“Siapa nih?” gumam Yolla sambil meraih ponselnya yasng tergeletak pasrah di atas mejanya. “Halo?” “Bu Yolla?” Terdengar suara seorang wanita yang menyahut dari seberang sana. “Iya, saya sendiri. Maaf, Anda siapa ya?” tanya Yolla sambil mengernyit, dia hapal betul jika ini bukanlah suara Sisty. “Saya Clerin, Anda masih ingat saya kan?” Yolla terkesiap sambil mengernyitkan dahinya, tentu saja dia ingat siapa itu Clerin dan apa maunya. “Oh, tentu saja!” sahut Yolla pura-pura terkejut. “Ada perlu apa Anda menghubungi saya, Bu Clerin?” Meskipun nada suara Yolla terdengar sopan, tapi dia tidak dapat menahan letupan emosi di dadanya. “Maaf kalau saya mengganggu akhir pekan Anda,” ucap Clerin dengan suara yang tak kalah halus. “Anda ... tidak lupa soal Callisto yang pernah kita bicarakan waktu itu kan?” Yolla langsung paham ke mana arah pembicaraan yang akan Clerin tunjukkan. “Tentu saja saya masih sangat ingat,” kata Yolla sembari duduk di tepi tempat tidur dengan menyilangkan kedu
“Wah, kebetulan sekali kita semua bertemu di sini?” sapa Clerin ramah sambil tersenyum memandang Yolla dan Callisto bergantian. “Ayo kita makan sama-sama?”Baik Yolla maupun Callisto sama-sama tidak segera menjawab.“Kamu ke sini sama siapa, Bu?” tanya Callisto ingin tahu. “Vhea?”Clerin menggeleng sambil tersenyum anggun, membuat Yolla merasa begitu jengah.“Vhea di rumah sama asisten, saya mau membelikan makanan untuknya.” Wanita itu menjelaskan.“Kamu duluan saja, jangan sampai Vhea kelamaan menunggu kamu.” Callisto mempersilakan sambil mengangguk.“Baiklah kalau begitu,” angguk Clerin yang keliahatn tidak ingin memulai percikan api. “Kalian berdua selamat bersenang-senang.”Tanpa menunggu jawaban keduanya, Clerin melangkah anggun meninggalkan mereka di pelataran parkir.“Ayo?” ajak Callisto ketika melihat Yolla yang berdiri diam di tempatnya.“Kenapa kamu memilih resto yang sama dengan resto yang didatangi bos kamu?” tanya Yolla dengan wajah keberatan.“Aku mana tahu kalau Bu Cler
Tidak dapat dipungkiri jika dia sangat kepikiran soal Callisto yang tengah menjalani pengobatan tahap pertama seorang diri. Baru saja Yolla meraih ponselnya, sederet nomor asing mendadak muncul di layar diiringi suara deringan yang begitu nyaring.“Halo?” sapa Yolla menerima panggilan itu. “Halo, di mana Callisto?” Suara Clerin langsung menyentuh gendang telinga Yolla. “Anda sedang bersama dia, Bu Yolla?” “Maaf, tebakan Anda salah.” Yolla menyahut santai. “Callisto sedang tidak bersama saya.” “Bu Yolla, saya serius. Perusahaan sangat membutuhkan Callisto sekarang,” ujar Clerin mendesak. “Tolong bilang sama dia kalau saya tunggu kedatangannya sekarang untuk meeting ....” “Ini sudah bukan jam kerja pegawai, Bu Clerin.” Yolla memotong dengan berani. “Lagipula kenapa Anda tidak langsung memghubungi ponsel Callisto? Jangan apa-apa ke saya, saya bukan siapa-siapanya Callisto.” ‘Setidaknya untuk sekarang,’ sambung Yolla dalam hatinya dengan napas memburu. “Saya sudah coba hubungi pon
