Sementara itu, ketika seluruh anggota keluarga Hermanto telah tiba di kediaman Kakek Hermanto, Bastian langsung marah-marah di hadapan anggota keluarganya sebab perjanjian bisnis antara keluarga mereka dengan keluarga Bintoro telah berakhir."Jika Ayah sudah pulih dan membaik, pulang ke rumah ini ... pasti dia akan marah besar jika mengetahui keluarga kita sudah tidak bekerja sama dengan keluarga Bintoro lagi!" seru Bastian, yang membuat semua orang yang ada di situ terdiam dan memilih menundukan kepala. Mereka begitu menghormati dan menghargai Bastian sebagai sosok pengganti Kakek Hermanto di keluarga tersebut. Bastian terus mondar mandir dengan gelisah di ruang tamu dengan wajah mengeras. Ia sedang kalut bukan main karena selagi sang Ayah tidak bisa mengurus masalah perusahaan, maka, dia lah orang yang bertanggung jawab penuh atas hal tersebut. Apalagi ia adalah presiden direktur perusahaan keluarga Hermanto. Bastian lalu menatap Aditama dan Vania secara bergantian dengan tajam
Aditama dan Vania tampak berdiri di depan sebuah rumah kecil, tengah menunggu sang tuan rumah membukakan pintu untuk keduanya. Ketika mendapati pintu telah dibuka, membuat Aditama dan Vania menoleh dan menampilkan seorang wanita paruh baya dengan ekspresi wajah yang langsung berbinar-binar dari balik pintu kala melihat siapa yang datang. "Aditama ... " pekiknya riang sebelum kemudian pindah menatap Vania. "Vania ... " pekiknya lagi. "Ibu ... " balas Vania, ekspresi wajahnya mendadak sendu.Lalu, secara refleks, keduanya langsung berpelukan dengan erat dan saling mengusap punggung satu sama lain. Wanita paruh baya itu tak lain dan tak bukan adalah Sophia, ibunya Aditama. Hari itu, Aditama dan Vania mengunjungi sang ibu karena hendak memastikan keadaanya semenjak keluar dari rumah sakit setelah menjalani operasi. Sementara Aditama memilih terdiam di tempat, membiarkan keduanya melakukan hal tersebut.Pemandangan itu ... membuat Aditama terenyuh.Walau selama ini sikap Vania terke
Tiba-tiba kening Edward berkerut, kemudian matanya memicing dan menggeleng-gelengkan kepalanya. Tidak mungkin ... itu tidak mungkin!Pasalnya, ia merasa tidak bertemu dan tidak ada menyinggung satu pun seseorang berpengaruh belakangan ini. Dan ... pihak Gandara corporation mengatakan hal demikian?Tentu saja ia merasa begitu heran mendengar hal itu dan langsung membantah karena ia merasa belum pernah bertemu dengan pewaris keluarga Gandara sebelumnya. Soal perkataannya kepada Kakek Hermanto pada saat berada di hotel Gandhi Life jika ia mengenal pewaris keluarga Gandara, itu hanya karena semata-mata mau mengambil hati dan membuat Kakek Hermanto supaya senang saja. Sebenarnya, ia sama sekali belum pernah bertemu dengannya.Ia berpikir, perusahaan keluarganya bekerja sama dengan Gandara corporation. Maka, pasti, suatu saat nanti ia akan bisa bertemu dengan pewaris dari keluarga kaya raya tersebut.Maka dari itu, ia berani berkata demikian kepada Kakek Hermanto waktu itu. Dan tanp
