Tidak dapat dipungkiri jika dia sangat kepikiran soal Callisto yang tengah menjalani pengobatan tahap pertama seorang diri. Baru saja Yolla meraih ponselnya, sederet nomor asing mendadak muncul di layar diiringi suara deringan yang begitu nyaring.“Halo?” sapa Yolla menerima panggilan itu. “Halo, di mana Callisto?” Suara Clerin langsung menyentuh gendang telinga Yolla. “Anda sedang bersama dia, Bu Yolla?” “Maaf, tebakan Anda salah.” Yolla menyahut santai. “Callisto sedang tidak bersama saya.” “Bu Yolla, saya serius. Perusahaan sangat membutuhkan Callisto sekarang,” ujar Clerin mendesak. “Tolong bilang sama dia kalau saya tunggu kedatangannya sekarang untuk meeting ....” “Ini sudah bukan jam kerja pegawai, Bu Clerin.” Yolla memotong dengan berani. “Lagipula kenapa Anda tidak langsung memghubungi ponsel Callisto? Jangan apa-apa ke saya, saya bukan siapa-siapanya Callisto.” ‘Setidaknya untuk sekarang,’ sambung Yolla dalam hatinya dengan napas memburu. “Saya sudah coba hubungi pon
“Malam, Pak!” sapa penjaga mansion ketika Callisto keluar dari mobilnya yang sudah terparkir sempurna. “Bu Clerin beberapa kali ke sini mencari Bapak.”Callisto mengangguk.“Tolong mobil saya,” katanya sambil menyerahkan kunci mobil, setelah itu dia berjalan masuk ke dalam mansion saat kepalanya berdenyut hebat. Callisto langsung mengurung diri di kamarnya saat denyutan itu seakan membuat kepalanya hampir terbelah saking sakitnya, hingga membuat salah satu kakinya terantuk meja tanpa sengaja.“Pak, Anda butuh sesuatu?” Terdengar suara salah satu asisten rumah tangganya dari luar kamar.“Nanti!” seru Callisto sembari menjatuhkan dirinya ke tempat tidur. Tidak hanya tekanan yang dia rasakan di kepalanya, tapi juga rasa pusing yang membuatnya seakan sedang diputar-putar tanpa henti.Callisto melenguh sambil meremas rambutnya sendiri dengan kesepuluh jari tangannya, sekelebat memori mulai bergerak secepat kilat di benaknya. Potongan memori itu melesat silih berganti, membuat Callisto ing
Callisto bersiap-siap pergi meninggalkan rumah sakit tempat dirinya dirawat inap selama beberapa hari. “Setelah melihat kamu, aku langsung baik-baik saja.” Callisto menyahut sambil tersenyum.Yolla kini menemani Callisto yang berjalan pelan hingga ke halaman parkir. “Aku panik sekali saat kamu lagi-lagi tidak bisa dihubungi berhari-hari,” kata Yolla. “lalu tahu-tahu kamu mengabari aku kalau kamu kecelakaan sampai mobil kamu hancur ....” “Untungnya tasku dan isinya masih selamat, termasuk ponsel aku di dalamnya,” ucap Callisto sembari mengulurkan tangannya ke arah Yolla. “Boleh aku yang menyetir mobil kamu?” “Boleh,” anggukYolla mengizinkan. “tapi apa kamu sudah betul-betul sehat?” Pandangan mata Yolla bergeser ke kepala Callisto yang diperban. “Untuk kali ini biar aku saja yang nyetir, oke?” usul Yolla sembari membukakan pintu mobulnya agar Callisto segera masuk. “Ladies first,” sahut Callisto tenang sembari menunjuk pintu mobil yang satunya dengan tatapan matanya. Yolla ters
“Tapi hikmahnya, Callisto sudah mulai ingat sesuatu.” Yolla menimpali.Selanjutnya Yolla menceritakan bagaimana Callisto memberitahunya jika status perkawinannya masih sendiri. “Ini kabar yang bagus banget, Yol!” ucap Sisty antusias. “Selangkah lagi kalian akan dapat restu dari Om Sony.” Yolla meneguk teh botolnya sedikit. “Aku harap juga begitu,” sahut Yolla sependapat. “Yang penting dia bisa memastikan kalau ternyata dia benar-benar masih sendiri.” Sisty mengangguk. ”Tapi kamu jangan lupa kalau masih ada Clerin yang menjadi tembok penghalang kalian,” katanya mengingatkan. “Selama dia belum diatasi, aku yakin kalian akan sulit untuk bersatu.” Yolla meneguk teh botolnya sampai habis kemudian memandang sahabatnya lekat-lekat. “Callisto bilang biar dia yang mengatasi bosnya itu," kata Yolla sambil meletakkan botol tehnya yang sudah kosong di atas meja. “Biar deh dia selesaikan sendiri, aku tinggal mantau perkembangannya dari jauh.” “Benar Yol, pokoknya aku ikut senang kalau kam