“Malam, Pak!” sapa penjaga mansion ketika Callisto keluar dari mobilnya yang sudah terparkir sempurna. “Bu Clerin beberapa kali ke sini mencari Bapak.”Callisto mengangguk.“Tolong mobil saya,” katanya sambil menyerahkan kunci mobil, setelah itu dia berjalan masuk ke dalam mansion saat kepalanya berdenyut hebat. Callisto langsung mengurung diri di kamarnya saat denyutan itu seakan membuat kepalanya hampir terbelah saking sakitnya, hingga membuat salah satu kakinya terantuk meja tanpa sengaja.“Pak, Anda butuh sesuatu?” Terdengar suara salah satu asisten rumah tangganya dari luar kamar.“Nanti!” seru Callisto sembari menjatuhkan dirinya ke tempat tidur. Tidak hanya tekanan yang dia rasakan di kepalanya, tapi juga rasa pusing yang membuatnya seakan sedang diputar-putar tanpa henti.Callisto melenguh sambil meremas rambutnya sendiri dengan kesepuluh jari tangannya, sekelebat memori mulai bergerak secepat kilat di benaknya. Potongan memori itu melesat silih berganti, membuat Callisto ing
Callisto bersiap-siap pergi meninggalkan rumah sakit tempat dirinya dirawat inap selama beberapa hari. “Setelah melihat kamu, aku langsung baik-baik saja.” Callisto menyahut sambil tersenyum.Yolla kini menemani Callisto yang berjalan pelan hingga ke halaman parkir. “Aku panik sekali saat kamu lagi-lagi tidak bisa dihubungi berhari-hari,” kata Yolla. “lalu tahu-tahu kamu mengabari aku kalau kamu kecelakaan sampai mobil kamu hancur ....” “Untungnya tasku dan isinya masih selamat, termasuk ponsel aku di dalamnya,” ucap Callisto sembari mengulurkan tangannya ke arah Yolla. “Boleh aku yang menyetir mobil kamu?” “Boleh,” anggukYolla mengizinkan. “tapi apa kamu sudah betul-betul sehat?” Pandangan mata Yolla bergeser ke kepala Callisto yang diperban. “Untuk kali ini biar aku saja yang nyetir, oke?” usul Yolla sembari membukakan pintu mobulnya agar Callisto segera masuk. “Ladies first,” sahut Callisto tenang sembari menunjuk pintu mobil yang satunya dengan tatapan matanya. Yolla ters
“Tapi hikmahnya, Callisto sudah mulai ingat sesuatu.” Yolla menimpali.Selanjutnya Yolla menceritakan bagaimana Callisto memberitahunya jika status perkawinannya masih sendiri. “Ini kabar yang bagus banget, Yol!” ucap Sisty antusias. “Selangkah lagi kalian akan dapat restu dari Om Sony.” Yolla meneguk teh botolnya sedikit. “Aku harap juga begitu,” sahut Yolla sependapat. “Yang penting dia bisa memastikan kalau ternyata dia benar-benar masih sendiri.” Sisty mengangguk. ”Tapi kamu jangan lupa kalau masih ada Clerin yang menjadi tembok penghalang kalian,” katanya mengingatkan. “Selama dia belum diatasi, aku yakin kalian akan sulit untuk bersatu.” Yolla meneguk teh botolnya sampai habis kemudian memandang sahabatnya lekat-lekat. “Callisto bilang biar dia yang mengatasi bosnya itu," kata Yolla sambil meletakkan botol tehnya yang sudah kosong di atas meja. “Biar deh dia selesaikan sendiri, aku tinggal mantau perkembangannya dari jauh.” “Benar Yol, pokoknya aku ikut senang kalau kam
Yolla sendiri tidak kalah terkejut saat mendapati sang pemilik mansion sudah berdiri di hadapannya. “Bu Yolla ... ada perlu apa?” tanya Clerin dengan bahasa tubuh yang begitu anggun meskipun dalam hatinya begitu bergemuruh saat melihat jika Yola sudah berani mendatangi mansion miliknya secara terang-terangan seperti ini. “Maaf Bu, saya ... mencari Callisto.” Yolla menyahut apa adanya tanpa gentar sedikitpun. “Callisto?” ulang Clerin sambil mengernyit. “Apa Anda tahu kalau ... Callisto itu adalah nama mendiang suami saya?” Yolla tertegun sebentar, tapi kemudian dia cepat-cepat meralat ucapannya. “Maksud saya Shano,” timpal Yolla sambil tersenyum. “Saya mau mengunjungi Shano, bukan Callisto.” Senyuman itu memudar sedikit dari wajah Clerin, menurutnya Yolla sama sekali tidak tahu malu saat berani-beraninya datang ke mansion untuk menemui Callisto. Punya hak apa dia? “Pak, Callisto di mana?” tanya Clerin kepada sang penjaga mansion. “Mungkin sebentar lagi pulang, Bu.” Penjaga it