Haryadi Bintoro dan Edward keluar dari ruangan wakil direktur Gandara corporation dengan perasaan carut marut. Hancur sudah perusahaan keluarga Bintoro karena Gandara corporation memutuskan kerja sama secara sepihak.Haryadi Bintoro tidak tahu apa yang terjadi dengan perusahaannya setelah ini.Di sisi lain, ia merasa masih ada yang mengganjal dengan semua ini dan ia harus mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi. Tiba-tiba Edward melambatkan langkah kala teringat sesuatu. Dia kemudian berkata sambil mensejajarkan langkah sang Ayah. "Pa ... apa menurut Papa ... hal ini ada kaitannya dengan ... perkataan Aditama ... suami sampahnya Vania ... kemarin malam itu?" kening Edward berkerut, ingin mendengar pendapat sang Ayah mengenai hal tersebut. Seketika Haryadi Bintoro menghentikan langkah mendengar hal itu dan langsung menghadap Edward yang membuat Edward juga ikutan menghentikan langkah.Haryadi Bintoro lalu menatap sang anak untuk beberapa saat dan mencerna apa yang baru saja dikatak
Sementara itu, di ruangan Presiden Direktur perusahaan keluarga Hermanto, sang Presiden Direktur yang tak lain dan tak bukan adalah Bastian tengah tertegun sebab mendengar apa yang barusan Haryadi Bintoro dan Edward ceritakan. Bastian terkejut bukan main mendengar cerita soal perkataan Aditama ketika berada di rumah mereka berdua yang katanya benar-benar menjadi kenyataan.Namun, tiba-tiba ia mengerjap kala teringat dengan perkataan Haryadi Bintoro dan Edward yang lain, jika Gandara corporation telah memutuskan kerja sama dengan perusahaan mereka. Sementara Haryadi Bintoro dan Edward merasa semakin gelisah. Pasalnya, mereka tak mendapat informasi yang diinginkan dari Bastian karena ia juga tidak tahu banyak. Lalu, Bastian memperbaiki posisi duduk, menatap Haryadi Bintoro dan Edward bergantian dengan saksama. Dia kemudian berkata. "Jadi perusahaan kalian ... sudah tidak lagi bekerja sama dengan Gandara corporation?" tanya Bastian dengan senyum penuh arti di bibirnya sambil membusung
Akan tetapi, Bastian buru-buru menggeleng. Ia langsung mengelak dan membantah dugaan mereka berdua. Itu pasti hanya sebuah kebetulan saja. Pemutusan kerja sama antara Gandara corporation dengan perusahaan keluarga Bintoro tidak ada kaitannya dengan perkataan Aditama kemarin malam itu. Lagi pula, perkataan Aditama ... hanya lah sebuah lelucon belaka!** Sebelum melangkah masuk ke dalam unit apartemennya, Aditama memilih berdiri di depan pintu lebih dulu dengan senyum lebar yang tengah menghiasi bibirnya, sambil mengamati tas berisi kalung mahal merek terkenal di dunia yang ada di genggaman tangannya itu untuk nantinya ia berikan kepada Vania. Pasti Vania akan suka dengan kalung ini. Gumam Aditama dalam hati.Setelah bertemu dengan Panji dan menerima dua kartu darinya, Aditama langsung membeli kalung tersebut untuk Vania. Ia begitu bersemangat karena ini pertama kali baginya memberikan barang mahal dan mewah untuk sang istri. Akhirnya, setelah siap, Aditama melangkah masuk ke dal
Alhasil, Aditama harus mendapat cercaan pertanyaan dari Vania setelah sang istri tersadar. "Kamu meminjam uang kepada kenalanmu lagi cuma untuk membeli kalung mewah ini, Tam?!" seru Vania tertahan. Ia langsung berpikir demikian.Kemudian, ia menggeleng dengan perasaan tak karu-karuan. Jika hal itu benar, bukannya malah senang karena mendapat hadiah kalung mahal dan mewah. Akan tetapi, ia akan mengatai suaminya bodoh dan memarahinya habis-habis san.Kenapa demikian? Dengan keadaan mereka berdua saat ini yang sedang kesusahan ... seharusnya uang 31 miliar bisa digunakan untuk keperluan lain yang lebih penting lagi!Vania lanjut berkata. "Tam ... kamu tau, 'kan? Kalau kamu sendiri juga masih mempunyai hutang yang begitu banyak dan kita sama-sama sudah tidak beker --""Aku baru saja mendapatkan warisan, Van." Aditama langsung memotong perkataan Vania yang membuat wanita itu terdiam. Sontak, Vania langsung mendelik ke arah sang suami mendengar hal itu, mencerna perkataan sang suami dal
