Andai mungkin aku sedang hidup di dunia kartun, mungkin saat ini rahangku sudah jatuh ke bawah saking tercengangnya. Bagaimana tidak? Ucapan Mas Abri barusan terlalu melipir dari kehidupan aslinya. Dari mana dia bisa mengetahui segala hal yang terbilang rumit untuk kami yang berlatarbelakang orang kecil ini. Aku tidak tahu bagaimana reaksi keluargaku saat mendengarkan penuturan Mas Abri tadi. Yang kulakukan saat ini hanyalah fokus padanya yang tetap memasang wajah tenang walau di depannya Raka sudah misuh-misuh. Suara tawa sumbang Raka menjadi akhir tatapanku pada Mas Abri. Aku menoleh pada kekasih adikku itu yang tampaknya yang terpengaruh atas apa yang sudah dilontarkan suamiku. "Udah merasa sombong banget ya karena tahu kata-kata bijak seperti itu? Kamu kira mempan? Kamu cuma jago ngomong tapi minim aksi. Makanya, belajar itu bukan cuma sebatas ngoceh doang. Tapi lebih dari itu! Biar nggak malu-maluin," cibir Raka sekenanya."Benar itu!" celetuk Ibu. "Ngomong aja masih belibet u
Bersamaan dia mengentikan laju mobilnya, aku pun merampas ponselnya walau mungkin nanti dia akan marah. Bodo amat tentang itu. Sudah sejak kemarin aku menahan untuk yang ini. Mungkin inilah saatnya Tuhan menunjukkan hal yang sebenarnya. Jika dia memang menyembunyikan wanita lain dibelakangku, maka tak akan kupikir dua kali lagi untuk meminta dilepaskan dari pernikahan ini. "Eh, Airin, jangan! Kenapa kamu ini?" tekannya seraya berupaya merebut ponselnya dari tanganku. Kubalas pergerakkannya dengan menyeludupkan ponsel kebelakang badan. Kutatap dia lekat-lekat walau dada ini mulai bergemuruh ricuh. "Jawab aku, Mas. Siapa dia? Kenapa kamu mamain kontaknya dengan sebutan Sayang?""Bukan siapa-siapa," jawabnya, masih saja mengelak. Dia masih terus berusaha merebut ponselnya. "Berikan hpnya. Kamu nggak sopan begitu, Airin!" "Nggak sopan?" cebikku. "Mas bilang aku nggak sopan sementara Mas menyembunyikan wanita lain dibelakangku? Mas pikir perbuatan Mas ini bisa dikategorikan sopan?"Dia
Enteng sekali mulutnya mengatakan itu. Dengan tatap berapi-api kupandangi Mas Abri. Jika dia paham, saat ini aku sedang mengatainya di dalam hatiku dengan sejuta kalimat paling menyebalkan yang tak pernah dia bayangkan. Entah karena melihat tatapanku atau apa, dia malah tertawa kecil. Dia terus memindai pandangannya dariku lalu jalanan. "Kenapa kamu? Capek ngoceh?" ejeknya. Gegas kubuang wajah. "Apa pun yang mau kamu jelasin, Mas. Aku akan tetap minta pisah! Itu keputusanku!" tuturku tak mau menanggapi basa-basinya. "Silakan. Aku nggak takut ladeni kamu, Airin. Kamu bisanya cuma ngancem. Paling juga ujung-ujungnya kamu minta yang aneh-aneh. Maaf ya. Tapi rencana kamu udah ketebak," sahutnya dengan nada kelakar sama sekali tak terintimidasi oleh perkataanku tadi. Jangankan begitu. Dia malah merasa aku ini sedang bercanda. Apa dia pikir aku akan tetap berpikiran yang sama seperti waktu itu? Tentu tidak lagi! Karena sekarang aku tahu apa maunya. Dia itu cuma mau enaknya saja tanpa me
