Lantas suster tersebut pun menceritakan apa yang sedang terjadi pada mama yang membuatku dan mas Umair terkejut setengah mati. Tanpa berpikir lebih panjang lagi kami pun memutuskan untuk pergi ke rumah mama saat ini juga. "Ayo, Dek!" mas Umair beranjak dari posisinya setelah menutup teleponnya. Aku pun mengikutinya untuk bersegera mengganti pakaian kami. ***Sampai di rumah mama aku dan mas Umair benar-benar dibuat terkejut karena melihat mama yang sudah tergeletak tak sadarkan diri di lantai dekat ranjangnya. Menurut cerita suster Mita -suster yang disewa mas Umair- sebelum tidur mama hanya minum obat seperti biasanya. Bahkan ia tampak biasa saja dan tidak menunjukkan gelagat yang aneh. Mas Umair lantas menggendong mama untuk dibawa ke rumah sakit. Aku dan suster pun mengikutinya dari belakang. ***Pagi ini terpaksa aku dan mas Umair membatalkan rencana kami untuk pulang ke desa. Menemani mama yang terbaring lemah di ranjang rumah sakit akibat pingsan tadi malam. Menurut dugaan
Tapi yang mengganjal pikiran kami kenapa mama sampai hati ingin mengakhiri hidupnya? Padahal selama ini aku dan mas Umair tulus merawat mama. Sebaik mungkin kami berusaha memberikan fasilitas yang bagus untuk proses pemulihannya. Bahkan sampai kami menyewa seorang suster untuk merawatnya 24 jam agar kondisi mama benar-benar terpantau dengan baik. Tiba-tiba ponselku berdering. Mengagetkanku dan mas Umair yang masih bergeming memandang tumpahan cairan pembersih lantai di kamar mandi. "Suster Mita," kataku pada mas Umair saat ia tanya siapa yang meneleponku. Gegas ku angkat telepon dari suster Mita dan tak lupa mengeraskan suaranya. "Mbak, ibu kritis Mbak!" ucap suster Mita cepat yang membuatku melebarkan lagi mataku. "Kita kesana!" tandas mas Umair lalu mematikan ponsel ditanganku dan menarikku segera keluar rumah. Jarak rumah mama dan rumah sakit sebetulnya kurang dari setengah jam bisa kami tempuh. Tetapi dalam keadaan genting seperti ini mendadak perjalanan terasa amat lama.
Lima tahun berlalu, banyak hal yang kini merubah kehidupanku. Shaka, buah cintaku dengan mas Umair kini juga sudah tumbuh besar. Ia bersekolah di TK di desa tempat kami tinggal. Ya, semenjak kematian mama, aku dan mas Umair memutuskan untuk menetap di desa. Kecuali ketika mas Umair menemui jadwalnya untuk mengajar. Kami diharuskan kembali ke kota. Bedanya kali ini aku lebih sering tak ikut seperti dulu. Karena aku lebih memilih bersama Shaka ketimbang ikut suamiku ke kota dimana sepanjang perjalanan yang hanya membuat mata bosan. Berbanding terbalik dengan adik iparku, Rahma yang kini lebih banyak menghabiskan waktunya di kota karena harus menempuh pendidikan tinggi. Rahma sendiri lah yang menempati rumah milik kakaknya yang ada di kota. Kata mas Umair, biar rumahnya tak kosong jika di tinggal pulang ke desa. Duh, padahal kan kakak beradik ini juga tak jarang pulang ke desa dalam waktu yang sama. Rumah mendiang ayah dan mama pun kami putuskan untuk disewakan saja. Sebab aku hanya
