Aku tak begitu percaya dengan apa yang dituturkan Mas Randi. Kesalahannya menolong orang tanpa berpikir panjang dan berkomunikasi denganku, istrinya.Munafik memanfaatkan nama orang yang sudah meninggal untuk kepentingan diri sendiri. Memang busuk pikiran Mas Rendy.Lagi, pikiran ini kacau jika mengingat perkataan Ibu gadis itu kalau suamiku adalah seorang duda. Hati ini rapuh, hancur berkeping-keping. Kapan suamiku menceraikan aku? Bahkan ia sangat baik padaku.“Tapi, tidak dengan mengaku sebagai duda, kan, Mas? Apa salahnya kamu bicarakan ini dahulu dengan aku.” Kutatap sinis pria dengan wajah memerah itu.“Aku takut kamu tidak setuju.” Alasan picik membuat ia semakin bodoh.“Mas, hal seperti itu bukan perkara setuju atau tidaknya. Tapi, ini masalah kenapa aku merasa kamu seperti menjadi s
“Bangun, Ma. Jangan membuang waktu menangisi pria tak punya hati seperti dia.”Raka membantu tubuh ini yang luruh ke lantai saat tak kuat mendengar semua penuturannya. Sesuatu hal paling ditakutkan adalah anakku mengetahui kebusukan sang ayah. Benar-benar di luar dugaan, Raka sudah mengetahui jika Mas Randi berselingkuh dengan Citra. Apa mereka saling mengenal dan memang satu sekolah dengan Raka?Mas Randi bangkit menghampiri kami. Sebelum itu, Raka sudah dulu pasang badan di depan aku. Putraku masih penuh luapan emosi, terlihat dari caranya menatap ayahnya.“Jangan berani melangkah maju, atau aku akan bertindak kasar lagi!” teriak Raka.“Anak kurang ajar. Masih sekolah saja sudah berani tak sopan. Aku yang membiayaisekolah kamu, beraninya kamu!”“Saya memang masih sekolah, salah
“Kalau kamu tetap ingin bercerai, aku tidak akan memberi sepeser pun harta untuk kalian.” Mas Renadi begitu tega mengatakan hal itu. Ia menyunggingkan senyum seolah-olah ia tak bersalah dan kami akan menyesal.Kalimat itu akhirnya terlontar dari mulut Mas Randi. Sekian lama dia membela diri dan mengelak perselingkuhannya, akhirnya dia mengakui semua itu. Lucu bukan, kini aku yang disingkirkan.“Silahkan. Memang itu yang kamu mau, kan, Mas. Aku dan Raka akan pergi dari hidupmu. Tapi, ingat satu hal. Jangan mencari kami jika kamu jatuh terpuruk.”“Kamu menyumpahi aku?” Nada suaranya mulai meninggi.“Tidak, tapi aku cemas saja jika karma akan lebih cepat datang padamu, Mas."Aku menyeka bulir bening yang jatuh begitu saja dari pipi. Benar kata Raka, jangan membuang waktu untuk menan
Hari ini aku kembali ke Jakarta lagi karena ada beberapa hal yang belum selesai diurus seperti, berkas-berkas kepindahan Raka.Banyak hal yang belum selesai setelah aku pindah ke Bandung. Mungkin karena memang dadakan dan pasti mengundang banyak pertanya. Apalagi teman-teman arisan yang memang hobby bergosip ria. Namun, aku tidak pernah menanggapi setiap pesan masuk atau bahkan yang sengaja menelepon diri ini.Gosip tetangang Mas Randi mungkin sudah jadi bahan gosip di arisan saat ini. Akan tetapi, aku tak mau mengurusinya. Hidupku saja sudah sangat sulit, apalagi jika mengurusi apa yang malas aku jelaskan.Waktu menunjukkan pukul 12.00, aku dan Raka berada di sebuah mall sesuai permintaan Raka yang ingin membeli sesuatu di tempat ini. Kasihan putraku, harus hidup sederhana dan meninggalkan semua kemewahan yang biasa dia dapat. Sekarang saja, kami hanya mampu makan di tepat paling murah. B
Aku tak kuat dengan apa yang aku lihat. Kaki ini melangkah begitu saja menghampiri pasangan menjijikan itu. Puas, saat aku menarik lengan sang gadis murahan dan mendorongnya hingga tersungkur ke lantai. Beberapa orang sudah memperhatikan kelakuan bar-bar istri sah ini yang tak kuat menahan pedih.Aku sudah tidak peduli dengan cibiran orang sekitar. Hati ini masih belum puas ingin menghajarnya kembali.“Apa-apaan kamu Yasmin!” bentak Mas Randi sembari membantu simpanannya. Gadis itu meringis kesakitan, tetapi aku tak kan peduli hal itu.“Belum juga kamu kirimkan surat perceraian kita, kamu sudah berani menggandengnya.” Kumaki Mas Randi dengan puas.“Tante, salah paham,” ucap Citra.“Lacur, tetap lacur dan nggak akan pernah menjadi Nyonya, walaupun kamu sudah menikah dengan Randi," ucapku semb
