Seperti agendanya, Mas Abri akan pergi ke luar kota untuk menyelesaikan permasalahannya baik itu tentang pekerjaan atau yang lainnya. Sebenarnya aku juga ikut senang dengan keputusannya yang akan memulai lagi kehidupan yang baru denganku di sini. Tapi dibalik itu pun aku khawatir akan dirinya. Aku takut dia kembali menetap di sana. Aku tidak tahu entah itu pekerjaan atau wanita yang membuatnya tetap betah di sana, yang terpenting aku tidak rela jika sampai itu terjadi lagi. Kulihat dia yang baru selesai mengancingkan kemeja. Begitu aku usai merapikan kopernya dengan isi pakaian yang pas-pasan, aku lantas berjalan ke arahnya membantu memasangkan dasi. Sebenarnya inilah impianku dahulu. Menjadi istri yang bisa memasangkan dasi untuk suaminya agar terlihat seperti tokoh-tokoh di drama yang kulihat. Sekitar dua tahun sebelum kepergian Mas Abri dulu, aku tak pernah melakukan hal ini karena dia itu hanya sebatas kuli bangunan. Alih-alih pergi bekerja dengan dasi yang rapi, Mas Abri justr
Sayang, kepergian yang harusnya ingin kubatalkan justru tak berefek apa-apa pada keputusan Mas Abri. Bahkan waktu yang tadinya berangkat pukul delapan pagi, malah kelepasan jadi pukul sebelas siang. Sudah begitu pun dia tetap kukuh terlihat bagaimana dia sudah kembali rapi setelah 'pertempuran' tak direncakan itu. Di sinilah aku saat ini. Di ruang tengah sedang berdiri memandanginya yang sedang berbicara dengan beberapa satpam di depan rumah. Katanya cuma pergi dua hari, tapi sikapnya seperti tidak akan pulang lagi. Lihatlah bagaimana dia yang sigap membayar orang-orang untuk mengawasi rumahku. Di depan sana ada dua orang satpam. Ada mbak-mbak yang katanya akan membantuku menyelesaikan pekerjaan rumah. Juga ada sopir yang akan mengantar jemput putrinya. Semua itu benar-benar dipersiapkan olehnya sampai aku tidak bisa menahan diri untuk tak mengkhawatirkan hari ini. Aku takut jika semua tindakannya ini akan selesai sampai di sini saja. Terlalu berlebihan mungkin asumsiku ini, tapi y
Aku terhenyak begitu mendengar penuturan Amy. Bukan apa-apa. Aku hanya kaget karena terlalu aneh permintaannya itu. "Maksud kamu apa, My?" "Halah, Airin! Kamu ini. Mentang-mentang udah punya rumah sombongnya udah nggak tanggung-tanggung," cebik Ibu menjawab tanyaku dengan nada ketus. Aku menghela napas samar, sebenarnya agak lelah meladeni Ibu yang kerap berprasangka buruk terhadapku. Padahal aku hanya bertanya. Bukan maksud apa-apa, apa lagi menyombongkan diriku kini."Bukan gitu, Buk. Aku kan cuma–""Emangnya kenapa kalau adik kamu mau nginap di rumah kamu ini? Nggak boleh emang? Apa harus sujud dulu dikaki kamu?" selanya masih terdengar emosi. "Buk! Bisa nggak sih Ibuk dengarin aku dulu? Aku cuma mau nanya, kenapa tiba-tiba mau nginap? Ada apa, Buk? Lagi pula aku belum ada bilang kan boleh atau nggak. Ibuk aja yang terus nggak suka gitu sama aku!" balasku sengit, tentu ikut emosi. Siapa yang tidak jengkel jika sudah begitu? Niat hati hanya bertanya ada apa, tapi justru dianggap
