"Jawab Amran! Keputusan apa?" cecarku penasaran.
Entah apa lagi yang pria aneh itu rencanakan. Kenapa dia bawa-bawa adikku dan keluargaku. Dia itu baik atau hanya tipu muslihat saja.
"Biarkan adikmu bicara dulu dengan Nak Adnan! Nanti Amran juga akan jelaskan," ucap ibuku membuatku mengangguk pasrah.
"Aku terima tawaran Bang Adnan. Aku mau kerja jadi sopir, Abang," kata-kata Amran membuatku menganga.
"Apa? Tawaran? Kerja?" pekikku dan Ibu membekap mulutku.
"Sssttt." Ibu meletakkan jari telunjuk di bibirnya agar aku bungkam.
Aku memilih diam dan mendengarkan Amran bicara serius dengan pria itu. Apa sebenarnya maksudnya?
"Ini ponsel, Kakak." Amran menyerahkan ponselku setelah ia berbicara dengan Adnan.
"Coba jelaskan ke Kakak, apa maksudnya. Kamu mau kerja jadi sopir pria itu?"
Amran menganggu
Tanganku ditarik oleh Pria bercambang dan berperawakan tinggi itu, yang entah sejak kapan ia berada di sini, sehingga aku harus menabraknya.Jarak kami terlalu dekat hingga aku dan dia saling menatap satu sama lain dengan sangat dalam.Tatapan elangnya seolah membuatku terpaku di tempat dan jantungku seolah memompa lebih cepat dari biasanya.Menit berikutnya aku baru sadar kalau tangan kiri Pak Adnan sedang merengkuh pinggangku."Astagfirullah," ucapku saat tersadar dan langsung melepas tangan Pak Adnan dari tangan dan pinggang."Maaf, aku hanya ....""Terima kasih, Pak. Aku yang minta maaf karena jalan sambil menunduk," kataku sedikit salah tingkah. Entah apa yang salah dalam diriku."Hu,um ... okey," balasnya Aku celingak-celinguk mencari adikku Amran, tetapi anak itu tidak nampak batang hidungnya sama sekali."Cari siapa?" tanyanya menatapku dengan alir bertaut."Eh ... a-aku cari Amran, kok, gak kelihatan," jawabku."Oh ... Amran belum datang, Pak Sapto baru pergi menjemputnya da
Aku memejamkan mata saat Pak Adnan semakin dekat dan bersiap teriak jika orang-orang dalam gudang ini tidak mau menolongku saat Bosnya macam-macam."Dasar cerob*h! Kalau datang bul*n itu jangan lupa ganti rotimu," bisiknya tepat di depanku sambil melilitkan jasnya di pinggangku.Aku membuka mata perlahan dan tatapan kami bertemu karena jarak wajahku dan wajahnya hanya dua jengkal.Aku sedikit terpaku beberapa detik menatap mata elangnya, alis tebalnya, cambang tipis yang membingkai wajahnya.Hingga aku tersadar dengan apa yang ia ucapkan barusan."Roti, datang bul* n ... astagaaaa," pekikku panik dan menoleh ke belakang tapi tak terlihat karena dia sudah menutupi tubuh belakangku dengan jasnya."Apakah aku ...?" tanyaku sedikit tercekat.Dia mengangguk pelan. "Kamu tembus dan membuat pria-pria itu menatapmu aneh."