Dia menjatuhkan tubuhku begitu saja ke atas ranjang. Setelah dia mengatakan kalimatnya tadi, dia langsung berjalan kembali ke tempatnya. Dengan pandangan sinis terus kutatap dia yang memang tenang saja tanpa merasa bersalah.Aku sampai tertawa kecut melihat perilakunya ini. Apa tidak ada niat dia membujukku dengan menjelaskan semuanya? Dia tidak berbicara apa-apa yang seharusnya dia lakukan untuk menunjukkan kalau dia tidak melakukan kesalahan samapi aku tidak harus berburuk sangka terus padanya.Kian terbakarlah hari ini. Seseorang yang kuanggap segalanya kini hanya sebuah omong kosong belaka.Sungguh, berasa di dekatnya kini sudah seperti berdiri ditengah-tengah bara api. Panas sekali. Tak tahan aku lama-lama, aku kembali bergerak berniat kabur dari dekatnya. Sayangnya gerakanku kurang cepat dibandingkan dengan gerakan Mas Abri.Padahal dia sedang fokus pada laptopnya tapi bisa-bisanya tangannya yang kekar menangkap cepat pergelangan tanganku sampai aku terjatuh lagi. Kali ini lebih
Katanya aku hanya berprasangka buruk saja ketika menjabarkan keanehan yang sudah terjadi. Tapi sepertinya sudah cukup bagiku kalau itu hanya sebatas dugaan. Seluruh tingkah serta perilaku Mas Abri sudah tidak bisa lagi kuanggap sesuatu yang sederhana. Sesederhana aku mengklaim kalau itu hanya perubahan lingkungan semata. Prespektif dikepalaku sudah semakin mengganggu. Semakin aku memikirkan, semakin berisik pula isi dalam benak ini. Tak mau mati penasaran, aku tak meragu untuk membuka isi paket yang ada di tanganku. Kala kertas pembungkus baru dibuka separuhnya, tiba-tiba aku terkejut mendapati kemunculan Mas Abri yang terkesan tiba-tiba. "Apa itu, Airin?" tanyanya sembari mendekat. Tak mampu rasanya aku menahan reaksi kaget di wajahku. Kutatap dia sedikit lama sebelum menjawabnya, "Ada paket, Mas." "Kamu pesan apa?" "Bukan punyaku, Mas. Tapi paket punyamu." Kulihat dia hanya mengernyit sebentar sebelum menerima paket yang kusodorkan padanya. Dia terlihat menatap permukaan pake
Seketika saja bahuku merosot tatkala mendengar pengakuannya. Pupil mataku membesar dengan dada yang berdetak kencang. Secepat kilat segala dugaan konyol melekat dikepala, ingin menegaskan apa sebenarnya yang sudah terjadi melalui pengakuannya ini. Apa maksudnya dengan mengatakan kalau dirinya bukanlah Mas Abri? "Ma-maksudnya?" Mendadak aku gagap. Masih mencoba menetralkan debaran jantung yang mulai tak beraturan ini. Awalnya wajahnya terlihat serius ketika mengakui hal tadi. Tapi setelah beberapa detik berikutnya dia pun mengembangkan senyuman. Dia kembali memegangi bahuku kali ini agak meremasnya."Iya, aku ini bukan Abri yang dulu! Aku Abri yang baru, Airin. Abri yang kemarin itu sudah mati. Sekarang inilah aku. Suamimu. Abri yang akan menjaga dan melindungi anak dan istrinya dari orang-orang yang tidak bertanggung jawab, termasuk keluargamu. Aku bosan memberikan penderitaan pada kalian, terutama padamu," ungkapnya kemudian. Mendadak kebingungan dikepalaku sedikit enyah dengan p
Selesai merapikan dapur dan berkutat dengan yang lainnya, kini aku sudah usai menyetrika pakaian Mas Abri. Setelah pertengkaran kami kemarin, kini banyak perubahan yang diberikannya termasuk memperbolehkanku kini ikut campar lagi dengan barang-barangnya. Salah satunya merapikan lemarin serta pakaiannya. Sebelumnya kupastikan lagi Aila sudah ada di dalam kamar dan terlelap. Setelah itu, barulah aku naik ke atas, sambil membawa pakaian yang sudah kurapikan ditanganku. Begitu kubuka pintu kamar, langsung saja kulihat Mas Abri yang tengah bertelanjang dada. Dia berdiri di depan cermin sembari merekatkan entah apa di tubuhnya. Tampaknya dia sedang kesulitan. "Kenapa, Mas?" tanyaku sambil mendekat. Dia menoleh lalu mendesah berat. "Kesal juga lama-lama!" adunya. Kurapikan pakaian ke dalam lemari lalu kembali melihatnya. "Emangnya kenapa?"Dia menunjukkan lembaran kertas koyo ditangannya. "Tolong," rengeknya mirip bocah. Aku tersenyum kecil jadinya. Cepat kukikis jarak kini berdiri di