Sudah hampir sore, tapi Ibu dan Amy belum juga kembali. Entah sudah berapa banyak uang yang mereka habiskan dari kartu pemberian Mas Abri padaku. Padahal niatku ingin menabung. Menghemat pengeluaran agar tak mengalami penurunan finansial lagi seperti dulu. Mengingat lagi Mas Abri pergi untuk menyelesaikan permasalahannya, itu otomatis dia akan berhenti berkerja di sana. Pastilah pemasukan pun nantinya akan berkurang. Tapi apalah dayaku? Ibu dan adikku sama-sama tak memahamiku. Nahasnya, mereka justru menganggapku sombong. Kalau sudah begini, aku jadi pusing sendiri. Aku tiba-tiba terkesiap ketika mendapati langkah-langkah besar orang dari luar. Dugaanku tidak akan melesat. Itu pasti Ibu dan Amy. "Nggak ada orang bernama itu di sini! Pergi nggak!?" Begitu mendengar suara Amy, aku gegas mamatikan kompor dan berlari ke depan. Ada apa gerangan sampai dia memekik demikian? Dan pada siapa dia mengatakan sesuatu yang terkesan tak sopan itu? "Amy, ada apa?" tanyaku sambil terus mengiki
Pupil mataku berangsur membesar manakala kisah pria bernama Libra itu kian dijabarkan makin dalam oleh kedua orang ini. Mendadak aku merinding dibuatnya, cepat-cepat menyelipkan sebuah doa agar aku tak pernah bertemu dengan pria itu. Amit-amit! "Benarkah begitu, Buk? Itu keterlaluan rasanya. Terus, rencana apa yang akan kalian lakukan?" Aku bertanya seolah-olah aku ikut andil dalam masalah mereka. Entahlah. Karena aku tahu pria itu dekat dengan suamiku, aku jadi ingin tahu segalanya. Untuk mengantisipasi sekiranya Mas Abri lebih dekat dengan pria semacam itu. Tapi aku bersyukur karena Mas Abri akhirnya mau mendengarkanku untuk menyelesaikan masalahnya di sana. Yang saat ini menjadi kekhawatiranku hanyalah kepulangannya. Aku berharap dia benar-benar pulang dengan selamat dan membebaskan diri dari semuanya! "Nggak ada lagi yang bisa kami lakukan selain berlutut di kakinya, Buk," tutur perempuan itu, lemah. Air matanya sudah merembes ke mana-mana. Aku jadi kasihan. "Hanya itu satu
"Apaan sih, Mbak? Kok jadi sensi gitu?" cebik Amy, tak terima. Dia menatapku sinis. "Iya deh si paling punya banyak uang sekarang. Ingat ya, Mbak. Selama Mbak ditinggal Mas Abri, aku juga ngeluarin uang buat biayain Mbak sama Aila. Harusnya kita impas dong! Jadi tolong jangan merasa udah jadi nyonya sampai bisa ngomong kayak gitu!"Dia mengatakan semua itu dengan bibir menipis, benar-benar sarkastik. Begitu usai, langsung saja kakinya melengos begitu saja dengan wajah angkuh.Lagi-lagi aku hanya bisa menghela napas besar-besar, benar-benar mencoba sabar atas tingkah serta ucapannya. Tapi mungkin ada benarnya juga dia. Selama tiga tahun belakangan ini dia memang kerap membantu perekonomianku. Mungkin tidak salah jika aku membayarnya sekarang. Agar kelak tidak ada lagi yang namanya sindiran tentang balas budi.Melupakan tentang Amy, aku kembali dialihkan dengan paket-paket yang sudah kuletakkan di atas ranjang. Ternyata ada lima barang di sana. Dalam hati aku jadi menimbang-nimbang, apa
Sudah satu jam rasanya aku tak bisa diam di tempat. Rasanya gelisah. Aku terus menggigit kuku meluapkan keresahan yang kini kurasakan. Entahlah. Tiba-tiba aku merasa seperti akan ada bahaya yang datang padaku. Padahal aku hanya menunggu suamiku pulang. Tapi kesannya malah seperti menunggu ancaman. Kuteguk ludah entah berapa kali lagi setelah menatap barang-barang yang kusatukan di atas sofa. Apa aku takut karena ini ya? Karena paket milik Mas Abri kubuka begitu saja tanpa persetujuannya? Kusadari waktu terus berlanjut. Sudah hampir pukul stau dini hari. Aku belum bisa mendengar tanda-tanda kepulangan Mas Abri dari dalam kamar. Sengaja aku tidak menyambutnya pulang di pintu depan rumah. Seperti apa permintaannya tadi, kalau aku terlihat menarik jika mengenakan baju berwarna merah milikku. Bagaimana bisa aku keluar rumah di saat aku mengenakan pakaian 'dinas' itu sementara di rumah ada Amy dan Ibu. Aku segan jika sekiranya nanti mereka melihatku dengan balutan seperti ini. Canggung