“Lagipula bukankah status saya adalah sebagai penyewa mansion, jadi kenapa kamu keberatan?” Clerin tidak segera menyahut informasi yang diberikan Callisto kepadanya. “Kalau kamu keberatan atau merasa terganggu dengan kedatangan Yolla tadi, saya tidak masalah kalau harus pindah dari mansion kamu.” Callisto melanjutkan. “Saya pikir sudah saatnya saya mencari tempat tinggal baru.” Tanpa sadar, jemari Clerin mengepal saat dia mendengar ucapan Callisto barusan. “Kamu tidak perlu seperti itu,” katanya berusaha menekan egonya hingga ke dasar. “apalagi masa sewa kamu masih panjang, jadi jangan buang-buang uang.” Callisto mengangkat bahunya. “Jadi tidak masalah kan kalau Yolla sesekali datang ke mansion?” tanya pria itu sambil memandang sang bos. “Kamu tidak perlu khawatir karena saya dan Yolla tidak akan melakukan perbuatan yang tak pantas.” Clerin memaksakan diri tersenyum sebelum berkomentar, dia sadar bahwa dia sedang menghadapi pria yang bukanlah suaminya. "Baiklah, saya r
"Begitulah," sahut Clerin melalui sambungan telepon. "Kalau nggak, mana mungkin dia bisa tahu soal obat yang kamu berikan itu." Sunyi sesaat selain hanya dengusan napas yang Clerin dengar dari seberang sana. "Sekarang bagaimana? Aku bisa dicabut izin praktekku kalau sampai masalah Callisto ini ketahuan ...." "Tenang!" potong Clerin segera. "Aku akan menanggung semua risikonya, kamu nggak perlu khawatir izin praktek kamu dicabut." Teman Clerin tentu saja mulai gelisah mendengar kabar ini. Dulu, awalnya dia sudah tidak setuju saat Clerin memintanya untuk menangani Callisto dengan masalah ingatannya. "Aku akan berusaha bikin Callisto mau periksa di tempat kamu lagi," janji Clerin. "Asal kamu ...." "Ya ampun Clerin, jangan lagi-lagi deh!" tolak teman Clerin. "Aku nggak mau terlibat lebih jauh soal pria asing yang kamu panggil pakai nama mendiang suami kamu. Sadarlah, suami kamu sudah meninggal dan bukan hal yang bagus kalau kamu sengaja menghidupkannya kembali dalam diri pria itu .
"Halo?" "Kamu suka?" tanya Callisto begitu Yolla menjawab panggilannya. "Buket bunga yang aku kirim tadi ...." "Suka sekali!" sahut Yolla, nyaris melonjak seperti anak kecil yang mendapatkan mainan kesukaannya. "Bunga yang kamu kirimkan ke aku selalu bagus-bagus, terima kasih." Sunyi sebentar. "Bunga itu mungkin akan layu dan mati dalam beberapa hari ke depan, tapi kamu harus yakin kalau niat aku untuk melamar kamu tidak akan pernah mati." Callisto menegaskan. "Kamu cuma harus bersabar sedikit, Yolla." "Iya ..." lirih Yolla tersipu saat Callisto terang-terangan memanggil namanya. "Kamu juga ya ... Niat baik pasti akan menemukan jalannya sendiri." "Kamu benar," sahut Callisto. "Ya sudah, aku kerja dulu. Ingat, jangan mikir macam-macam hanya karena aku satu kantor sama Bu Clerin." "Iya ..." sahut Yolla sambil tersenyum meskipun Callisto tidak dapat melihat tingkahnya. "yang penting kamu tidak macam-macam sama dia. Jangan kegenitan juga, ingat kalau dia yang sengaja membuat ingat