Aku melangkah cepat ke sekolah Raka. Akibat ulahnya mengirim video viral itu membuat geger satu sekolah. Namun, anakku tetap santai menanggapi, bahkan ia sibuk bersendau gurau bersama teman-temannya.Setelah kepala sekolah Raka menelepon dan meminta kejelasan maksud dari video itu, aku gegas ke Jakarta kembali bersama anakku. Sepertinya, sekalian saja aku menemui Hendri untuk membicarakan kasus perceraian dan harta gono gini.Di hadapanku, gadis perusak itu menudukkan kepala, seolah takut bertatap muka denganku. Kami semua berada di ruang kepala sekolah, aku, Raka, juga Angel—teman satu kelas Raka.“Bisa jelaskan pada saya, Bu. Tentang video yang disebar luaskan oleh Raka melalui Angel?” tanya Pak Hanif—kepala sekolah Raka.“Pak, maaf sebelumnya. Saya tidak tahu hal itu. Semuanya begitu saja dan saya tahu saat Bapak menghubungi saya.&rdq
Luapan emosi tak terbendung saat Mas Randi datang, lalu seenaknya memakiku. Aku seperti sudah tak mengenalnya. Datang dengan emosi yang meluap-luap.Kini, ia menjadi arogan dan penuh amarah. Pria itu kemarin menelepon dan ingin membicarakan perceraian. Seperti Hendri bilang, jangan menghindar dari Mas Randi. Temui saja dia dan cari tahu apa yang diinginkannya.Begitu pedih hati ini mendengar setiap cacian padaku. Aku tahu, bukan wanita sempurna, tetapi dia tak berhak mengatakan hal yang tidak baik.Untuk kesekian kali aku mencoba meraup oksigen, tapi dia seperti menghimpitku. Membuat dada ini sesak. Setiap kalimat yang ke luar dari mulutnya membuat hati bagaikan teriris pisau. Tajam dan menusuk. Rasanya aku tak sanggup bangkit setelah tertusuk.“Kamu, kan, yang mengajari Raka berlaku kurang sopan?” Suaranya mulai mening
Berkas perceraian sudah masuk pengadilan. Aku tinggal menunggu panggilan persidangan. Semakin dekat, aku malah semakin takut menghadapinya. Entah, perasaan apa ini? Semua berkecamuk menjadi satu.Raka sudah masuk sekolah lagi, setelah ia lolos dalam seleksi bea siswa. Wajahnya sangat semringah saat berbicara dirinya bisa kembali belajar bersama teman-temannya.Aku pun merasa senang, anakku sudah ceria kembali. Apa lagi ia sudah puas melihat Citra dikeluarkan kepala sekolahnya.Keseharianku kini membantu usaha temanku di butik. Ia tahu aku kesusahan dan menawarkan menjadi bagian dari usahanya. Walaupun hanya sebagai spg. Tak masalah, asalkan Raka bisa jajan dan makan.Aku memejamkan mat
"Sus, masih ada pasian nggak?" tanyaku pada suster Bella."Nggak ada Dokter.""Saya mau pulang, terimakasih, Sus.""Sama-sama."Aku sudah tidak sabar mendengar kabar baik dari Angel. Namun, merek semua tidak menemuiku di rumah sakit, melainkan menunggu di rumah. Bikin penasaran saja.Sengaja aku menemui dokter yang menangani Angel. Untung dia sedang tidak ada pasien jadi mau menemuiku dan sedikit berbincang. Katanya, tidak banyak yang berubah dari Angel. Jangan bersenang hati dahulu takutnya dia kembali depresi.Membuat hati Angel senang, itu yang akan aku lakukan. Karena hidup di dunia ini memang untuknya. Ah, bucin sekali aku semenjak tahu Angel audah sembuh, dan berimajinasi macam-macam. Termaksud, memiliki anak banyak darinya. Mungkin gara-gara Suster Bella tadi bicara seperti itu, membuat aku kepikiran.Gegas aku pulang ke rumah, tidak sabar untuk bertemu dengannya. Apalagi melakukan
"Kamu ikhlas, nggak, Ka?""Aku ikhlas, Lun. Sekarang pun kalau dia mau pergi, aku ikhlas."Bibir ini lancar sekali mengucapkan kata ikhlas. Namun, bagaimanapun aku pernah merasa menyesal memutuskan berpisah dengan Angel.Saat ini, apa aku harus menggenggam dia lebih lama dan mempertahankannya?"Aku bangga punya Abang kaya kamu ,Ka.""Bikin, ge-er, deh."Kami tertawa bersama, mengingat masalah yang akan kuhadapi nanti, aku pun pasrah. Mungkin akan ada penolakan dari Angel nanti. Lebih baik kau kembali ke kamar, tapi kamar siapa?Aku menggaruk leher, bagaimana aku bisa lupa kalau Angel seperti mengusir tadi. Aku berada di sini pun karena Angel.Tidak mungkin aku tidur di kamar Luna atau Mama. Bisa-bisa mereka mentertawakan aku."Ke kamar kamu saja, jelaskan padanya. Toh, nanti pun kamu pasti akan menjelaskannya."Saran dari Luna membuat aku sadar.