Usai mengatakan itu, Mas Abri langsung saja memelukku erat. Wajahnya benar-benar tenggelam dicaruk leherku sampai aku bisa merasakan deru napasnya yang memburu.Lagi-lagi itulah alasannya untuk menjawabku. Selalu saja mengatakan kalau Abri yang dulu sudah tiada. Entah sampai kapan rasanya dia terus mengubah dirinya. Padahal tidak ada lagi masalah yang rumit sampai harus dia mengubah diri. Jika hanya karena cacian orang-orang yang membuatnya tetap kukuh untuk terus mengubah dirinya, mungkin inilah saatnya aku menghentikan aksinya itu. Karena bagaimana pun, aku tetaplah mencintai suamiku yang dulu. Suamiku yang baik, bertutur kata lembut, serta tak banyak tingkah seperti saat ini. Apalagi sampai terjerumus dalam hal-hal yang aneh! Kutarik diri secara perlahan untuk menatapnya lagi. Kudapati matanya yang nanar, seakan ada tersimpan rahasia di sana. Tapi, sedalam apa pun aku mencoba menguliknya, tetap saja aku gagal membaca isi tatapannya. "Mas ... tolong berhentilah. Jadilah Mas Abr
Kulihat dia sedang berpikir untuk menjawabnya. Apa jangan-jangan dia memang menyadari kalau aku ini bukanlah Abri? Tapi, apa itu mungkin. Aku dan Abri kembar seiras. Hampir sulit dibedakan. Apalagi kami yang sudah lama tak bersua pun tak ada orang yang tahu kalau kami kembar. Apa mungkin ada yang menyadari perbedaan itu di antara kami? "Mas Abri yang dulu, yang sekarang, atau sepuluh tahun ke depan pun, aku akan terus mencintainya," jawabnya pada akhirnya. Kontan saja sudut bibirku terangkat membentuk senyuman. Senang sekali rasanya. "Kalau gitu, aku yang nanya sama, Mas Abri. Mas masih cinta sama aku nggak? Atau jangan-jangan ada wanita lain yang Mas suka selama di tanah rantau sana?" Mata menyipit menerangkan pertanyaan itu seperti mengancam jawabanku nanti. Alih-alih aku merasa terancam, aku justru semakin gemas padanya. Pandai sekali dia mengacak-acak pertahanan hatiku yang terkenal dingin ini. Kunyamankan topangan daguku untuk menatapnya, lalu menggeleng pelan. "Kurasa aku sud
POV LibraMakin hari aku semakin pusing saja mencari kebenaran siapa agaknya yang sudah melukai saudara kembarku, Abri. Sudah banyak kulakukan penyisiran pada musuh-musuhku yang memang bukan lagi hanya satu atau dua. Maklum, aku ini seorang pengacat. Tidak asing lagi jika aku punya banyak musuh di mana-mana. Tatkala sibuk dengan layar laptopku, atensiku seketika lepas tatkala mendapati pintu kamarku terbuka. Seketika saja bulu-bulu halus yang menyelimuti kulitku berdiri semuanya tatkala sepasang mataku mendapatinya muncul dari ambang pintu sana. Siapa lagi kalau bukan Airin, adik iparku. Istrinya saudara kembarku yang sudah tiada. Aku meneguk ludah seiring dia berjalan mendekat. Kupaksa diriku untuk mengabaikannya, walau nyatanya sangat sulit. Bisa gila aku jika begini terus. Tiba-tiba auranya jadi panas sekali. Aku kegerahan."Mas lagi ngapain?" tanya sambil merayap ke atas tempat tidur, mulai mendekatiku. Sial! Aku jadi gagal fokus. Tadinya aku sedang mengumpulkan banyak teori,