Yolla langsung lemas saat mendengar jawaban papanya yang tidak sesuai harapan. "Tapi kenapa, Pa?" tanya Yolla ingin tahu. "Kan yang penting Shano masih sendiri. Bukannya itu yang Papa tunggu sejak Shano melamar aku?" Sony menarik napas dan memandang Yolla lurus-lurus. "Papa lega kalau memang benar Shano itu masih sendiri," katanya lambat-lambat. "Tapi di luar itu, ada beberapa hal lain yang menjadi pertimbangan papa juga. Misalnya saja siapa kedua orang tua Shano dan keluarganya yang lain." Yolla menarik napas. "Namanya juga orang hilang ingatan, Pa. Shano juga sedang menjalani proses pengobatan ... Tapi kalau Papa mengharapkan dia sembuh dalam waktu dekat, siapa yang bisa menjamin itu? Apa aku juga harus nunggu sampai Shano benar-benar sembuh total?" Sony tidak segera menjawab. "Ayo dong, Pa ..." bujuk Yolla dengan wajah memelas. "Apa Shano yang mendesak kamu untuk segera menikah?" tanya Sony ingin tahu. Yolla buru-buru menggelengkan kepalanya. "Shano sudah tahu kalau Pap
"Maksud kamu apa sih?" tanya Callisto bingung. "Aku sama Bu Clerin hanya bertemu setiap hari di kantor, itu juga karena pekerjaan saja. Tidak lebih, jadi kenapa kamu harus mempermasalahkan soal ini?" Yolla melengos. "Aku tidak mempermasalahkannya," bantah Yolla. "Kalau aku menjadikannya masalah, pasti aku sudah dari kemarin protes sama kamu." Callisto tersenyum samar, menurutnya ucapan Yolla sangat berbanding terbalik dengan sikapnya. "Kamu mempermasalahkannya dengan cara menghindari aku," komentar Callisto sambil mengangkat cangkir kopinya. "sengaja tidak mau menjawab telepon dari aku bahkan tidak membalas pesanku sama sekali." Yolla tidak menampik, karena semua yang diucapkan Callisto adalah benar adanya. "Terus maksud kamu kalau aku sama Bu Clerin itu seperti keluarga kecil yang bahagia itu apa?" tanya Callisto ingin tahu. "Kamu tidak perlu berpikir jelek soal aku ...." "Memang itu kenyataannya," potong Yolla sambil merogoh tasnya untuk mengambil ponsel. "Kamu tidak perlu m
Hari itu Yolla sedang mengendarai mobilnya di jalan raya sepulangnya dia dari kantor. Tanpa dia sadari, ada sebuah mobil merah yang berjalan tepat beberapa meter di belakangnya. Awal-awal, lalu lintas di sekitar ruas jalan yang dilalui Yolla terlihat biasa-biasa saja. Sampai pada saat mobil yang dia kendarai memasuki jalanan yang lebih lebar tapi dengan dominasi kendaraan-kendaraan besar seperti mobil dan truk. Mobil merah yang semula berjarak agak jauh dari mobil Yolla, perlahan menambah kecepatan hingga kini jaraknya agak lebih mendekat. Namun, Yolla sama sekali tidak memperhatikan karena baginya jalan raya adalah tempat umum yang siapapun bebas mengendarai mobilnya di sana. Namun, lama kelamaan Yolla merasa juga jika mobil itu seakan sengaja membuntutinya. "Kok mobil itu nggak nyalip-nyalip sih?" gumam Yolla curiga. "Perasaan dari tadi di belakang terus ... apa jangan-jangan tujuannya sama?" Yolla tanpa ragu menambah kecepatan mobilnya demi memperlebar jarak dengan mobil merah
"Papa ...?" Callisto tidak mampu lagi untuk tidak mempedulikan bocah perempuan yang tak berdosa itu. "Vhea, kamu harus cepat tidur ya?" ucap Callisto akhirnya, membuat langkah Clerin terhenti. "Aku kangen Papa," ulang Vhea sambil melongok melewati bahu sang mama. "Aku mau Papa temani aku ... Aku sayang Papa ...." Beberapa kata terakhir yang dilontarkan Vhea sukses membuat hati Callisto terenyuh, dan dia seketika sadar yang menjadi musuh dalam selimutnya adalah Clerin. Bukannya Vhea. "Kamu mau tidur sama papa?" tanya Callisto sambil berdiri. Vhea diam saja dan hanya menganggukkan kepalanya. "Tidak perlu kalau kamu sedang tidak ingin diganggu," geleng Clerin sambil menolehkan wajahnya. "Saya mengerti kalau kamu juga mempunyai kehidupan sendiri." Callisto kali ini yang terdiam, seharusnya dia senang saat Clerin menyadari hal itu. Namun, kenapa rasanya dia tidak tega jika harus menolak Vhea dan membuat bocah perempuan itu kecewa? "Malam ini kamu boleh tidur di tempat papa k