Suara kecupannya terdengar begitu singkat dibibirku. Dia tersenyum padaku lalu menyamankan dirinya yang masih terbaring berbantalkan kedua pahaku. "Aku ngantuk. Boleh aku tidur seperti ini sebentar?" katanya. Kulirik jarum jam di dinding sudah pukul sembilan malam. "Udah malam, Mas. Kalau kamu tidurnya kayak gini aku yang capek dong?" Dia membuka kembali matanya yang sudah sempat dia pejamkan tadi. Setelah itu dia langsung bergerak besar sembari membawa diri ini ikut ke dalam pelukannya. Dengan cepat pula posisiku berubah kini terbaring dipelukannya dengan dadanya yang masih telanjang."Mas pake baju dulu! Nggak dingin apa?" tegurku. "Sthhh! Diamlah. Aku mengantuk sekarang!" Dia mengerang, benar-benar menegaskan kalau dia tak mau diganggu lagi. Memaklumi itu, aku hanya bisa tersenyum kecil lalu menarik sebisa mungkin selimut tebal di bawah kakiku. Gegas kubalut tubuh tegapnya seolah tindakanku ini akan mampu membuatnya terjaga dari marabahaya. Sejak pengakuannya tadi, aku mulai m
Kulihat dia sedang berpikir untuk menjawabnya. Apa jangan-jangan dia memang menyadari kalau aku ini bukanlah Abri? Tapi, apa itu mungkin. Aku dan Abri kembar seiras. Hampir sulit dibedakan. Apalagi kami yang sudah lama tak bersua pun tak ada orang yang tahu kalau kami kembar. Apa mungkin ada yang menyadari perbedaan itu di antara kami? "Mas Abri yang dulu, yang sekarang, atau sepuluh tahun ke depan pun, aku akan terus mencintainya," jawabnya pada akhirnya. Kontan saja sudut bibirku terangkat membentuk senyuman. Senang sekali rasanya. "Kalau gitu, aku yang nanya sama, Mas Abri. Mas masih cinta sama aku nggak? Atau jangan-jangan ada wanita lain yang Mas suka selama di tanah rantau sana?" Mata menyipit menerangkan pertanyaan itu seperti mengancam jawabanku nanti. Alih-alih aku merasa terancam, aku justru semakin gemas padanya. Pandai sekali dia mengacak-acak pertahanan hatiku yang terkenal dingin ini. Kunyamankan topangan daguku untuk menatapnya, lalu menggeleng pelan. "Kurasa aku sud
POV LibraMakin hari aku semakin pusing saja mencari kebenaran siapa agaknya yang sudah melukai saudara kembarku, Abri. Sudah banyak kulakukan penyisiran pada musuh-musuhku yang memang bukan lagi hanya satu atau dua. Maklum, aku ini seorang pengacat. Tidak asing lagi jika aku punya banyak musuh di mana-mana. Tatkala sibuk dengan layar laptopku, atensiku seketika lepas tatkala mendapati pintu kamarku terbuka. Seketika saja bulu-bulu halus yang menyelimuti kulitku berdiri semuanya tatkala sepasang mataku mendapatinya muncul dari ambang pintu sana. Siapa lagi kalau bukan Airin, adik iparku. Istrinya saudara kembarku yang sudah tiada. Aku meneguk ludah seiring dia berjalan mendekat. Kupaksa diriku untuk mengabaikannya, walau nyatanya sangat sulit. Bisa gila aku jika begini terus. Tiba-tiba auranya jadi panas sekali. Aku kegerahan."Mas lagi ngapain?" tanya sambil merayap ke atas tempat tidur, mulai mendekatiku. Sial! Aku jadi gagal fokus. Tadinya aku sedang mengumpulkan banyak teori,