Vania tengah mencerna dan mencoba mempercayai apa yang terjadi dengan ; menepuk-nepuk pipi, mencubit kulit, hendak memastikan ia sedang bermimpi atau tidak.Dan ... ouch! rasanya sakit! Itu berarti ... ia sedang tidak bermimpi!Melihat Vania bersikap demikian, Aditama pun mengulas senyum tipis sambil geleng-geleng kepala. Selagi Vania mematung kembali setelah mendapatkan jawaban jika apa yang terjadi itu adalah nyata, tiba-tiba ponselnya berbunyi tanda ada panggilan masuk yang membuatnya tersadar. Begitu pula dengan Aditama, ia pun melirik ke arah ponsel milik sang istri. Dengan masih setengah tak sadar, Vania menarik punggung dari sandaran sofa dan meraih ponsel dari atas meja untuk mengecek siapa yang menghubunginya. Nama Bella terpampang jelas di layar ponsel. Kak Bella? Ada apa Kak Bella menghubunginya? Bertanya-tanya. Vania lalu menoleh ke arah Aditama sebentar sambil berujar. "Kak Bella, Tam yang menelfon ..." Setelah berkata, tanpa menunggu sang suami menjawab, pandanga
Satu bulan yang lalu, Vania telah melahirkan bayi laki-laki yang diberi nama Darren Alvaro Gandara. Sebagai bentuk untuk mengungkapkan kebahagiaan yang tengah dirasakan anggota keluarga Gandara, khususnya bagi pasangan Aditama dan Vania, sekaligus untuk menyambut anggota keluarga Gandara yang baru, keluarga Gandara kembali menggelar pesta besar-besar an. Pesta diadakan di ruangan dan halaman rumah. Malam ini, ruangan dan halaman itu disulap menjadi tempat pesta yang megah. Ada ratusan undangan yang datang dalam acara. Kerabat dekat, kolega, rekan bisnis dan kenalan keluarga Gandara. Meja-meja makanan tampak tersusun rapi dengan menu spesial di atasnya. Dekorasi acara terhampar di setiap titik-titik paling pasnya. Juga halaman rumah dihiasi lampu-lampu yang membuat belakang rumah itu terlihat lebih menawan. Di saat ini, Aditama dan Vania—yang sedang menggendong bayinya—tampak berdiri di dalam ruangan menyambut para tamu yang terus berdatangan silih berganti. Tamu-tamu it
Begitu melihat sang suami memasuki rumah, Vania yang sedang duduk di sofa ruang tamu bersama sang ibu—langsung bangkit dari duduknya—segera berhambur setengah berlari ke arah Aditama, lantas langsung memeluknya dengan erat. "Kenapa malam sekali pulangnya, Tam ... aku sungguh mencemaskanmu tadi ... takut terjadi apa-apa denganmu. Juga Papa. Aku tidak bisa tidur, sayang. Entah kenapa, rasanya tidak tenang saja kalau kamu belum pulang." Ucap Vania dalam posisi wajah tenggelam di dada suaminya. Di saat yang sama, Vania merasa sangat lega karena sang suami pulang dengan selamat. Dalam keadaan baik-bajk saja. Begitu pula dengan sang Ayah. Aditama menghela napas. "Maafkan aku, sayang karena baru sampai rumah. Karena urusannya baru selesai. Jadi, aku dan Papa baru bisa pulang." Balas Aditama seiring menghembuskan napas lega, mengusap kepala sang istri dengan lembut, juga terus mengecup keningnya. Aditama lanjut berkata. "Sekarang aku sudah pulang sesuai janji aku tadi, Van ... p