Callisto sudah tidak percaya lagi dengan apa yang dikatakan oleh bosnya. "Apa begini cara kamu menyayangi Vhea?" komentarnya dengan nada dingin. "Dengan menghalalkan segala cara untuk membuat dia berpikir bahwa papanya masih hidup?" Clerin mengerjabkan kedua matanya yang kini terasa basah. "Kamu mungkin tidak akan bisa mengerti ..." tutur Clerin dengan suara lemah. "Kamu belum punya memiliki anak, jadi kamu tidak tahu ... bagaimana rasanya kehilangan pendamping hidup ... dengan seorang anak kecil yang masih membutuhkan kasih sayang dari kedua orang tuanya ...." Callisto memalingkan wajahnya dengan jengah. "Kehilangan seorang pendamping hidup, ya?" komentarnya. "Lalu bagaimana dengan saya yang kehilangan semuanya? Keluarga saya, bahkan ingatan saya ... Semuanya pergi meninggalkan saya, bandingkan dengan diri kamu! Seperti itu kamu merasa bahwa hidup kamu dan Vhea adalah yang paling menderita? Lalu bagaimana dengan yang saya rasakan?" Clerin tidak berkata apa-apa, untuk sementar
“Lagipula bukankah status saya adalah sebagai penyewa mansion, jadi kenapa kamu keberatan?” Clerin tidak segera menyahut informasi yang diberikan Callisto kepadanya. “Kalau kamu keberatan atau merasa terganggu dengan kedatangan Yolla tadi, saya tidak masalah kalau harus pindah dari mansion kamu.” Callisto melanjutkan. “Saya pikir sudah saatnya saya mencari tempat tinggal baru.” Tanpa sadar, jemari Clerin mengepal saat dia mendengar ucapan Callisto barusan. “Kamu tidak perlu seperti itu,” katanya berusaha menekan egonya hingga ke dasar. “apalagi masa sewa kamu masih panjang, jadi jangan buang-buang uang.” Callisto mengangkat bahunya. “Jadi tidak masalah kan kalau Yolla sesekali datang ke mansion?” tanya pria itu sambil memandang sang bos. “Kamu tidak perlu khawatir karena saya dan Yolla tidak akan melakukan perbuatan yang tak pantas.” Clerin memaksakan diri tersenyum sebelum berkomentar, dia sadar bahwa dia sedang menghadapi pria yang bukanlah suaminya. "Baiklah, saya r
Yolla sendiri tidak kalah terkejut saat mendapati sang pemilik mansion sudah berdiri di hadapannya. “Bu Yolla ... ada perlu apa?” tanya Clerin dengan bahasa tubuh yang begitu anggun meskipun dalam hatinya begitu bergemuruh saat melihat jika Yola sudah berani mendatangi mansion miliknya secara terang-terangan seperti ini. “Maaf Bu, saya ... mencari Callisto.” Yolla menyahut apa adanya tanpa gentar sedikitpun. “Callisto?” ulang Clerin sambil mengernyit. “Apa Anda tahu kalau ... Callisto itu adalah nama mendiang suami saya?” Yolla tertegun sebentar, tapi kemudian dia cepat-cepat meralat ucapannya. “Maksud saya Shano,” timpal Yolla sambil tersenyum. “Saya mau mengunjungi Shano, bukan Callisto.” Senyuman itu memudar sedikit dari wajah Clerin, menurutnya Yolla sama sekali tidak tahu malu saat berani-beraninya datang ke mansion untuk menemui Callisto. Punya hak apa dia? “Pak, Callisto di mana?” tanya Clerin kepada sang penjaga mansion. “Mungkin sebentar lagi pulang, Bu.” Penjaga it