"Devita, sudahlah. Jangan ganggu aku dulu." Kurasakan juga kalau nada bicara Libra tak suka.Entah kenapa aku merasa menang jadinya.Devita terlihat frustrasi terlihat bagaimana dia menatapku semakin tajam. Aku tak tahu apa kaitannya perempuan ini dengan Libra. Yang pastinya, aku merasa lega karena pada faktanya ternyata dia bukan sepenting itu."Keluarlah, Devita. Kamu sudah tahu kita nggak ada hubungan apa-apa lagi? Jangan pura-pura bodoh apalagi harus mengemis di depanku. Kamu tahu, kan aku nggak suka perempuan yang cerewet!" kata Libra mengusir keberadaan Devita.Alih-alih Devita, entah kenapa justru aku yang merasa tersinggung. Kalimatnya ini sudah sangat banyak kudapati sejak dia menjadi Mas Libra kemarin. Jadi, dia memang tak suka pada perempuan yang banyak bicara? Termasuk aku?Jika memang begitu adanya, lantas kenapa dia terlihat sangat meyakinkan saya mengatakan kalau dia mencintaiku? Dia seperti mengemis dan akan melaksanakan apa pun yang akan kukatakan padanya asalkan aku
Damn! Sungguh, rasanya aku seperti ada di alam mimpi. Semua kalimat yang kubaca dengan kedua mataku ini sangat-sangat ampuh membelah pertahanan diri. Sesuatu yang sangat mujarab untuk menghilangkan jiwa dari ragaku. Bagaimana bisa? Bagaimana bisa surat yang kubaca baru saja disampaikan oleh suamiku, Mas Abri. Aku tidak akan salah mengenali tulisan tangan ini. Tidak akan aku salah lagi. Ini sudah jelas tulisan Mas Abri, suamiku. Tapi apa maksudnya? Apa yang dia katakan di dalam suratnya ini? Bagaimana bisa dia mengatakan hal seperti itu? Apa maksudnya! Tanpa sadar air mataku mengucur deras lagi-lagi membasahi pipi yang kering saja belum juga. Tanpa sadar pula, amarahku memuncak hingga ubun-ubun yang langsung kuluapkan pada secarik kertas yang kugenggam! Apa katanya? Sebenarnya dia tidak pernah merantau untuk mencari pekerjaan, melainkan ingin mencari saudaranya? Dan juga, dia yang mengirimkan Libra padaku seolah-olah Libra itu adalah dia yang pergi dengan segenap janji yang dia
Belum siap aku memberikan reaksi atas kisah yang dijabarkan padaku, aku sudah kembali dikejutkan dengan suara sirine yang terdengar begitu dekat.Putriku sampai memelukku erat, ketakutan.Sementara itu, Rangga langsung menghambur keluar kamar mungkin langsung memeriksa apa kira-kira yang sedang terjadi.Dan aku? Aku hanya bisa diam entah kenapa. Aku tak tahu harus apa. Aku tak mengerti ada disituasi apa aku saat ini. Apalagi saat mengingat tentang cerita yang dikisahkan pria tadi membuatku semakin linglung dan sulit berpikir logis.Suara sirine itu terus saja memekik ditelingaku. Tak bisa diam saja, aku pun lantas menarik langkahku pelan-pelan mencari tahu apa sebenarnya yang telah terjadi di bawah sana.Begitu aku keluar kamar, dari anak tangga yang masih cukup jauh, aku membeliak tatkala mendapati banyak aparat kepolisian di rumahku. Suara sirine itu berasal dari mobil mereka. Tapi tunggu!Kenapa ada ambulans? Apa yang sudah terjadi sampai harus mendatangkan beberapa perawat terliha
"Airin, jangan!" Aku menepis tangannya serta tak kupedulikan suaranya yang melarangku menghampiri putriku. Bagaimana mungkin aku diam saja saat buah hatiku hendak disakiti begitu saja? Hati ibu mana yang tidak akan terluka jika sudah begitu? Tanpa berpikir dua kali, langsung kurebut Aila dari dekap pria itu sampai aku tidak sadar kalau pisau kecil yang dia pegang menggores pelan pergelangan tanganku. "Mama," lirih Aila. Aku langsung saja memeluknya erat, tak akan kubiarkan dia terluka atau apa pun. "Mama di sini, Sayang. Nggak apa-apa. Jangan nangis ya?" Aku memenangkannya terus mengusap punggungnya. Ketakutanku langsung bertambah tatkala kudengar kembali suara tawa pria yang kini berdiri di depanku. Dia memalang tubuhku dari tatap Libra. "Ini yang di namakan satu kali dayung dua pulau terlampaui," ucapnya. Tak henti-hentinya aku menahan ketakutan ketika dia kembali menodong pisau kecilnya tepat ke leherku manakala melihat Libra hendak mendekati."Jangan, jangan! Jangan lakuka