Sementara itu, Aditama dan sang Ayah memutuskan beranjak dari perumahan Paradise hendak pulang. Di dalam mobil, tiba-tiba ponsel Aditama berbunyi menandakan ada panggilan masuk yang membuat perhatian pria tampan itu teralihkan. Seketika ia merogoh saku jas, mengeluarkan ponsel dari dalam sana, nama Heru terpampang jelas di layar ponsel. Melihat hal itu, mata Aditama melebar! Mendadak, ia teringat sesuatu. Apakah Kak Heru hendak memberitahu kabar mengenai Edwin? Juga Robert dan Andika? Pikir Aditama. Melihat sang anak laki-lakinya bersikap demikian, Laksana Gandara mengernyitkan kening. "Telepon dari siapa, Tam?" tanya Laksana Gandara seraya menghadap Aditama.Mendapatkan pertanyaan dari sang Ayah membuat Aditama menoleh. Dia kemudian menjawab. "Kak Heru, Pa,"Laksana Gandara mengerjap mendengarnya. Dia kemudian buru-buru berkata. "Cepat angkat, Tam ... sepertinya dia mau mengabarkan sesuatu tentang Edwin." Laksana Gandara langsung mendesak Aditama yang dijawab angg
Sementara itu, tiba di gedung kasino milik Robert dan Andika, Edwin disambut keributan dan kericuhan oleh orang-orang di sana. Kesibukan pun menyertai. Para petugas pemadam kebakaran tengah berusaha memadamkan api yang melahap gedung kasino tersebut. Beberapa mobil-mobil tampak keluar, sebagian besar adalah para pengunjung kasino yang sedang bergegas pulang, tapi ada pula yang masih berada di sana—menonton. Namun Edwin tidak mempedulikan hal tersebut, ia bergegas mencari dua orang yang sebelumnya ia agung-agungkan, tapi kini ia telah berubah benci pada keduanya.Selang sebentar saja, tiba-tiba Edwin menghentikan langkah saat melihat dua orang yang sedang ia cari—berdiri di dekat salah satu mobil—menyaksikan kesibukan. Melalui ekor matanya, Robert menyadari kedatangan Edwin, ia pun segera menoleh diikuti Andika setelahnya. Kemudian, Robert memicingkan pandangan. Detik berikutnya, dia terhenyak. Begitu pula dengan Andika. Edwin!? Selama sesaat, keduanya kompak tercengang. Seg
Begitu melihat sosok Arumi dan Haikal, Laksana Gandara langsung murka bukan main. Seketika ekspresi wajahnya menjadi masam, seruan marah, sumpah serapah dan makian terlontar keluar dari mulutnya. Mendapati hal tersebut, Arumi dan Haikal hanya bisa pasrah. "Aku pikir kau sudah takut denganku, Arumi ... sudah takut dengan keluarga Gandara ... tidak mau berurusan dengan keluargaku lagi setelah kuusir dirimu," seru Laksana Gandara dengan emosi menggebu seraya menunjuk-nunjuk Arumi. "Tapi apa yang malah akan kau lakukan kepada anggota keluargaku, wanita iblis!? Kau bahkan berencana mau membunuh anggota keluarga tercintaku!?" Lanjut Laksana Gandara. Mendengar itu, Arumi refleks mengangkat wajah menatap Laksana Gandara. Kemudian, ia langsung menggeleng cepat. "Tidak, tuan. Bukan seperti itu. Itu bukan ide saya. Saya tidak ada niatan sedikit pun mau menghabisi anggota keluarga anda. Itu sepenuhnya adalah ide tuan Robert, tuan Andika, juga Edwin." Jawab Arumi yang langsung dibenarkan
Aditama menatap Arumi dan Haikal dengan saksama. Juga dengan dingin. Ekspresi wajahnya datar. Kemudian, ia pindah menatap Arumi untuk beberapa saat. "Akhirnya kita bertemu lagi, Nona Arumi ... setelah sekian lama," ucap Aditama. Dia kemudian menambahkan. "Aku tidak menyangka kalau anda benar-benar licik. Tak selemah yang dibayangkan. Aku pikir, anda sudah kapok, tak akan mau berurusan dengan keluarga kami lagi, tapi nyatanya aku salah." "Anda memang tidak bisa kami anggap remeh. Dan hal yang membuat aku cukup terkejut adalah ... Anda bekerja sama dengan Robert, Andika dan Edwin untuk membalas keluarga Gandara. Sungguh menakjubkan. Tapi terlepas dari itu, anda tidak bisa berbuat apa-apa." Aditama terdiam sebentar. "Seorang wanita seperti anda ... bisa meyakinkan Papa? Hal itu juga sungguh tak bisa dipercaya. Dan anda yang memfitnahku dan mama dulu ... benar-benar tidak akan pernah kulupakan, Nona Arumi." Kata Aditama lagi. Mendengar itu, Arumi mengangkat wajah menatap Aditama.