"Devita, sudahlah. Jangan ganggu aku dulu." Kurasakan juga kalau nada bicara Libra tak suka.Entah kenapa aku merasa menang jadinya.Devita terlihat frustrasi terlihat bagaimana dia menatapku semakin tajam. Aku tak tahu apa kaitannya perempuan ini dengan Libra. Yang pastinya, aku merasa lega karena pada faktanya ternyata dia bukan sepenting itu."Keluarlah, Devita. Kamu sudah tahu kita nggak ada hubungan apa-apa lagi? Jangan pura-pura bodoh apalagi harus mengemis di depanku. Kamu tahu, kan aku nggak suka perempuan yang cerewet!" kata Libra mengusir keberadaan Devita.Alih-alih Devita, entah kenapa justru aku yang merasa tersinggung. Kalimatnya ini sudah sangat banyak kudapati sejak dia menjadi Mas Libra kemarin. Jadi, dia memang tak suka pada perempuan yang banyak bicara? Termasuk aku?Jika memang begitu adanya, lantas kenapa dia terlihat sangat meyakinkan saya mengatakan kalau dia mencintaiku? Dia seperti mengemis dan akan melaksanakan apa pun yang akan kukatakan padanya asalkan aku
Damn! Sungguh, rasanya aku seperti ada di alam mimpi. Semua kalimat yang kubaca dengan kedua mataku ini sangat-sangat ampuh membelah pertahanan diri. Sesuatu yang sangat mujarab untuk menghilangkan jiwa dari ragaku. Bagaimana bisa? Bagaimana bisa surat yang kubaca baru saja disampaikan oleh suamiku, Mas Abri. Aku tidak akan salah mengenali tulisan tangan ini. Tidak akan aku salah lagi. Ini sudah jelas tulisan Mas Abri, suamiku. Tapi apa maksudnya? Apa yang dia katakan di dalam suratnya ini? Bagaimana bisa dia mengatakan hal seperti itu? Apa maksudnya! Tanpa sadar air mataku mengucur deras lagi-lagi membasahi pipi yang kering saja belum juga. Tanpa sadar pula, amarahku memuncak hingga ubun-ubun yang langsung kuluapkan pada secarik kertas yang kugenggam! Apa katanya? Sebenarnya dia tidak pernah merantau untuk mencari pekerjaan, melainkan ingin mencari saudaranya? Dan juga, dia yang mengirimkan Libra padaku seolah-olah Libra itu adalah dia yang pergi dengan segenap janji yang dia
Belum siap aku memberikan reaksi atas kisah yang dijabarkan padaku, aku sudah kembali dikejutkan dengan suara sirine yang terdengar begitu dekat.Putriku sampai memelukku erat, ketakutan.Sementara itu, Rangga langsung menghambur keluar kamar mungkin langsung memeriksa apa kira-kira yang sedang terjadi.Dan aku? Aku hanya bisa diam entah kenapa. Aku tak tahu harus apa. Aku tak mengerti ada disituasi apa aku saat ini. Apalagi saat mengingat tentang cerita yang dikisahkan pria tadi membuatku semakin linglung dan sulit berpikir logis.Suara sirine itu terus saja memekik ditelingaku. Tak bisa diam saja, aku pun lantas menarik langkahku pelan-pelan mencari tahu apa sebenarnya yang telah terjadi di bawah sana.Begitu aku keluar kamar, dari anak tangga yang masih cukup jauh, aku membeliak tatkala mendapati banyak aparat kepolisian di rumahku. Suara sirine itu berasal dari mobil mereka. Tapi tunggu!Kenapa ada ambulans? Apa yang sudah terjadi sampai harus mendatangkan beberapa perawat terliha
"Airin, jangan!" Aku menepis tangannya serta tak kupedulikan suaranya yang melarangku menghampiri putriku. Bagaimana mungkin aku diam saja saat buah hatiku hendak disakiti begitu saja? Hati ibu mana yang tidak akan terluka jika sudah begitu? Tanpa berpikir dua kali, langsung kurebut Aila dari dekap pria itu sampai aku tidak sadar kalau pisau kecil yang dia pegang menggores pelan pergelangan tanganku. "Mama," lirih Aila. Aku langsung saja memeluknya erat, tak akan kubiarkan dia terluka atau apa pun. "Mama di sini, Sayang. Nggak apa-apa. Jangan nangis ya?" Aku memenangkannya terus mengusap punggungnya. Ketakutanku langsung bertambah tatkala kudengar kembali suara tawa pria yang kini berdiri di depanku. Dia memalang tubuhku dari tatap Libra. "Ini yang di namakan satu kali dayung dua pulau terlampaui," ucapnya. Tak henti-hentinya aku menahan ketakutan ketika dia kembali menodong pisau kecilnya tepat ke leherku manakala melihat Libra hendak mendekati."Jangan, jangan! Jangan lakuka