"Mau apa kamu ke sini, hah?"Pertanyaan itu bukan keluar dari mulutku, melainkan dari mulut adikku-Amran. Aku memilih bungkam dan bersembunyi di balik badan Amran."Aku ... aku mau bertemu Istriku," "Istri? Setelah apa yang kamu lakukan pada kakakku, dengan tak tahu malunya kamu masih menyebut dia istrimu!" hardik Amran"Apa pun yang kamu katakan, dan bagaimana pun juga Alyera masih istriku karena kami belum bercerai dan tidak akan pernah bercerai," ucap Bang Danu dengan percaya dirinya."Kalau begitu, ceraikan kakakku sekarang juga. Supaya kakakku bisa melanjutkan hidupnya tanpa bayang-bayang lelaki benalu sepertimu!""Tidak akan! Meskipun kamu memaksaku,""Alyera ... ijinkan aku bicara denganmu, aku mohon!""Kakakku tidak akan pernah mau bicara denganmu! Pergi sana!" Amran mendorong tubuh Bang Danu."Ayolah Alyera. Kembali ke rumah dan kita akan hidup bahagia bersama anak kita. Lupakan semuanya dan kita memulai dengan awal yang baru," mohonnya, tetapi tidak membuatku kasihan. Aku
Malam ini, aku sedang duduk di teras rumah sambil menikmati tiupan semilir angin. Ini adalah malam ketiga aku di rumah kontrakan.Hari ini adalah hari pertama aku kerja kantoran dan Alhamdulillah kerjaan berjalan dengan lancar meskipun otakku sedikit kelelahan, tetapi aku menikmatinya.Aku bersyukur karena sekretaris Pak Syam mau berbaik hati mengajariku segala sesuatu yang harus dikerjakan oleh seorang sekretaris.Di kantor, Pak Adnan juga bersikap dengan sangat profesional. Dia hanya menyapa, meminta berkas dan duduk di ruangannya sepanjang waktu sampai jam pulang kantor.Dia tidak pernah mengajakku berdebat hari ini, apalagi menggangguku.Apa? Mengganggu? Sepertinya aku sudah tidak waras jika harus berharap diganggu oleh pria itu.Mungkin aku terbawa suasana saat kemarin dia bicara dengan ibunya di rumah sakit atau aku yang kegeeran.Aku langsung istigfar berkali-kali karena aku masih sah sebagai istri Bang Danu. Apa kata orang kalau aku belum pisah tapi sudah memikirkan pria lain.
"Kakak sudah siap?" tanya Amran saat memasuki rumah setelah ia kembali dari mengantar Naifa ke sekolahnya."Sudah ... ayo!" Aku meraih tas di atas meja makan, setelah memastikan diriku sudah sangat rapi.Hari ini aku akan ke Kantor Pengadilan Agama untuk sidang pertama atau mediasi. Hari ini tepat sebulan kedatangan orang tua Bang Danu dan kemarin aku mendapat surat panggilan dari pengadilan.Sebelum berangkat, aku sempatkan menelpon Bapak dan Ibu yang sedang berada di kampung. Menanyakan kabar lalu meminta doa dan dukungannya.Aku menarik napas panjang dan mengembuskan dengan perlahan-lahan. Aku berharap semuanya berjalan dengan lancar tanpa hambatan apa pun.Untung hari ini Pak Adnan memberiku cuti, kalau tidak mungkin aku akan keteteran."Jangan lupa membawa semua bukti yang kakak punya!" pesan Amran saat adikku itu menghidupkan motor.Aku kembali memeriksa tas dan memastikan kalau bukti foto perselingkuhan Bang Danu dengan wanita itu masih ada, juga berkas palsu dan asli tentang
"Kami pulang duluan, Pak," ucapku, sambil berlalu tanpa menunggu balasan darinya. Aku menyuruh Naifa untuk segera naik ke motor, lalu aku menghidupkan motor dan meninggalkan parkiran sekolah tanpa menoleh lag ke arah atasanku. Naifa sempat melambaikan tangan pada Pak Adnan dan pria itu membalas lambaian tangan anakku, terlihat dari kaca spion motor. Aku langsung menghentikan motor di depan tempat tinggalku karena memang sudah kukatakan sebelumnya kalau sekolahan putriku sangatlah dekat, jalan kaki pun bisa. Aku dan Naifa masuk ke rumah dan Naifa langsung mengganti baju sekolahnya dengan baju yang sudah kusiapkan di atas nakas. Setelah selesai, aku langsung meraih tas dan tak lupa ponsel kumasukkan ke dalamnya lalu mengajak putri cantikku untuk keluar. Aku mematung di depan rumah saat melihat pria bercambang tipis itu berdiri dengan gagahnya di sam
