selama ini kalaupun ada yang terang-terangan menyukai mas Umair pasti ia menampakkan dirinya.Siapa kira-kira yang mengirim pesan menyebalkan ini? Atau mungkin hanya salah kirim? Tapi kenapa menyakut nama suamiku? Ah, tidak mungkin jika itu hanya sekedar pesan nyasar. "Apa mungkin Sarah?" kataku seraya masih menatap layar ponsel. "Jangan su'udzon." Tiba-tiba mas Umair sudah berdiri saja di belakangku. Mas Umair mengambil alih ponselku lalu meletakannya di atas meja di dekat kami. "Abaikan saja. Percayalah, gak akan ada wanita di hati Mas kecuali kamu dan umi," kata mas Umair yang lantas membuatku tersipu malu. Memang benar adanya apa yang dikatakan suamiku ini. Selama ini banyak wanita yang terang-terangan mengaku lebih dari mengagumi mas Umair, namun hatinya tetap berlabuh padaku. Ia tetap setia meski aku begitu banyak kekurangan. "Iya, Mas," balasku sambil tersenyum pada mas Umair. Lantas mengambil kembali ponselku guna menghapus d
Semakin kencang mobil Sarah melaju dan semakin kencang pula aku mengikutinya. Dan aku makin terkejut kala Sarah mulai memasuki daerah yang mana aku paham betul tempat ini. Aku bahkan sering ke tempat ini diwaktu kecil bersama keluargaku. Sembari terus mengikuti Sarah aku berharap bahwa semoga saja ini semua hanya kebetulan saja. Tak ada hubungan antara Sarah dengan apa yang kini sedang berputar-putar dalam otakku. Akhirnya mobil Sarah berhenti di depan salah satu rumah yang ada. Sementara aku mengintip dari balik pohon yang tak jauh dari rumah tersebut. Dan ketika Sarah keluar dari mobilnya aku dibuatnya tertegun seketika karena melihat siapa yang menyambutnya dari dalam rumah. Tak lain tak bukan adalah kakak tiriku sendiri, mbak Sinta. Ternyata mbak Sinta sudah bebas. Entah kapan ia keluar dari penjara karena peristiwa kematian mama Ros lima tahun lalu adalah sebab terakhir kalinya kami berhubungan. Mendadak aku jadi teringat akan posisi rumah di depan mataku sekarang. Ya, rumah
Ku hapus secara perlahan air mata yang menetes di pipiku. Menatap kepergian mas Umair yang entah kemana tujuannya. "Ya, ikuti sekarang!" perintahku pada seseorang di seberang telepon. Laila, ibu dari teman Shaka yang beberapa hari lalu mengutarakan niatnya untuk meminjam uang padaku. Aku pun memintanya untuk bekerja denganku dan sebagai ibalannya ku bebaskan ia dari perkara utang. Ku putuskan untuk meminta Laila mengikuti kemana perginya mas Umair. Dengan begitu aku tak perlu membuang banyak tenaga dan waktu hanya untuk sebuah rasa penasaran terhadap apa yang sedang dilakukan mas Umair. Bukan berarti aku tak mempercayai suamiku lagi, tetapi karena sikapnya lah yang membuatku harus bertindak demikian. Hampir seharian mas Umair belum pulang dan tanpa ada kabar. Begitu juga dengan Laila yang sedari tadi baru satu kali mengabarkan bahwa mas Umair pergi kearah kota. Sayangnya Laila tak tahu nama lokasi spesifiknya. "Assalamualaikum!" tiba-tiba terdengar suara dari arah pintu depan. Da
Dengan wajah kecut tanpa menjawab teriakan mas Umair aku langsung mencari pesan bernama Mbak Sinta. Sebelum melihat isi pesannya lebih dalam aku mencoba mencocokan nomor tersebut dengan nomor yang memgirimi pesan mas Umair tadi malam. Tetapi hasilnya nihil. Nomornya berbeda. Begitu juga dengan Sarah, nomor atas nama mbak Sinta pun tak sama dengan miliknya.Tak peduli lagi soal itu aku pun mulai membaca dengan seksama satu persatu pesan tersebut. Dan mataku seketika melebar kala melihat satu pesan dari orang yang bernama mbak Sinta yang menyatakan bahwa keselamatanku dan Shaka akan terancam. "Sudah ketemu?" mas Umair keluar dari kamar mandi dengan mengusap-usap rambutnya yang basah dengan handuk. Lalu berjalan mendekatiku. Aku masih tertegun setelah membaca semua pesan yang mas Umair lakukan dengan orang yang bernama mbak Sinta tersebut. Entah siapa mbak Sinta itu namun dari isi pesannya ia begitu peduli denganku dan Shaka. Dalam pesan tersebut menyatakan bahwa ada orang yang sengaj