Keningku semakin berkerut, tak suka dengan pernyataannya. Lagi-lagi aku mundur tatkala dia mendekat."Lepaskan tanganmu itu, Brengsek!"Suara teguran itu membuatku mendelik yang refleks menoleh ke sumber suara. Bola mataku membulat ketika menyadari yang baru saja berujar tak lain adalah dia. Laki-laki yang sudah merebut hak suamiku!Pria bajingan yang tak tahu malu itu!Dia berjalan cepat menghampiriku dengan tatapan yang tak bisa kuartikan. Yang pasti saat ini aku hanya menatapnya dengan kobaran api amarah yang benar-benar besar padanya."Di mana penjaganya? Kenapa nggak ada orang di rumah ini, Airin?" tanyanya sembari melepaskan jasnya lalu menutupi tubuhku yang hanya berbalut dres rumahan.Gegas kutepis perlakukannya yang seolah menggambarkan suami yang siaga dan tak suka melihatku begini. Padahal nyatanya dia lebih bejad dan lebih membuatku tak ada harganya lagi!"Jangan pura-pura di depanku lagi! Sudah kukatakan itu padamu!" tekanku memperingatinya.Dia mendesah berat, lalu mengu
Sepasang suami istri itu langsung tukar pandang begitu mendengar habis kata-kataku. Mungkin mereka kurang percaya aku mengatakan hal ini. Biarkanlah begitu. Yang terpenting saat ini, aku bisa membantu orang-orang yang kesulitan karena pria itu sama sepertiku."Kalau memang begitu, di mana dia, Buk? Apa kami bisa bertemu dengannya?" tanyanya kemudian."Dia ... dia nggak ada di sini. Baru saja dia pergi entah ke mana. Aku harap dia lagi nggak ngerencaniin melarikan diri dari semua ini. Sudah cukup semua akal bulusnya!" Aku jadi emosi sendiri menjabarkan apa yang terjadi."Benarkah begitu, Buk?"Aku mengangguk. Kulihat dia mengusap dadanya, seakan hilang harapan. Kudapati lagi keduanya saling menguatkan diri yang membuat hati kecilku kembali bersimpati. Tak tega melihatnya begitu. Jika aku sakit begini, lantas apa kabar dengan mereka?Tanpa punya kesalahan, mereka harus kehilangan anak tercinta. Siapa yang tidak akan hancur jika sudah berada di posisi suami istri ini? Apalagi dengan fak
"Nggak ada yang seperti itu, Airin. Tolong–"Lagi-lagi dering ponselnya menginterupsi. Dia menatap layar handphone-nya yang menyala lantas melanjutkan, "Aku nggak punya waktu lagi. Maafkan aku." Aku sempat bingung apa maksudnya, tapi ketika dia berjalan menjauh ke ambang pintu kamar, aku langsung mendelik. Gegas kedua kakiku melangkah cepat menyusulnya, berharap bisa menggagalkan aksinya yang menutupi pintu. "Libra! Buka pintunya! Buka pintunya!" pekikku. Aku tak sempat menghentikan aksinya yang sigap mengunci pintu kamar. Tak ada kudengar lagi suaranya. Itu artinya dia benar-benar pergi. Walau pun begitu, aku tetap berusaha berontak, memukul kayu pipih itu sambil terus memutar-mutar handle pintu. Tetap saja nihil! Pria bajingan itu telah mengunciku dari luar sana. Sebenarnya apa yang hendak dia lakukan? Apa lagi rencana busuk yang coba dia berikan padaku?Apa yang harus kulakukan sekarang? Aku mendadak linglung. Kepalaku seperti diam tak berkutik. Sampai aku sebal sendiri. Alih-a