"Selamat pagi," sapaku pada setiap staf kantor yang aku lewati sambil mengangguk dengan sopan ."Pagi, Bu Alyera," balas mereka dengan ramah dan aku balas dengan senyum yang mengembang.Aku mengayunkan langkah menuju meja kerjaku yang berada di luar ruangan CEO. Saat sampai, aku langsung mendaratkan bokong di kursi.Aku mengembuskan napas pelan lalu mulai melakukan rutinitasku. Untung aku diajari banyak hal oleh sekretaris senior sehingga aku bisa langsung bekerja saat ini juga meski jam baru menunjuk angka enam setengah.Kamis pagi ini, aku sangat sibuk sekali menyiapkan berkas penting dan juga jadwal meeting Tuan Adnan.Saking sibuknya sampai-sampai aku tidak perasan dengan kehadiran seorang pria yang ternyata menatapku lekat di samping meja kerjaku."Astaghfirullah al'azim," ucapku langsung beristigfar saat ekor mataku menatap Tuan Adnan. Aku mengusap pelan dada ini saking kagetnya."Kenapa? Memangnya aku hantu sampai segitunya," omelnya sambil menatap dirinya sendiri."Bapak yang
"MasyaAllah ... kamu cantik sekali Nak Alyera."Bu Intan-ibunya Tuan Adnan langsung memujiku saat aku selesai mengganti pakaianku dengan pakaian pemberiannya.Ibunya Tuan Adnan melangkah ke arahku dan berdecak kagum sekali lagi, "Putraku sangat pintar memilih pakaian untukmu dan sangat cocok sekali di badanmu, Nak.""Hah ... jadi ...?""Iya, Nak Lyera. Pakaian itu Adnan yang membeli khusus untukmu," balas wanita paruh baya itu."Khusus untukku?" tanyaku sekali lagi untuk memastikan. Entah kenapa, otakku langsung ngeleg."Iyyalah. Khusus untukmu, karena ini pertama kalinya putraku memilih dan membeli pakaian seorang diri untuk perempuan yang sangat spesial untuknya. Apalagi perempuannya secantik kamu," ujarnya lagi sambil menjawil daguku."Spesial? Sepertinya Ibu salah paham. Aku dan Tuan Adnan hanya sebatas atasan dan bawahan. Dia CEO dan aku sekretarisnya," kataku mencoba menjelaskan agar Bu Intan tidak salah mengartikan kedekatan kami."Ibu tahu kalau kamu menganggapnya seperti itu
POV Alyera "Kamu ngapain, jalan sambil nunduk? Mikirin apa? Kamu beruntung karena aku datang tepat waktu kalau tidak ... mungkin jidatmu sudah selebar tiang tadi," katanya sambil bertanya, disertai dengan sindiran serta kekehan.Aku memilih memalingkan wajah ke luar jendela menatap pohon yang masih terkena cahaya langit yang mulai redup berganti cahaya malam.Ucapan pria cambang ini benar-benar bikin jengkel, asli."Kok, gak dijawab?" tanyanya lagi membuatku menarik napas dalam."Saum," jawabku singkat."Apa hubungannya, puasa dengan bicara?""Saum bicara," balasku lagi dengan memutar bola mata."Emang ada saum bicara, tapi ngebalas terus dari tadi," kekehnya sembari menatap lurus ke depan. Aku memilih diam tak menjawab lagi."Biar aku tebak," katanya antusias."Gak lagi pengen main tebak-tebakan," protesku"Kamu pas jalan tadi pasti sambil mikirin suami kamu," ujarnya sok tahu banget."Calon mantan suami," ujarku penuh penekanan."Sama aja, kan baru calon berarti masih.""Terserah T
Hari-hariku semakin kacau, kala pulang ke rumah untuk makan siang. Akan tetapi, Nella belum masak sama sekali.Bahkan istriku itu masih betah berlabuh di pulau mimpi dan melukis pulau Kalimantan di sarung bantal.Aku hanya bisa membuang napas kasar, mau marah juga tidak bisa karena sudah bisa ditebak kalau aku akan kalah berdebat sama Nella."Yank! Bangun!" Aku menggoyangkan tubuh Nella yang masih terbungkus selimut itu."Ini udah tengah hari, loh. Udah mau masuk waktu salat Zuhur," ujarku lagi, tetapi Nella tetap bergeming.Saat menyebut salat Zuhur ada yang bergetar di dalam hati. Entah sejak kapan terakhir kali aku melakukan salat. Sudah sangat lama sekali aku tidak melaksanakan kewajibanku sebagai umat yang mengaku beragama muslim.Mungkin aku bisa bisa dinobatkan jadi duta Islam KTP, karena mengaku Islam, tetapi tidak melaksanakan kewajiban.Aku mendadak ingat, Ely. Dia selalu mengingatkan aku untuk salat sambil duduk. Meski aku lebih memilih berbohong dan mengaku sudah mengerjak
