"Daffa! Kenapa lama banget ambil makanannya, Nak?" tanya Bu Yeni pada pria itu dan ternyata namanya Daffa."Eh ... Mami, ini Daffa lagi ngobrol sama dia." Pria yang bernama Daffa itu menunjuk diriku dan sepertinya dia anak dari Bu Yeni, terdengar dari obrolannya."Ngapain ngobrol sama perempuan dari kasta bawah. Buruan ambil makanan! Kalau enggak, ayo pulang!" omel wanita paruh baya itu membuat hatiku langsung berdenyut.Sungguh ucapannya setajam silet."Kak! Ayo kita pergi dari sini dan cari tempat duduk," ajak Anggi karena melihat kataku berkaca-kaca."Ayo!"Aku langsung pergi meninggalkan dua orang itu."Mami apa-apaan, sih. Daffa belum tau namanya siapa."Masih sempat terdengar di telinga ini, kalau pria itu protes dengan kelakuan ibunya."Nggak penting kamu tau dia siapa!" hardik wanita paruh baya itu."Mami mulai lagi, deh. Suka banget ngatur-ngatur aku."Itu kalimat Daffa yang terakhir kudengar lalu aku segera fokus menikmati hidangan bersama Anggi.Dari kejauhan sempat kulihat
Sabtu pagi ini adalah hari yang menyebalkan untukku. Kenapa?Karena sepupu Tuan Adnan yang bernama Daffa itu benar-benar datang ke kantor. Bahkan dia datang pagi-pagi sekali. Sangat menyebalkan bukan?Dia berdiri dengan sok cool-nya di samping mobilnya lalu membuka kacamata-nya terus mengedipkan mata ke arahku, membuat aku bergidik ngeri dibuatnya."Hei Nona Alyera ... selamat pagi," sapanya."Pagi, Pak Daffa," balasku sopan karena menghormati pria itu."Manisnya, cantiknya, lembutnya," ujarnya membuat aku memutar bola mata malas."Saya duluan, Pak." Aku melangkah hendak meninggalkannya di parkiran tapi pria ini malah menghadang langkahku."Eits ... buru-buru amat sih, Nona. Aku mau bicara nih,""Ya udah, silakan bicara, Pak!""Pertama-tama ... jangan panggil Pak, karena aku masih muda! Panggil Abang aja atau panggil nama juga gak masalah!"Astaga ... Tuan Adnan dan Pak Daffa sama persis gak mau dipanggil Pak. Padahal 'kan itu bahasa formal, biar gak terkesan gak sopan."Saya tidak bi
"Naifa, Sayang. Anak Mama pasti salah lihat, karena itu bukan Papa, Nak. Kamu tau 'kan, Nak, kalau papamu tidak bisa berdiri sempurna," ucapku berusaha berbohong karena aku yakin putriku hanya melihat Bang Danu sekilas.Bang Danu tengah membelakangi kami, makanya aku yakin betul kalau Naifa belum melihat wajahnya."Tapi-tapi bajunya mirip baju Papa dan---""Sstt, di dunia ini jangankan baju, Nak. Badan aja kadang posturnya mirip!" Aku memotong ucapan putriku dan lagi-lagi aku berbohong."Gitu ya, Ma?" tanyanya dan aku mengangguk mengiyakan meski ada perih di ulu hati.Ternyata benar ... sekali kita berbohong maka kita akan melakukan kebohongan selanjutnya untuk menutupi kebohongan.Naifa terus memperhatikan pria yang sibuk menjadi penengah di antara dua wanita itu. Wanita yang satunya aku kenal karena dia adalah Nella, tetapi yang satunya aku tidak mengenalnya sama sekali.Aku membuang napas kasar."Nak! Sebaiknya Naifa turun duluan dan langsung ke mobil ya, di temani Tante Anggi! Mam
Seminggu sudah sejak bertemunya aku dengan Bang Danu juga, Nella. Kini putriku tidak pernah lagi menanyakan soal papanya.Biasanya dalam sehari kadang puluhan kali dia menanyakan papanya, merengek ingin bertemu dan segala macam permintaan ia lontarkan agar bisa melihatnya.Sekarang dia lebih pendiam, dan hanya fokus pada pelajaran di sekolahnya. Dia juga lebih manja padaku.Ah ... semoga saja hatimu tidak terluka anakku.Saat ini aku sedang mematut wajahku di depan cermin karena sebentar lagi aku akan menghadiri acara pernikahan Nella dan kekasihnya yang sering ia ceritakan.Aku turut bahagia jika Nella menikah dan berharap dia akan meninggalkan tingkah buruknya itu. Semoga saja.Seperti biasa, Naifa akan kutitipkan pada Bu Ati karena aku dan Anggi akan pergi bersama. Sengaja putriku tidak kuajak karena takut di sana ada Bang Danu dan ngotot membawanya pergi.