Mama bertanya kembali apa aku mau tinggal bersama mereka. Mama bisa membantu Ibunya Angel dalam merawat Angel. Namun, aku ragu, karena Angel masih suka histeris dan menyerang.Jika kutolak, Mama pasti sedih. Ia menginginkan aku tetap bersamanya. Sepertinya aku harus meminta pendapat pada Ibu mertuaku, juga Om Hendri jika aku tinggal di sana dengan kodisi istriku yang seperti ini."Kondisi Angel belum stabil, apa tidak akan menggangu kalian?" tanyaku diikuti anggukan Ibu mertua."Nggak, Ka. Kita bantu Angel bersama, Mama mau kalian bahagia secepatnya." Penuturan Mama mambuat aku tersentuh.Aku melirik Om Hendri, seolah meminta pendapatnya. Pria berjas hitam itu tersenyum dan memberikan anggukan tanda dirinya juga setuju dengan permintaan Mama."Demi kebahagiaan kamu, Ka. Mama rela melakukan apa pun, Mama tahu kamu mencintai Angel. Seharusnya Mama mendukung kamu dalam proses menyembuhkannya."Lagi, Mama membuat ak
"Sah." Kalimat itu menggema beberapa jam lalu, disaksikan beberapa orang dari keluarga dan tetangga sekitar rumah Angel. Mereka menyaksikan acara sakral kami.Mama akhirnya menerima pernikahanku dengan Angel. Diiringi isak tangis, ia memelukku erat. Aku tahu ia kecewa, tetapi ini pilihan, dan jalanku. Tidak ada resepsi pernikahan, hanya ada akad biasa yang setelah itu selasai setelah ijab kabul.Mama masih bisa memberikan senyum pada ibunya Angel. Ia pintar menyembunyikan perasaan, dan menjaga perasaan orang lain. Tidak seperti sinetron, dia bersikap tenang, seolah memang ia menerima pernikahan ini dengan ikhlas.Semalam ia menyerah dan memberikan restunya. Ia bilang selalu mendoakan yang terbaik untukku. Kini, aku harus berjuang sebagai seorang suami. Mengembalikan Angel seperti dulu. Menyembuhkan depresi yang dialaminya.Dengan balutan kebaya putih, ia terlihat san
Malati bangkit, tetapi cepat aku menarik lengannya meminta ia kembali duduk, untuk mendengarkan penjelasanku. Bola matanya memutar malas, ya, aku tahu kesalahan membuat wanita berprasangka tidak baik.Seperti yang dikatakan Mama, jangan memberikan seseorang harapan jika kita tidak bisa memberikannya kepada dia. Ah, mumet urusannya."Mel, dengerin aku, ya. Maaf, sebelumnya telah membuat kamu merasa aku memberikan perhatian lebih. Jujur, aku tertarik denganmu. Namun, semuanya tidak bertahan, karena aku masih mencintai Angel.""Laki-laki memang semua buaya. Karena suaminya tidak ada, dan dia tidak sadar, kan? Kamu memanfaatkan keadaan saat Angel sakit? Iya, kan?""Aku nggak seperti yang kamu bicarakan. Aku sungguh mencintai Angel. Aku mau dia sembuh, masalah dia setelah sembuh mau bersamaku atau tidak, aku ikhlas.""Bulsyit,mana ada orang seperti itu. Ka, aku nggak kenal sama kamu, dan sampai saat ini, aku tida