Yolla sendiri tidak kalah terkejut saat mendapati sang pemilik mansion sudah berdiri di hadapannya. “Bu Yolla ... ada perlu apa?” tanya Clerin dengan bahasa tubuh yang begitu anggun meskipun dalam hatinya begitu bergemuruh saat melihat jika Yola sudah berani mendatangi mansion miliknya secara terang-terangan seperti ini. “Maaf Bu, saya ... mencari Callisto.” Yolla menyahut apa adanya tanpa gentar sedikitpun. “Callisto?” ulang Clerin sambil mengernyit. “Apa Anda tahu kalau ... Callisto itu adalah nama mendiang suami saya?” Yolla tertegun sebentar, tapi kemudian dia cepat-cepat meralat ucapannya. “Maksud saya Shano,” timpal Yolla sambil tersenyum. “Saya mau mengunjungi Shano, bukan Callisto.” Senyuman itu memudar sedikit dari wajah Clerin, menurutnya Yolla sama sekali tidak tahu malu saat berani-beraninya datang ke mansion untuk menemui Callisto. Punya hak apa dia? “Pak, Callisto di mana?” tanya Clerin kepada sang penjaga mansion. “Mungkin sebentar lagi pulang, Bu.” Penjaga it
“Lagipula bukankah status saya adalah sebagai penyewa mansion, jadi kenapa kamu keberatan?” Clerin tidak segera menyahut informasi yang diberikan Callisto kepadanya. “Kalau kamu keberatan atau merasa terganggu dengan kedatangan Yolla tadi, saya tidak masalah kalau harus pindah dari mansion kamu.” Callisto melanjutkan. “Saya pikir sudah saatnya saya mencari tempat tinggal baru.” Tanpa sadar, jemari Clerin mengepal saat dia mendengar ucapan Callisto barusan. “Kamu tidak perlu seperti itu,” katanya berusaha menekan egonya hingga ke dasar. “apalagi masa sewa kamu masih panjang, jadi jangan buang-buang uang.” Callisto mengangkat bahunya. “Jadi tidak masalah kan kalau Yolla sesekali datang ke mansion?” tanya pria itu sambil memandang sang bos. “Kamu tidak perlu khawatir karena saya dan Yolla tidak akan melakukan perbuatan yang tak pantas.” Clerin memaksakan diri tersenyum sebelum berkomentar, dia sadar bahwa dia sedang menghadapi pria yang bukanlah suaminya. "Baiklah, saya r
Callisto sudah tidak percaya lagi dengan apa yang dikatakan oleh bosnya. "Apa begini cara kamu menyayangi Vhea?" komentarnya dengan nada dingin. "Dengan menghalalkan segala cara untuk membuat dia berpikir bahwa papanya masih hidup?" Clerin mengerjabkan kedua matanya yang kini terasa basah. "Kamu mungkin tidak akan bisa mengerti ..." tutur Clerin dengan suara lemah. "Kamu belum punya memiliki anak, jadi kamu tidak tahu ... bagaimana rasanya kehilangan pendamping hidup ... dengan seorang anak kecil yang masih membutuhkan kasih sayang dari kedua orang tuanya ...." Callisto memalingkan wajahnya dengan jengah. "Kehilangan seorang pendamping hidup, ya?" komentarnya. "Lalu bagaimana dengan saya yang kehilangan semuanya? Keluarga saya, bahkan ingatan saya ... Semuanya pergi meninggalkan saya, bandingkan dengan diri kamu! Seperti itu kamu merasa bahwa hidup kamu dan Vhea adalah yang paling menderita? Lalu bagaimana dengan yang saya rasakan?" Clerin tidak berkata apa-apa, untuk sementar
"Papa ...?" Callisto tidak mampu lagi untuk tidak mempedulikan bocah perempuan yang tak berdosa itu. "Vhea, kamu harus cepat tidur ya?" ucap Callisto akhirnya, membuat langkah Clerin terhenti. "Aku kangen Papa," ulang Vhea sambil melongok melewati bahu sang mama. "Aku mau Papa temani aku ... Aku sayang Papa ...." Beberapa kata terakhir yang dilontarkan Vhea sukses membuat hati Callisto terenyuh, dan dia seketika sadar yang menjadi musuh dalam selimutnya adalah Clerin. Bukannya Vhea. "Kamu mau tidur sama papa?" tanya Callisto sambil berdiri. Vhea diam saja dan hanya menganggukkan kepalanya. "Tidak perlu kalau kamu sedang tidak ingin diganggu," geleng Clerin sambil menolehkan wajahnya. "Saya mengerti kalau kamu juga mempunyai kehidupan sendiri." Callisto kali ini yang terdiam, seharusnya dia senang saat Clerin menyadari hal itu. Namun, kenapa rasanya dia tidak tega jika harus menolak Vhea dan membuat bocah perempuan itu kecewa? "Malam ini kamu boleh tidur di tempat papa k