Tentu aku sangat mengenal suara itu, karena dia adalah pria yang sudah bersamaku selama ini. Pria yang sudah memberiku seorang anak perempuan ... tidak mungkin aku melupakannya.Suaranya, posturnya, wajahnya, harumnya, bahkan aku mengenalnya luar dalam. Ah ... Aku mengenal luarnya saja dan aku kurang memahami dalamnya, buktinya ia menyimpan kebohongan dan aku tidak tahu sama sekali bahkan tidak curiga sama sekali.Pria yang mendekati pak penghulu dan mempelai wanita itu adalah bang Danu--suamiku.Eh ... ralat, tetapi calon mantan suami.Semua yang hadir mungkin terkejut. Atau hanya aku yang lebih kaget mendengar ucapan papa dari anakku tersebut.Apa tadi? Dia bersedia menikahi Nella--sahabat ibu dari anaknya?"Cemburu?Apakah kamu cemburu?" tanya Tuan Adnan mendekat ke arahku."Tidak."Sejujurnya aku cemburu. Akan tetapi, apa hakku untuk cemburu sedangkan aku sudah menggugat cerai dirinya.Dia bebas menikahi siapa saja wanita yang ia inginkan, tetapi tidak juga secepat ini. Beberapa h
"Pak Daffa ...." Hanya itu ucapan yang keluar dari mulutku saking kagetnya melihat sepupu bos ada di hadapanku.Pria itu berdiri tepat di depan toilet sambil menyender dan menatapku dengan senyum yang sulit kumengerti."Hai ... apa kabar, Cantik?" tanyanya sambil tak berkedip menatapku."Alhamdulillah, kabar baik Pak," jawabku lalu berjalan melewatinya sembari menarik napas kasar."Nona Alyera, tunggu sebentar!" Pria itu mengekor di belakangku lalu menarik pergelangan tanganku."Lepasin!" Aku melepaskan genggaman tangannya."Oke, oke, maaf," katanya sambil mengangkat tangan."Ngapain kamu ada di sini? Kamu mengikutiku?""Eummm ... sayangnya kamu benar," kekehnya dan aku memutar bola mata malas."Aku tidak sengaja melihatmu tadi, saat kamu ke sini terpaksa aku ikuti," paparnya dengan senyum yang sama sekali membuat aku bergidik ngeri."Untuk apa kamu mengikutiku? Kurasa aku tidak memiliki utang padamu," selaku menatap Daffa tak suka sama sekali.Sikapnya jauh berbeda dengan Tuan Adnan.