"Minggu depan aku akan menikah dengan kekasihku," ucap Nella sambil menatap langit-langit kamar, seolah ada yang membuatnya resah.Lain halnya denganku, aku senang mendengar dia akan menikah. Setidaknya dia tidak memintaku lagi datang kemari, sekedar memuaskan hasratnya.Malam ini aku hanya terpaksa melakukannya karena dia memintaku. Hanya sebagai balas budi ... itu saja. Semenjak mengetahui kalau asetnya juga dipakai oleh bandot tua, aku jadi jijik padanya.Meski kuakui, kalau dia pernah membuatku melayang tinggi ke langit ke tujuh. Tapi, malam ini tidak sama sekali.Aku hanya berusaha membuatnya puas dengan permainanku karena lagi-lagi aku ingin membalas jasanya yang telah membelikanku motor. Meski ngutang, tetapi wanita ini tidak pernah menagih seperti para wanita rentenir."Pakai aja uangnya buat kamu makan sama beli kuota!" ucap Nella menolak setiap aku menyetor upah ngojekku. Itulah yang membuat aku ingin membalas jasanya. Kalau bukan karenanya, mungkin aku sudah hidup gembel di
"Bang Danu! Bangun!" samar kudengar suara seseorang memanggil. Lebih tepatnya membangunkan karena terasa tubuhku terguncang."Hem ... Apaan sih, Ly. Aku masih ngantuk ini!" balasku dengan malas dan kembali merapatkan selimut, dan meringkuk sembari memeluk guling."Kok, Ely sih, Bang! Ini aku Nella," protes seseorang yang langsung membuatku terperanjat karena baru sadar kalau aku sedang di rumah Nella, sahabat istriku yang sudah kunikmati keindahan tubuhnya."Eh ... maaf Nella Sayang. Aku lupa kalau sekarang aku ada di rumahmu. Biasanya kan aku dibangunkan sama Ely," balasku sambil menatap wanita yang kini memasang muka cemberut karena merajuk."Apa kejadian yang semalam kamu juga lupa, Bang?" tanyanya membuat aku kembali panas dingin."Oh, jelas tidaklah. Masa lupa sih, sama permainanmu yang sungguh sangat agresif, tapi aku suka," balasku sambil mengecup pipinya yang memerah dan Nella langsung senyum malu-malu.Ah, wanita. Hanya modal rayuan maut saja, sudah luluh mau diapain juga. It
"Pergi kamu dari sini! Jangan pernah nampakkan wajahmu di depanku. Sekarang aku sudah tidak punya anak sama sekali." Bapak melempar tas berisi pakaian ke hadapanku sembari menyuruhku pergi dari rumahku sendiri.Rumah itu memang dibangun memakai dana dari Bapak, tetapi aku berhak tinggal karena aku anaknya satu-satunya. Eh ... malah mau dijual rumah itu, terus diberikan sama Ely. Padahal yang anaknya itu aku, bukan Ely. Ely itu hanya menantu, menantu itu orang luar yang tidak berhak sama sekali.Aku meraih tas itu, lalu bangkit dan pergi tanpa berpamitan pada Bapak dan Ibu. Kulihat Ibu menangis pilu menatap kepergianku, tetapi tak dapat mencegah karena mungkin tidak berani melawan suaminya yang tua bangka itu.Para tetangga masih saja sibuk menonton drama yang sebenarnya sudah selesai. Begitulah parah tetangga, selalu penasaran dengan masalah orang. Bukan untuk simpatik, melainkan ingin menertawakan.Aku yakin seratus persen kalau mereka sedang menertawakan diriku, bahkan mungkin ada