Baru kali ini aku mendapati pesan seperti itu. Selama ini kalaupun ada yang terang-terangan menyukai mas Umair pasti ia menampakkan dirinya.Siapa kira-kira yang mengirim pesan menyebalkan ini? Atau mungkin hanya salah kirim? Tapi kenapa menyakut nama suamiku? Ah, tidak mungkin jika itu hanya sekedar pesan nyasar. "Apa mungkin Sarah?" kataku seraya masih menatap layar ponsel. "Jangan su'udzon." Tiba-tiba mas Umair sudah berdiri saja di belakangku. Mas Umair mengambil alih ponselku lalu meletakannya di atas meja di dekat kami. "Abaikan saja. Percayalah, gak akan ada wanita di hati Mas kecuali kamu dan umi," kata mas Umair yang lantas membuatku tersipu malu. Memang benar adanya apa yang dikatakan suamiku ini. Selama ini banyak wanita yang terang-terangan mengaku lebih dari mengagumi mas Umair, namun hatinya tetap berlabuh padaku. Ia tetap setia meski aku begitu banyak kekurangan. "Iya, Mas," balasku sambil tersenyum pada mas Umair. Lantas mengambil kembali ponselku guna menghapus d
Semakin kencang mobil Sarah melaju dan semakin kencang pula aku mengikutinya. Dan aku makin terkejut kala Sarah mulai memasuki daerah yang mana aku paham betul tempat ini. Aku bahkan sering ke tempat ini diwaktu kecil bersama keluargaku. Sembari terus mengikuti Sarah aku berharap bahwa semoga saja ini semua hanya kebetulan saja. Tak ada hubungan antara Sarah dengan apa yang kini sedang berputar-putar dalam otakku. Akhirnya mobil Sarah berhenti di depan salah satu rumah yang ada. Sementara aku mengintip dari balik pohon yang tak jauh dari rumah tersebut. Dan ketika Sarah keluar dari mobilnya aku dibuatnya tertegun seketika karena melihat siapa yang menyambutnya dari dalam rumah. Tak lain tak bukan adalah kakak tiriku sendiri, mbak Sinta. Ternyata mbak Sinta sudah bebas. Entah kapan ia keluar dari penjara karena peristiwa kematian mama Ros lima tahun lalu adalah sebab terakhir kalinya kami berhubungan. Mendadak aku jadi teringat akan posisi rumah di depan mataku sekarang. Ya, rumah
Ku hapus secara perlahan air mata yang menetes di pipiku. Menatap kepergian mas Umair yang entah kemana tujuannya. "Ya, ikuti sekarang!" perintahku pada seseorang di seberang telepon. Laila, ibu dari teman Shaka yang beberapa hari lalu mengutarakan niatnya untuk meminjam uang padaku. Aku pun memintanya untuk bekerja denganku dan sebagai ibalannya ku bebaskan ia dari perkara utang. Ku putuskan untuk meminta Laila mengikuti kemana perginya mas Umair. Dengan begitu aku tak perlu membuang banyak tenaga dan waktu hanya untuk sebuah rasa penasaran terhadap apa yang sedang dilakukan mas Umair. Bukan berarti aku tak mempercayai suamiku lagi, tetapi karena sikapnya lah yang membuatku harus bertindak demikian. Hampir seharian mas Umair belum pulang dan tanpa ada kabar. Begitu juga dengan Laila yang sedari tadi baru satu kali mengabarkan bahwa mas Umair pergi kearah kota. Sayangnya Laila tak tahu nama lokasi spesifiknya. "Assalamualaikum!" tiba-tiba terdengar suara dari arah pintu depan. Da
Dengan wajah kecut tanpa menjawab teriakan mas Umair aku langsung mencari pesan bernama Mbak Sinta. Sebelum melihat isi pesannya lebih dalam aku mencoba mencocokan nomor tersebut dengan nomor yang memgirimi pesan mas Umair tadi malam. Tetapi hasilnya nihil. Nomornya berbeda. Begitu juga dengan Sarah, nomor atas nama mbak Sinta pun tak sama dengan miliknya.Tak peduli lagi soal itu aku pun mulai membaca dengan seksama satu persatu pesan tersebut. Dan mataku seketika melebar kala melihat satu pesan dari orang yang bernama mbak Sinta yang menyatakan bahwa keselamatanku dan Shaka akan terancam. "Sudah ketemu?" mas Umair keluar dari kamar mandi dengan mengusap-usap rambutnya yang basah dengan handuk. Lalu berjalan mendekatiku. Aku masih tertegun setelah membaca semua pesan yang mas Umair lakukan dengan orang yang bernama mbak Sinta tersebut. Entah siapa mbak Sinta itu namun dari isi pesannya ia begitu peduli denganku dan Shaka. Dalam pesan tersebut menyatakan bahwa ada orang yang sengaj