"Alyera! Kamu tidak kenapa-kenapa?" tanya pria itu mendadak panik dan hendak menyentuhku, tetapi mungkin ia mengingat teguranku selama ini agar tidak ada kontak fisik membuat ia urung melakukan dan menarik kembali tangannya."Kamu baik-baik saja?" tanyanya sekali lagi membuatku menggeleng pelan tanpa membalas ucapannya. Aku sangat sok dengan kejadian ini sehingga aku mendadak bungkam."Ada yang sakit? Atau Daffa berbuat apa sama kamu?" Lagi-lagi pria cambang ini bertanya.Baru hendak membuka mulut untuk menjawab tiba-tiba aku menangkap dari ekor mataku kalau Daffa hendak melayangkan tendangan pada Tuan Adnan."Awas Tuan," teriakku lantang dan langsung memeluk Tuan Adnan sambil memutar tubuhnya, sehingga tendangan Daffa langsung mendarat di tubuhku."ALYERA ...," pekik Tuan Adnan saat kami berjatuhan di lantai karena aku menjadi tameng untuknya.Sesaat aku melupakan sakit yang diterima tubuhku karena pukulan pria brengsek itu. Aku malah terpana pada sorot mata elang Tuan Adnan yang tib
"Dek! Gak usah jemput Kakak ya! Soalnya kakak lagi ada urusan dulu sama teman. Kak Ely titip Naifa ya!" pintaku pada Amran melalui percakapan di ponsel sambil berjalan ke luar dari kantor.Hari ini adalah hari pertamanya kerja sebagai mandor di pabrik yang pernah menjadi tempatku berkerja sehari-hari.Karena motor hanya satu terpaksa Amran yang membawa motor itu dan demi alasan keamanan, adikku dengan senang hati mengantar jemput aku setiap hari.Karena semalam, Nella terus memohon untuk ditemui, dengan terpaksa juga aku harus menemuinya.Hati nurani telah mengalahkan logikaku. Harusnya aku menolak tegas karena sudah jelas, Nella selalu ingin memanfaatkan aku saja.Selama ini dia baik dan memperingatkanku untuk menyelidiki suamiku, hanya untuk kepentingannya sendiri. Bukan demi kebaikanku.Sepulang dari kantor baru sempat mengabarkan pada adikku itu karena aku terlalu sibuk dalam kerjaan seharian ini. Tuan Adnan banyak jadwal meeting dan aku tidak boleh lengah dan salah saat bekerja.
POV Alyera "Kamu ngapain, jalan sambil nunduk? Mikirin apa? Kamu beruntung karena aku datang tepat waktu kalau tidak ... mungkin jidatmu sudah selebar tiang tadi," katanya sambil bertanya, disertai dengan sindiran serta kekehan.Aku memilih memalingkan wajah ke luar jendela menatap pohon yang masih terkena cahaya langit yang mulai redup berganti cahaya malam.Ucapan pria cambang ini benar-benar bikin jengkel, asli."Kok, gak dijawab?" tanyanya lagi membuatku menarik napas dalam."Saum," jawabku singkat."Apa hubungannya, puasa dengan bicara?""Saum bicara," balasku lagi dengan memutar bola mata."Emang ada saum bicara, tapi ngebalas terus dari tadi," kekehnya sembari menatap lurus ke depan. Aku memilih diam tak menjawab lagi."Biar aku tebak," katanya antusias."Gak lagi pengen main tebak-tebakan," protesku"Kamu pas jalan tadi pasti sambil mikirin suami kamu," ujarnya sok tahu banget."Calon mantan suami," ujarku penuh penekanan."Sama aja, kan baru calon berarti masih.""Terserah T
Hari-hariku semakin kacau, kala pulang ke rumah untuk makan siang. Akan tetapi, Nella belum masak sama sekali.Bahkan istriku itu masih betah berlabuh di pulau mimpi dan melukis pulau Kalimantan di sarung bantal.Aku hanya bisa membuang napas kasar, mau marah juga tidak bisa karena sudah bisa ditebak kalau aku akan kalah berdebat sama Nella."Yank! Bangun!" Aku menggoyangkan tubuh Nella yang masih terbungkus selimut itu."Ini udah tengah hari, loh. Udah mau masuk waktu salat Zuhur," ujarku lagi, tetapi Nella tetap bergeming.Saat menyebut salat Zuhur ada yang bergetar di dalam hati. Entah sejak kapan terakhir kali aku melakukan salat. Sudah sangat lama sekali aku tidak melaksanakan kewajibanku sebagai umat yang mengaku beragama muslim.Mungkin aku bisa bisa dinobatkan jadi duta Islam KTP, karena mengaku Islam, tetapi tidak melaksanakan kewajiban.Aku mendadak ingat, Ely. Dia selalu mengingatkan aku untuk salat sambil duduk. Meski aku lebih memilih berbohong dan mengaku sudah mengerjak