Mama memintaku untuk berpikir ulang menikahi Angel. Namun, aku tetep pada pendirian awal untuk meminang Angel menjadi istriku.Hari ini sengaja aku datang ke rumah Papa untuk meminta pendapatnya. Apa sama dengan yang mama pikirkan atau berbeda. Sudah lama sekali aku tidak meminta pendapat pria yang begitu lama aku musuhi."Pa, aku ingin bicara, bisa?""Raka, kapan datang?""Tadi, Pa. Papa asik menonton TV.""Iya, sampai nggak tahu kamu datang. Bicara apa?""Sebenernya bukan bicara, tapi meminta saran.""Duduk sini."Papa menepuk sofa meminta aku untuk duduk di sampingnya. Aku menghampirinya dan menghempaskan tubuh ini. Film yang ia tonton tidak berubah. Tetap suka denganaction.Raut wajahnya sudah terlihat sangat tua. Namun, sudah lebih segar dari waktu ia bertemu denganku. Mungkin benar kata Budhe Airin, obat kesehatan Papa adalah aku. Bertemu dengan anaknya
Sudah hampir dua bulan Angel masih dengan kondisi yang sama. Hari ini aku segera menemuinya di rumah sakit dengan keadaan ia hampir menyayat tangannya dengan pisau. Ngilu rasanya, aku harus bagaimana?Kasihan ibunya yang sangat cemas mengurus Angel. Sementara, ia terus-menerus memanggil nama sang suami. Aku tahu, ia terlalu cinta, dan aku sadar selama ini jika namaku tidak pernah ada di hatinya."Ibu nggak tega, Nak Raka. Apa Angel harus ada di rumah sakit jiwa?" tanya sang ibu.Angel tidak boleh masuk ke rumah sakit jiwa. Di sana hanya tempat orang tidak waras, sedangkan Angel hanya trauma dan aku yakin ia bisa sembuh total.Apa yang bisa aku lakukan untuknya? Angel sudah terlelap dengan suntikan obat bius. Gegas aku berbicara dengan Dokter Arumi yang menangani Angel."Bisa sembuh kembali, kan, Dok?" tanyaku."Bisa, asal sabar.""Bagaimana caranya, Dok?""Temani dia agar tidak merasa sendi
Sepulang dari menginap di rumah Tante Arni, aku langsung ke rumah sakit. Dari semalam tidak bisa tidur memikirkan Angel, ada apa denganku? Aku tidak mau terlihat bodoh dengan mencinta istri orang lain.Sepanjang jalan, aku terus saja berpikir. Andai saja aku memiliki kekasih, pasti hati ini tidak akan pernah memikirkannya lagi. Apa mulai sekarang harus mencari wanita baru? Tapi, siapa?Melati? Ah, aku ragu, dia baru saja bercerai dari suaminya. Nanti, aku dibilang pebinor. Lebih baik aku cari saja suster muda yang cantik.Kuparkirkan mobil ini di tempat biasa. Aku melangkah masuk ke rumah sakit. Netra ini tidak henti memperhatikan sekeliling. Banyak suster yang menyapa, tapi aku tidak merasa adafell."Dokter Raka, cepat ke IGD. Ada kecelakaan parah."Aku segera berlari menghampiri ruang IGD. Langkah ini berhenti saat melihat seorang wanita yang aku kenal menangis histeris di depan sebuah zenajah.
"Setelah selesai persidangan, kamu mau bagaimana?" tanyaku.Melati menghentikan makannya. "Aku nggak tahu, mungkin akan melanjutkan kuliah, Ka."Om Hendri pernah bilang, Melati tidak melanjutkan kuliah karena menikah dulu. Padahal, kedua orang tuanya yang akan menanggung biaya kuliah Melati. Namun, tetap saja dia tidak mau.Kasihan, andai saja dia kuliah, mungkin sekarang dia bisa menikmati pekerjaan yang tertunda."Kamu sabar saja, pasti hal baik akan datang padamu." Tanpa sadar tangan ini menggenggam tangan Melati."Terima kasih, Ka."Aku seperti mimpi atau ini nyata. Seulas senyum terpancar dari wajah cantik yang berdiri di hadapanku. Langsung aku melepas genggaman tangan ini.Angel, sedang apa ia di sini? Pasti dia berpikir aku dan Melati adalah sepasang kekasih."Hai, Ka," sapanya."Ngel, sedang apa?" tanyaku."Nebus obat Mama, nggak sengaja haus ke kantin.