#SKDYMas Umair menatapku begitu dalam yang lantas ia tersenyum dan memelukku kembali. Aku merasa sangat beruntung memilikinya. Mendapatkan prioritas dalam hidupnya melebihi nyawanya sendiri. "Besok lagi kalau pergi jauh jangan lupa izin ya," kata mas Umair yang membuatku terkejut hingga ingin melepas pelukannya namun dengan cepat ditahan oleh mas Umair. Ternyata mas Umair juga mengetahui kalau waktu itu aku pergi jauh untuk membuntuti Sarah. Astagaaaa ... Makin malu rasanya kebohonganku diketahui suamiku. Lekas aku pun melepas pelukan mas Umair. Menelan ludahku lalu kembali berucap maaf sembari berlagak menyesali perbuatanku. Meski dalam hati sebetulnya memang menyesalinya. "Mmm, terus hasil pertemuan Mas sama mbak Sinta dan Sarah apa?" tanyaku dengan harapan mengalihkan pembicaraan kami. Sudah cukup rasanya aku dibuat malu oleh mas Umair meski pada kenyataannya memang aku yang bersalah. Lagipula bagian inilah yang membuatku begitu penasaran. Kenapa bisa mereka bertiga menyembuny
#SKDYpart 120 TamatPetang sudah menjelang, matahari hampir turun ke peraduan dan Mas Umair baru saja sampai ke rumah dengan Mas Bima yang seraya pulang bersama Mbak Sinta. Setelah selesai sholat maghrib, mendadak pintu rumah kami diketuk dan seseorang yang datang, mengejutkan aku serta Mas Umair seketika.Romi … Benar, lelaki yang sempat menyatakan perasaannya lewat suamiku itu kembali muncul. Ku pikir setelah kepergiannya dari bumi perkemahan waktu itu ia sudah menghilang bersama istrinya. Sebab, semenjak itu pula lah mas Umair mengaku tidak pernah lagi berkomunikasi. Padahal hubungan kami terbilang baik-baik saja. “Assalamuallaikum … Umair?” Romi mengulas sebuah senyuman di hadapan suamiku.“Waalaikum salam. Oh kamu, Romi? Ayo masuk – masuk! Silahkan masuk,” kata suamiku yang justru terlihat lebih tenang dan santai.“Tidak usah, aku duduk di teras saja.” Romi menolak dan langsung berbalik mencari kursi di teras rumah kami yang langsung menghadap ke pekarangan yang lumayan luas.
#SKDYPart 119 Siapa yang datang? Keluar dari kamar, kami berdua sudah saling bergandengan tangan. Atau lebih tepatnya, Mbak Sinta yang terus menggandeng tanganku tanpa berniat melepaskannya begitu saja. Meski masih ada jejak air mata di kedua pipi Mbak Sinta. Bisa ku lihat dengan jelas sebuah senyum merekah di bibir kecilnya. Senyuman yang hampir tak pernah ku lihat bahkan semenjak kami bersama dulu. Mas Bima terlihat ikut senang dengan perdamaian antara kami berdua. Begitu pun dengan Mas Umair yang ikut tersenyum dan memperlihatkan ekspresi bangga dengan kebesaran hati yang kuberikan pada Mbak Sinta. Sementara Abi hanya mengucapkan kata ‘Alhamdulillah’ secara lirih dan pergi begitu saja keluar rumah diikuti oleh Umi. Entah kenapa mereka melakukannya setelah sempat menyampaikan keinginan mereka agar kami saling memaafkan. Tapi aku enggan memikirkannya untuk saat ini.“Karena semua sudah membaik, bagaimana kalau kalian juga ikut hadir dalam acara aqiqah putri kami hari ini?” Mas Uma