"Sekarang kamu tidak bisa berbuat apa-apa, Sayang. Karena apa? Karena kamu memang masih begitu sangat sangat mencintaiku." Bang Danu semakin mendekat dan menyeringai menjijikkan."Bismillah." Kuangkat kakiku tinggi-tinggi hingga lututku mendarat di selangkangannya."Auw ... Auw ... Arggggg." Bang Danu spontan memegang benda pusakanya dan menjerit-jerit."Syukurin." Kini giliran aku yang menyeringai sinis padanya."Kalau kamu berpikir aku sangat ingin kembali dengan pria sepertimu, kamu salah. Tidak pernah terlintas dipikiranku sama sekali untuk mengambil apa yang sudah aku muntahkan." Aku berpangku tangan di depan Bang Danu yang masih meringis."Kamu jangan besar kepala dan mengkhayal setinggi langit! Karena, kalau itu jatuh sakit. Aku tekankan sekali lagi, aku tidak butuh suami benalu sepertimu.""Ely, Sayang. Kenapa kamu jadi ganas dan bar-bar begini?" tanyanya dengan sekuat tenaga menahan sakitnya.""Aku benar-benar ingin kembali padamu, Sayang.""Ya, ampun. Siapa yang mau lelaki b
"Maaf ... aku tidak bisa," ucapku pada Nella yang terus saja membujuk agar aku meminta bos untuk menerimanya kembali.Padahal dia tau benar siapa aku, apa posisiku di kantor tidaklah penting. Siapa aku yang harus meminta dengan Tuan Adnan ini dan itu.Beliau sudah banyak membantu dan rasanya aku tidak punya muka lagi jika harus meminta bantuan lagi.Bukan aku egois, bukan pula aku marah pada Nella, bukan. Hanya saja, aku benar-benar tidak bisa membantu untuk saat ini."Jadi kamu betul-betul tidak mau membantuku?" tanya Nella dengan tatapan tajam.Aku mengangguk perlahan. "Maaf, Nella.""Ternyata aku salah memanggilmu ke sini. Aku salah karena menganggap kamu itu baik, aku pikir kamu masih Ely yang dulu, sahabatku yang selalu peduli sama semua orang. Sahabat yang selalu menolong orang tanpa pamrih," ujar Nella tampak geram."Aku masih Ely yang dulu, Nel," balasku menatapnya dengan senyuman."Bukan! Kamu bukan Ely yang dulu. Kamu sudah berubah El," ujarnya sengit."Bukan aku yang beruba
"Dek! Gak usah jemput Kakak ya! Soalnya kakak lagi ada urusan dulu sama teman. Kak Ely titip Naifa ya!" pintaku pada Amran melalui percakapan di ponsel sambil berjalan ke luar dari kantor.Hari ini adalah hari pertamanya kerja sebagai mandor di pabrik yang pernah menjadi tempatku berkerja sehari-hari.Karena motor hanya satu terpaksa Amran yang membawa motor itu dan demi alasan keamanan, adikku dengan senang hati mengantar jemput aku setiap hari.Karena semalam, Nella terus memohon untuk ditemui, dengan terpaksa juga aku harus menemuinya.Hati nurani telah mengalahkan logikaku. Harusnya aku menolak tegas karena sudah jelas, Nella selalu ingin memanfaatkan aku saja.Selama ini dia baik dan memperingatkanku untuk menyelidiki suamiku, hanya untuk kepentingannya sendiri. Bukan demi kebaikanku.Sepulang dari kantor baru sempat mengabarkan pada adikku itu karena aku terlalu sibuk dalam kerjaan seharian ini. Tuan Adnan banyak jadwal meeting dan aku tidak boleh lengah dan salah saat bekerja.
"Alyera! Kamu tidak kenapa-kenapa?" tanya pria itu mendadak panik dan hendak menyentuhku, tetapi mungkin ia mengingat teguranku selama ini agar tidak ada kontak fisik membuat ia urung melakukan dan menarik kembali tangannya."Kamu baik-baik saja?" tanyanya sekali lagi membuatku menggeleng pelan tanpa membalas ucapannya. Aku sangat sok dengan kejadian ini sehingga aku mendadak bungkam."Ada yang sakit? Atau Daffa berbuat apa sama kamu?" Lagi-lagi pria cambang ini bertanya.Baru hendak membuka mulut untuk menjawab tiba-tiba aku menangkap dari ekor mataku kalau Daffa hendak melayangkan tendangan pada Tuan Adnan."Awas Tuan," teriakku lantang dan langsung memeluk Tuan Adnan sambil memutar tubuhnya, sehingga tendangan Daffa langsung mendarat di tubuhku."ALYERA ...," pekik Tuan Adnan saat kami berjatuhan di lantai karena aku menjadi tameng untuknya.Sesaat aku melupakan sakit yang diterima tubuhku karena pukulan pria brengsek itu. Aku malah terpana pada sorot mata elang Tuan Adnan yang tib