"Minggu depan aku akan menikah dengan kekasihku," ucap Nella sambil menatap langit-langit kamar, seolah ada yang membuatnya resah.Lain halnya denganku, aku senang mendengar dia akan menikah. Setidaknya dia tidak memintaku lagi datang kemari, sekedar memuaskan hasratnya.Malam ini aku hanya terpaksa melakukannya karena dia memintaku. Hanya sebagai balas budi ... itu saja. Semenjak mengetahui kalau asetnya juga dipakai oleh bandot tua, aku jadi jijik padanya.Meski kuakui, kalau dia pernah membuatku melayang tinggi ke langit ke tujuh. Tapi, malam ini tidak sama sekali.Aku hanya berusaha membuatnya puas dengan permainanku karena lagi-lagi aku ingin membalas jasanya yang telah membelikanku motor. Meski ngutang, tetapi wanita ini tidak pernah menagih seperti para wanita rentenir."Pakai aja uangnya buat kamu makan sama beli kuota!" ucap Nella menolak setiap aku menyetor upah ngojekku. Itulah yang membuat aku ingin membalas jasanya. Kalau bukan karenanya, mungkin aku sudah hidup gembel di
"Bang Danu! Bangun!" samar kudengar suara seseorang memanggil. Lebih tepatnya membangunkan karena terasa tubuhku terguncang."Hem ... Apaan sih, Ly. Aku masih ngantuk ini!" balasku dengan malas dan kembali merapatkan selimut, dan meringkuk sembari memeluk guling."Kok, Ely sih, Bang! Ini aku Nella," protes seseorang yang langsung membuatku terperanjat karena baru sadar kalau aku sedang di rumah Nella, sahabat istriku yang sudah kunikmati keindahan tubuhnya."Eh ... maaf Nella Sayang. Aku lupa kalau sekarang aku ada di rumahmu. Biasanya kan aku dibangunkan sama Ely," balasku sambil menatap wanita yang kini memasang muka cemberut karena merajuk."Apa kejadian yang semalam kamu juga lupa, Bang?" tanyanya membuat aku kembali panas dingin."Oh, jelas tidaklah. Masa lupa sih, sama permainanmu yang sungguh sangat agresif, tapi aku suka," balasku sambil mengecup pipinya yang memerah dan Nella langsung senyum malu-malu.Ah, wanita. Hanya modal rayuan maut saja, sudah luluh mau diapain juga. It
"Pergi kamu dari sini! Jangan pernah nampakkan wajahmu di depanku. Sekarang aku sudah tidak punya anak sama sekali." Bapak melempar tas berisi pakaian ke hadapanku sembari menyuruhku pergi dari rumahku sendiri.Rumah itu memang dibangun memakai dana dari Bapak, tetapi aku berhak tinggal karena aku anaknya satu-satunya. Eh ... malah mau dijual rumah itu, terus diberikan sama Ely. Padahal yang anaknya itu aku, bukan Ely. Ely itu hanya menantu, menantu itu orang luar yang tidak berhak sama sekali.Aku meraih tas itu, lalu bangkit dan pergi tanpa berpamitan pada Bapak dan Ibu. Kulihat Ibu menangis pilu menatap kepergianku, tetapi tak dapat mencegah karena mungkin tidak berani melawan suaminya yang tua bangka itu.Para tetangga masih saja sibuk menonton drama yang sebenarnya sudah selesai. Begitulah parah tetangga, selalu penasaran dengan masalah orang. Bukan untuk simpatik, melainkan ingin menertawakan.Aku yakin seratus persen kalau mereka sedang menertawakan diriku, bahkan mungkin ada