#SKDYPart 119 Memaafkan? Mungkin karena melihat Mbak Sinta yang tak kunjung mendapatkan maaf dari kami, membuat Mas Bima yang sejak tadi hanya diam dan menundukkan kepala. Kemudian ikut berlutut di hadapan Abi dan Umi. Kini pria berusia hampir 40 tahun tersebut menunjukkan ekspresi kesedihan yang begitu dalam dan membuat Abi yang awalnya membuang muka, kini mulai menatap wajah Mas Bima.“Abi … Bima sadar, sebagai suami … Bima sudah gagal mendidik istri Bima selama ini, hingga membuat Sinta mampu melakukan hal yang tidak seharusnya.” Mas Bima terlihat menangis sejurus kemudian, mengejutkan kami semua termasuk aku.“Sepertinya, mereka benar – benar sudah menyesal, Dek.” Mas Umair membisiki telingaku.Aku kembali mengernyitkan kening dan melihat ke arah suamiku ini. Kebiasaan mas Umair yang bisa semudah ini untuk memaafkan mbak Sinta dan mas Bima. Setelah semua yang mereka lakukan pada kami?Seolah mengerti dengan jalan pikiranku, Mas Umair kembali berbisik.“Coba kamu tarik nafas dala
#SKDYPart 118 Kemunculan Mbak SintaRahma membuntutiku dari belakang dan beberapa kali mengintip. Sementara aku merasakan jantungku berdegup cukup kuat dan kencang. Perasaan penasaran dan takut kalau kejadian buruk yang lalu terulang kembali, kini mulai merasuk ke dalam benak dan pikiranku. Aku takut, kalau Mbak Sinta datang untuk kembali membuat ulah seperti dulu.Menghancurkan kebahagiaan yang sedang ku rasakan bersama keluargaku baru – baru ini. Kalau sampai itu terjadi, rasanya aku pasti akan sangat gila dan siap mengamuk di depan perempuan itu. Sumpah serapah juga sudah siap ku lontarkan dari mulutku ini, jika dia menyerukan kata – kata pahitnya lagi. Tak akan ada rasa peduli lagi dengan sikap apa yang akan diperingatkan oleh mas Umair terhadapku. Tak akan ku biarkan acara untuk kebahagiaan putriku dihancurkan oleh kakak tiriku itu. Memang setelah menghilangnya mbak Sinta dulu aku sudah memaafkan semua kesalahannya. Namun, entah bagaimana perasaan takut dan was-was jika mbak Si
#SKDYPart 117 Beberapa Bulan BerlaluHari pun menjelang siang. Aku dan mas Umair bergegas membereskan semua perlengkapan camping kami. Ya, suamiku itu memutuskan untuk segera pulang. Sebab, bukan hanya Shaka yang menjadi alasan kami tetapi juga paper bag pemberian Romi tadi dimana mas Umair sendiri juga mengungkapkan rasa penasarannya. "Ha ha ha! Penasaran juga 'kan kamu!" batinku sambil melihat mas Umair. Sesampainya di rumah, entah mengapa tiba-tiba aku juga ikut tak sabar untuk melihat isi paperbag pemberian Romi tadi. Begitu juga dengan mas Umair. Suamiku itu bahkan hanya meletakkan barang-barang kami begitu saja di dekat meja. "Alhamdulillah .... " Serentak aku dan mas Umair berucap ketika mengetahui apa yang ada di dalam paperbag tersebut. Benar, di dalam paperbag tersebut berisikan sebuah hexa frame yang berukuran mini yang mana terdapat lampu yang bisa meneranginya jika ditekan pada tombol di salah satu sudutnya. Terlihat sederhana memang tetapi aku tahu maksud dari hexa
#SKDYPart 116 Kehadiran Romi"Mas jangan kayak ginilah. Hanya gara-gara Romi biar terlihat baik-baik aja di hari pernikahannya malah membuat Mas gak bertindak apa-apa. Dia itu kayak Rima lho, Mas. Tolong, jangan diam aja kalau sudah menyangkut rumah tangga kita," tuturku panjang lebar. Berusaha meyakinkan mas Umair agar tidak berserah diri dengan keadaan. "Kamu yang tenang, Dik. Mas ada alasan lain kenapa Mas ambil keputusan ini," kata mas Umair yang membuatku menautkan kedua alisku. Alasan lain? Alasan apalagi ini? "Maksud, Mas?" tanyaku kebingungan. Bukannya menjawab pertanyaanku mas Umair malah melihat kearah jam tangan yang melingkar dj lengan kirinya. "Sudah malam rupanya. Ayo tidur!" kata mas Umair setelah mengetahui waktu yang menunjukkan hampir tengah malam. "Tapi Mas—" dengan cepat mas Umair meletakkan kedua tangannya di sisi bahuku sambil berkata," tidur dulu ya, biar tendanya gak sia-sia." Mas Umair tersenyum lalu masuk ke dalam tenda. Mendengar mas Umair berkata dem