Keningku semakin berkerut, tak suka dengan pernyataannya. Lagi-lagi aku mundur tatkala dia mendekat."Lepaskan tanganmu itu, Brengsek!"Suara teguran itu membuatku mendelik yang refleks menoleh ke sumber suara. Bola mataku membulat ketika menyadari yang baru saja berujar tak lain adalah dia. Laki-laki yang sudah merebut hak suamiku!Pria bajingan yang tak tahu malu itu!Dia berjalan cepat menghampiriku dengan tatapan yang tak bisa kuartikan. Yang pasti saat ini aku hanya menatapnya dengan kobaran api amarah yang benar-benar besar padanya."Di mana penjaganya? Kenapa nggak ada orang di rumah ini, Airin?" tanyanya sembari melepaskan jasnya lalu menutupi tubuhku yang hanya berbalut dres rumahan.Gegas kutepis perlakukannya yang seolah menggambarkan suami yang siaga dan tak suka melihatku begini. Padahal nyatanya dia lebih bejad dan lebih membuatku tak ada harganya lagi!"Jangan pura-pura di depanku lagi! Sudah kukatakan itu padamu!" tekanku memperingatinya.Dia mendesah berat, lalu mengu
Sepasang suami istri itu langsung tukar pandang begitu mendengar habis kata-kataku. Mungkin mereka kurang percaya aku mengatakan hal ini. Biarkanlah begitu. Yang terpenting saat ini, aku bisa membantu orang-orang yang kesulitan karena pria itu sama sepertiku."Kalau memang begitu, di mana dia, Buk? Apa kami bisa bertemu dengannya?" tanyanya kemudian."Dia ... dia nggak ada di sini. Baru saja dia pergi entah ke mana. Aku harap dia lagi nggak ngerencaniin melarikan diri dari semua ini. Sudah cukup semua akal bulusnya!" Aku jadi emosi sendiri menjabarkan apa yang terjadi."Benarkah begitu, Buk?"Aku mengangguk. Kulihat dia mengusap dadanya, seakan hilang harapan. Kudapati lagi keduanya saling menguatkan diri yang membuat hati kecilku kembali bersimpati. Tak tega melihatnya begitu. Jika aku sakit begini, lantas apa kabar dengan mereka?Tanpa punya kesalahan, mereka harus kehilangan anak tercinta. Siapa yang tidak akan hancur jika sudah berada di posisi suami istri ini? Apalagi dengan fak
"Nggak ada yang seperti itu, Airin. Tolong–"Lagi-lagi dering ponselnya menginterupsi. Dia menatap layar handphone-nya yang menyala lantas melanjutkan, "Aku nggak punya waktu lagi. Maafkan aku." Aku sempat bingung apa maksudnya, tapi ketika dia berjalan menjauh ke ambang pintu kamar, aku langsung mendelik. Gegas kedua kakiku melangkah cepat menyusulnya, berharap bisa menggagalkan aksinya yang menutupi pintu. "Libra! Buka pintunya! Buka pintunya!" pekikku. Aku tak sempat menghentikan aksinya yang sigap mengunci pintu kamar. Tak ada kudengar lagi suaranya. Itu artinya dia benar-benar pergi. Walau pun begitu, aku tetap berusaha berontak, memukul kayu pipih itu sambil terus memutar-mutar handle pintu. Tetap saja nihil! Pria bajingan itu telah mengunciku dari luar sana. Sebenarnya apa yang hendak dia lakukan? Apa lagi rencana busuk yang coba dia berikan padaku?Apa yang harus kulakukan sekarang? Aku mendadak linglung. Kepalaku seperti diam tak berkutik. Sampai aku sebal sendiri. Alih-a