Aditama dan Edwin membahas soal pembunuh keluarganya Edwin yang sebenarnya yang tak lain tak bukan adalah Robert, juga Andika, pun termasuk kejahatan dan kebusukan yang telah mereka berdua lakukan. Kala membicarakan hal itu, mendadak, dendam kesumat pada diri Edwin seketika membara, juga tekad ingin membunuh mereka berdua langsung mencuat deras. Akhirnya, setelah terdiam beberapa saat, Edwin mengangkat wajah menatap Aditama. "Silahkan jika tuan muda ingin menghukum saya, ingin membunuh saya sekali pun. Saya rela tuan muda! Saya menerimanya karena saya memang jahat kepada keluarga Gandara! Telah berkhianat!!!" seru Edwin tegas penuh penekanan pada kalimatnya. Tidak ada sedikit pun keraguan dalam setiap kata yang diucapkannya. Semua orang kaget mendengar hal itu. Edwin menyerahkan diri untuk dihabisi? Untuk dibunuh? Dia mengakui kesalahannya? Namun mereka tidak bisa berbuat apa-apa karena semua keputusan ada di tangan Aditama. Sementara Aditama menatap Edwin dengan lekat. Te
Sesampainya di depan rumah yang ditinggali Arumi perumahan Paradise, Aditama, Letnan dan para tukang pukul bergegas turun dari mobil. Akan tetapi, mendadak Aditama menghentikan langkah ketika hendak berjalan menuju rumah itu kala mendengar bunyi tanda ada panggilan masuk dari ponselnya. Aditama pun mengurungkan niatnya. Begitu pula dengan anak buahnya. Menunggu sang tuan muda. Aditama kembali mengecek ponselnya dan nama sang Ayah terpampang jelas di layar. Seketika ia mengerjap, baru ingat jika ia belum mengabari sang Ayah. Kemudian, ia segera mengusap layar ponsel dan menempelkannya di telinga. "Bagaimana, Tam? Apakah rencanamu berhasil? Kamu tidak kenapa-kenapa, 'kan, Nak?" tanya Laksana Gandara dengan nada cemas sekaligus penasaran begitu panggilan terhubung. Mendengar itu, Aditama pun langsung menceritakan apa yang terjadi di gedung kasino tadi. Setelah Aditama selesai bercerita, terdengar helaan napas lega di sebrang sana. Detik berikutnya, sang Ayah terkekeh puas
Selagi Aditama menyilangkan tangan di depan dada—duduk di jok mobil belakang masih dalam perjalanan menuju perumahan Paradise—memikirkan semua musuhnya yang sebentar lagi akan berhasil ia bereskan, sebuah dering berbunyi berasal dari ponsel miliknya menandakan ada panggilan masuk membuat lamunan pria tampan itu terbuyar. Ia pun kembali mengecek ponselnya dan nama sang istri terpampang jelas di layar ponsel. Melihat hal itu, demi apa pun, Aditama langsung merasa senang bukan main. Namun di sisi lain, ia tidak mau sang istri mengetahui apa yang sebenarnya sedang ia lakukan, mengetahui apa yang terjadi dengan keluarga Gandara! Demikian, ia tidak mau membuat Vania cemas berlebihan—apalagi jika sampai tahu ia, sang ibu dan bayi yang ada di dalam kandungnya itu menjadi target pembunuhan. Akan tetapi, hal itu tidak akan pernah terjadi mengingat rencananya yang sebentar lagi akan selesai. Akhirnya, setelah terdiam sejenak, Aditama mengusap layar ponsel dan segera menempelkannya di