#SKDYPart 115 AncamanNamun, karena mas Umair menyebut nama Shaka, hal itu membuatku semakin penasaran dengan apa yang akan ia katakan sehingga tak ingin anaknya itu tahu.Pikiranku pun tanpa dipaksa mendadak ikut menebak-nebak tentang apa yang akan disampaikan oleh suamiku itu. Jika tentang pekerjaannya rasanya tak mungkin. Jika tentang rasa cintanya terhadapku, bukankah barusan ia mengungkapkannya? Ah, benar-benar aku tak bisa mengira-ngira apa yang sebenarnya terjadi pada diri mas Umair. "Mas mau ngomong apa?" tanyaku. "Kamu kenal Romi?" mas Umair menoleh kearahku sebentar. "Romi?" gumamku lalu mengingat-ingat kembali siapa yang dimaksud mas Umair. Beberapa detik kemudian aku pun tersadar dan teringat dengan sosok Romi yang dimaksudkan oleh suamiku itu. Ya, Romi adalah temanku di masa sekolah. Waktu itu memang kami terbilang dekat, namun bukan berarti kami ada hubungan spesial. Kami hanya teman biasa. Kami pun sudah lama tak berkomunikasi. Lebih tepatnya semenjak Romi memutusk
#SKDYPart 114 Sikap Berbeda dari Mas Umair"Emangnya Mas mau ngomongin apa?" perlahan dengan suara pelan aku menoleh kearah suamiku itu. Mas Umair membalas tolehanku. Ia tersenyum kecil sembari berkata," nanti kamu juga tau."Belum sempat aku membalas perkataannya mas Umair sudah melangkahkan kakinya menuju mobil. Mempersiapkan segala sesuatu untuk kegiatan camping hari ini. Sedangkan aku masih terdiam di tempat dan mencoba mencerna apa saja yang dikatakan mas Umair sebelumnya. ***Sembari menikmati suasana malam yang teramat dingin aku dan mas Umair menyantap makanan yang kami beli di warung makan yang memang berada di sini. "Mas mau ngomong apa?" tanyaku sembari menyiapkan peralatan makan yang sudah kami bawa dari rumah. "Makan dulu, ya," kata mas Umair menoleh kearahku lalu kembali memandangi bintang-bintang di atas sana. "Selalu begitu," gerutuku. Meski agak kesal karena masih dibuat penasaran, tetapi mau bagaimana lagi? Sebab memang begitulah tabiat suamiku itu. Awalnya a
#SKDYPart 113 Ke Suatu TempatNamun, sedetik setelah menutup pintu kamar tidur langkahku langsung terhenti. Aku terdiam tepat di depan pintu dan menyadari sesuatu hal yang membuatku beristighfar sembari mengusap wajahku dengan kedua telapak tanganku. "Astaghfirullah," ucapku kesal pada diriku sendiri. Dengan langkah malas sembari menahan malu akhirnya aku berbalik badan kembali ke kamar. Sebab, ternyata tanpa ku sadari kalau sebetulnya waktu sudahlah gelap. Bahkan saat sudah membuka pintu kamar netraku langsung tertuju pada jam dinding yang berada di ruang kamar tidur. Memastikan apakah kegelapan yang ku lihat benar adanya. Dan ternyata memang begitu keadaannya. "Tau 'kan jam berapa?" tanya mas Umair yang melihatku kembali masuk ke dalam kamar. "Iya, Mas, maaf," kataku sembari menghampiri suamiku. Sekarang aku sadar mengapa mas Umair menyuruhku melepas gamis yang ia berikan tadi. Karena memang waktu yang sudah menunjukkan hampir pukul sembilan malam tentu diwaktu seperti ini ka