"Sekarang kamu tidak bisa berbuat apa-apa, Sayang. Karena apa? Karena kamu memang masih begitu sangat sangat mencintaiku." Bang Danu semakin mendekat dan menyeringai menjijikkan."Bismillah." Kuangkat kakiku tinggi-tinggi hingga lututku mendarat di selangkangannya."Auw ... Auw ... Arggggg." Bang Danu spontan memegang benda pusakanya dan menjerit-jerit."Syukurin." Kini giliran aku yang menyeringai sinis padanya."Kalau kamu berpikir aku sangat ingin kembali dengan pria sepertimu, kamu salah. Tidak pernah terlintas dipikiranku sama sekali untuk mengambil apa yang sudah aku muntahkan." Aku berpangku tangan di depan Bang Danu yang masih meringis."Kamu jangan besar kepala dan mengkhayal setinggi langit! Karena, kalau itu jatuh sakit. Aku tekankan sekali lagi, aku tidak butuh suami benalu sepertimu.""Ely, Sayang. Kenapa kamu jadi ganas dan bar-bar begini?" tanyanya dengan sekuat tenaga menahan sakitnya.""Aku benar-benar ingin kembali padamu, Sayang.""Ya, ampun. Siapa yang mau lelaki b
"Maaf ... aku tidak bisa," ucapku pada Nella yang terus saja membujuk agar aku meminta bos untuk menerimanya kembali.Padahal dia tau benar siapa aku, apa posisiku di kantor tidaklah penting. Siapa aku yang harus meminta dengan Tuan Adnan ini dan itu.Beliau sudah banyak membantu dan rasanya aku tidak punya muka lagi jika harus meminta bantuan lagi.Bukan aku egois, bukan pula aku marah pada Nella, bukan. Hanya saja, aku benar-benar tidak bisa membantu untuk saat ini."Jadi kamu betul-betul tidak mau membantuku?" tanya Nella dengan tatapan tajam.Aku mengangguk perlahan. "Maaf, Nella.""Ternyata aku salah memanggilmu ke sini. Aku salah karena menganggap kamu itu baik, aku pikir kamu masih Ely yang dulu, sahabatku yang selalu peduli sama semua orang. Sahabat yang selalu menolong orang tanpa pamrih," ujar Nella tampak geram."Aku masih Ely yang dulu, Nel," balasku menatapnya dengan senyuman."Bukan! Kamu bukan Ely yang dulu. Kamu sudah berubah El," ujarnya sengit."Bukan aku yang beruba
"Dek! Gak usah jemput Kakak ya! Soalnya kakak lagi ada urusan dulu sama teman. Kak Ely titip Naifa ya!" pintaku pada Amran melalui percakapan di ponsel sambil berjalan ke luar dari kantor.Hari ini adalah hari pertamanya kerja sebagai mandor di pabrik yang pernah menjadi tempatku berkerja sehari-hari.Karena motor hanya satu terpaksa Amran yang membawa motor itu dan demi alasan keamanan, adikku dengan senang hati mengantar jemput aku setiap hari.Karena semalam, Nella terus memohon untuk ditemui, dengan terpaksa juga aku harus menemuinya.Hati nurani telah mengalahkan logikaku. Harusnya aku menolak tegas karena sudah jelas, Nella selalu ingin memanfaatkan aku saja.Selama ini dia baik dan memperingatkanku untuk menyelidiki suamiku, hanya untuk kepentingannya sendiri. Bukan demi kebaikanku.Sepulang dari kantor baru sempat mengabarkan pada adikku itu karena aku terlalu sibuk dalam kerjaan seharian ini. Tuan Adnan banyak jadwal meeting dan aku tidak boleh lengah dan salah saat bekerja.
"Alyera! Kamu tidak kenapa-kenapa?" tanya pria itu mendadak panik dan hendak menyentuhku, tetapi mungkin ia mengingat teguranku selama ini agar tidak ada kontak fisik membuat ia urung melakukan dan menarik kembali tangannya."Kamu baik-baik saja?" tanyanya sekali lagi membuatku menggeleng pelan tanpa membalas ucapannya. Aku sangat sok dengan kejadian ini sehingga aku mendadak bungkam."Ada yang sakit? Atau Daffa berbuat apa sama kamu?" Lagi-lagi pria cambang ini bertanya.Baru hendak membuka mulut untuk menjawab tiba-tiba aku menangkap dari ekor mataku kalau Daffa hendak melayangkan tendangan pada Tuan Adnan."Awas Tuan," teriakku lantang dan langsung memeluk Tuan Adnan sambil memutar tubuhnya, sehingga tendangan Daffa langsung mendarat di tubuhku."ALYERA ...," pekik Tuan Adnan saat kami berjatuhan di lantai karena aku menjadi tameng untuknya.Sesaat aku melupakan sakit yang diterima tubuhku karena pukulan pria brengsek itu. Aku malah terpana pada sorot mata elang Tuan Adnan yang tib